F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-52 Allah Ta'ala Maha Tinggi Atas Makhluk-Nya Dengan Dzat dan Sifat-Sifat-Nya Bagian Ketiga

Audio ke-52 Allah Ta'ala Maha Tinggi Atas Makhluk-Nya Dengan Dzat dan Sifat-Sifat-Nya Bagian Ketiga - Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SELASA | 25 Muharram 1444 H | 23 Agustus 2022 M
🎙 Oleh : Ustadz DR. Abdullah Roy M.A. حفظه الله تعالى
📗 Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
🔈 Audio ke-52

📖 Allah Ta'ala Maha Tinggi Atas Makhluk-Nya Dengan Dzat dan Sifat-SifatNya Bagian Ketiga


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله و اصحابه، ومن والاه

Anggota grup whatsapp Dirasah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allāh.

Kita lanjutkan pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang ditulis oleh fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullāh ta'ala.

Masih kita pada pasal beriman kepada Allāh.

Di sana ada Ijma’, maka para sahabat juga para tabi'in dan juga para a'immah (para imam-imam) yang empat dan juga yang lain, semuanya meyakini bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla berada di atas.

Tidak ada di antara mereka yang mengatakan bahwasanya Allāh berada dimana-mana atau mengingkari sifat ‘Uluwu bagi Allāh. Bahwasanya Allāh tidak di atas dan tidak di bawah (misalnya), Allāh tidak di dalam, tidak di luar. Maka tidak ada di antara Salaf yang mengatakan demikian, semua mengatakan bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla berada di atas.

Kemudian juga dalil fitrah (fitrah manusia) yaitu meyakini bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla berada di atas. Allāh Subhānahu wa Ta’āla sudah memfitrahkan hati kita bahkan makhluk yang lain, hewan sekali pun. Bahwa Allāh Subhānahu wa Ta’āla berada di atas. Tidak bisa kita ingkari.

Orang yang berdoa kepada Allāh (meminta kepada Allāh) maka di dalam hatinya dia merasakan bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla Dia-lah yang berada di atas. Tidak bisa ditolak dan diingkari yang demikian.

Meskipun secara ucapan, terkadang seseorang mengatakan Allāh di mana-mana, tetapi yang namanya fitrah tidak bisa dirubah.

فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ

"Fitrah Allāh, Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu.” [QS Ar-Rum: 30]
Tidak ada yang bisa merubah. Sehingga di sana ada kisah bahwasanya seorang tokoh Ahlul kalam yaitu Abu Al-Ma'ali Al-Juwaini. Ada kisah antara dia dengan salah seorang muridnya yaitu Abu Ja'far Al-Hamadani. Ketika itu Abu Ja'far Al-Hamadani bertanya kepada gurunya.

Dia mengatakan kepada gurunya yang dia mengingkari sifat istiwa' bagi Allāh, dia mengatakan:

ما تقول في هذه فطرة

"Apa yang engkau katakan wahai guruku tentang fitrah ini?"

ما قال عارف قط: يا الله، إلا وجد في قلبه ضرورة تطلب العلو،

"Tidak ada seorang yang beribadah kepada Allāh dan dia mengatakan, 'Ya Allāh, kecuali dia menemukan di dalam hatinya perasaan untuk mencari yang di atas (mencari ketinggian).”

Artinya dia meyakini bahwasanya Allāh berada di atas dengan fitrahnya, orang yang ahli ibadah demikian. Orang yang beribadah kepada Allāh merasakan bahwa Allāh Subhānahu wa Ta’āla berada di atas.

Maka Al-Juwaini, beliau memukul kepalanya dan mengatakan,

حيرني الهمداني

"Ya Al-Hamadani telah menjadikan aku bingung.”
Sampai dua kali beliau menyebutkan kalimat ini. Maknanya bagaimana? Maksudnya beliau tidak bisa menjawab. Secara akalnya yang rusak dia mengatakan bahwasanya Allāh berada di mana-mana atau mengingkari sifat tinggi bagi Allāh. Tapi fitrah dia tidak bisa mengingkari yang demikian.

