F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-35 Syarat Sah Pernikahan – (Fungsi Perwalian dan Persaksian)

Syarat Sah Pernikahan – (Fungsi Perwalian dan Persaksian)
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
📗 Fiqih Nikah / Baiti Jannati
🔈 Audio ke-035

📖 Syarat Sah Pernikahan – (Fungsi Perwalian dan Persaksian)



بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد الله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Pada sesi sebelumnya Saya telah berbicara atau mengulas penjelasan dari Al-Muallif Al-Imam Abu Syuja rahimahullāh yang menjelaskan tentang syarat-syarat wali.

Syarat-syarat wali menurut beliau ada enam persyaratan, ada enam kriteria;

1. Islam.
2. Telah berakal baligh.
3. Berakal sehat.
4. Dia adalah orang yang merdeka.
5. Dia adalah laki-laki.

Sehingga wanita tidak mungkin untuk menjadi wali, bahkan dalam satu riwayat dinyatakan:

لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تُزَوِّجُ نَفْسَهَا

"Perempuan tidak boleh menikahkan perempuan dan tidak boleh seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri, karena sesungguhnya wanita pezina itu adalah wanita yang menikahkan dirinya sendiri.” [HR Ibnu Majah 1882]

6. Dan syarat terakhir adalah Al-'Adaalah (العدالة).

Memiliki kredibilitas, baik dari kemampuan nalar berpikir, ataupun العدالة dalam hal kualitas keagamaannya. Karena bisa jadi seorang wali yang kualitas keagamaannya rendah, bahkan dia telah layak untuk dianggap sebagai seorang yang fasik.

Bisa jadi dia menikahkan putrinya atau saudarinya dengan lelaki yang طَالِح, lelaki yang jahat, lelaki yang fasik pula hanya karena iming-iming harta, sehingga fungsi kewalian tidak berguna, tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Perlu dipahami bahwa perwalian dalam pernikahan, adanya syarat wali dalam pernikahan tujuannya adalah agar wali tersebut, ولايه نظر, memilih, memilah, mempertimbangkan maslahat putrinya, atau maslahat saudarinya yang hendak dia nikahkan.

Dia bukan hanya sebagai wali dalam arti mewakili dalam melakukan satu tindakan. Bukan! Tetapi dia bertanggung jawab untuk memilih, memverifikasi, bahkan untuk mencari calon suami yang betul-betul shalih, yang dapat menggandeng tangan putrinya atau saudarinya menuju ke dalam surga.

Rasulullah shallallāhu 'alayhi wa sallam mengisyaratkan hal ini dengan mengatakan:

إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ

Bila telah datang kepada kalian seorang lelaki yang memiliki kriteria;

Pertama: تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ

Dari sisi ibadah praktisnya dia rajin, dari sisi moralitas akhlaknya dia bagus.

فَزَوِّجُوهُ

Maka segera terima lamarannya dan segera nikahkan.

إِلَّا تَفْعَلُوا

Kalau kalian tidak melakukan masih pilih-pilih, padahal lelaki yang melamar itu adalah ahli ibadah, akhlak dan perilakunya baik, masih juga dipertimbangkan panjang lebar, masih juga ditunda-tunda, masih juga tidak segera diterima lamarannya. Maka bisa jadi akan muncul fitnah atau kekacauan dan kerusakan yang sangat besar.

Kerusakan yang sangat besar. Kenapa? Karena bisa jadi (akhirnya) memunculkan image ternyata agar lamaran itu bisa diterima, membutuhkan harta (harus datang dengan harta), fasilitas kendaraan, jabatan, dan lain sebagainya.

Akhirnya masyarakat menganggap atau memandang sebelah mata urusan agama. Tidak perlu menjaga moralitas atau akhlak yang baik. Pemabuk tidak masalah asalkan punya uang banyak. Orang yang tidak rajin ibadah tidak apa-apa, yang penting bisa memberikan fasilitas yang mewah kepada calon istrinya, bisa memberikan mas kawin yang besar.

Tentu ini akan menimbulkan kerusakan. Kenapa? Ahli agama akan dimarginalkan, orang yang mempunyai harta walaupun dia fasik akan diprioritaskan, tentu ini kekacauan.

Dan kekacauan dalam memilih calon menantu akan berkepanjangan hingga kekacauan dalam rumah tangga, kekacauan pada pendidikan anak keturunan. Tentu ini satu kerusakan yang besar.

Untuk bisa memverifikasi bahwa calon menantu itu adalah orang yang ahli ibadah, akhlaknya baik, betul-betul orang yang dipilih karena agamanya bukan karena harta atau jabatannya. Ini butuh pencarian, butuh pembuktian, verifikasi.

Tidak cukup hanya informasi, atau tidak cukup hanya info berita yang bisa jadi itu berita burung, sehingga wali bertanggung jawab untuk memilih siapakah sebenarnya calon menantunya atau orang yang sedang melamar putri atau saudarinya tersebut.

