F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Tazkiyatun Nufus – 05 – Perbandingan antara Melakukan Syariat dan Meninggalkan Larangan

Tazkiyatun Nufus – 05 – Perbandingan antara Melakukan Syariat dan Meninggalkan Larangan - AKADEMI BELAJAR ISLAM
▬▬▬▬▬๑๑▬▬▬▬▬
▬▬▬▬▬๑๑▬▬▬▬▬
📘 Tazkiyatun Nufus : ❝ PERBANDINGAN ANTARA MELAKUKAN SYARIAT DAN MENINGGALKAN LARANGAN ❞
Dosen : Ustadz Beni Sarbeni, Lc, M.Pd Hafidzhahullah Ta'ala
🎧 Simak Audio 🎧

Tazkiyatun Nufus – 05 – Perbandingan antara Melakukan Syariat dan Meninggalkan Larangan


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه وَمَنْ وَالاَهُ. أمَّا بعد

Saudara sekalian di grup whatsapp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, kita lanjutkan kajian kitab Tazkiyatun Nafs.

Kali ini saya akan membahas tentang faidah terkait dengan perbandingan antara melakukan perintah atau kewajiban dan meninggalkan larangan, jadi mana yang lebih utama, melaksanakan perintah atau meninggalkan larangan. Kaitan bahasan ini dengan Tazkiyatun Nafs, karena diantara sebab penyucian jiwa yaitu mendahulukan amalan yang paling utama, daripada yang utama. Maka kita mesti tau mana yang lebih utama yang harus kita lakukan, mana yang lebih manfaat ketika memang keduanya bertabrakan dalam waktu yang sama.

Penulis berkata, faidah manakah yang lebih bermanfaat melakukan kewajiban ataukah meninggalkan larangan.

Para ulama sudah membahas masalah ini, “Mana yang lebih bermanfaat?” Apakah melakukan kewajiban ataukah meninggal-kan larangan?

Pendapat yang dipegang oleh para peneliti dari kalangan ulama, ini menunjukkan bahwa masalah ini memang diperselisihkan oleh para ulama dan yang menjadi pegangan para peneliti para muhaqqiq seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, demikian pula muridnya, Imam Ibnu Qayyim yaitu bahwa seorang hamba melakukan kewajiban itu manfaatnya lebih besar daripada meninggalkan larangan.

Jadi melaksanakan perintah lebih bermanfaat daripada meninggalkan larangan, beliau menyebutkan alasannya kata beliau, sebab melakukan kewajiban mengandung unsur masyaqqah (kesulitan) ada usaha disana, sekaligus ada unsur penunaian terhadap perintah Allah.

Maksudnya berbeda dengan meninggalkan larangan, dia hanya sebatas meninggalkan begitu saja, tidak ada sesuatu yang dilakukan, jadi secara dzatnya melaksanakan kewajiban atau perintah itu ada perbuatan disana, kita melaksanakan shalat ada perbuatan yaitu melakukan shalat.

Kalau meninggalkan zina misalnya meninggalkan larangan dalam bentuk zina hanya sebatas meninggalkan, sekaligus ada unsur menunaikan perintah Allah dan fi’lul ma’mur atau perintah Allah itu adalah lebih dicintai oleh Allah.

Karena itu, dalam sebagian dalil misalnya Nabi bersabda,

أحب الأعمال إلى الله -تعالى-، الصلاة في أوقاتها…
“Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah shalat pada waktunya”
Lebih dicintai oleh Allah, kenapa, karena melakukan perintah di sana shalat pada waktunya.

Kemudian penulis menyebutkan lagi diantara keutamaan melaksanakan perintah.

Melakukan perintah yang disyariatkan lebih besar balasan-nya di sisi Allah Ta’ala, karena melakukan perintah mengandung dua perkara,
  • Mendapatkan pahala melakukan ketaatan dan
  • Terhapusnya dosa-dosa dengan melakukan sebagian ketaatan, hal itu sebagaimana dijelaskan dalam banyak dalil. Contohnya,
…والجمعة إلى الجمعة، ورمضان إلى رمضان مُكَفِّراتٌ لما بينهنَّ…
Melaksanakan satu shalat Jumat ke Jumat yang lain, Ramadhan ke Ramadhan itu menjadi penghapus dosa yang dilakukan diantara keduanya”.
Selain seseorang mendapatkan pahala melakukan shalat Jumat. Dia pun mendapatkan kebaikan yang lain yaitu dihapusnya dosa dosa yang dilakukan diantara Jumat dengan Jumat yang lain, berbeda dengan meninggalkan larangan, seseorang mendapatkan pahala hanya sebatas ketika dia meninggalkan larangan tersebut.

