F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-32 Syarat Sah Pernikahan 05 - Menjadi Wali Dan Saksi Syarat Baligh Dan Berakal

Syarat Sah Pernikahan Bagian Kelima - (Menjadi Wali Dan Saksi, Syarat Kedua Dan Ketiga Yakni Baligh Dan Berakal)
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
📗 Fiqih Nikah / Baiti Jannati
🔈 Audio ke-032

📖 Syarat Sah Pernikahan Bagian Kelima - (Menjadi Wali Dan Saksi, Syarat Kedua Dan Ketiga Yakni Baligh Dan Berakal)



بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد الله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Anggota grup Dirosah Islamiyyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kita akan lebih dalam dan lebih jauh mengetahui bagaimana dan seperti apa kriteria seorang yang sah atau boleh menjadi wali dan boleh menjadi saksi.

SYARAT KEDUA: BALIGH / والبلوغ

Syaratnya adalah yang menjadi wali itu orang yang baligh. Karena wali itu adalah, atau tanggung jawab seorang wali, itu adalah menikahkan. Menikahkan siapa? Menikahkan wanita tersebut baik itu adiknya atau kakaknya atau bibinya.

Sehingga secara hukum orang yang masih kecil (belum baligh), walaupun dia cerdas, walaupun dia sudah pandai berbicara pandai bernegoisasi dan macam-macam, secara hukum syari'at dia belum memiliki kecakapan hukum untuk melakukan satu tindakan.

Alih-alih bertindak atas nama orang lain untuk kepentingan orang lain, untuk kepentingan diri sendirinya saja tidak. Untuk mengatur, dan membelanjakan hartanya sendiri saja anak yang masih kecil itu belum dianggap cakap hukum untuk melakukan tindakan pada hartanya.

Apalagi bertindak atas nama orang lain. Alias mewakili atau bertindak memanage, mengatur, mengendalikan orang lain tentu tidak mungkin. Secara logika syari'at, secara logika hukum Islam itu tidak mungkin terjadi.

Karena itu anak kecil yang belum baligh dia lebih layak untuk dikendalikan oleh orang lain, untuk berada di bawah kendali orang lain, dibanding dia menjadi pengendali yang mengatur, yang berkuasa, yang berwenang atas urusan orang lain.

Apalagi ternyata orang lain itu lebih dewasa, mungkin lebih tua lebih pengalaman. Sehingga dialah mungkin yang seharusnya mengatur urusan anak ini. Bukan sebaliknya. Ini syarat kedua.

Dan ini sepakat para ulama. Karena Rasulullah Shalallahu'Alaihi Wa Sallam telah bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ

Pena pencatat amal itu diangkat dari tiga kelompok orang.

Alias apapun yang dilakukan oleh ketiga kelompok orang ini amalannya belum dicatat. Salah satunya adalah,

وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ

Anak kecil sampai dia baligh (bermimpi basah). [HR Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih]

Sehingga tindakan anak tersebut yang belum baligh, belum dicatat sebagai dosa, belum dicatat sebagai pelanggaran. Sebagaimana tindakannya itu belum dianggap sebagai suatu tindakan yang dapat menggugurkan kewajiban.

Sehingga kalau ada anak kecil yang menunaikan ibadah haji kemudian dia mencapai umur baligh (dewasa), maka dia wajib mengulang atau wajib menunaikan ibadah haji.

Kewajiban beribadah haji atas anak tersebut belum gugur dengan haji yang dia tunaikan ketika dia masih kecil. Walaupun dia dapat pahala. Tetapi ibadah yang dilakukan itu tidak sampai menggugurkan kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap orang muslim.

وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” [QS Ali ‘Imran: 97]

Allah itu punya hak atas semua orang agar mereka itu menunaikan haji. Kewajiban berhaji ini belum bisa digugurkan dengan ibadah haji yang dijalankan semasa dia belum baligh.

Baik, selanjutnya.


SYARAT KETIGA: BERAKAL / والعقل .

Syarat ketiga yaitu berakal sehat.

Karena pernikahan itu adalah suatu tindakan hukum yang memiliki konsekuensi yang berat, konsekuensi yang besar. Dengan demikian dibutuhkan kesadaran bukan sekedar pemahaman kesadaran akan konsekuensi yang akan terjadi dengan tindakan tersebut.

Sedangkan orang yang mengalami gangguan mental, cacat mental, gila, atau sinting kata orang misalnya. Tingkat kesadaran nalarnya itu rendah. Cacat mental, maka dia tidak akan mampu memahami konsekuensi dari akad yang akan dia jalin.

Bisa jadi dia menggambarkan bahwa pernikahan itu seperti bermain bola, bisa bermain kelereng. Karena memang nalarnya dia mengalami gangguan.

Sehingga kalau itu diberikan kewenangan untuk menikahkan maka bisa jadi dia akan nikahkan anaknya, ataupun saudarinya, atau bibinya dengan mas kawin sebutir kelereng. Karena nalarnya memang tidak sehat.

Karena itu, alih-alih dia mengurusi orang lain, mengurusi diri sendiri saja tidak mampu. Sehingga wajar bila secara tinjauan syari'at orang yang mengalami gangguan mental tidak bisa menjadi wali.

Lalu siapa yang berhak menjadi wali? Ya berpindah kepada orang selanjutnya. Kalau dia sebagai Ayah, maka yang menjadi wali dari putri-putrinya adalah mungkin Ayahnya, yaitu kakek, atau mungkin anak laki-lakinya yang akan berwenang untuk menikahkan putri lelaki tersebut.

Sehingga saudaranyalah yang akan menjadi wali dengan hubungan nasab sebagai Ikhwah (sebagai saudara).

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini. Kurang dan lebihnya mohon maaf.

بالله التوفيق والهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.