F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-49 Memaksa Wanita untuk Menikah Bagian Ketiga

Audio ke-49 Memaksa Wanita untuk Menikah (Bagian Ketiga) - Fiqih Nikah / Baiti Jannati
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Fiqih Nikah / Baiti Jannati
🔈 Audio ke-049

📖 Memaksa Wanita untuk Menikah (Bagian Ketiga)


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Muallif rahimahullah ta'ala mengatakan,

والثيب لا يجوزتزويجها الابعد بلوغها وإذنها

Adapun seorang janda maka tidak boleh dinikahkan oleh siapapun, ayahnya, ataupun kakeknya, atau wali yang lain.

الابعد بلوغها وإذنها

Kecuali setelah dia mencapai umur baligh dan dengan tegas menyatakan persetujuan, menyatakan sikap setuju, dia rela untuk dinikahkan.

Ada dua hal penting di sini:

1. Al-muallif Al-Imam Abu Syuja' menjelaskan bahwa syarat untuk menikahkan janda harus sudah berumur baliq, artinya berarti status sebagai janda bisa terjadi pada anak kecil yang belum baligh.

Dan ini menjadi petunjuk bagi kita bahwa dalam madzhab Syafi'i yang menjadi acuan untuk menentukan status janda atau perawan itu adalah pernah menjalin akad nikah. Walaupun belum pernah menjalani hubungan badan

Sehingga siapapun yang pernah dinikahkan walaupun belum pernah digauli, belum pernah menjalani hubungan badan, kemudian diceraikan maka dia telah berstatus sebagai janda.

Dan sebaliknya siapapun yang belum pernah menjalani akad pernikahan secara sah, walaupun dia tidak lagi perawan karena dia (misalnya) pernah berzina, atau diperkosa, atau musibah (misalnya) karena penyakit yang menyebabkan keperawanannya hilang, maka menurut literasi madzhab Syafi'i dia berstatus sebagai perawan.

Karena status perawan dan janda itu acuannya bukan pada keperawanannya, tetapi pada pernah atau tidaknya dia menjalani akad nikah.

Sehingga wanita-wanita yang mungkin dia pernah khilaf, dia pernah berdosa sehingga dia berzina, dia menjalin hubungan diluar nikah, atau bahkan naudzubillah, dia wanita yang tidak baik, seorang PSK (misalnya), seorang pelacur. Selama dia belum pernah menjalani akad nikah maka statusnya dia sebagai seorang perawan.

Sehingga penjelasan yang telah disampaikan sebelumnya berlaku pula dalam kasus ini.

Al-Muallif Imam Abu Syuja' menyatakan bahwa seorang janda yaitu wanita yang pernah menjalani akad pernikahan walaupun belum pernah digauli, kemudian diceraikan maka dia tidak boleh dinikahkan kembali kecuali setelah mencapai umur baligh dan yang kedua dia betul-betul secara lugas menyatakan memberikan kuasa kewenangan kepada walinya untuk menikahkan dirinya.

Jadi ada dua syarat:
  1. Telah berumur baligh
  2. Dia betul-betul memberikan kuasa kepada walinya untuk dinikahkan
Kemudian Al Muallif pada penggalan pernyataan beliau ini, mengatakan,

لا يجوز تزويجها

Tidak boleh. Dan bukan sekedar tidak boleh, juga tidak sah bila seorang janda dinikahkan tanpa ada pelimpahan kuasa dari janda tersebut kepada walinya, baik itu ayahnya ataupun selain ayah.

Dan pelimpahan kuasa ini harus disampaikan secara lugas, baik secara tertulis ataupun secara lisan menyatakan, "Iya nikahkan saya dengan si fulan". Baik dengan tulisan ataupun dengan suara.

Adapun ketika si janda tersebut diam atau menangis atau tertawa tetapi tidak menyatakan secara lugas, maka tidak boleh dinikahkan sampai dia betul-betul telah menyatakan sikap bahwa, "Iya saya mau dinikahkan" atau "Silahkan nikahkan saya dengan si fulan", "Saya setuju bila dinikahkan dengan si fulan".

