Tulisan ini disusun oleh Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc pemilik web http://basweidan.com/ dan disebarkan oleh redaksi www muslim.or.id. Tulisan ini berisi sanggahan terhadap buku yang tersebar luas di masyarakat yang berjudul “Mana Dalilnya 1?“, buah karya Novel bin Muhammad al-Aydrus. Buku ini sangat berbahaya karena berisi berbagai macam kerancuan terutama dalam masalah aqidah. Buku sesat tersebut telah dicetak sebanyak 17 kali dalam waktu 1,5 tahun.
Tujuan redaksi memuat tulisan ini agar bisa mengatasi syubhat (kerancuan) dari buku tersebut. Semoga bermanfaat bagi pembaca.
Didalam artikel ini akan dibahas tentang Manakah Bid’ah dan Manakah Sunnah serta keharusan menjadikan Manhaj Salaf Sebagai Sumber Rujukan. Selamat Membaca..
Ini Dalilnya (1): Manakah Bid’ah dan Manakah Sunnah?
Bagian Pertama: Memahami Akar Permasalahan & Solusinya
Dalam kitabnya yang terkenal, Al Imam Al Hafizh Ibnu Rajab -rahimahullah- menjelaskan, bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai hadits-hadits yang disebut sebagai poros Islam (madaarul Islaam). Di antara pendapat yang beliau nukil di sana ialah pendapat Imam Ahmad bin Hambal[1]), Imam Ishaq ibnu Rahawaih[2]), Imam Utsman bin Sa’id Ad Darimy[3]), dan Imam Abu ‘Ubeid Al Qaasim bin Sallaam[4]) -rahimahumullah-. Akan tetapi dari sekian pendapat yang beragam tadi, semuanya sepakat bahwa hadits ‘Aisyah berikut merupakan salah satu poros Islam:
“Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami ini, yang bukan dari padanya, maka perbuatannya itu tertolak” (H.R. Bukhari no 2499 dan Muslim no 3242). Dalam riwayat Muslim lainnya (no 3243) disebutkan: “Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak berdasarkan urusan kami, maka amalan itu tertolak” (lihat hadits no 5 dalam Al Arba’in An Nawawiyyah).
Dalam penjelasannya, Ibnu Rajab -rahimahullah- mengatakan:
“Hadits ini adalah salah satu kaidah agung dalam Islam. Ia merupakan neraca untuk menimbang setiap amalan secara lahiriah, sebagaimana hadits ‘Innamal a’maalu binniyyah’ (=setiap amalan tergantung pada niatnya) adalah neraca batinnya. Jika setiap amal yang tidak diniatkan untuk mencari ridha Allah pelakunya tidak akan mendapat pahala, maka demikian pula setiap amal yang tidak berlandaskan aturan Allah dan Rasul-Nya, amal tersebut juga pasti tertolak.
Siapa pun yang mengada-adakan perkara baru dalam agama tanpa izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka hal itu bukanlah bagian dari agama sedikit pun…” kemudian lanjut beliau: “Lafazh hadits ini menunjukkan bahwa setiap amalan yang tidak berlandaskan urusan Allah & Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Sedangkan mafhum (makna yang tersirat) dari hadits ini ialah bahwa setiap amalan yang berlandaskan urusan Allah dan Rasul-Nya berarti tidak tertolak. Sedang yang dimaksud dengan ‘urusan kami’ dalam hadits ini ialah agama & syari’at-Nya.
Jadi maknanya ialah: siapa saja yang amalnya keluar dari koridor syari’at, tidak mau terikat dengan tata cara syari’at, maka amalan itu tertolak” [5]).
Sering kali ketika seseorang mendapat teguran bahwa amalan yang diperbuatnya tidak dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -alias bid’ah-; ia beralasan: “Ini kan baik, mengapa mesti dilarang…?!” ini kalau dia agak moderat dan lugu. Tapi sebagian justeru mengatakan: “Semua-semua bid’ah!… tahlilan bid’ah, shalawatan bid’ah, baca Barzanji (mberjanjen) bid’ah… mana dalilnya?”. Jawaban kedua ini memang terkesan lebih ‘ilmiah’, mengapa? Karena ia menanyakan ‘mana dalilnya’.
Akan tetapi… benarkah setiap bid’ah harus ada dalil yang melarangnya ?
Cobalah saudara renungkan pertanyaan di atas dengan seksama…
Agar lebih mudah memahaminya, kami akan membuat sebuah contoh ringan;
Sebagian orang mengatakan bahwa mengadakan majelis dzikir berjama’ah bukanlah suatu bid’ah, karena tidak ada dalil yang melarang kita melakukan hal tersebut. Demikian pula dengan tahlilan, ngalap berkah, tawassul dengan Nabi/orang shalih, shalawatan, istighatsah dengan orang mati, dsb…
Bagaimana menurut anda jika pertanyaannya kami balik menjadi: Adakah dalil yang menyuruh kita mengadakan majelis dzikir berjama’ah, tahlilan, ngalap berkah, dll… ? Kami yakin, sebagai orang yang obyektif tentu saudara akan menjawab: “tidak ada”, selama yang dicari ialah dalil yang shahih dan sharih. Artinya dalil tersebut bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya, yakni berupa Al Qur’an atau hadits shahih, dan maknanya jelas berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas. Dengan kata lain, dalil tersebut menjelaskan secara rinci bagaimana pelaksanaan majelis dzikir berjamaah, tahlilan dan shalawatan tadi [6]).
Bagaimana jika ada orang yang melaksanakan shalat subuh empat roka’at umpamanya, dengan alasan bahwa waktu subuh adalah waktu senggang yang sangat tepat untuk banyak beribadah… suasananya pun cukup hening, hingga apabila seseorang menambah shalatnya menjadi empat roka’at pun tetap terasa khusyu’. . . lagi pula kan tidak ada dalil yang melarang kita untuk itu?! Pasti saudara akan mengingkari pemikiran seperti ini dan menghukuminya sebagai bid’ah dholaalah (bid’ah yang sesat), mengapa? Jawabnya: karena ibadah bukanlah sesuatu yang bebas dilakukan semaunya, tapi wajib ikut ‘aturan main’ dari Allah dan Rasul-Nya.
Kalaulah kita sepakat bahwa shalat adalah ibadah yang tidak boleh dilakukan sembarangan, mestinya kita bersikap konsekuen terhadap ibadah-ibadah lainnya. Tentunya setelah kita mengetahui apa itu definisi ibadah yang sesungguhnya [7]).
Namun biasanya analogi (penalaran) seperti ini akan ditolak mentah-mentah oleh sebagian orang. “Kalau shalat subuh empat roka’at itu jelas bid’ah dholalah. Tapi kalau dzikir bersama, tahlilan, tawassul, shalawatan, dsb hukumnya lain. Ini adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang baik). Ini semua baik dan mengandung manfaat. lagi pula kita kan diperintahkan untuk banyak berdzikir, membaca Al Qur’an, bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan seterusnya…?!” begitu sanggah mereka.
Sebagian yang agak pintar mungkin berdalih: “Bukankah tahlil, takbir, tahmid, tasbih, membaca shalawat, dsb itu merupakan dzikir yang dianjurkan? Bukankah itu semua merupakan amal shaleh? Mengapa saudara membid’ahkan-nya…? Mana dalilnya…?
