F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-34 Syarat Sah Pernikahan Bagian Ketujuh (Menjadi Wali dan Saksi Syarat Keenam)

Audio ke-34 Syarat Sah Pernikahan Bagian Ketujuh (Menjadi Wali dan Saksi Syarat Keenam) - Fiqih Nikah / Baiti Jannati
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
📗 Fiqih Nikah / Baiti Jannati
🔈 Audio ke-034
📖 Syarat Sah Pernikahan Bagian Ketujuh (Menjadi Wali dan Saksi Syarat Keenam)


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد الله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kita akan lebih dalam dan lebih jauh mengetahui bagaimana dan seperti apa kriteria seorang yang sah atau boleh menjadi wali dan boleh menjadi saksi, yang terakhir adalah:


SYARAT KEENAM: Al-'Adaalah / العدالة


Al-'Adaalah alias seorang yang berhak menjadi wali adalah orang yang kredible. Apa yang dimaksud Al-'Adaalah? Al-'Adaalah orang yang agamanya baik, orang yang menunaikan kewajiban, meninggalkan yang haram, dan menjaga muru'ah dia, menjaga kemuliaan akhlaknya.

Karena kalau orang yang fasik, pemabuk, pezina, pencuri, perampok, pendusta, apalagi na'udzubillāhi orang yang terjangkiti sifat munafik dalam dirinya memiliki kewenangan untuk menikahkan, maka bisa jadi dia jual anaknya.

Dia nikahkan anaknya dengan laki-laki yang serupa, lelaki yang fasik, lelaki yang bejad, peminum khamr, pemabuk, pezina. Dengan tujuan yang penting dapat uang banyak, yang penting diberi uang banyak, yang penting hartanya banyak. Tentu ini akan merusak ideologi, merusak aqidah, merusak akhlak wanita tersebut.

Kenapa? Karena seorang yang fasik dia pasti akan merasa nyaman untuk hidup dengan sesama orang fasik, apalagi dia diiming-imingi dengan harta yang bisa menjadikan dia lebih leluasa berbuat kefasikan, minum khamr, berzina, dan lain sebagainya.

Makanya, kalau orang fasik dalam urusan harta saja bisa jadi ketika orang fasik itu menghambur-hamburkan hartanya untuk berfoya-foya menuruti nafsunya, bersenang-senang sehingga merusakkan dapat menghancurkan kekayaannya. Maka secara hukum syariat boleh dihajr.

Keluarganya boleh mengajukan gugatan ke pengadilan agar kewenangan lelaki tersebut dicabut, kewenangannya membelanjakan hartanya dicabut. Karena kalau tidak hartanya akan dihambur-hamburkan dalam kefasikan, dalam perbuatan dosa, dan akibatnya dia akan menelantarkan nafkah anak dan istrinya.

Kalau itu terjadi pada urusan harta, apalagi dalam urusan kehormatan putrinya, atau kehormatan saudarinya, bibi-nya, tentu lebih layak bila kewenangan orang semacam itu dicabut.

Ini alasan yang diutarakan dalam mahdzab Imam Asy-Syafi’i, walaupun secara tinjauan fiqih sebagian ulama kurang sepakat dengan adanya persyaratan العدالة ini.

Kenapa? Karena mereka melihat, ulama yang lain berpendapat bahwa status perwalian itu sama halnya dengan status nasab, waris mewarisi, selama hubungan nasab itu nyata alias itu adalah putrinya, maka hukum asalnya berarti dia bisa menjadi wali, sama halnya ketika dia menjadi wali safar.

Hubungan khulwah, kalau itu ayahnya maka tidak masalah kalau dia membuka jilbab di hadapan ayahnya, walaupun ayahnya adalah seorang pemabuk, walaupun ayahnya misalnya seorang pezina.

Tidak ada larangan bagi putrinya, walaupun dia seorang ulama besar putrinya itu. Seorang ahli hadits, ahli fiqih, ahli tafsir, seorang hafidzah, seorang ahli ibadah, zuhud, tetap saja tidak menjadikan hubungan ayah dengan anak itu luntur.

Sehingga tetap dia boleh membuka jilbabnya di depan ayahnya yang fasik tersebut, dia juga bisa mewarisi dan kalau dia mati ayahnya yang fasik tersebut berhak untuk menjadi pewaris dari harta anaknya yang muslimah taqiyyah hafidzah tersebut.

