F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-27 - Hukum Nazhar (Laki-laki Memandang Wanita) - Jenis Keenam

Hukum Nazhar (Laki-laki Memandang Wanita) - Jenis Keenam


Audio ke-27

Hukum Nazhar (Laki-laki Memandang Wanita) - Jenis Keenam


بسم الله الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه اما بعد 

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kita telah berbincang-bincang tentang hukum lelaki memandang wanita. Menurut al-muallif Imam Abu Syuja lelaki memandang kepada lawan jenis itu ada tujuh kondisi: 

والسادس: النظر للشهادة أو للمعاملة فيجوز النظر إلى الوجه خاصة

Kondisi Keenam yang dibolehkan bagi seorang laki-laki untuk memandang wanita (lawan jenis) adalah: Dia memandang dalam tujuan atau dalam konteks sedang menunaikan persaksian, ingin mempersaksikan terjadinya suatu kasus atau sedang menjadi saksi dalam suatu transaksi.

Karena saksi itu idealnya berdasarkan satu data yang valid yang tidak terbantahkan, satu pengetahuan yang didasari oleh interaksi langsung baik itu dengan penglihatan, pendengaran, atau hal yang serupa lainnya. 

Makanya ketika Anda ingin menjadi saksi, idealnya (paling ideal) adalah Anda menyaksikan dua orang yang bertransaksi tersebut. Anda mengetahui bahwa itu adalah Fulanah sedang bertransaksi (jual beli) dengan Fulan atau Fulanah. Atau Anda diminta untuk menjadi saksi dalam suatu prosesi pernikahan, bahwa Fulan menikah dengan Fulanah, idealnya Anda melihat.

Agar ketika nanti dibutuhkan persaksian Anda di depan hakim, persaksian Anda dapat diterima, karena Anda betul-betul menyaksikan dan mengetahui wanita yang menjalin transaksi tersebut atau wanita yang menikah tersebut.

Ini dalam konteks persaksian di zaman dahulu, di mana zaman dahulu alat-alat bukti seperti dokumen-dokumen yang ada zaman sekarang, misalnya KTP,  Buku Nikah, Akta Kelahiran, Paspor, SIM dan yang lainnya belum ada. 

Sehingga untuk membuktikan bahwa yang dinikahkan adalah Fulanah binti Fulan itu sering kali dibutuhkan persaksian yang berdasarkan apa? penglihatan bahwa betul-betul si Fulanah.

Demikian pula ketika bertransaksi jual beli, pada zaman dahulu dibutuhkan untuk bisa melihat langsung wanita yang bertransaksi tersebut agar tidak salah persaksian kelak. 

Namun di zaman sekarang setelah terjadinya kemajuan dan perkembangan pola hidup masyarakat, bahwa semua kegiatan (aktifitas) manusia pembuktiannya tidak harus langsung dengan menyaksikan pelakunya, tapi dengan melihat dokumen-dokumennya itu lebih penting. Sehingga dokumen tanah, KTP, kemudian SIM, buku nikah, Ijazah atau yang serupa, tentu itu sudah cukup mewakili untuk bisa bersaksi di depan pengadilan.

Dan secara tradisi peradilan yang ada baik di peradilan Islam ataupun peradilan positif di negara kita. Ketika Anda betul-betul telah mengetahui dokumen-dokumen resmi tersebut maka persaksian Anda sudah cukup untuk bisa dijadikan sebagai dasar hakim untuk menentukan satu keputusan hukum kelak.

Sehingga kalau boleh dikatakan di zaman sekarang walaupun Anda bertransaksi jual beli, menikah tidak lagi harus melihat wajah wanita yang dinikahkan atau dinikahi atau wanita yang berjual beli, karena yang dibutuhkan saat ini bukan persaksian akan orangnya tetapi persaksian atas dokumen yang ditransaksikan, dijualbelikan. 

Itu yang lebih dibutuhkan pada zaman sekarang. Dan ini termasuk satu kasus hukum yang mengalami perubahan perilaku sehingga mengalami pula perubahan hukumnya. Dahulu dikatakan dalam satu kaidah ilmu fiqih:

 لا ينكر تغير الأحكام بتغيرالعَادَة

Bukan hal yang aneh, bukan hal yang perlu dirisaukan, kalau terjadi perubahan hukum seiring dengan perubahan budaya dan perubahan tradisi di masyarakat, terlebih hukum-hukum tersebut ditetapkan berdasarkan kebiasaan dan tradisi yang berlaku dalam kehidupan pada zaman dahulu di zaman Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam dan juga para ulama terdahulu.

Dengan demikian ketika terjadi perubahan pola hidup, perubahan perilaku masyarakat, perubahan tradisi, sehingga tradisi yang semula dilakukan secara turun temurun itu tidak lagi diamalkan, tidak lagi dijadikan acuan dalam berinteraksi atau  dalam menetapkan suatu hukum. 

Maka ketika terjadi perubahan tradisi dan pola hidup ini, syariat Islam mengakomodir perubahan tersebut sehingga semua hukum yang semula dikaitkan dengan tradisi-tradisi yang lama, otomatis turut berubah ketika ternyata tradisi tersebut tidak lagi diterapkan oleh masyarakat.

Tradisi itu telah ditinggalkan dan berganti dengan tradisi baru, sehingga otomatis akan mengalami perubahan hukum pula, karena tradisi yang telah menjadi acuan dalam  menetapkan hukum tersebut telah berganti.