Dan masih segudang lagi alasan yang mungkin mereka utarakan demi meligitimasi praktik-praktik bid’ah tersebut. Ya… kami katakan bahwa itu semua adalah bid’ah khurafat yang dilekatkan pada ajaran Islam, namun Islam berlepas diri dari padanya meskipun ia dipandang baik oleh kebanyakan manusia.
Lantas, bagaimana solusinya…?
Untuk mendudukkan masalah ini, kita harus menetapkan suatu standar baku dalam menilai mana bid’ah dan mana sunnah… Mana yang baik dan bermanfaat, dan mana yang sesat dan penuh khurafat… alias standar untuk menilai mana yang haq dan mana yang batil.
Kami mengajak para pembaca yang budiman untuk menyatukan pedoman dalam hal ini, yaitu Al Qur’an, As Sunnah (hadits shahih), dan Ijma’. Kami yakin bahwa pembaca sekalian tidak akan keberatan dalam menerima ketiga sumber hukum di atas sebagai pedoman kita dalam menetapkan dan menerapkan suatu ibadah, atau sebagai rujukan ketika ada perselisihan.
Sekarang kita telah sepakat bahwa rujukan kita adalah Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’. Tapi bukankah semua golongan yang saling bertikai menyatakan bahwa rujukan mereka adalah Al Qur’an dan Sunnah? Lantas mengapa mereka masih bertikai juga? Pasti ada yang tidak beres…
Benar, mereka berbeda pendapat dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karenanya mereka pun tetap berselisih. Selama Al Qur’an dan Sunnah masih difahami menurut akal dan selera masing-masing, maka mencari titik temu melaluinya ibarat menegakkan benang basah, alias perbuatan yang sia-sia !!
Karenanya, kita harus terlebih dahulu menyepakati pemahaman yang akan kita jadikan acuan dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah. Kami akan menawarkan kepada pembaca yang budiman, sebuah manhaj (metodologi) dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah. Manhaj ini bukanlah hasil rumusan kami atau golongan tertentu… namun ia adalah manhaj rabbani yang Allah gariskan dalam Kitab-Nya. Sebuah manhaj yang telah diridhai-Nya dan telah sukses dipraktikkan oleh generasi terbaik umat ini. Manhaj yang menghantarkan mereka ke puncak kejayaan dunia dan akhirat.
….Ya, itulah manhaj salafus shaleh, leluhur kita yang mulia…
Kami akan menjelaskan kepada saudara bahwa manhaj ini adalah manhaj terbaik dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah secara benar; dan tentunya berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan Sunnah. Namun pertama-tama, bukalah fikiran dan hati sanubari kita terlebih dahulu… tepislah semua bentuk subyektivitas yang akan menghambat kita untuk menerima kebenaran dari pihak lain. Marilah sejenak kita memanjatkan do’a kepada Allah Ta’ala agar Ia menunjukkan kebenaran kepada kita…
“Ya Allah, tampakkanlah yang haq sebagai al haq bagi kami, dan jadikanlah kami orang yang mengikutinya. Tampakkan pula yang batil itu sebagai kebatilan bagi kami, dan jadikanlah kami orang yang menjauhinya.”
“Ya Allah, Rabbnya Jibril, Mikail, dan Israfil. Pencipta langit dan bumi. Dzat yang mengetahui yang ghaib maupun yang nampak. Engkaulah yang memutuskan perselisihan di antara hamba-Mu. Tunjukkanlah bagiku kebenaran dalam perselisihan mereka atas seizin-Mu. Sesungguhnya Engkau berkenan menunjukkan siapa pun yang Kau kehendaki pada jalan yang lurus” (H.R. Muslim).
Ini Dalilnya (2): Jadikan Manhaj Salaf Sebagai Rujukan
Kata ‘salaf’ secara bahasa berarti sesuatu yang telah lampau. Berikut ini kami nukilkan definisi ‘salaf’ dari beberapa kamus bahasa Arab yang kredibel [8]) ;
Ibnul Atsir -rahimahullah- mengatakan:
“Salaf seseorang juga diartikan sebagai siapa saja yang mendahuluinya (meninggal lebih dahulu), baik dari nenek moyang maupun sanak kerabatnya. Karenanya, generasi pertama dari kalangan tabi’in dinamakan As Salafus Shaleh” [9])
Perhatikanlah firman-firman Allah berikut (yang artinya):
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau…” (Q.S. An Nisa’:22).
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu :”Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu” (Q.S. Al Anfal:38).
Jadi, ‘Salaf ’ artinya mereka yang telah berlalu. Sedangkan kata ‘shaleh’ artinya baik. Maka ‘As Salafus Shaleh’ maknanya secara bahasa ialah setiap orang baik yang telah mendahului kita. Sedangkan secara istilah, maknanya ialah tiga generasi pertama dari umat ini, yang meliputi para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Dalam kitab Al Wajiez fi ‘Aqidatis Salafis Shalih Ahlissunnah wal Jama’ah, Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsary mengatakan sebagai berikut:
Secara istilah; kata ‘salaf’ jika disebutkan secara mutlak (tanpa embel-embel) oleh ulama aqidah, maka definisi mereka semuanya berkisar pada para sahabat; atau sahabat dan tabi’in; atau sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dari generasi-generasi terbaik. Termasuk diantaranya para Imam yang terkenal dan diakui keimaman dan keutamaannya serta keteguhan mereka dalam mengikuti sunnah, menjauhi bid’ah, dan memperingatkan orang dari padanya. Demikian pula orang-orang (lainnya) yang telah disepakati akan keimaman dan jasa besar mereka dalam agama. Karenanya, generasi pertama dari umat ini dinamakan As Salafus Shalih (Al Wajiez hal 15).
Demikian pula yang dinyatakan oleh Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafy dalam kitabnya ‘Syarh Aqidah At Thahawiyah’:
“…Ini adalah pendapat para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Dan mereka lah As Salafus Shaleh…” [10]).
Kalau saudara bertanya: Mana dalilnya yang mengharuskan kita mengikuti pemahaman mereka? Maka kami jawab, ini dalilnya;
1. Dari Al Qur’anul Kariem:
Ayat Pertama
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (QS. 4:115).
Penjelasannya:
Cobalah anda renungkan kalimat yang bercetak tebal di atas. Bukankah Allah telah menyatakan bahwa diantara sebab tersesatnya seseorang ialah karena ia mengikuti jalan yang lain dari jalan orang-orang beriman (ghaira sabilil mu’minin)? Pertanyaannya; siapakah orang-orang beriman yang dimaksud oleh ayat ini? Jelas bahwa orang-orang yang pertama kali masuk dalam kategori ayat ini ialah mereka yang telah beriman saat ayat ini diturunkan… mereka lah para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Karenanya Imam Syafi’i berdalil dengan ayat ini bahwa ijma’nya para sahabat adalah hujjah (dalil), dan barangsiapa menyelisihi ijma’ mereka berarti termasuk orang-orang yang terancam oleh ayat di atas [11]).
Ayat Kedua
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya; dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar (QS. 9:100).
Penjelasannya:
Dalam ayat ini sangat jelas bahwa Allah telah meridhai para sahabat dari kalangan muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Mereka semua (muhajirin & anshar) telah dijamin surga oleh-Nya. Lantas mengapa kita mencari teladan selain mereka yang belum tentu masuk surga dan selamat dari neraka?? Padahal di hadapan kita telah terbentang jalan yang terang benderang menuju Surga dan keridhaan Allah… Jalan manakah yang lebih baik dari jalan mereka…?!