Demikian pula halnya dengan status perwalian dalam hal nikah, karena mereka menyatakan bahwa hukum perwalian itu termasuk hukum wadh’i, hukum sebab akibat yang bila telah terwujud sebabnya, maka akibatnya pasti terjadi. Sedangkan sebab dari adanya perwalian, baik wali safar, ataupun wali pernikahan, itu adalah adanya hubungan mahramiyyah, hubungan darah, hubungan nasab, dan itu ada.

Maka tentu tidak tepat dan juga tidak pernah ditemukan dalīl yang menyatakan bahwa dia bukan wali atau menggugurkan status kewaliannya, status sebagai seorang wali.

Namun kalau mungkin, kalau dikompromikan bahwa karena dia orang fasik, ayahnya orang fasik, pemabuk, pezina, peminum khamr misalnya. Sedangkan wali lainnya yaitu wali yang lebih baik agamanya.

Bisa jadi dalam hal ini ketika terjadi perbedaan pendapat. dengan siapa wanita ini dinikahkan. Ayahnya ingin menikahkannya dengan orang fasik, dengan peminum khamr yang serupa, kawannya dugem misalnya.

Sedangkan wali yang lain ingin menikahkan wanita yang shalihah ini dengan lelaki yang shalih, maka dalam hal ini terjadi perbedaan keinginan, maka dalam hal ini kedua belah pihak ketika tidak menemui titik temu, terjadi persengketaan.

Maka dalam hal ini hakim bisa mengambil jalur tengah, yaitu mencabut kewenangan ayahnya dan memberikan kewenangan untuk menjadi wali kepada wali selanjutnya dalam rangka menyelamatkan agama si wanita ini.

Sehingga nampaknya wallāhu ta'āla a’lam, kedua pendapat ini bisa digabungkan, tidak harus dipertentangkan, alias gugurnya kewalian seorang wali yang fasik hanya diaplikasikan, hanya diterapkan ketika ia salah pilih.

Adapun ketika pilihannya tepat, dia nikahkan dengan lelaki yang shalih karena bisa jadi dan itu seringkali terjadi. Dalam banyak kasus secara personal ayahnya fasik tetapi walaupun dirinya fasik peminum khamr dia sadar, dia juga mendambakan agar putrinya dinikahi oleh lelaki yang shalih sehingga dia tidak salah pilih.

Dia pilihkan calon suami yang shalih. Kalau memang pilihannya tepat maka tentu tidak bijak mencabut perwalian dari diri ayah tersebut dan memindahkannya kepada wali yang lain,

Karena itu dua pendapat ini sebetulnya bisa dikompromikan dengan disimpulkan, bahwa kewalian seseorang bisa menjadi gugur ketika dia salah pilih menikahkan karena materi apalagi ingin melanggengkan kefasikannya. Tetapi ketika pilihannya tepat, maka tidak bijak jika mencabut perwalian walaupun dia seorang yang fasik,

Apalagi sebagian ulama mengatakan mayoritas atau banyak wali-wali yang ada di zaman sekarang bahkan sebelum sekarang pun demikian kondisinya. Walinya tidak shalat, walinya tidak puasa, walinya tidak zakat, walinya pemakan riba. Kalau itu dicabut perwaliannya maka akan menimbulkan kekacauan sosial yang luar biasa. Tentu ini perlu dipertimbangkan dalam memutuskan suatu hukum.

Karena itu saya lebih memilih untuk mengkompromikan dua pendapat ini, bahwa perwalian itu bisa digugurkan ketika orang tuanya terbukti salah pilih, sehingga ingin menikahkan putrinya dengan lelaki fasik seperti ayahnya.

Namun ketika pilihannya tepat maka tidak bijak kita mencabut perwalian dari lelaki tersebut, padahal pilihannya pun tepat. Dan kalau dipindahkan ternyata wali yang lain akan menikahkan wanita ini dengan lelaki tersebut sehingga apa artinya pemindahan perwalian jika ternyata hasilnya sama juga.

Ini yang bisa Kami sampaikan, pada kesempatan yang berbahagia ini. Kurang dan lebihnya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.