F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-48 Memaksa Wanita untuk Menikah Bagian Kedua

Audio ke-048 Memaksa Wanita untuk Menikah (Bagian Kedua) - Fiqih Nikah / Baiti Jannati
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Fiqih Nikah / Baiti Jannati
🔈 Audio ke-048

📖 Memaksa Wanita untuk Menikah (Bagian Kedua)


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kita telah sampai pada penjelasan al-muallif Al-Imam Abu Syuja rahimahullahu ta'ala perihal wanita secara global terbagi menjadi dua kelompok; Perawan dan Janda.

Menurut penjelasan Al-Imam Abu Syuja dan itu merupakan madzhab Syafi’i, bahwa wanita yang masih berstatus sebagai perawan boleh dinikahkan dengan paksa oleh ayah kandungnya, ataupun kakek yang merupakan ayah dari ayah kandungnya. Adapun kakek dari ayah ibunya maka dia bukanlah wali.

Namun telah disampaikan bahwa penjelasan ini bisa dikatakan perlu ditelusuri lebih lanjut karena secara tinjauan dalil kurang begitu tepat, untuk membuat satu kesimpulan hukum yang bersikap global bahwa semua perawan boleh dinikahkan dengan paksa, baik itu yang masih belia (karena memang belum baligh) ataupun wanita yang sudah baligh. 

Karena dalil-dalil yang ada hanya berkaitan dengan menikahkan wanita yang belum baligh, sehingga dalil ini boleh dikatakan lebih sempit cakupannya dibanding klaim yang dibuat atau kesimpulan hukum yang dihasilkan. Sehingga tidak ada keselarasan antara dalil dengan kesimpulan dari dalil.

Karena itu wallahu ta'ala 'alam, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pendapat yang lebih kuat bahwa seorang perawan atau wanita yang masih berstatus sebagai perawan alias belum pernah menikah terbagi menjadi dua:

Perawan yang belum baligh, maka boleh dinikahkan oleh ayahnya, ataupun kakek yang merupakan ayah dari ayahnya. Anak tersebut setuju atau tidak setuju, maka persetujuan anak tersebut tidaklah ada konsekuensi hukumnya, alias dia setuju atau tidak setuju itu belum bisa dijadikan sebagai acuan dalam menetapkan hukum.

Karena anak yang masih kecil (belum baligh) pernyataan sikapnya belum diakomodir, belum diterima secara tuntunan syariat. Dan secara logika (idealnya) ayah kandung, kakek yang merupakan ayah dari ayah kandungnya memiliki شَفَقَة (kasih sayang) yang sempurna.

Sehingga tidak mungkin secara logika (secara tuntunan syariat) ayah kandung akan memaksa anaknya menikah padahal tidak ada alasan yang sangat urgent untuk menikahkannya.

Karena itu telah disampaikan sebelumnya pendapat yang lebih tepat adalah boleh menikahkan anak gadis yang masih perawan alias belum pernah menikah selama dia itu masih kecil (belum baligh).

Adapun ketika anak tersebut telah baligh maka pendapat yang lebih kuat, bahwa sampaipun ayah kandungnya tidak boleh menikahkannya dengan paksa apalagi kakek, apalagi wali yang lain. Karena Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dengan tegas telah menyatakan:

لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ

"Tidaklah seorang janda boleh dinikahkan sampai dimintai persetujuan secara tegas (lugas) darinya.” [HR Al-Bukhari nomor 5136]

Sebagaimana tidak boleh menikahkan seorang perawan sampai dimintai restu darinya.

Para sahabat bertanya:

يا رَسولَ اللَّهِ، إنَّ البِكْرَ تَسْتَحِي؟

"Ya Rasulullah, perawan itu biasanya malu, bagaimana meminta izin kepada mereka (perawan).”

قال إذنها صُمَاتُهَا

"Restu ataupun izin persetujuan seorang perawan itu dengan cara dia diam."

Sehingga perlu dipisahkan ketika sudah baligh. Dan hadits ini dengan tegas bahwa wanita baligh, walaupun dia masih perawan tidak boleh dinikahkan kecuali ada restu ada izin darinya. 

Adapun penafsiran bahwa diamnya wanita itu multi tafsir, maka secara prinsip betul tetapi dalam konteks ini ketika ayahnya atau ibunya menyampaikan keinginan untuk menikahkannya dan ternyata si gadis tersebut diam. Maka diamnya dia dikonteks tersebut (dalam kondisi) tersebut itu secara tradisi mencerminkan dia merestui (menyetujui).

Kemudian bagaimana halnya bila dia malah menangis?

Al-Imam Ibnu Qudammah serta yang lainnya, demikian pula Imam Nawawi serta yang lain, menjelaskan bahwa secara tradisi pula, tangisan seorang gadis itu bisa dijadikan sebagai bukti bahwa dia setuju.