Kemudian penulis berkata, hanya saja jika kita lihat dari sisi lain, maka meninggalkan larangan lebih sangat ditekankan daripada melakukan amalan yang disyari’atkan

Memang dari sisi lain ada dalil yang jika kita perhatikan, bahwa meninggalkan larngan lebih ditekankan daripada melakukan perintah, misalnya dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Muslim.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ،
“Jika aku melarang kalian dari satu perkara maka jauhilah, dan jika aku memerintahkan kalian melakukan suatu perkara maka lakukanlah sesuai kemampuan kalian.”
Penulis berkata,

Dari sinilah para ulama menyatakan, “Sungguh, meninggal-kan larangan itu tidak dikaitkan dengan istithaa’ah (kemampuan diri), karena –pada asalnya– pasti bisa dilakukan. Adapun mengerjakan amal-amal yang disyari’atkan itu dikaitkan dengan kemampuan, Nabi bersabda ما اسْتَطَعْتُمْ sesuai dengan kemampuan kalian, karena sebagian manusia terkadang tidak mampu melakukannya.

Karena inilah, meninggalkan larangan itu lebih ditekankan. Bahkan sebagian ulama mengatakan berdasarkan hadits ini bahwa meninggalkan larangan lebih utama daripada melaksanakan perintah. Di sisi lain, mengerjakan amal-amal yang disyari’at-kan itu dikaitkan dengan kemampuan diri.

Kemudian penulis berkata,

Dari sudut pandang inilah, dapat dicatat bahwa tidak ada udzur dalam hal meninggalkan larangan dan ia tidak dikaitkan dengan perbuatan, tidak juga dikaitkan dengan kemampuan diri. Bahkan, semuanya disanggupi dan mudah bagi setiap hamba.

Jadi meninggalkan larangan sebagaimana dalam hadits tadi, tidak ada udzur di dalamnya atau alasan bagi seseorang ketika tidak meninggalkan larangan, karena memang tidak ada kaitannya dengan perbuatan, kemudian tidak ada kaitannya dengan kemampuan, atau dengan kata lain, pada asalnya setiap Muslim mampu untuk meninggalkan larang berbeda dengan perintah tadi. Nabi bersabda,

فَأْتُوا منه ما اسْتَطَعْتُمْ.
“lakukanlah semampu kalian”.
Selanjutnya, penulis mengatakan.

Di sisi lain, mengerjakan amal-amal yang disyari’atkan, di dalamnya terkandung amal, yang terkadang ada kesulitan dalam melakukannya. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa dari sisi pengamalan, ia lebih besar pahalanya.

Ini hanya pengulangan perkataan penulis tadi bahwa diantara alasan kenapa melakukan perintah lebih utama daripada meninggalkan larangan karena melakukan perintah disitu ada amal yang terkadang ada masyaqqah, ada kesulitan. Adapun meninggalkan larangan pada asalnya tidak ada perbuatan di dalamnya.

Selanjutnya faidah lain, penulis berkata,

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa sebagian manusia diciptakan bertabiat malas dalam melakukan ketaatan, juga malas berbuat maksiat. Maka, tidak setiap meninggalkan maksiat itu menunjukkan keimanan. Ini berbeda dengan mengerjakan amal ketaatan yang hal itu menunjukkan keimanan.

Jadi kadang orang itu malas melakukan maksiat sebagaimana kadang malas melakukan ketaatan, maka meninggalkan kemaksiatan tidak menunjukkan keimanan, tapi melaksanakan perintah itu menunjukkan adanya keimanan.

Penulis mengatakan kembali. Terkadang, seseorang meninggalkan maksiat karena ia sendiri memang malas melakukannya, sedangkan melakukan ketaatan pasti dipicu dengan keimanan yang ada dalam dirinya.

Selanjutnya, beliau berkata,

Namun perlu juga diperhatikan bahwa niat sangat berperan dalam hal ini. Maka, jika seseorang meninggalkan kemaksiatan dalam rangka menjauhi maksiat dan mewujudkan sikap taat kepada Allah, tidak diragukan lagi bahwa dengannya ia diberikan ganjaran pahala.

Intinya kalau kita dalam meninggalkan larangan ini ingin mendapatkan pahala dari Allah, maka harus diniatkan bahwa saya meninggalkan larangan tersebut. Karena semata mata ingin meninggalkan larangan atau semata mata karena Allah melarangnya. Jadi seperti itu, bukan karena memang saya tidak mau untuk melakukannya (melakukan kemaksiatan tersebut) atau sedang malas... bukan!,

Dari bahasan yang lumayan panjang ini ada beberapa kesimpulan penting,
  1. Melaksanakan perintah lebih utama dan lebih besar pahalanya daripada meninggalkan larangan ini secara hukum asal.

    Oleh karena itu, Nabi Adam dilarang memakan buah lalu beliau makan tapi dengannya atau setelahnya beliau bertaubat, berbeda dengan iblis, iblis diperintah untuk sujud kepada Adam lalu iblis tidak sujud, setelahnya iblis tidak bertaubat berarti meninggalkan perintah jauh lebih berat daripada melaksanakan larangan.

  2. Hanya saja meninggalkan larangan lebih ditekankan kenapa, karena pada asalnya setiap orang itu mampu untuk meninggalkan larangan.

  3. Melakukan perintah pasti menunjukkan keimanan, adapun meninggalkan larangan belum tentu menunjukkan keimanan seseorang.
Inilah kesimpulan dari bahasan yang saya bacakan pada kesempatan hari ini.

Semoga apa yang saya sampaikan bermanfaat,

Akhukum Fillah,
Beni Sarbeni Abu Sumayyah
Pondok Pesantren Sabilunnajah Bandung
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.