Masihkah kita meyakini bahwa ada golongan lain yang lebih rajin beribadah, dan lebih bertakwa dari mereka? Mungkinkah kita akan mendapati sebuah amal shaleh yang belum mereka ketahui? Patutkah kita mencurigai atau menyangsikan keseriusan mereka dalam mengamalkan setiap yang baik…? Ataukah semestinya kita mencurigai siapa pun yang datang setelah mereka, bila ia mengada-adakan suatu praktik ibadah yang belum pernah mereka lakukan… Bagaimana menurut pembaca?
Ayat Ketiga:
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (QS. 9:119)
Ayat Keempat:
Bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. 59: 8-9).
Penjelasan ayat ketiga dan keempat:
Dalam dua ayat ini Allah memerintahkan semua orang yang beriman agar bersama dengan orang-orang yang benar (ash shaadiquun), kemudian Dia menjelaskan bahwa orang-orang yang benar tersebut ialah para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Sedang dalam kaidah ushul fiqih, setiap perintah itu hukumnya wajib hingga ada dalil lain yang menggesernya menjadi mustahab (sunnah) atau mubah, dan dalil tersebut tidak ada. Kesimpulannya, kita wajib mengikuti jalan mereka.
Ayat Kelima:
Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. 2:137).
Penjelasan ayat kelima:
Konteks ayat ini selengkapnya merupakan bantahan terhadap klaim orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengatakan bahwa barangsiapa mengikuti mereka niscaya akan mendapat petunjuk (ayat 135). Maka Allah membantah klaim mereka tersebut, kemudian memerintahkan mereka untuk mengatakan: kami beriman kepada Allah, beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami,…. dan seterusnya (ayat 136). Kemudian Allah menentukan hakikat keimanan tadi; Jika mereka beriman dengan apa yang kalian beriman dengannya[12]), maka mereka telah mendapat petunjuk. Yang dimaksud dengan kata ‘kalian’ di sini ialah para sahabat.
Jadi, jelas sekali bahwa jalan satu-satunya untuk mendapatkan petunjuk ialah dengan mengikuti manhaj para salaf, terutama generasi sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Ayat Keenam:
Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu’min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat taqwa dan adalah mereka lebih berhak dengan kalimat taqwa itu dan merekalah ahlinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. 48:26).
Penjelasan ayat keenam:
Ayat ini menyingkap bagi kita akan arti taqwa yang sesungguhnya, sekaligus menjelaskan bahwa para sahabatlah yang paling bertaqwa. Perhatikanlah ayat di atas bahwa yang memberi “stempel ahli taqwa” bukanlah manusia, jin, ataupun makhluk lainnya… tetapi Pencipta alam semesta; Allah Ta’ala.
Namun sayangnya, masih banyak orang yang berat menerima pengertian ini. Mereka merasa ada banyak cara untuk bertakwa kepada Allah yang terluputkan oleh para sahabat.
2. Dalil dari As Sunnah
Berikut ini beberapa hadits yang menjadi landasan dalam bermanhaj salafus shaleh;
Dari Abdullah (ibnu Mas’ud) radhiyallahu ‘anhu, katanya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik manusia ialah mereka yang hidup di zamanku, kemudian yang datang setelah mereka, kemudian yang datang setelahnya lagi…” (H.R. Bukhari no 2652,3651,6429; dan Muslim no 2533).
Dari Abdurrahman bin Abdi Rabbil Ka’bah katanya: Sewaktu aku masuk ke masjidil haram, kudapati Abdullah bin Amru bin Ash sedang duduk berteduh di bawah ka’bah, sedangkan di sekelilingnya ada orang-orang yang berkumpul mendengarkan ceritanya. Lalu aku ikut duduk di majelis itu dan kudengar ia mengatakan: “Pernah suatu ketika kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu safar. Ketika kami singgah di sebuah tempat, diantara kami ada yang sibuk membenahi kemahnya, ada pula yang bermain panah, dan ada yang sibuk mengurus hewan gembalaannya. Tiba-tiba penyeru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru lantang: “Ayo… mari shalat berjamaah!!” maka segeralah kami berkumpul di tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya tak ada seorang Nabi pun sebelumku, melainkan wajib baginya untuk menunjukkan umatnya akan setiap kebaikan yang ia ketahui; dan memperingatkan mereka dari setiap kejahatan yang ia ketahui. Sesungguhnya umat kalian ini ialah umat yang keselamatannya ada pada generasi awalnya; sedangkan generasi akhirnya akan mengalami bala’ dan berbagai hal yang kalian ingkari… al hadits” (H.R. Muslim no 1844).
Kami rasa dua hadits di atas cukup jelas maknanya bagi para pembaca. Jadi, jelaslah bahwa generasi awal (As Salafus Shaleh) dari umat ini, ialah generasi terbaik yang terpelihara dari fitnah-fitnah besar yang menimpa umat ini di kemudian hari. Maka wajar jika manhaj mereka yang paling dekat kepada kebenaran, dan paling terjaga dari penyimpangan. Kemudian disusul oleh generasi kedua dan ketiga.
Berangkat dari sini, maka setiap praktik ibadah yang muncul sepeninggal mereka harus kita waspadai. Janganlah terkecoh dengan banyaknya pengikut, karena jumlah yang banyak bukanlah jaminan sebuah kebenaran.
3. Mutiara Hikmah As Salafus Shaleh
Sebagai pelengkap, berikut ini adalah wasiat-wasiat berharga dari para salaf yang lebih memperjelas akan pentingnya ittiba’ (mengikuti) dan bahayanya ibtida’ (membuat bid’ah). Sebagian besar mutiara hikmah ini kami nukil dari kitab Al Wajiez fi Aqidatis Salafis Shaleh Ahlissunnah wal Jama’ah, oleh syaikh Abdullah bin Abdil Hamid Al Atsary -hafidhahullah- jilid 1 hal 153-160.
Hudzaifah ibnul Yaman :
“Setiap ibadah yang tidak pernah diamalkan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, janganlah kalian beribadah dengannya. Karena generasi pertama tak menyisakan komentar bagi yang belakangan. Maka takutlah kepada Allah wahai orang yang gemar beribadah, dan ikutilah jalan orang-orang sebelummu” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah).
Abdullah bin Mas’ud:
“Siapa yang ingin mengikuti ajaran tertentu, hendaklah ia mengikuti ajaran orang yang telah wafat, yaitu para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ialah sebaik-baik umat ini. Hati mereka paling baik, ilmu mereka paling dalam, dan mereka paling tidak suka berlebihan (takalluf) dalam beragama. Merekalah kaum yang dipilih Allah untuk menjadi pendamping Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menyampaikan dien-Nya. Maka tirulah akhlak dan tingkah laku mereka, karena mereka selalu berada di atas petunjuk yang lurus” (Diriwayatkan oleh Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah).
Beliau juga mengatakan:
“Ikutilah dan jangan berbuat bid’ah, karena kalian telah dicukupi. Hendaklah kalian berpegang teguh dengan perkara yang terdahulu” (Diriwayatkan oleh Ad Darimi dalam Sunan-nya).