Kenapa? Karena ketika dia menangis, maka dengan mudah (sebetulnya) untuk mengetahui tangisan itu tangisan seorang gadis yang merasa senang sehingga dia setuju atau tangisan seorang yang marah.

Ketika wajah si gadis (perawan) tersebut wajahnya dingin walaupun dia menangis tetapi tidak ada warna memerah (raut wajahnya tidak menjadi memerah) kemudian butiran-butiran airmatanya terasa sejuk. Maka itu adalah tangisan girang (senang, setuju).

Tetapi ketika air mata yang membasahi pipinya itu disentuh ternyata air matanya terasa hangat, maka itu tangisan mencerminkan dia tidak setuju, takut atau marah. Sehingga dengan mudah sebetulnya memverifikasi apakah anak tersebut setuju atau tidak.

Di antara hal yang perlu disampaikan lebih dalam perihal menikahkan seorang gadis dalam kasus ternyata anak tersebut dinikahkan dengan paksa, padahal dia sudah baligh, idealnya dimintai restu atau izin (persetujuan).

Tapi ternyata ada pemaksaan, maka secara tinjauan syari'at, secara prinsip hukum, pernikahan tersebut tidak sah. Alias maksud dari kata tidak sah di sini, si wanita (perawan) yang sudah baligh tersebut memiliki hak veto untuk menentukan sikap.

Apakah kemudian dia akan menerima, walaupun semula tidak setuju tapi akhirnya dia mengalah dan menerima, atau tetap pada pendiriannya bahwa dia tidak menerima pernikahan tersebut.

Sebagaimana yang terjadi di zaman Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam ada seorang perawan (gadis).

إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيهِ لِيَرْفَعَ بِي خَسِيسَتَهُ

[HR. Ibnu Majah 1874]

Katanya dia mengadu kepada Nabi:

"Ya Rasulullah, ayahku menikahkan aku dengan keponakannya dengan tujuan agar apa? Agar martabat (harga diri) atau status sosial keponakan ayahnya itu terangkat. Karena anak tersebut adalah anak yang tidak dipandang, anak yang tidak mempunyai status (kurang bermartabat di masyarakat)."

Sedangkan wanita ini adalah wanita yang shalihah sehingga dengan dinikahkan dengan wanita shalihah martabat lelaki tersebut akan sedikit terangkat, maka Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam setelah mendapatkan pengaduan ini beliau memberikan hak veto.

Memberikan kewenangan kepada si gadis tersebut untuk menentukan sikap, apakah dia akan merestui sikap ayahnya ataupun tidak. Dan ternyata si gadis tersebut akhirnya lebih memilih untuk merestui sikap ayahnya.

فَقَالَتْ قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي

Katanya: "Aku tetap menyetujui".

Akhirnya tetap merestui keputusan ayahku yaitu menikahkan aku dengan keponakannya.

وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ

Akan tetapi aku datang mengadukan perihal sikap ayahku yang menikahkan aku dengan paksa ini dalam rangka memberikan penjelasan. Dalam rangka membuktikan kepada seluruh kaum wanita.

أَنْ لَيْسَ إِلَى الْآبَاءِ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ

Menjelaskan bahwa keputusan menikah itu bukanlah di tangan ayah, tetapi betul-betul harus dikembalikan kepada wanita yang akan menjalani rumah tangga tersebut yaitu si anak. Walaupun dia masih berstatus sebagai seorang perawan.

Karena secara logika hukum, seorang ayah tidak boleh memaksa putrinya untuk menjual kambingnya atau menjual sapinya atau menjual ayamnya. Apalagi memaksa putrinya untuk menikah dengan orang yang dia tidak suka.

Sekedar seekor ayam saja yang dimiliki oleh putrinya tidak boleh dipaksakan agar dijual kepada orang lain dengan harga yang dia tidak suka atau mungkin anaknya memang tidak ingin menjual ayam tersebut. Ayah tidak boleh memaksakan!

Dan kalaupun dipaksakan maka jual-beli ini tidak sah karena syarat mutlak dalam jual beli adanya تراض (kerelaan) dari pemilik dan pembeli (penjual dan pembeli). Kalau transaksi itu dipaksakan sehingga berlangsung tanpa adanya تراض (kerelaan) maka transaksi itu batal.

Kalau ini terjadi pada urusan seekor ayam, seekor kambing, sehingga para ulama Syafi'iyyah pun sepakat bahwa transaksi itu tidak sah. Maka secara logika hukum tentu lebih layak untuk dikatakan tidak sah pula pernikahan wanita yang dilangsungkan dengan terpaksa (ada paksaan) sehingga wanita yang dinikahkan tersebut tidak rela dan dia tidak suka untuk menjalani pernikahan tersebut. Ini pada kasus البِكْر (perawan).

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.