Contoh (misalnya): Di zaman dahulu seorang Wanita itu menikah, biasanya tanggung jawab walimah adalah tanggung jawab suami sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam ketika mengetahui sahabat Jabir menikah.

Rasulullah bersabda kepada sahabat Jabir:
 أَوْلِمْ وَلَوْبِشَاةٍ
"Wahai Jabir, hendaknya engkau mengadakan acara walimah walaupun hanya dengan menyembelih satu ekor kambing."

Hadits ini dengan jelas, Nabi memerintahkan walimah kepada siapa? Kepada suami, bukan kepada istri atau walinya wanita yang dinikahkan.

Namun di banyak daerah di negeri kita, walimah itu yang mengadakan adalah keluarga wanita atau di sebagian daerah walimah itu dilakukan dua kali. Sekali di keluarga wanita dan sekali di keluarga pria. 

Maka adanya tradisi semacam ini, ketika masing-masing menjalankan tradisi yang sudah berlaku, maka ini tidak kemudian dikatakan menentang syari'at atau menyelisihi tuntunan syari'at. Tidak!

Karena perintah Nabi kepada sahabat Jabir untuk membuat walimah itu berdasarkan budaya dan tradisi yang ada di zaman dahulu (di masyarakat Arab) bahwa yang mengadakan walimah adalah pihak laki-laki karena walimah itu bagian dari nafkah. Dengan demikian tanggung jawab mengadakan walimah itu sejenis dengan tanggung jawab memberikan nafkah, memberikan sandang, memberikan papan adalah tanggung jawab suami.

Tetapi ketika ternyata ada tradisi secara turun temurun di negeri kita misalnya, bagi banyak masyarakat satu hal yang berat bagi keluarga wanita untuk serta merta melepaskan putrinya, dibawa ke keluarga pria padahal keluarga suaminya. Diakadkan kemudian dibawa pergi. Tidak! 

Bagi masyarakat itu suatu hal yang berat, karenanya mereka akan merayakan terlebih dahulu pesta pernikahan di keluarga wanita dan kemudian selang beberapa hari mereka mengadakan pesta kembali (walimah kedua) di keluarga pria, sebagai bentuk penyambutan anggota keluarga baru.

Walimah pertama sebagai bentuk penyambutan keluarga baru yaitu suami dan juga pelepasan putri mereka untuk kemudian dipersunting dinikahi dan dijadikan sebagai bagian dari anggota keluarga pria tersebut. 

Ini tradisi yang berlaku di masyarakat, sehingga terjadi perubahan hukum, maka tidak masalah. Itu semua (kedua-duanya) dianggap sebagai walimah yang masyruq, sebagai walimah yang dibolehkan sesuai dengan tuntunan syari'at. Tidak ada yang perlu dirisaukan.

Sebagaimana tatkala terjadi perubahan pola persaksian karena perilaku peradilan di negeri kita atau di berbagai negeri, sampaipun negeri-negeri Islam lebih menekankan kepada persaksian atas dokumen, karena dokumen itu sudah mewakili akan pemiliknya. Akta kelahiran, Ijazah, KTP, SIM, itu sudah dipersaksikan maka itu sama saja bersaksi atas orangnya.

Sehingga kalau telah terjadi perubahan semacam ini maka kita bisa simpulkan tidak harus lagi menyaksikan langsung orang yang mengalami atau menjalani transaksi atau pernikahan atau yang serupa, cukup bersaksi kepada apa? Dokumen-dokumen pribadi yang itu autentik. Sehingga ketika bersaksi dengan melihat langsung dokumen tersebut itu sudah sama saja melihat pemiliknya.

Dengan demikian kita bisa simpulkan kalau ingin bersaksi atau kondisi yang oleh muallif katakan kondisi keenam ini, boleh melihat lawan jenis dalam rangka bersaksi, kalau boleh dikatakan tidak lagi relevan dalam konteks kehidupan modern sekarang.

Karena tujuan untuk persaksian itu sudah bisa diwujudkan, sudah terakomodir dengan apa? Menyaksikan dokumen pribadi, karena dokumen pribadi tersebut bersifat identik betul-betul mewakili, betul-betul membuktikan pemiliknya.

Sehingga ketika saksi melihat KTP, melihat akta kelahiran, Ijazah, dan dia tahu bahwa yang dinikahkan itu misalnya Fatimah binti Muhammad, misalnya, maka itu tidak akan meleset ketika dipersaksikan di pengadilan kelak. 

Maka persaksian itu sudah bisa diterima untuk kemudian seorang hakim (qadhi) bisa menetapkan keputusan yang benar sesuai dengan fakta, tidak lagi bisa dipalsukan atau dimanipulasi.

Dengan demikian sekali lagi kesimpulannya, kondisi yang keenam ini bisa dikatakan telah berubah sehingga tidak cukup kuat untuk bisa dijadikan alasan membuka aurat, menyaksikan lawan jenis, membuka wajah untuk dipersaksikan oleh lawan jenis.

Sehingga kembali kepada hukum asal haram, hanya karena alasan bersaksi. Kenapa? Karena telah terjadi perubahan tradisi hukum. Wallahu Ta'ala A'lam 

Ini yang bisa kami sampaikan kurang dan lebihnya mohon maaf, sampai jumpa di lain kesempatan.

Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
Fiqih Nikah / Baiti Jannati WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

وبالله التوفيق و الهداية 
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.