Umar ibnul Khatthab:
Dari ‘Aabis bin Rabi’ah, katanya: Aku melihat ‘Umar ibnul Khatthab shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Hajar Aswad seraya berkata: “Aku tahu pasti, bahwa engkau hanyalah sebuah batu yang tak dapat memberi madharat maupun manfaat. Kalaulah bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, kau tak akan kucium!” (Muttafaq ‘Alaih)[13]).
Dari Abul ‘Ala’ bin Abdillah bin Syikhkhir, katanya: “Ada seseorang bersin di samping Umar bin Khatthab t, lalu mengucapkan: “Assalaamu ‘alaika…”, maka sahut ‘Umar: “Alaika wa ‘ala ummik…! Apa kalian tidak tahu apa yang musti diucapkan ketika bersin? Kalau kalian bersin hendaknya mengucapkan: “Alhamdulillah”, sedang yang mendengar mengucapkan: “Yarhamukallaah” lalu yang bersin membalas: “Yaghfirullaahu lakum” (H.R. Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya, dan Al Baihaqy dalam Syu’abul Iman).
Hadits yang senada juga diriwayatkan dari sahabat Salim bin ‘Ubeid:
Bahwa ketika beliau bersama rombongannya dalam sebuah safar, ada seseorang yang bersin lantas mengucap: “Assalaamu ‘alaikum!”, maka sahut Salim: “Alaika wa ‘ala ummik [14]” –dalam riwayat Ath Thahawy ditambahkan: “Apa hubungannya antara salam dengan orang bersin?”– Kemudian Salim berkata lagi: “Nampaknya kau tersinggung dengan ucapanku barusan…?” jawabnya: “Ya… andai saja kau tak menyebut-nyebut ibuku tadi…” lalu kata Salim: “Aku tak mengucapkan lebih dari yang diucapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam … suatu ketika kami sedang bersama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala ada orang yang bersin dan mengucapkan: “Assalaamu ‘alaikum..” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Alaika wa ‘ala ummik…” lalu lanjutnya: “Kalau kalian bersin hendaklah mengucapkan: “Alhamdulillah” atau “Alhamdulillahi ‘ala kulli haal” atau: “Alhamdulillahi rabbil ‘alamien” (H.R. Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, dan Ath Thahawy).
Abdullah bin Umar:
“Semua bid’ah adalah kesesatan, meski orang-orang menilainya baik (bid’ah hasanah)” (Diriwayatkan oleh Al Laalaka-i dalam Syarh Ushulil I’tiqad) [15]).
Ketika ada seseorang yang mengatakan kepada Abdullah bin ‘Umar : “Sesungguhnya ayahmu (Umar bin Khatthab) melarang hal itu”. Ibnu Umar balik bertanya: “Perintah siapakah yang lebih berhak untuk ditaati, perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau perintah ayahku??” (Zaadul Ma’aad 2/178).
Ibnu Umar memang terkenal sebagai sahabat yang paling ittiba’ kepada sunnah dan anti bid’ah. Imam At Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunan-nya:
Dari Nafi’ katanya; ada seseorang yang bersin di samping Ibnu Umar lantas mengatakan: Alhamdulillah was salaamu ‘ala Rasuulillaah! Maka Ibnu ‘Umar mengatakan: “Aku pun mengatakan: Alhamdulillah was salaamu ‘ala Rasuulillaah, tapi bukan begitu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada kami (ketika bersin). Beliau mengajarkan kami agar mengucapkan Alhamdulillaahi ‘ala kulli haal” [16]).
Abdullah bin ‘Abbas :
Beliau mengatakan kepada orang yang menolak Sunnah Nabi dengan perkataan Abu Bakar dan Umar: “Hampir saja hujan batu menimpa kalian…!! Kukatakan bahwa: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda begini dan begitu…” namun kalian malah mengatakan: “Abu Bakar dan Umar mengatakan begini dan begitu…!!” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq Ash Shan’ani dalam Mushannaf-nya dengan sanad shahih) [17]).
Mu’adz bin Jabal
Dirwayatkan dari Yazid bin ‘Umairah -salah seorang sahabat Mu’adz– bahwa Mu’adz bin Jabal dalam setiap majelisnya selalu mengatakan: “Allah itu bijaksana dan Maha Adil. Celakalah orang-orang yang ragu…”. Kemudian pada suatu hari Mu’adz mengatakan: “Sesungguhnya di belakang kalian akan ada fitnah yang banyak…. Saat itu harta melimpah ruah, Al Qur’an dibaca beramai-ramai oleh orang mu’min maupun munafik, wanita maupun anak-anak, dan hamba sahaya maupun orang merdeka… sampai-sampai ada yang mengatakan: “Mengapa orang-orang tak mau mengikutiku, padahal aku telah membaca Al Qur’an? Sungguh, mereka memang tidak mau mengikutiku sampai aku membikin bid’ah yang lain bagi mereka…”. Maka waspadalah kalian dari bid’ah yang diperbuatnya, karena setiap bid’ah itu sesat. Dan waspadalah kalian dari kesesatan orang bijak… karena Syaithan kadang menyampaikan kesesatan melalui lisan si Bijak; dan kadang si Munafik mengatakan yang haq”. Maka tanyaku: “Semoga Allah merahmatimu… lantas bagaimana aku tahu bahwa si Bijak menyampaikan kesesatan, dan si Munafik berkata benar?” “Bisa…” jawab Mu’adz. “Yaitu ketika si Bijak mengatakan sesuatu yang jelas-jelas batil; hingga kamu mengatakan: “Omongan apa ini !?” Namun jangan sampai hal itu menjauhkanmu darinya; karena boleh jadi ia segera bertaubat dan kembali kepada kebenaran… Maka terimalah al haq begitu kamu mendengarnya, karena dalam al haq itu terdapat cahaya” [18]).
Makna kesesatan orang bijak (زيغة الحكيم), sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab ‘Aunul Ma’bud ialah:
(Yaitu) menyimpangnya seorang ‘alim dari al haq. Jadi maksud ucapan Mu’adz ialah: “Kuperingatkan kalian akan penyimpangan, kekeliruan dan pernyataan yang tidak benar, yang muncul dari lisan para ‘ulama; jangan sampai kalian mengikutinya” (‘Aunul Ma’bud, lihat pada syarah hadits di atas).
Abdullah bin Mas’ud
“Waspadailah setiap yang baru (dalam agama), karena sejelek-jelek perkara ialah perkara yang diada-adakan dalam agama, dan setiap bid’ah itu sesat” (I’laamul Muwaqqi’in 2/428).
Sufyan Ats Tsaury -rahimahullah-
“Bid’ah itu lebih disukai oleh Iblis dari pada kemaksiatan. Dosa maksiat masih ada harapan taubat, tapi dosa bid’ah tidak ada harapan taubat” [19]) (Diriwayatkan oleh Al Baghawy dalam Syarhus Sunnah).
Abdullah ibnul Mubarak -rahimahullah-
“Saudaraku, ketahuilah bahwa kematian hari ini adalah karamah (kemuliaan) bagi setiap muslim yang menghadap Allah di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita semua adalah milik Allah, dan kita semua akan kembali kepada-Nya. Kepada Allah lah kita mengadukan kesendirian kita, mangkatnya saudara kita, sedikitnya penolong kita, dan kemunculan bid’ah di mana-mana. Kepada-Nya jua kita mengeluh akan besarnya musibah yang menimpa umat ini, karena mangkatnya para ulama dan pengikut sunnah, serta munculnya berbagai bid’ah” (Al Bida’u wan Nahyu ‘Anha oleh Ibnu Wadhdhah).
