F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-72 Maskawin Dalam Pernikahan Bagian Keenam

Audio ke-72 Maskawin Dalam Pernikahan Bagian Keenam - Fiqih Nikah / Baiti Jannati
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 KAMIS| 6 Muharram 1444 H | 4 Agustus 2022 M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Fiqih Nikah / Baiti Jannati
🔈 Audio ke-072

📖 Maskawin Dalam Pernikahan Bagian Keenam


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد

Kaum muslimin anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Al-Muallif rahimahullāhu ta'āla menyatakan:

ويجوز أن يتزوجها على منفعة معلومة

Dan secara tinjauan, secara kajian fiqih, boleh! Sekali lagi يجوز Yajuuzu (يجوز) artinya boleh Anda menikahi seorang wanita dengan maskawin berupa jasa.

منفعة معلومة

Baik jasa manfaat badan kita, yang dikenal dengan nama jasa ataupun manfaat barang (hak guna barang).

Misalnya ketika Anda menikahi seorang wanita, Anda katakan kepadanya, "saya nikahi wanita itu dengan maskawin berupa hak guna rumah, hak guna bangunan selama sekian tahun" misalnya.

Sehingga wanita yang Anda nikahi atau istri Anda memiliki hak guna atas bangunan yang Anda miliki dalam hitungan sekian tahun. Dia bisa menyewakannya atau dia bisa memanfaatkannya untuk kepentingan dirinya ataupun keluarganya.

Atau Anda juga boleh menikahi wanita dengan maskawin berupa jasa yang engkau lakukan untuk wanita tersebut atau keluarganya.

Sebagaimana yang dikisahkan ketika nabi Musa alayhissallām, menikahi istrinya. Kala itu seperti yang dikisahkan dalam Al-Qur'an bahwa nabi Musa dalam kondisi melarikan diri dari kejaran Fir'aun dan kroni-kroninya yang ingin membunuh nabi Musa.

Sudah bisa dibayangkan bahwa kala itu nabi Musa dalam kondisi tidak memiliki harta, maka konon lelaki yang dikisahkan dalam Al-Qur'an itu namanya Syu'aib. Walaupun secara tinjauan dalil, tinjauan riwayat tidak ada dalil yang valid yang menyatakan bahwa lelaki tersebut adalah nabi Syu'aib.

Karena itu kita katakan bahwa calon mertua nabi Musa, menawarkan kepada nabi Musa dengan mengatakan,

إِنِّىٓ أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ٱبْنَتَىَّ هَـٰتَيْنِ عَلَىٰٓ أَن تَأْجُرَنِى ثَمَـٰنِىَ حِجَجٍۢ ۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًۭا فَمِنْ عِندِكَ

"Wahai Musa, aku ingin menikahkan engkau dengan salah satu dari putriku ini dengan maskawin,

تَأْجُرَنِى ثَمَـٰنِىَ حِجَجٍۢ

Engkau bekerja di tempatku dengan menggembala kambing selama 8 tahun.”

Dan kemudian kata beliau,

فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًۭا فَمِنْ عِندِكَ

“Kalau engkau dengan suka rela menggenapkan bekerja menggembala kambing selama 10 tahun maka itu adalah kerelaan dan kedermawanan engkau." [QS Qashash: 27]

Famin 'indik (فَمِنْ عِندِكَ) itu adalah terserah kepadamu, kata calon mertua nabi Musa alayhissallām.

Kemudian nabi Musa menerima penawaran ini, menikahi putri lelaki tersebut dengan maskawin menggembala kambing milik mertuanya selama 10 tahun lamanya.

Sedikit keluar dari tema kita, dikisahkan dalam riwayat bahwa setelah nabi Musa menjalani kesepakatan selama 10 tahun menggembala kambing-kambing mertuanya.

Setelah selesai masa kerja 10 tahun nabi Musa berkeinginan untuk kembali ke negeri asalnya yaitu Mesir karena mertuanya tinggal di negeri Madyan, sedangkan beliau tinggal di negeri Mesir. Maka beliau ingin kembali ke kampung halamannya untuk meneruskan dakwahnya untuk mendakwahi Bani Israil dan kaumnya yaitu kaum Qibtiyah (kaum Fir'aun).

