F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-47 Memaksa Wanita untuk Menikah

Audio ke-47 Memaksa Wanita untuk Menikah - Fiqih Nikah / Baiti Jannati
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Fiqih Nikah / Baiti Jannati
🔈 Audio ke-047

📖 Memaksa Wanita untuk Menikah


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد الله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Al-Mualif rahimahullah mengatakan,

والنساء على ضربين : ثيبات وأبكار فالبكر يجوزللأب ولجدّ إجبارها على النكاح، والثيب لا يجوز تزويجها الا بعد بلو غها وإذنها

Bahwa wanita itu ada dua model, yang pertama janda dan yang kedua adalah gadis atau perawan.

Kemudian setelah memberikan pembagian wanita, menyampaikan pembagian wanita menjadi dua kelompok ini, Al-Mualif al-Imam Abu Syuja’ menyatakan bahwa,

البكر

Wanita yang perawan yaitu semua wanita yang belum pernah menjalani akad pernikahan, belum pernah dinikahi.

فالبكر يجوزللأب ولجدّ إجبارها

Maka wanita perawan (gadis) yang belum pernah dinikahi, boleh dinikahkan dengan paksa oleh ayah dan kakeknya.

Ayah dan kakek yaitu ayahnya ayah. Adapun kakek yang merupakan ayahnya ibu maka ia tidak bisa menjadi wali. Sehingga perlu dipahami di sini yang dimaksud الجد (kakek) adalah ayahnya ayah.

Dalam literatasi fiqih Syafi'i, ayah kandung dan ayahnya ayah kandung alias kakek dari jalur ayah punya kuasa mutlak untuk menikahkan seorang perawan baik yang masih muda belia belum baligh ataupun telah baligh. Boleh dipaksa menikah.

Dan kalaupun anaknya, gadis tersebut tidak suka maka tetap saja pernikahannya sah, ini fatwa atau pendapat yang diajarkan dalam madzhab al-Imam Syafi'i.

Dasarnya apa? Ada beberapa dalil

Yang pertama adalah kasus pernikahan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dengan Aisyah. Aisyah dinikahkan oleh ayahnya yaitu Abu Bakar Radhiyallahu ta'ala Anhu dengan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam di saat beliau masih kecil, belum baligh.

Sehingga pernyataan restu Aisyah yang kala itu belum baligh, dinikahkan belum baligh sekitar kisaran umur 6 setengah tahun hingga 7 tahun. Kalaupun dia merestui atas sikap ayahnya menikahkan beliau dengan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam maka restunya itu belum dianggap, karena dia belum baligh.

Sehingga pernyataan anak yang belum baligh itu dianggap lāghin (لاغ), tidak ada artinya, tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum.

Kenapa? Karena anak yang belum baligh مَرْفُوع القَلَم (marfuu’-ul-qalam), tindakan dan ucapan yaitu belum bisa dijadikan sebagai dasar hukum karena belum dicatat sebagai satu amalan.

Dasar yang kedua para fuqaha Syafi'i juga berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,


لاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ، وَلاَ الثَّيِّبُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ

Tidaklah boleh seorang bikr (الْبِكْرُ), seseorang gadis (perawan) itu dinikahkan sampai dia dimintai izin.

حَتَّى تُسْتَأْذَنَ

Sebagaimana tidak boleh seorang janda dinikahkan sampai dimintai sikap, dimintai pernyataan secara tegas. [HR Bukhari 6453]

Para sahabat bertanya,

يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ إِذْنُهَا

Ya Rasulullah, faktanya para gadis itu biasanya malu kalau diajak bermusyawarah, dimintai pendapat perihal pernikahan, adanya laki-laki yang melamar dirinya biasanya gadis (perawan) itu malu. Bagaimana caranya kita minta izin mereka. Mereka akan diam seribu bahasa. Itu wanita zaman dahulu.

Zaman sekarang banyak wanita yang lugas, banyak yang mengatakan, "Ya nikahkan saya". Karena biasanya wanita zaman sekarang malah sudah berpacaran terlebih dahulu. Ini merupakan dekadensi moral, dampak dari kemerosotan moral.

Zaman dahulu wanita itu malu, sangat malu sehingga tidak mungkin seorang perawan itu terang-terangan mengatakan, "Ya nikahkan saya". Yang terjadi seringkali mereka menangis, seringkali mereka membisu seribu bahasa.

Para sahabat merasa kesulitan dengan perintah meminta izin kepada anak gadis mereka. Apakah mereka setuju untuk dinikahkan atau tidak. Maka Nabi menjawab,

وَإِذْنُهَا الصُّمَا تُهَا

Izin restu anak gadis itu disampaikan dengan cara diam.

Diamnya wanita, seorang perawan seorang gadis itu pertanda dia setuju, dia rela dinikahkan. Sehingga adanya pembedaan, nabi membedakan antara perawan dengan janda, bahwa janda harus betul-betul tegas, lugas menyatakan restu bahwa dia setuju, maka Nabi menggunakan kata تُسْتَأْمَرَ dimintai perintahnya.

Sehingga seorang janda ketika dimintai izin untuk dinikahkan maka dia harus menyatakan, "Ya nikahkan saya", "Ya saya setuju", "Ya lakukan". Tetapi bagi gadis maka gadis itu diam.

Al-Imam Syafi'i memberikan satu analisa, diamnya wanita itu, apa lagi diamnya seorang gadis itu memiliki banyak alternatif, banyak kemungkinan, bisa karena takut, bisa karena malu, bisa karena bingung, bisa karena segan.

Sehingga tidak bisa dijadikan sebagai acuan final, acuan yang konkret bahwa gadis itu setuju, apalagi secara de facto Abu Bakar saja menikahkan putrinya yang belum baligh tanpa meminta restu.

Sehingga ini menjadi dasar bahwa gadis boleh dinikahkan baik dia masih kecil, ataupun sudah mencapai umur baligh. Dinikahkan dengan paksa oleh siapa, oleh ayahnya, ataupun oleh kakek yaitu ayah ayahnya

Adapun wali-wali selain ayah dan kakek, misalnya kakak atau saudara, paman atau sepupu, maka mereka tidak berhak untuk memaksa seorang gadis, baik yang masih kecil belia belum baligh ataupun sudah baligh. Mereka tidak punya kuasa untuk memaksa.

Karena apa? Karena status kewalian mereka itu tentu jauh dibanding status kewalian seorang ayah ataupun kakek. Kasih sayang mereka kepada si gadis tersebut tidaklah sesempurna kasih sayang seorang ayah kandung.

Karena itu dalam rangka memproteksi (melindungi) hak dan juga menjaga kemaslahatan gadis tersebut di kemudian hari maka mereka para wali-wali selain ayah dan kakek tidak diizinkan untuk memaksa gadis itu menikah.

Ini pendapat yang diajarkan dalam madzhab al-Imam asy-Syafi'i dan tentu masalah ini termasuk salah satu permasalahan yang diperselisihkan di kalangan para ulama dan insya Allāhpada sesi yang akan datang saya akan sampaikan dengan izin Allāh Subhānahu wa Ta’āla, pendapat yang lainnya yang berbeda dengan pendapat yang diajarkan dalam madzhab al-Imam asy-Syafi'i.

Sampai di sini perjumpaan kita, kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

وبالله التوفيق والهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.