Al Fudhail bin ‘Iyadh -rahimahullah-
“Ikutilah jalan-jalan petunjuk, dan janganlah risau dengan sedikitnya pengikut. Tapi waspadailah jalan-jalan kesesatan, dan janganlah terkecoh dengan banyaknya orang celaka” (Al I’tisham).
Amirul Mukminin Umar bin ‘Abdul ‘Aziez -rahimahullah-
“Berhentilah saat mereka (para salaf) berhenti. Karena mereka berhenti berdasarkan ilmu. Mereka menahan diri setelah berpikir jeli. Padahal merekalah yang lebih mampu untuk menyingkap setiap masalah, dan lebih gencar tuk mengejar setiap fadhilah. Kalau kalian berkata: “Banyak hal baru (dalam agama) yang muncul setelah mereka…” ingatlah, bahwa hal tersebut tidak dimunculkan kecuali oleh mereka yang menyelisihi pentunjuk salaf, dan menolak ajaran mereka. Para salaf telah menjelaskan agama segamblang-gamblangnya, dan menerangkannya sejelas mungkin. Siapa yang mendahului mereka akan menyesal, dan siapa yang berada di bawah mereka berarti pemalas. Sungguh, orang-orang yang berada dibawah mereka akhirnya gagal, namun yang ingin mengungguli mereka justru melampaui batas, sedangkan mereka (para salaf) tetap berada di antara keduanya, di atas jalan yang lurus” (disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Lum’atul I’tiqad).
Al Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullah-
Imam Ahmad, Imam Ahlussunnah wal jama’ah mengatakan: Pokok-pokok aqidah [20]) menurut kami ialah berpegang teguh dengan apa yang dipraktikkan oleh sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meneladani mereka, dan meninggalkan bid’ah. Karena setiap yang bid’ah berarti kesesatan” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah, oleh Imam Al Laalaka-i).
Imam Malik bin Anas –rahimahullah–
“Barangsiapa melakukan bid’ah dalam Islam yang ia pandang sebagai bid’ah hasanah, berarti ia mengatakan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati kerasulan beliau. Sebab Allah Ta’ala berfirman: “Pada hari ini telah kusempurnakan bagi kalian agama kalian…” (Al Ma’idah: 3). Karenanya, apa pun yang hari itu tidak dianggap sebagai ajaran agama, maka hari ini pun bukan termasuk ajaran agama. (Al I’tisham bil Kitab was Sunnah, oleh Imam Asy Syathiby).
Kemudian Imam Malik meletakkan sebuah kaidah agung, yang merupakan intisari dari perkataan para ulama yang tadi kita sebutkan:
“Generasi terakhir umat ini tak akan menjadi baik (shaleh), kecuali dengan apa-apa yang menjadikan generasi pertamanya baik. Karenanya, apa pun yang pada hari itu –saat turunnya surat Al Ma’idah ayat 3– tidak dianggap sebagai agama, maka hari ini pun juga bukan bagian dari agama” (Asy Syifa fi Huquuqil Musthofa 2/88, oleh Al Qadhi ‘Iyadh).
Kami rasa, nukilan-nukilan di atas cukup gamblang dalam menggambarkan manhaj salaf yang menjadi tolok ukur kita dalam menilai mana bid’ah mana sunnah, dan mana haq mana batil.
-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel www.muslim.or.id
[1]) Beliau ialah Al Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal Asy Syaibany Al Baghdady. Imam Ahlussunnah wal Jama’ah, seorang ‘alim dan ahli zuhud panutan. Beliau lahir di bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 H. Beliau salah satu sahabat dekat dan murid kesayangan Imam Syafi’i. Ahmad senantiasa melazimi gurunya yang satu ini hingga ia (Imam Syafi’i) pindah ke Mesir. Imam Syafi’i berkata: “Tak pernah kutinggalkan seorang pun di Baghdad yang lebih bertakwa dan faqieh (pandai) dari Ahmad bin Hambal”. Kitab beliau yang bernama Al Musnad adalah kitab hadits terbesar yang sampai kepada kita, memuat sekitar 30 ribu hadits. Beliau lah satu-satunya ulama yang tetap tegar menolak kemakhlukan Al Qur’an meski disiksa sedemikian rupa, hingga karenanya ia dijuluki Imam Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau wafat pada hari Jum’at 12 Rabi’ul Awwal tahun 241 H, rahimahullahu rahmatan waasi’an. (lihat: Wafayaatul A’yaan 1/63-64 & Tadzkiratul Huffazh 2/431-432)
[2]) Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad Al Handhaly Al Marwazy. Imam dan ulama Ahlussunnah wal jama’ah. Terkumpul padanya ilmu hadits, fiqih, hafalan kuat, kejujuran, sikap wara’ dan zuhud. Beliau mengembara ke Irak, Hijaz, Yaman, Syam, dan kembali ke Khurasan dan wafat di Nishapur. Beliau termasuk salah satu sahabat Imam Ahmad dan guru besar Imam Bukhari. Lahir pada tahun 161 H. Ibnu Khuzaimah berkata: “Demi Allah, seandainya beliau hidup di zaman tabi’in, pastilah mereka mengakui kekuatan hafalan, kedalaman ilmu, dan pemahamannya”. Abu Dawud Al Khoffaf berkata; aku mendengar Ishaq berkata: “Seakan-akan aku melihat 100 ribu hadits dalam kitabku, 30 ribu diantaranya dapat kubaca dengan lancar”. Beliau wafat pada tahun 237 atau 238 H, rahimahullah. (lihat Tahdziebut Tahdzieb, Siyar A’laamin Nubala’, dan Tahdziebul Kamal)
[3]) Beliau ialah Al Imam Al ‘Allaamah Al Hafizh, Abu Sa’id Utsman bin Sa’id bin Khalid bin Sa’id Ad Darimy At Tamimi. Lahir sebelum tahun 200H. Beliau menimba ilmu hadits dari Ali ibnul Madiny, Yahya ibnu Ma’in, dan Ahmad bin Hambal -rahimahumullah,- hingga mengungguli orang-orang di zamannya. Beliau adalah orang yang gigih memegang Sunnah, dan ahli dalam berdebat. Beliau menulis sebuah kitab yang membantah kesesatan Bisyr Al Marrisi (salah seorang tokoh Jahmiyyah), dan kitab Musnad. Beliau wafat pada bulan Dzul Hijjah tahun 280 H (As Siyar, 2/2651-2653).
[4]) Beliau ialah Al Imam Al Hafizh Abu ‘Ubeid, Al Qasim bin Sallam bin Abdillah. Lahir tahun 157 H. berguru kepada Abdullah ibnul Mubarak, Waki’, Ibnu Mahdy, Yahya Al Qatthan dan lainnya. Karnya cukup banyak, diantaranya: Gharibul Hadits, Al Amtsal, Gharibul Mushannaf, Al Amwal, Fadha-ilul Qur’an, Ath Thuhur, dan lain-lainnya. Beliau ahli dalam berbagai disiplin ilmu, seperti hadits, qiraat, fiqih, dan sastera Arab. Ibnul Anbary berkata: “Abu Ubeid konon membagi malam jadi tiga; sepertiga untuk shalat, sepertiga untuk tidur, dan sisanya untuk menyusun kitab”. Ishaq ibnu Rahawaih berkata: “Abu ‘Ubeid lebih luas ilmunya dari kita, lebih mulia perangainya, dan lebih banyak menyusun kitab. Kita membutuhkan dirinya, namun dia tidak butuh kepada kita”. Beliau wafat tahun 224 H (As Siyar 2/3057-3060).
