F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-84 Seluk Beluk Poligami Bagian Kedua - Diundi Ketika Akan Safar

Audio ke-84 Seluk Beluk Poligami Bagian Kedua - Diundi Ketika Akan Safar
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SENIN| 26 Rabi’ul Akhir 1444H /| 21 November 2022M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-084

📖 Seluk Beluk Poligami Bagian Kedua

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد

Kaum muslimin anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Masih berbincang-bincang kita tentang berbagai seluk beluk poligami.
Al-Muallif rahimahullāh mengatakan,

وإذا أراد السفر أقرع بينهن وخرج بالتي تخرج لها القرعة

“Kalau suami yang telah berpoligami hendak menunaikan safar dan ingin didampingi oleh istrinya, maka suami harus mengadakan undian (qur’ah / القرعة).”
Dia tidak boleh pilih kasih, dia tidak boleh tentukan secara sepihak, dia harus mengadakan undian. Siapapun yang namanya muncul dari undian tersebut dialah yang berhak mendampingi.

Mungkin Anda berkata, "Koq, enak", bisa jadi nama dia keluar lebih dari sekali sehingga dia sudah menemani suami dua kali sedangkan yang lainnya belum atau mungkin dia lebih sering.

Ketika pemilihan siapa yang menemani safar suami itu dengan pilihan, maka ini berpotensi menimbulkan sengketa yang berkepanjangan.

Kenapa demikian? Karena safar itu bukan hal yang menyenangkan, safar adalah sebuah derita. Apalagi zaman dahulu harus menunggang unta, menunggang keledai di tempat yang panas, lelah, terbatas, susah tidur, tidak ada fasilitas.

Saat ini saja walaupun kita sudah mendapatkan fasilitas yang berbagai macam, ada pesawat, kereta, bus, kemudian ada tempat singgah (hotel), dan sebagainya, tetapi percayalah, seperti kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam,

السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ

"Safar itu adalah sebuah gumpalan atau sebongkah potongan dari siksa dan derita.”

يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ

“Yang menjadikan engkau terhalang dari ritual atau rutinitas makan dan tidurnya."
Tidurnya kacau, lelah dan seterusnya. Sehingga apa yang dirasakan oleh seorang istri yang mendampingi suami safar sebanding dengan rasa letih, rasa lelah yang dirasakan oleh istri yang ditinggal di rumah.

Yang di rumah dia merasakan nyaman, tidur bisa nyenyak, dia tidak terbebani dengan menjaga jilbabnya, dia bisa makan kapan saja yang dia suka, dia bisa hidup tentram (nyaman), akan tetapi yang safar tidak demikian.

Walaupun dalam dinamika berpoligami itupun akan menjadi bagian dari perebutan istri-ìstrinya, akan menjadi bagian dari tema yang diperebutkan oleh kedua orang istri (istri-istrinya), mengira bahwa yang diajak safar itu lebih disayangi, padahal faktanya tidak demikian.

Suami pun terbebani dengan istri yang mendampingi safar, istri pun menjadi repot ketika mendampingi suami safar.

Karena itu untuk memutus praduga pilih kasih, maka penentuannya bukan dengan cara ditunjuk tetapi dengan diundi (qur'ah/القرعة). Sehingga objektif tidak subjektif.

Dan kemudian perlu dipahami pula kondisi qur'ah (القرعة) ini, penentuan siapa yang mendampingi safar dengan cara undian itu bila suami tidak siap mengajak semua istrinya atau istri-istrinya tidak mungkin semuanya ikut. Baik keterbatasan anggaran (dana) ataupun yang lain sebagainya. Maka penentuannya dengan cara di qur'ah (القرعة)

Namun ketika ada kesepahaman haruskah tetap diundi? Tentunya tidak! Bisa jadi istri pertama memiliki anak yang harus dia persiapkan untuk sekolah, mungkin sedang kurang sehat. Maka dia tidak mau, tidak usah diundi, biar istri kedua saja yang mendampingi safar, maka tidak masalah.

Ketika ada kesepahaman taraadhin (saling rela) maka tidak harus ada undian, karena memang undian ini dilakukan dalam rangka menjaga objektifitas suami bahwa dia tetap adil tidak pilih kasih.

Tetapi ketika salah satu dari istrinya rela untuk tidak ikut karena memang kondisional tidak memungkinkan, atau dia lebih memilih untuk tetap berada di rumahnya karena kepentingan-kepentingan yang lain, mungkin dia punya bisnis, mungkin dia punya tamu, mungkin dia punya keperluan dengan keluarga internal (keluarga besar)nya, maka dalam kondisi semacam ini tidak harus diadakan qur'ah (القرعة), namun tentunya itu dikembalikan kepada masing-masing istri, perlu dikomunikasikan dengan baik.

Kemudian penentuan siapa yang mendampingi suaminya untuk safar dengan cara diundi ini adalah demikian dahulu praktik Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Nabi tidak menentukan, tidak pilih kasih dengan menunjuk istri ini dan istri itu, tidak! Tetapi beliau mengundi istri-istri beliau siapapun yang keluar maka beliaulah yang mendampingi.

Tetapi dalam satu data dijelaskan bahwa Saudah radhiyallāhu ta'āla 'anhā istri tertua Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam setelah Khadijah radhiyallāhu ta'āla 'anhā. Beliau dengan sukarela memberikan haknya kepada Aisyah radhiyallāhu ta'āla 'anhā.

