F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-28 - Fiqih Nikah / Baiti Jannati - Syarat Sah Pernikahan (Bagian Pertama)

Audio ke-028 - Fiqih Nikah / Baiti Jannati - Syarat Sah Pernikahan (Bagian Pertama)
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🌐 Fiqih Nikah / Baiti Jannati
🔈 Audio ke-028

📖 Syarat Sah Pernikahan (Bagian Pertama)



بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد الله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Anggota grup Dirosah Islamiyyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Berbicara tentang pernikahan ataupun amalan yang lainnya, maka jembatan untuk terjadinya hubungan pernikahan, hubungan perdagangan atau sewa menyewa, atau yang lainnya, dalam Islam itu disebut dengan (namanya) Akad.

Interaksi antara dua orang dalam hal-hal yang berkaitan dengan rutinitas sering kali itu, kalau itu berkaitan dengan hak dan kewajiban, interaksi yang akan menghasilkan adanya kewajiban yang harus ditunaikan, atau hak yang harus diberikan, maka interaksi itu seringkali terjadi melalui aktivitas yang disebut dengan namanya Akad.

Demikian pula dengan pernikahan, karenanya al-Imam Abu Syuja rahimahullāh ta'āla menyatakan:

ولا يصح عقد النكاح إلا بولي وشاهدي عدل

Interaksi antara dua orang lawan jenis (laki dan wanita) yang kemudian akan menghasilkan ikatan serta adanya hak dan kewajiban yang akan ditanggung dan diberikan kepada masing-masing.

Ikatan itu yang kemudian dikenal dengan pernikahan itu menurut al-Imam Abu Syuja tidak sah (tidak bisa diakomodir) tidak bisa diterima secara tuntunan syariat. Kecuali bila memenuhi beberapa ketentuan.

Salah satunya adalah akad itu dijalin antara laki-laki (yaitu calon suami) dengan wali (yaitu orang tua si wanita atau saudaranya atau kerabatnya yang lain yang memenuhi kriteria sebagai seorang wali).

Dan ketentuan kedua adalah:

وشاهدي عدل

Kesepakatan untuk menjalin hubungan nikah tersebut disaksikan secara langsung oleh dua orang saksi yang kredibel alias dapat dipercaya. Sehingga persaksiannya dapat diterima di pengadilan bila dibutuhkan.

Hal ini berdasarkan beberapa riwayat dari Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam yang dengan tegas dan jelas mempersyaratkan adanya dua hal ini pada setiap pernikahan.

Beliau shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda:

لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ

[HR Abu Dawud 2085, At-Tirmidzi 1101]

Tidak sah suatu pernikahan kecuali bila pernikahan itu dilangsungkan oleh seorang wali. Dan wali itu tentu seperti yang akan kita bicarakan kelak, bahwa wali adalah lelaki yang terdekat, memiliki hubungan nasab dengan wanita tersebut.

Bisa jadi dia seorang ayah, bisa jadi seorang saudara, atau seorang kakek, atau seorang paman, atau seorang sepupu, sesuai dengan kondisi yang ada pada masing-masing wanita.

Dan mereka itu bisa jadi hubungannya sangat dekat misalnya; seorang ayah, seorang saudara, paman, itu sangat dekat, kakek. Atau bisa jadi (bila tidak ada) orang-orang yang memenuhi kriteria di atas, tidak ada ayah, tidak ada saudara, tidak ada paman, tidak ada kakek, maka secara bertahap dan berurutan perwalian wanita itu berpindah kepada orang terdekat selanjutnya.

Yaitu kalau memang orang terdekat itu adalah saudara sepupunya (anak paman) baik anak paman yang pamannya adalah saudara ayah atau paman tersebut adalah saudara kakeknya atau yang disebut dengan mindo (saudara sepupu dua kali).

Alias antara wanita tersebut dengan lelaki ini tidak bertemu nasab pada kakek, tetapi pada buyut, pada ayahnya kakek atau yang disebut dengan buyut. Di sebagian masyarakat disebut dengan saudara sepupu dua kali atau mindo atau yang semakna dengan itu. Kalau memang itu adalah lelaki terdekat, maka merekalah yang akan menjadi wali (berhak menjadi wali).

Dan status bagi wali tersebut tidak menghalangi ketentuan bahwa saudara sepupu itu halal untuk saling menikah. Karena mereka bukan mahram, tetapi bukan mahram bukan berarti tidak bisa menjadi wali. Kalau memang lelaki itu adalah lelaki terdekat nasabnya dengan si wanita yang akan menikah tersebut.

Dengan demikian bisa disampaikan pula bahwa bila lelaki terdekat itu adalah saudara sepupu. Tolong diperhatikan baik-baik!

Bila lelaki terdekat kepada wanita tersebut, lelaki yang memiliki hubungan nasab dengan wanita tersebut adalah seorang sepupu, maka dia bisa menjadi wali dan di saat yang sama dia bisa sebagai mempelai laki-lakinya.

Dia bisa menikahkan dirinya sendiri dengan wanita tersebut, namun tentunya dengan dipersaksikan oleh saksi (dua orang saksi) dan pernikahan tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka, tidak ada unsur paksaan. Karena memang tidak ada hak untuk memaksa.

Saudara sepupu tidak mempunyai hak, sepakat para ulama tidak ada hak bagi saudara sepupu untuk memaksa saudari sepupunya menikah dengan siapa pun yang dia tidak sukai.

Namun kalau ternyata terjadi kesepakatan maka secara tuntunan syariat sah-sah saja saudara sepupu sebagai wali karena memang dia lelaki terdekat, di saat yang sama dialah yang menikahi wanita tersebut, kalau memang mereka sepakat untuk melakukan hal itu (menjalin hubungan pernikahan).

Karena memang saudara sepupu itu bukan mahram. Sehingga tolong dipahami bahwa mahram berbeda dengan wali, mahram itu adalah lelaki yang haram untuk menikahi wanita tersebut dalam waktu yang selama-lamanya, tanpa batas waktu.

Tetapi yang namanya wali adalah lelaki terdekat yang memiliki hubungan nasab dan itu dilakukan secara berjenjang (berurutan).

Ini yang bisa kami sampaikan, kurang dan lebihnya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.