[5]) Jaami’ul ‘Uluumi wal hikam hal 73-74, oleh Ibnu Rajab Al Hambaly. cet. Daarut Tauzi’ wan Nasyril Islamiyyah.
[6]) Konsekuensinya, jika dalil tersebut tidak shahih maka tidak sah dijadikan pegangan. Atau jika dalil tersebut shahih namun petunjuknya bersifat umum –seperti yang disebutkan oleh Novel dalam banyak contohnya–, maka ia juga tidak bisa dijadikan pegangan. Sebab menetapkan ibadah dengan tata cara tertentu, tempat tertentu atau waktu tertentu adalah urusan Allah dan Rasul-Nya. Jika ibadah tersebut diperintahkan untuk dilakukan secara bebas ya kita tidak boleh membatasinya dengan bilangan, waktu dan tata cara tertentu. Sebaliknya jika ibadah tersebut diperintahkan dengan tata cara tertentu ya kita harus terikat dengan tata cara tersebut.
[7]) Definisi ibadah yang paling universal ialah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
Ibadah ialah nama untuk setiap apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang nampak maupun tersembunyi. (Kitab Al ‘Ubudiyyah, hal 38)
[8]) Sengaja kami menyebutnya dengan kamus bahasa Arab yang kredibel, agar kita tidak sembarangan menukil makna suatu kalimat. Seperti yang dilakukan oleh Novel ketika mendefinisikan bid’ah dengan menukil dari kamus Al Munjid (Mana Dalilnya 1, hal 13). Padahal kamus ini ditulis oleh seorang pendeta katholik sekte Yesuit yang bernama Louis Ma’louf!! Lantas bagaimana kita hendak mempercayai tulisannya kalau narasumbernya saja seperti ini, laa haula walaa quwwata illa billaah…
[9]) An Nihayah fi Ghariebil Hadits wal Atsar, 2/981. Definisi yang sama juga dinyatakan oleh Ibnu Mandhur dalam Lisaanul ‘Arab 9/158, dan As Sayyid Muhammad Murtadha Az Zabidy dalam Taajul ‘Aruus (kamus Arab terbesar & terlengkap dalam sejarah, terdiri dari 35 jilid) lihat dalam bab Fa’ (ف), kata ‘sa-la-fa (سلف)’.
[10]) hal 146 dengan tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, cet. Wizarah Syu’un Islamiyyah wal Auqaf, Saudi Arabia.
[11]) Lihat kitab Al Ihkaam fi Ushuulil Ahkaam, 1/200 tulisan As Saif Al Aamidy cet. Al Maktabul Islamy. Demikian pula dalam Al Mankhul min Ta’lieqaatil Ushuul, 1/401 tulisan Al Ghazali, cet. Daarul Fikr.
[12]) Begini menurut versi terjemahan Depag, akan tetapi dalam Tafsir Al Baghawy disebutkan makna lainnya yang lebih jelas, seperti: jika mereka (ahli kitab) beriman dengan iman kalian, mentauhidkan Allah dengan tauhid kalian, berarti mereka telah mendapat petunjuk”.
Sedang dalam Tafsir Ibnu ‘Arafah disebutkan:
“Jika mereka beriman dengan menempuh sebab-sebab yang telah menghantarkan kalian kepada Iman (yang sesungguhnya), berarti mereka telah mendapat petunjuk”.
[13] H.R. Bukhari dalam Shahih-nya, no 1597; dan Muslim dalam Shahih-nya, no 1270 dari sahabat Ibnu ‘Umar.
[14]) Artinya: “(salam sejahtera) atasmu dan atas ibumu”.
[15]) Riwayat ini menjelaskan bahwa para salaf menolak adanya bid’ah yang baik dalam agama.
[16]) Riwayat ini dinyatakan gharieb oleh At Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak 18/56; dinyatakan jayyid (hasan) menurut Ibnu Muflih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilatu Al Ahaadiets Adh Dha’iefah no 891. Dalam komentarnya Syaikh Al Albani mengatakan: “Lihatlah, bagaimana Ibnu ‘Umar mengingkari penempatan shalawat (salam) kepada Nabi disamping hamdalah dengan dalih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak pernah melakukan yang demikian itu; padahal beliau menyatakan bahwa dirinya sendiri mengucap hamdalah dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seakan beliau hendak menolak anggapan yang mungkin muncul di benak sebagian orang, bahwa beliau mengingkari ucapan shalawat (salam) secara mutlak. Persis sebagaimana anggapan sebagian orang jahil ketika menyaksikan para pembela Sunnah mengingkari bid’ah-bid’ah semacam ini, orang-orang jahil itu menuduh mereka mengingkari shalawat atas Nabi… semoga Allah memberi hidayah kepada mereka! (idem, 2/390).
[17]) Mengomentari jawaban Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar diatas, Al Imam Al Hafizh Ibnul Qayyim berkata: “Begitulah cara ulama menjawab. Tidak seperti jawaban orang yang mengatakan bahwa ‘Utsman dan Abu Dzar -umpamanya- lebih tahu mengenai Rasulullah dari pada kita… Mengapa Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar tidak mengatakan: “Abu Bakar dan Umar lebih tahu mengenai Rasulullah dari pada kami”…? Demikian pula tak seorang pun dari sahabat atau tabi’in yang rela dengan jawaban seperti ini sebagai alasan untuk menolak sebuah nash dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itu karena mereka lebih tahu mengenai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan lebih takut kepada-Nya kalau mereka sampai berani mendahulukan pendapat seseorang yang tidak ma’shum di atas pendapat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ma’shum” (lihat Zaadul Ma’aad, 2/178)
[18]) Lihat Sunan Abu Dawud, kitab: Assunnah, bab: Luzuumus Sunnah, hadits no 4611. Hadits ini dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud. Demikian pula dishahihkan oleh sayyid ‘Alawi Assaqqaf dalam Mukhtasar Al I’tisham, hal 25.
[19]) Memang benar apa yang beliau katakan. Seorang pelaku maksiat bagaimana pun juga pasti merasa dirinya bersalah. Karena dihantui rasa bersalah tadi, ia akhirnya terdorong untuk bertaubat. Tapi, lain halnya dengan pelaku bid’ah yang tidak pernah merasa bersalah, bahkan merasa lebih shaleh dari orang lain. Kalau lah tidak karena rahmat dan hidayah Allah, mustahil orang seperti ini akan bertaubat.
[20]) Para salaf biasa menyebut aqidah dengan istilah sunnah, dan ini termasuk salah satu makna sunnah.
Tujuan redaksi memuat tulisan ini agar bisa mengatasi syubhat (kerancuan) dari buku tersebut. Semoga bermanfaat bagi pembaca.
Didalam artikel ini akan dibahas tentang Manakah Bid’ah dan Manakah Sunnah serta keharusan menjadikan Manhaj Salaf Sebagai Sumber Rujukan. Selamat Membaca..
Ini Dalilnya (1): Manakah Bid’ah dan Manakah Sunnah?