Sehingga sikap dari Saudah binti Zam'ah yang menghibahkan hak-haknya, merelakan hak-haknya kepada Aisyah, sehingga pembagian harinya kalau itu yang lainnya mendapatkan bagian satu hari maka Aisyah mendapatkan dua hari. Satu hari bagian Aisyah dan satu hari bagiannya Saudah.

Ini sebagai data, bukti atau dalil bahwa kalau terjadi kesepahaman maka tidak harus ada qur'ah (القرعة) karena intinya suami harus tetap menjaga objektifitas, menjaga perasaan istri bahwa pemilihan itu bukan karena pilih kasih tetapi karena mekanisme yang transparan dan adil.

Karena (memang) kalau sudah urusan poligami, adil yang betul-betul adil itu suatu hal yang mustahil bisa dicapai, karena urusan poligami itu sarat dengan urusan rasa dan perasaan. Perasaan tidak bisa diukur dan dikendalikan, perasaan itu tidak bisa direncanakan dan juga tidak bisa dihentikan, apalagi dibatasi. Karena perasaan itu di luar kewenangan manusia.

Kita sendiri kadang ingin membenci sesuatu tapi tidak mampu, ingin mencintai sesuatu namun tidak bisa, ingin menikmati sesuatu ternyata tidak bisa. Rasa!
  • Betapa banyak orang yang ingin menikmati kopi tapi dia tidak bisa.
  • Betapa banyak orang yang ingin berhenti dari kopi tapi dia tidak bisa melawan perasaannya.
Demikian pula dengan istri.

Karena itu Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dahulu seringkali berdoa kepada Allāh dan mengatakan,

اللهمَّ هذا قَسْمِي، فَيما أَمْلِكُ فَلَا تَلُمْني، فِيما تَمْلِكُ، ولا أَمْلِكُ

"Ya Allāh, inilah pembagian hari-hariku kepada istri-istriku yang bisa aku lakukan (ini maksimal yang bisa aku lakukan), janganlah Engkau siksa aku dengan sesuatu yang itu merupakan bagian dari kuasa-Mu dan tidak kuasa untuk aku lakukan, yaitu urusan rasa dan perasaan."
Secara rasa dan perasaan beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam lebih mencintai Aisyah, tetapi secara tindakan lahiriah beliau berusaha sekuat tenaga untuk bersikap adil kepada seluruh istri-istrinya tanpa pilih kasih.

Tetapi tidak bisa dipungkiri Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tetap saja lebih mencintai Aisyah, dengan banyak alasan. Aisyah lebih banyak bisa menyesuaikan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, menyerap ilmu dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Kenapa? Karena beliau (Aisyah) masih muda belia, sehingga Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam ketika menikahi istri-istrinya salah satu tujuannya Nabi ingin sebagian atau Nabi ingin istri-istrinya menjadi bagian dari penyambung lidah Nabi, penerus tongkat estafet dalam menyampaikan wahyu.

Banyak hal yang hanya bisa disampaikan oleh istri-istrinya, hanya bisa ditunaikan oleh istri bukan oleh sahabat yang lain, terutama hal-hal yang berkaitan dengan urusan-urusan yang bersifat privasi (urusan pribadi).

Bagaimana tata-cara mandi, bagaimana berhubungan dengan istri, bagaimana seorang suami bersikap kepada istrinya. Itu yang bisa menceritakan dengan maksimal adalah istrinya, dan Aisyah adalah orang yang paling mampu melakukan itu.

Sehingga terbukti Aisyah adalah satu-satunya istri Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yang paling banyak meriwayatkan hadits, yang paling banyak menceritakan (menyampaikan) ilmu yang diajarkan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dan dicontohkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Sehingga wajar bila Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mencintai Aisyah lebih, dibandingkan yang lainnya terlebih Aisyah adalah putri orang yang paling beliau cintai yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallāhu ta'āla 'anhu.

Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallāhu ta'āla 'anhu adalah orang yang paling berjasa dalam dakwah Islam, maka wajar bila beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam mencintai keluarga tersebut, melebihi cinta beliau kepada yang lainnya.

Sehingga beliau dengan jujur mengadu kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

اللهمَّ هذا قَسْمِي، فَيما أَمْلِكُ فَلَا تَلُمْني، فِيما تَمْلِكُ، ولا أَمْلِكُ

"Inilah pembagian yang bisa aku lakukan, janganlah Engkau siksa aku dengan sesuatu yang itu menjadi kuasa-Mu dan tidak kuasa untuk aku lakukan yaitu urusan rasa."
Karena seperti kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam,

قلوبَ العبادِ بين إصبَعينِ من أصابعِ الرَّحمنِ يقلبها كيف يشاء

"Hati-hati hamba, senantiasa berada di antara kedua jari Allāh Subhānahu wa Ta'āla yang Allāh bolak balikkan sesuai dengan yang Allāh kehendaki."
Hati manusia (perasaan manusia) berbolak dan terus berbalik, mudah sekali berbalik mudah sekali berubah. Karena memang itu hanya kuasa Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Manusia yang memiliki hati saja tidak kuasa mengendalikannya, kadang kita dalam kondisi nyaman tiba-tiba bad mood, kadang kita dalam kondisi bad mood tiba-tiba senang, berubah dalam waktu sekejap. Itu bukti bahwa manusia itu lemah yang Maha Kuasa hanya Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Ini yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته


•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.