Maka mertuanya berkata kepada nabi Musa, mertuanya merasa bertanggung jawab membekali menantunya, membekali anak perempuannya, bahwa (katanya), "Wahai Musa, semua anak kambing yang terlahir pada tahun ini boleh engkau ambil, dengan catatan bila warna anak kambingnya tidak putih polos, kalau putih polos maka tidak boleh engkau bawa".

Maka ketika nabi Musa mendapatkan janji dari mertuanya bahwa dia boleh mengambil seluruh anak kambing yang terlahir dalam kondisi warna bulunya bercampur antara hitam dengan putih (tidak putih polos), maka nabi Musa dengan tongkatnya memukul semua kambing betina yang bunting kala itu, dan Subhānallāh semua kambing betina milik mertuanya dalam kondisi bunting.

Maka beliau pukul semua kambing-kambing tersebut atas mukjizat-Nya, Allāh Subhānahu wa Ta'āla kemudian menjadikan semua kambing betina milik mertuanya melahirkan anak kambing yang warnanya bercampur antara putih dan hitam.

Sehingga semua anak kambing itu akan dibawa oleh nabi Musa kecuali satu ekor saja yang ternyata satu ekor itu lahir dalam kondisi warna kulit (bulu)nya putih bersih.

Baik kita kembali kepada tema pembicaraan kita.

Dalam kasus ini nabi Musa menikahi istrinya dengan maskawin berupa jasa menggembala kambing, sebagaimana pada hadits sebelumnya yang dikenal dengan Hadits,

الواهبة نفسها للنبي صلى الله عليه وسلم

Kisah wanita yang menawarkan dirinya untuk dinikahi oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Dalam kasus tersebut Nabi membenarkan, bahkan mengajarkan kepada lelaki tersebut untuk menikahi istrinya dengan maskawin berupa jasa mengajarkan beberapa surat Al-Qur'an.

Kenapa? Karena (walaupun) jasa itu bersifat abstrak, hak guna barang itu juga bersifat abstrak, tetapi semua itu memiliki nilai yang bisa dinominalkan, baik dengan dijual ataupun dengan disepakati nominalnya, atau bahkan telah diketahui secara tradisi atau secara عُرْف (secara tradisi) berapa nilai jasa yang diberikan atau hak guna barang tersebut.

Sehingga adanya pernikahan dengan maskawin berupa jasa atau hak guna ini tidak keluar dari ketetapan dan kesepakatan para ulama bahwa maskawin itu harus berupa harta yang memiliki nilai, karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla telah menegaskan dalam banyak ayat dan juga Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dalam banyak hadits, bahwa pernikahan itu boleh dilakukan bila suaminya memberi harta.

أَن تَبْتَغُوا۟ بِأَمْوَٰلِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَـٰفِحِينَ

"Engkau menggunakan hartamu untuk menikahi wanita مُّحْصِنِينَ dalam rangka menjaga kehormatan (harga dirimu), غَيْرَ مُسَـٰفِحِينَ bukan dalam konteks sewa menyewa perzinaan." [QS An-Nissā: 24]

Pernikahan itu memang ada nilai, ada harta yang diberikan laki-laki kepada istrinya, tetapi pemberian harta ini bukan dalam konteks jual beli jasa hubungan badan, tetapi harta itu adalah sebuah ekspresi akan kesetiaan. Sehingga Allāh gambarkan dalam ayat ini,

مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَـٰفِحِينَ

Memberi harta sebagai maskawin itu dalam rangka menjaga kesucian diri, kehormatan diri.

غَيْرَ مُسَـٰفِحِينَ

Bukan dalam konteks jual beli jasa ataupun imbalan dalam protistusi. Tentu tidak!

Sehingga berdasarkan ayat ini dan juga yang lainnya, para ulama bersepakat bahwa maskawin itu harus berupa harta atau sesuatu yang dapat dinilai dengan harta. Selama dalam penjelasan muallif dikatakan معلومة jasa tersebut atau hak guna tersebut معلومة dapat dideskripsikan dengan jelas, sehingga tidak menimbulkan persengketaan di kemudian hari.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية

Sampai jumpa di lain kesempatan.

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.