Bagian Pertama: Memahami Akar Permasalahan & Solusinya
Dalam kitabnya yang terkenal, Al Imam Al Hafizh Ibnu Rajab -rahimahullah- menjelaskan, bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai hadits-hadits yang disebut sebagai poros Islam (madaarul Islaam). Di antara pendapat yang beliau nukil di sana ialah pendapat Imam Ahmad bin Hambal[1]), Imam Ishaq ibnu Rahawaih[2]), Imam Utsman bin Sa’id Ad Darimy[3]), dan Imam Abu ‘Ubeid Al Qaasim bin Sallaam[4]) -rahimahumullah-. Akan tetapi dari sekian pendapat yang beragam tadi, semuanya sepakat bahwa hadits ‘Aisyah berikut merupakan salah satu poros Islam:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ. رواه البخاري ومسلم, وفي رواية لمسلم: مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami ini, yang bukan dari padanya, maka perbuatannya itu tertolak” (H.R. Bukhari no 2499 dan Muslim no 3242). Dalam riwayat Muslim lainnya (no 3243) disebutkan: “Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak berdasarkan urusan kami, maka amalan itu tertolak” (lihat hadits no 5 dalam Al Arba’in An Nawawiyyah).
Dalam penjelasannya, Ibnu Rajab -rahimahullah- mengatakan:
“Hadits ini adalah salah satu kaidah agung dalam Islam. Ia merupakan neraca untuk menimbang setiap amalan secara lahiriah, sebagaimana hadits ‘Innamal a’maalu binniyyah’ (=setiap amalan tergantung pada niatnya) adalah neraca batinnya. Jika setiap amal yang tidak diniatkan untuk mencari ridha Allah pelakunya tidak akan mendapat pahala, maka demikian pula setiap amal yang tidak berlandaskan aturan Allah dan Rasul-Nya, amal tersebut juga pasti tertolak.
Siapa pun yang mengada-adakan perkara baru dalam agama tanpa izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka hal itu bukanlah bagian dari agama sedikit pun…” kemudian lanjut beliau: “Lafazh hadits ini menunjukkan bahwa setiap amalan yang tidak berlandaskan urusan Allah & Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Sedangkan mafhum (makna yang tersirat) dari hadits ini ialah bahwa setiap amalan yang berlandaskan urusan Allah dan Rasul-Nya berarti tidak tertolak. Sedang yang dimaksud dengan ‘urusan kami’ dalam hadits ini ialah agama & syari’at-Nya.
Jadi maknanya ialah: siapa saja yang amalnya keluar dari koridor syari’at, tidak mau terikat dengan tata cara syari’at, maka amalan itu tertolak” [5]).
Sering kali ketika seseorang mendapat teguran bahwa amalan yang diperbuatnya tidak dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -alias bid’ah-; ia beralasan: “Ini kan baik, mengapa mesti dilarang…?!” ini kalau dia agak moderat dan lugu. Tapi sebagian justeru mengatakan: “Semua-semua bid’ah!… tahlilan bid’ah, shalawatan bid’ah, baca Barzanji (mberjanjen) bid’ah… mana dalilnya?”. Jawaban kedua ini memang terkesan lebih ‘ilmiah’, mengapa? Karena ia menanyakan ‘mana dalilnya’.
Akan tetapi… benarkah setiap bid’ah harus ada dalil yang melarangnya ?
Cobalah saudara renungkan pertanyaan di atas dengan seksama…
Agar lebih mudah memahaminya, kami akan membuat sebuah contoh ringan;
Sebagian orang mengatakan bahwa mengadakan majelis dzikir berjama’ah bukanlah suatu bid’ah, karena tidak ada dalil yang melarang kita melakukan hal tersebut. Demikian pula dengan tahlilan, ngalap berkah, tawassul dengan Nabi/orang shalih, shalawatan, istighatsah dengan orang mati, dsb…
Bagaimana menurut anda jika pertanyaannya kami balik menjadi: Adakah dalil yang menyuruh kita mengadakan majelis dzikir berjama’ah, tahlilan, ngalap berkah, dll… ? Kami yakin, sebagai orang yang obyektif tentu saudara akan menjawab: “tidak ada”, selama yang dicari ialah dalil yang shahih dan sharih. Artinya dalil tersebut bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya, yakni berupa Al Qur’an atau hadits shahih, dan maknanya jelas berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas. Dengan kata lain, dalil tersebut menjelaskan secara rinci bagaimana pelaksanaan majelis dzikir berjamaah, tahlilan dan shalawatan tadi [6]).
Bagaimana jika ada orang yang melaksanakan shalat subuh empat roka’at umpamanya, dengan alasan bahwa waktu subuh adalah waktu senggang yang sangat tepat untuk banyak beribadah… suasananya pun cukup hening, hingga apabila seseorang menambah shalatnya menjadi empat roka’at pun tetap terasa khusyu’. . . lagi pula kan tidak ada dalil yang melarang kita untuk itu?! Pasti saudara akan mengingkari pemikiran seperti ini dan menghukuminya sebagai bid’ah dholaalah (bid’ah yang sesat), mengapa? Jawabnya: karena ibadah bukanlah sesuatu yang bebas dilakukan semaunya, tapi wajib ikut ‘aturan main’ dari Allah dan Rasul-Nya.
Kalaulah kita sepakat bahwa shalat adalah ibadah yang tidak boleh dilakukan sembarangan, mestinya kita bersikap konsekuen terhadap ibadah-ibadah lainnya. Tentunya setelah kita mengetahui apa itu definisi ibadah yang sesungguhnya [7]).
Namun biasanya analogi (penalaran) seperti ini akan ditolak mentah-mentah oleh sebagian orang. “Kalau shalat subuh empat roka’at itu jelas bid’ah dholalah. Tapi kalau dzikir bersama, tahlilan, tawassul, shalawatan, dsb hukumnya lain. Ini adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang baik). Ini semua baik dan mengandung manfaat. lagi pula kita kan diperintahkan untuk banyak berdzikir, membaca Al Qur’an, bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan seterusnya…?!” begitu sanggah mereka.
Sebagian yang agak pintar mungkin berdalih: “Bukankah tahlil, takbir, tahmid, tasbih, membaca shalawat, dsb itu merupakan dzikir yang dianjurkan? Bukankah itu semua merupakan amal shaleh? Mengapa saudara membid’ahkan-nya…? Mana dalilnya…?
Dan masih segudang lagi alasan yang mungkin mereka utarakan demi meligitimasi praktik-praktik bid’ah tersebut. Ya… kami katakan bahwa itu semua adalah bid’ah khurafat yang dilekatkan pada ajaran Islam, namun Islam berlepas diri dari padanya meskipun ia dipandang baik oleh kebanyakan manusia.
Lantas, bagaimana solusinya…?
Untuk mendudukkan masalah ini, kita harus menetapkan suatu standar baku dalam menilai mana bid’ah dan mana sunnah… Mana yang baik dan bermanfaat, dan mana yang sesat dan penuh khurafat… alias standar untuk menilai mana yang haq dan mana yang batil.
Kami mengajak para pembaca yang budiman untuk menyatukan pedoman dalam hal ini, yaitu Al Qur’an, As Sunnah (hadits shahih), dan Ijma’. Kami yakin bahwa pembaca sekalian tidak akan keberatan dalam menerima ketiga sumber hukum di atas sebagai pedoman kita dalam menetapkan dan menerapkan suatu ibadah, atau sebagai rujukan ketika ada perselisihan.