Sehingga dia mengatakan,

حيرني الهمداني

"Al-Hamadani telah menjadikan aku binggung", yaitu “aku tidak memiliki jawaban.”
Ini menunjukkan dalil dari fitrah. Para ulama juga menyebutkan dalil dari akal, menunjukkan bahwa Allāh Subhānahu wa Ta’āla memiliki sifat ‘Uluwu.

Bagaimana caranya? Bahwasanya sifat ‘Uluwu ini adalah sifat kesempurnaan. Dimana-mana yang namanya sifat tinggi adalah sifat kesempurnaan. Adapun rendah maka ini adalah sifat kekurangan.

Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla secara kaidah, Allāh memiliki sifat-sifat kesempurnaan. Sehingga apa yang menghalangi Allāh Subhānahu wa Ta’āla memiliki sifat Al-‘Uluw ini? Dan Al-‘Uluw ini (ketinggian) di sini mencakup ketinggian di dalam dzat dan juga di dalam sifat.

Kemudian juga tentang pembahasan orang yang mengatakan bahwasanya Allāh berada di mana-mana, mungkin perlu kita sedikit berbicara tentang keyakinan bahwasanya Allāh berada di mana-mana.

Dan ini (mohon maaf) mungkin banyak di antara kita yang dahulunya masih meyakini yang demikian, bahwasanya Allāh di mana-mana. Sebabnya adalah karena kejahilan kita dan juga kita sebenarnya ingin mengagungkan Allāh dan ingin mengatakan kepada orang lain bahwasanya Allāh mengetahui segala sesuatu dimanapun kita berada.

Dan akhirnya dia mengatakan Allāh في كل مكن Allāh di mana-mana. Kita katakan;

Yang Pertama | Ucapan seperti ini jelas bertentangan dengan dalil-dalil yang sudah disebutkan bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla adalah Maha Tinggi.

Yang Kedua | Bahwasanya kalau dikatakan Allāh berada di mana-mana, maka ini adalah penghinaan bagi Allāh. Karena tidak semua tempat adalah baik. Di sana ada tempat-tempat yang kita paham itu adalah tempat yang buruk (jelek), WC (misalnya) atau tempat bermaksiat (misalnya).

Bagaimana seseorang mengatakan bahwa Allāh ada di WC atau Allāh berada di tempat bermaksiat. Tidak ada di antara kita yang mengatakan demikian.

Maka ucapan الله في كل مكن (Allāh di mana-mana) ini adalah ucapan yang tidak benar dan yang benar bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla Maha Tinggi dan nanti akan disebutkan di sana ada ketinggian yang khusus yang harus kita yakini bahwasanya Allāh berada di atas Arsy.

Kemudian juga ucapan orang yang mengatakan, di mana dia ingin mengingkari sifat tinggi bagi Allāh kemudian mengatakan, "Allāh tidak di atas dan Allāh tidak di bawah" atau mengatakan, "Allāh tidak di dalam dan Allāh tidak di luar" atau "Allāh tidak muthashil dan tidak munfashil” yaitu Allāh tidak sambung dengan makhluk dan tidak pisah dengan makhluk" menafikan seluruhnya atau menafikan dua perkara yang bertolak belakang. Maka ini juga tidak ada dalilnya (menyelisihi dalil).

Kemudian yang kedua mensifati sesuatu dengan cara seperti ini sama saja mensifati sesuatu yang tidak ada. Seandainya kita disuruh untuk memberikan definisi sesuatu yang tidak ada ya seperti ini caranya.

Tidak di atas, tidak di bawah, tidak kecil dan tidak besar, tidak ini dan tidak itu. Itu berarti sesuatu yang tidak ada. Artinya orang yang mensifati demikian berarti dia, kalau bisa kita urutkan, pada hakikatnya dia mengingkari keberadaan Allāh dan ini adalah perkara yang berbahaya tentunya.

Konsekuensi dari ucapan-ucapan dia adalah mengingkari keberadaan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang kali ini dan In sya Allāh kita lanjutkan pada sesi berikutnya.

صلى الله على نبينا محمد و على آله و أصحابه و سلم
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈┈••✵🍃✵••┈┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.