F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-31 - Syarat Sah Pernikahan 04 - Menjadi Wali Dan Saksi Syarat Beragama Islam

Syarat Sah Pernikahan Bagian Keempat - (Menjadi Wali Dan Saksi, Syarat Pertama Adalah Beragama Islam)
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
📗 Fiqih Nikah / Baiti Jannati
🔈 Audio ke-031

📖 Syarat Sah Pernikahan Bagian Keempat - (Menjadi Wali Dan Saksi, Syarat Pertama Adalah Beragama Islam)



بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد الله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Anggota grup Dirosah Islamiyyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Al Mualif Rahimahullahu Ta'ala, Al Imam Abu Syuja' pada sesi sebelumnya telah menegaskan, bahwa suatu pernikahan dalam Islam tidaklah sah kecuali bila dilangsungkan oleh seorang wali dan dihadiri minimal oleh dua orang saksi.

Kita akan lebih dalam dan lebih jauh mengetahui bagaimana dan seperti apa kriteria seorang yang sah atau boleh menjadi wali dan boleh menjadi saksi. Al Imam Abu Syuja' mengatakan,

ويفتقر الولي والشاهدان

Dan seorang yang berstatus sebagai wali ataupun yang akan menjadi saksi itu harus memenuhi 6 kriteria (إلى ستة شرائط) memenuhi 6 kriteria.

Dengan demikian, satu saja dari kriteria yang akan disebutkan ini tidak terpenuhi, maka orang tersebut tidak bisa menjadi wali dan juga tidak bisa menjadi saksi dalam pernikahan.

Alias dengan pendek kata, seseorang yang akan menjadi wali atau menjadi saksi itu adalah orang yang cakap secara hukum. Karena memang hubungan nikah atau akad pernikahan itu adalah suatu tindakan hukum yang akan menghasilkan konsekuensi-konsekuensi hukum yang tidak ringan.

Lelaki dengan wanita yang semula haram untuk berhubungan menjadi halal, kemudian akan dilanjutkan dengan adanya hubungan nasab, anak keturunan, waris mewarisi, kewajiban nafkah, dan lain sebagainya. Tentu ini satu hal yang besar, satu hal yang berat, konsekuensi hukum yang berat.

Karenanya orang yang akan melangsungkan akad ini betul-betul dipersyaratkan orang yang secara hukum memiliki kecakapan. Alias dia memiliki kewenangan secara aturan syari'at untuk melakukan tindakan ini. Baik menjadi wali ataupun menjadi saksi.

Karena walaupun menjadi saksi hanya duduk manis mungkin Anda berpikir seperti itu. Menyaksikan prosesi pernikahan dan seakan-akan tanggung jawab seorang saksi itu hanya sekedar tanda tangan saja dalam prosesi pernikahan.

Tetapi ketahuilah sejatinya saksi itu tidak sesimple itu. Saksi juga memiliki tanggung jawab yang tidak kalah berat dibanding tanggung jawab seorang wali.

Kenapa? karena dia bertanggung jawab untuk mengakui ataupun mendeklarasikan, mensosialisasikan akan adanya hubungan pernikahan ini. Alias dia harus memproteksi kelangsungan hubungan nikah antara 2 orang ini, antara lelaki dan wanita ini.

Ketika suatu saat nanti ada yang mempertanyakan, ada yang memperagukan atau bahkan bisa jadi di antara mereka berdua yang menikah ini terjadi sengketa.

Satu dari mereka misalnya mengingkari adanya ikatan pernikahan tersebut. Maka tanggung jawab saksi untuk menegakkan persaksiannya, menegakkan persaksian dengan membenarkan pihak yang klaimnya benar sesuai dengan fakta dan mendustakan, mematahkan perkataan satu dari kedua pihak yang pernyataannya menyelisihi fakta.

Sehingga hubungan nasab antara Ayah dengan anak itu adalah tanggung jawab saksi untuk menjadi alat bukti ketika suatu saat nanti dibutuhkan. Sehingga ini adalah suatu hal yang cukup berat tentunya.

Karena itu kedua orang ini yang akan menjadi wali dan menjadi saksi harus memenuhi keenam kriteria yang akan disebutkan Al Mualif Al Imam Abu Syuja' yang itu intinya adalah, “Kedua orang ini betul-betul memiliki kecakapan secara hukum syari’at”.