Adapun diamnya dia atau menangisnya dia atau tertawanya dia, tidak bisa dijadikan sebagai petunjuk bahwa dia setuju atau tidak.

Kenapa? karena redaksi hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan jelas menyatakan,

لاَ تُنْكَحُ الأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ

Seorang janda tidak boleh dinikahkan sampai dimintai pelimpahan kuasanya secara tegas. [HR Bukhari: 5136]

Harus dimintai agar dia memberikan sikap secara lugas yaitu dari kata "Amrun" (meminta) ada permintaan tegas bahwa dia siap dinikahkan. Permintaan kepada walinya agar dia dinikahkan.

Al-Muallif rahimallahu ta'ala dalam penjelasan ini dengan jelas pula memberikan penjelasan bahwa perbedaan antara perawan dengan janda itu acuannya adalah adanya akad, bukan hilangnya keperawanan, atau yang dikenal dengan بكارة (selaput dara). Bukan!

Kenapa? ada alasan yang sangat prinsipil (mendasar) yang menjadikan para Fuqoha Syafi'iyyah mengaitkan atau berpedoman pada akad nikah untuk membedakan status janda dari perawan.

Mereka mengatakan, "Hukum syari’at itu harus dikaitkan dengan sesuatu yang nyata dan mudah diidentifikasi serta bisa diketahui oleh banyak orang".

Adapun بكارة adapun "keperawanan atau selaput dara" itu sesuatu yang khafis (samar) yang tidak mudah diidentifikasi, akan sangat sulit untuk membuktikan, "Apakah dia pernah kehilangan selaput daranya atau بكارة (keperawanannya) atau tidak".

Karena alasan (hilangnya) keperawanan (selaput dara) itu banyak, bisa jadi karena jatuh, bisa jadi karena terkantuk (terbentur), atau bisa jadi karena sakit atau bisa jadi karena kelainan, tercipta dalam kondisi tidak memiliki selaput dara.

Sehingga kalau kita mengaitkan hukum dengan sesuatu yang samar, sesuatu yang sulit diidentifikasi, maka itu akan menjadikan hukum itu kacau balau. Dan kaidah umum dalam syari’at, hukum itu selalu dikaitkan dengan sesuatu yang mudah diidentifikasi, mudah dikenali dan itu nyata

Tentu adanya akad pernikahan akan dengan mudah diketahui, dan itu kasat mata. Sedangkan hilangnya keperawanan itu sesuatu yang samar, bisa jadi seorang wanita kelihatannya baik-baik, bisa jadi dia kelihatannya shalihah, tapi ternyata dia tanpa sepengetahuan siapapun dia melakukan suatu perbuatan yang melanggar syari’at.

Misalnya berzina, atau diperkosa oleh orang, atau bisa jadi hilang keperawanannya dengan jarinya sendiri, tidak ada yang tahu. Sampaipun orang tuanya, sampaipun walinya, sampaipun ibunya. Tentu kalau kita mengaitkan hukum dengan sesuatu yang samar semacam ini tentu akan terjadi kekacauan.

Karenanya secara tinjauan hukum, ketertiban hukum syari’at menjadikan Al Imam Asy Syafi'i mengaitkan hukum adanya boleh menikahkan dengan paksa atau tidak itu dengan sesuatu yang kasat mata yaitu adanya akad.

Siapapun wanita yang pernah dinikahkan secara sah, baik pernah digauli ataupun tidak, kemudian diceraikan maka dia telah berstatus sebagai seorang janda.

Adapun ketika dia belum pernah dinikahkan walaupun dia pernah berhubungan badan berapa kali pun dengan siapapun, dalam kondisi apapun, maka dia statusnya sebagai seorang perawan. Ini menurut penjelasan dalam madzhab Imam Asy-Syafi'i

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang lebihnya mohon maaf

وبالله التوفيق والهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.