F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-59 Ma'iyyatullah atau Kebersamaan Allah Ta'ala Bagian Kedua

Audio ke-59 Ma'iyyatullah atau Kebersamaan Allah Ta'ala Bagian Kedua - Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 KAMIS | 04 Shafar 1444 H | 01 September 2022 M
🎙 Oleh : Ustadz DR. Abdullah Roy M.A. حفظه الله تعالى
📗 Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
🔈 Audio ke-59

📖 Ma'iyyatullah atau Kebersamaan Allāh Ta'ala Bagian Kedua


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله و اصحابه، ومن والاه

Anggota grup whatsapp Dirasah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allāh.

Kita lanjutkan pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang ditulis oleh fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ta'ala.

Masih kita pada pasal beriman kepada Allāh.

Beliau mengatakan:

ولا نقول كما تقول الحلولية من الجهمية وغيرهم إن مع خلقه في الأرض

"Dan kami yaitu Ahlus Sunnah tidak berpendapat tidak mengatakan sebagaimana yang diucapkan oleh Hululiyyah yang diucapkan oleh firqah atau sekte Hululiyyah yang mengatakan bahwasanya Allāh bersama makhluk-Nya di bumi.”

Hululiyyah dari kalangan Jahmiyyah atau selain mereka, yang mereka meyakini bahwasanya Allāh bersama makhluk di bumi.

Mengatakan misalnya: "Allāh berada di mana-mana, Allāh bersama makhluk-Nya di mana-mana".

Maka ini adalah bukan ucapan Ahlus Sunnah, kita tidak mengatakan demikian, tetapi kita katakan sebagaimana yang Allāh katakan di dalam Al-Qur’an, bahwasanya Allāh beristiwa' di atas Arsy. Dan di dalam ayat yang lain bahwasanya Allāh Maha Mengetahui segala sesuatu.

Ini keyakinan Ahlus Sunnah, kalau kita kembali kepada dalil selesai masalah.

Masalahnya di sini sebagian orang, mereka tidak mau kembali kepada dalil, mengikuti hawa nafsunya atau sudah terbiasa dengan taklid tanpa bertanya tentang dalil.

Kalau kita mau kembali kepada dalil dan tulus hati kita untuk mengikuti dalil maka In sya Allāh, Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan petunjuk, kalau Allāh mengetahui dalam hati seseorang kebaikan, Allāh akan memberikan kebaikan.

Jadi kita Ahlus Sunnah tidak meyakini seperti yang diyakini oleh Al-Hululiyyah dari kalangan Jahmiyyah dan selain mereka, bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla bersama makhluk-Nya di bumi.

Sehingga mereka mengingkari ayat tentang istiwa’, mengingkari Allāh Subhānahu wa Ta’āla beristiwa’ di atas Arsy, atau mentakwilnya dengan mengatakan bahwasanya istawa di sini adalah istaula yaitu menguasai, dan ini adalah takwil yang tidak dibenarkan secara syari'at karena ini adalah menyelisihi dzahir ayat. Allāh mengatakan istawa.

Kemudian yang kedua di dalam bahasa Arab tidak ada bahwasanya istawa ini maknanya adalah istaula, ini tidak ada. Yang ada seperti yang kita sampaikan,

علا وارتفع وصعد و استقر.

Adapun istawa dengan makna istaula maka ini tidak ada di dalam bahasa Arab.

Apa makna istaula?

Istaula maknanya adalah menguasai setelah sebelumnya tidak berkuasa. Itu namanya istaula.

Seorang raja misalnya, dia menyerang kerajaan yang lain atau daerah yang lain kemudian berhasil menguasai daerah tersebut. Kita mengatakan,

فلان استولى على ذلك البلاد

“Dia sudah berhasil menguasai negeri tersebut.”
Ini makna istaula.

Apakah Allāh, kita sifati dengan istaula? Yaitu bahwasanya Allāh sebelumnya tidak menguasai Arsy, kemudian setelah itu Allāh menguasai Arsy? Maka ini makna yang bathil, makna yang tidak benar.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berkuasa dari sejak dahulu, bagaimana seseorang ridha mensifati Allāh dengan istaula? Karena istaula maknanya "sebelumnya tidak berkuasa kemudian berkuasa”, sedangkan Allāh Subhānahu wa Ta’āla berkuasa dari sejak dahulu.
Ini makna yang bathil.

Kemudian seandainya seseorang mentakwil dengan istaula maka dia tidak bisa lari dari tasybih (penyerupaan). Kenapa? Karena beberapa orang mereka mentakwil istawa menjadi istaula takut untuk menyerupakan Allāh dengan makhluk.

Ketika dia mensifati Allāh dengan istaula, apakah dia bisa terlepas dari tasybih ini?

Jawabannya, tidak. Karena makhluk juga istaula, seperti yang tadi kita sebutkan seorang raja menguasai kerajaan yang lain maka dia istaula. Berarti makhluk juga istaula.

Kalau kita mensifati Allāh dengan istaula sesuai dengan kaidah mereka, berarti kita menyerupakan Allāh dengan makhluk. Sehingga dengan dia mentakwil istawa dengan istaula ini tidak menyelesaikan masalah.

Yang menyelesaikan masalah hanyalah kalau kita mengikuti Al-Qur'an.

لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡء

"Tidak ada yang serupa dengan Allāh.” [QS Asy-Syura': 11]
Kita tetapkan Allāh beristiwa’ sesuai dengan keagungan-Nya tidak sama dengan istiwanya makhluk. Selesai, ringkas sekali sebenarnya aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini dan in sya Allāh kita bertemu kembali pada pertemuan yang selanjutnya, pada waktu dan keadaan yang lebih baik.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈┈••••○○○••••┈┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.