SYARAT PERTAMA: ISLAM / الإسلام


Syarat pertama, keduanya adalah orang yang beragama Islam. Kenapa? Karena kalau Anda menikahi seorang wanita muslimah sedangkan wali wanita tersebut masih berstatus sebagai nonmuslim (belum masuk Islam), maka Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menyatakan,

وَلَن يَجْعَلَ ٱللَّهُ لِلْكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. [QS An-Nisa: 141]

Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak pernah dan tidak akan memberikan akses, memberikan kuasa kepada orang kafir untuk bertindak, untuk menguasai atau membawahi orang yang beragama Islam.

Dalam suatu riwayat Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam menyatakan,

الإسلام يعلو ولا يعلى

“Islam itu akan senantiasa berjaya. Senantiasa berada di atas agama lain senantiasa lebih mulia dibanding agama lain.”

Dan tidak boleh ada satu tindakan yang berkonsekuensi atau memiliki konotasi (kesan) bahwa ada orang lain, agama lain yang memiliki status lebih tinggi dibanding status yang dimiliki orang Islam.

Dan tentu status sebagai wali itu, itu adalah bentuk dari سلطة (dari bentuk kekuasaan, kekuatan) secara hukum yang secara kedudukanpun dia lebih tinggi karena dia yang akan memutuskan iya atau tidaknya pernikahan tersebut. Dia yang akan memutuskan terjadi atau tidaknya pernikahan tersebut.

Makanya kalau Anda menikahi seorang muslimah sedangkan walinya masih berstatus sebagai orang kafir, dia tidak bisa menjadi walinya. Dia ayahnya tidak bisa menjadi wali.

Kenapa? Karena wilayah itu adalah bentuk dari سُلْطَة bentuk dari رِفْعَة bentuk dari suatu kekuasaan dan kemuliaan, ketinggian derajat. Sehingga tidak mungkin itu dimiliki oleh orang kafir yang dia memiliki kekuasaan dan juga memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding orang muslim. Ini syarat pertama.

Dan boleh dikata mayoritas ulama atau bahkan bisa jadi inilah satu kesepakatan di kalangan para ulama، bahwa orang kafir tidak bisa menjadi wali bagi seorang muslimah, tidak bisa menjadi wali dalam pernikahan seorang muslimah walaupun itu anak dia sendiri.

Karena itu ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam hendak menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan yang telah menjanda di negeri Habasyah. Ketika Beliau ikut berhijrah ke negeri Habasyah suaminya murtad (mati dalam kondisi beragama Nasrani).

Maka karena suaminya murtad status pernikahan antara Ummu Habibah dengan suaminya secara otomatis terputus. Setelah masa iddah Ummu Habibah berlalu, maka Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam mengirimkan utusan untuk pergi ke negeri Habasyah melamar Ummu Habibah binti Abi Sufyan.

Beliau mengirim utusan ke Raja Najasyi yang kala itu sebagai raja dan dia telah berstatus sebagai seorang muslim. Najasyi telah masuk Islam, sehingga secara hukum Najasyi berperan sebagai wali hakim bagi Ummu Habibah.

Padahal secara nasab, Ummu Habibah masih memiliki orang tua yaitu Abu Sufyan. Namun demikian Nabi tidak melamar Ummu Habibah kepada Abu Sufyan.

Kenapa? Karena Abu Sufyan masih dalam kondisi musyrik, sedangkan orang kafir itu tidak bisa menjadi wali bagi seorang mukminah. Karena Ummu Habibah mukminah, sedangkan ayahnya kafir maka ayahnya tidak bisa menjadi wali.

Sehingga karena ayahnya tidak bisa menjadi wali, Nabi tidak melamar Ummu Habibah ke walinya (ke ayahnya), tetapi kepada siapa? Kepada wali hakim yang ada di negeri tersebut.

Yaitu An-Najasyi, karena Ummu Habibah tinggal di Habasyah Ethiopia sehingga yang berhak menjadi wali atas pernikahan Ummu Habibah adalah wali hakim yang ada di negeri Habasyah kala itu. Yaitu An-Najasyi.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini. Kurang dan lebihnya mohon maaf.

بالله التوفيق والهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.