Sehingga para ulama mengatakan bahwa ولاية النكاح, wali dalam pernikahan itu tujuan adalah ولاية نظر perwalian yang bertujuan untuk mencari, memverifikasi, untuk crosscheck tentang siapakah calon menantu yang paling layak untuk dinikahkan dengan putrinya, bukan karena hartanya, tetapi karena keshalihan akhlaknya.

Keenam persyaratan ini yaitu islam, berakal sehat, baligh, merdeka (bukan budak), laki-laki, dan yang terakhir adalah memiliki kredibilitas baik secara kemampuan nalar ataupun secara mutu kualitas keagamaan. Sehingga dia akan memilih yang baik.

Keenam persyaratan ini juga berlaku pada orang yang boleh menjadi saksi dalam pernikahan, karena orang yang gila tentu tidak bisa diterima persaksiannya, sia-sia walaupun ada 1000 orang gila menjadi saksi maka persaksian mereka tidak ada manfaatnya.

Terlebih ketika dibutuhkan, ketika terjadi sengketa di majelis hakim misalnya. Atau orang yang fasik, orang yang matre, yang penting siapa bayar, ada uang maka semua beres ada fulus maka semua mulus. Persaksian mereka bisa dibeli.

Suatu saat ketika dibutuhkan, mereka menunaikan saksi, bisa jadi mereka tanpa merasa berdosa ingkar mengatakan, "Saya tidak pernah menyaksikan adanya pernikahan tersebut".

Kenapa? Karena ternyata sudah dibayar oleh salah satu pihak yang berkepentingan untuk merusak rumah tangga tersebut, misalnya. Tentu kondisi ini sangat buruk.

Karenanya, adanya saksi yang tidak dapat diterima persaksiannya di pengadilan agama (kelak bila dibutuhkan) maka tentu ini sia-sia. Padahal fungsi dari adanya saksi dalam pernikahan adalah sebagai alat bukti bila dibutuhkan, baik ketika ada orang yang menuduh kedua orang yang telah menikah ini mereka dikatakan kumpul kebo atau menjalin hubungan di luar pernikahan, misalnya.

Atau suatu saat ada sengketa masalah waris mewarisi, maka adanya saksi pernikahan ini suatu saat sangat bermanfaat untuk membuktikan adanya ikatan pernikahan yang menjadi alasan adanya waris mewarisi, atau adanya hubungan nasab kalau itu dengan anak keturunan dan sebagainya.

Apalagi bagi orang yang menikah lebih dari satu, tentu keadaan para saksi sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

Karena itu wajar bila para ulama mengatakan, Idealnya yang dijadikan sebagai saksi bukan sekedar dia tokoh, bukan sekedar dia orang yang dikenal, tetapi orang yang tidak akan memperjual-belikan persaksiannya dengan apapun.

قوامين لله شهداء الحق

Dia akan betul-betul menegakkan persaksiannya di saat dibutuhkan. Betul-betul lillāh, tidak matre, tidak minta uang, dan juga persaksiannya tidak bisa dibeli, ditebus dengan apapun.

Dengan demikian hak-hak kedua belah pihak dan semua pihak yang terkait dalam hubungan pernikahan ini akan terlindungi dengan adanya saksi tersebut.

Karena itu sebagian ulama yaitu al-Imam Malik misalnya, mereka karena memahami atau menganalisa fungsi dari saksi adalah untuk menjadi alat bukti. Suatu saat dibutuhkan ketika terjadi sengketa, maka beliau mengatakan dengan demikian fungsi saksi ini bisa tergantikan dengan adanya syuhrah, dengan adanya atau menyebarnya informasi pernikahan secara meluas di masyarakat.

Sehingga tidak akan ada celah sekecil apapun untuk kemudian meragukan adanya pernikahan tersebut atau mengingkari tentang terjadinya pernikahan tersebut.

Karena dalam teori ilmu fiqih, dalam teori peradilan Islam, bahwa seseorang boleh bersaksi berdasarkan dengan syuhrah, berdasarkan dengan telah familiarnya atau telah menyebar luasnya suatu informasi itu tanpa ada yang mengingkari.

Sehingga adanya syuhrah ini cukup mewakili, cukup menghasilkan atau menjalankan fungsi adanya saksi bahkan lebih kuat dengan adanya syuhrah. Dan untuk bisa mencapai syuhrah (ketenaran), dikenal secara meluas, diketahui secara luas itu bisa dilakukan dengan cara walimah.

Dengan adanya walimah maka semua orang yang hadir dalam acara walimah secara otomatis dia akan menjadi saksi dan mengakui adanya hubungan pernikahan antara laki-laki dengan wanita.

Sehingga tidak ada lagi ruang untuk mencurigai atau mengingkari karena pernikahan itu sudah meluas di masyarakat, diketahui secara luas oleh masyarakat.

Ini yang bisa Kami sampaikan, pada kesempatan yang berbahagia ini. Kurang dan lebihnya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.