Sekarang kita telah sepakat bahwa rujukan kita adalah Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’. Tapi bukankah semua golongan yang saling bertikai menyatakan bahwa rujukan mereka adalah Al Qur’an dan Sunnah? Lantas mengapa mereka masih bertikai juga? Pasti ada yang tidak beres…
Benar, mereka berbeda pendapat dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karenanya mereka pun tetap berselisih. Selama Al Qur’an dan Sunnah masih difahami menurut akal dan selera masing-masing, maka mencari titik temu melaluinya ibarat menegakkan benang basah, alias perbuatan yang sia-sia !!
Karenanya, kita harus terlebih dahulu menyepakati pemahaman yang akan kita jadikan acuan dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah. Kami akan menawarkan kepada pembaca yang budiman, sebuah manhaj (metodologi) dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah. Manhaj ini bukanlah hasil rumusan kami atau golongan tertentu… namun ia adalah manhaj rabbani yang Allah gariskan dalam Kitab-Nya. Sebuah manhaj yang telah diridhai-Nya dan telah sukses dipraktikkan oleh generasi terbaik umat ini. Manhaj yang menghantarkan mereka ke puncak kejayaan dunia dan akhirat.
….Ya, itulah manhaj salafus shaleh, leluhur kita yang mulia…
Kami akan menjelaskan kepada saudara bahwa manhaj ini adalah manhaj terbaik dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah secara benar; dan tentunya berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan Sunnah. Namun pertama-tama, bukalah fikiran dan hati sanubari kita terlebih dahulu… tepislah semua bentuk subyektivitas yang akan menghambat kita untuk menerima kebenaran dari pihak lain. Marilah sejenak kita memanjatkan do’a kepada Allah Ta’ala agar Ia menunjukkan kebenaran kepada kita…
اللَّهُمَّ أَرِناَ الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقُنْاَ اتـِّباَعَهَ, وَأَرِناَ الْباَطِلَ باَطِلاً وَارْزُقنْاَ اجْتِناَبَهُ
“Ya Allah, tampakkanlah yang haq sebagai al haq bagi kami, dan jadikanlah kami orang yang mengikutinya. Tampakkan pula yang batil itu sebagai kebatilan bagi kami, dan jadikanlah kami orang yang menjauhinya.”
اللَّهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنْ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Ya Allah, Rabbnya Jibril, Mikail, dan Israfil. Pencipta langit dan bumi. Dzat yang mengetahui yang ghaib maupun yang nampak. Engkaulah yang memutuskan perselisihan di antara hamba-Mu. Tunjukkanlah bagiku kebenaran dalam perselisihan mereka atas seizin-Mu. Sesungguhnya Engkau berkenan menunjukkan siapa pun yang Kau kehendaki pada jalan yang lurus” (H.R. Muslim).
Ini Dalilnya (2): Jadikan Manhaj Salaf Sebagai Rujukan
Kata ‘salaf’ secara bahasa berarti sesuatu yang telah lampau. Berikut ini kami nukilkan definisi ‘salaf’ dari beberapa kamus bahasa Arab yang kredibel [8]) ;
Ibnul Atsir -rahimahullah- mengatakan:
وَقِيْلَ سَلَفُ الإِنْسَانِ مَنْ تَقَدَّمَهُ بِالْمَوْتِ مِنْ آبَائِهِ وَذَوِي قَرَابَتِهِ وَلِهَذَا سُمِّيَ الصَّدْرُ الأَوَّلُ مِنْ التَّابِعِينَ السَّلَفَ الصَّالِحَ. {النهاية في غريب الأثر – (ج 2 / ص 981)}
“Salaf seseorang juga diartikan sebagai siapa saja yang mendahuluinya (meninggal lebih dahulu), baik dari nenek moyang maupun sanak kerabatnya. Karenanya, generasi pertama dari kalangan tabi’in dinamakan As Salafus Shaleh” [9])
Perhatikanlah firman-firman Allah berikut (yang artinya):
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau…” (Q.S. An Nisa’:22).
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu :”Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu” (Q.S. Al Anfal:38).
Jadi, ‘Salaf ’ artinya mereka yang telah berlalu. Sedangkan kata ‘shaleh’ artinya baik. Maka ‘As Salafus Shaleh’ maknanya secara bahasa ialah setiap orang baik yang telah mendahului kita. Sedangkan secara istilah, maknanya ialah tiga generasi pertama dari umat ini, yang meliputi para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Dalam kitab Al Wajiez fi ‘Aqidatis Salafis Shalih Ahlissunnah wal Jama’ah, Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsary mengatakan sebagai berikut:
وَفِي الاِصْطِلاَحِ : إِذَا أُطْلِقَ (( السَّلَفُ )) عِنْدَ عُلَمَاءِ الاِعْتِقَادِ فَإِنَّمَا تَدُورُ كُلُّ تَعْرِيْفَاتِهِمْ حَوْلَ الصَّحَابَةِ، أَوِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ ، أََوِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَتَابِعِيْهِمْ مِنَ الْقُرُوْنِ الْمُفَضَّلَةِ ؛ ِمنَ الأَئِمَّةِ الأَعْلاَمِ الْمَشْهُودِ لَهُمْ بِالإِمَامَةِ وَالفَضْلِ وَاتِّبَاعِ السُّنَّةِ وَالإِمَامَةِ فِيهَا ، وَاجْتِنَابِ الْبِدْعَةِ وَالْحَذَرِ مِنْهَا، وَمِمَّنْ اتَّفَقَتِ الأُمَّةُ عَلىَ إِمَامَتِهِمْ وَعَظِيْمِ شَأْنِهِمْ فِي الدِّيْنِ ، وَلِهَذَا سُمِّيَ الصَّدْرُ الأَوَّلُ بِالسَّلَفِ الصَّالِحِ. (الوجيز 1/15)
Secara istilah; kata ‘salaf’ jika disebutkan secara mutlak (tanpa embel-embel) oleh ulama aqidah, maka definisi mereka semuanya berkisar pada para sahabat; atau sahabat dan tabi’in; atau sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dari generasi-generasi terbaik. Termasuk diantaranya para Imam yang terkenal dan diakui keimaman dan keutamaannya serta keteguhan mereka dalam mengikuti sunnah, menjauhi bid’ah, dan memperingatkan orang dari padanya. Demikian pula orang-orang (lainnya) yang telah disepakati akan keimaman dan jasa besar mereka dalam agama. Karenanya, generasi pertama dari umat ini dinamakan As Salafus Shalih (Al Wajiez hal 15).
Demikian pula yang dinyatakan oleh Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafy dalam kitabnya ‘Syarh Aqidah At Thahawiyah’:
…هَذَا قَوْلُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ ، وَهُمُ السَّلَفُ الصَّالِحُ…
“…Ini adalah pendapat para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Dan mereka lah As Salafus Shaleh…” [10]).
Kalau saudara bertanya: Mana dalilnya yang mengharuskan kita mengikuti pemahaman mereka? Maka kami jawab, ini dalilnya;
1. Dari Al Qur’anul Kariem:
Ayat Pertama
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (QS. 4:115).
Penjelasannya:
Cobalah anda renungkan kalimat yang bercetak tebal di atas. Bukankah Allah telah menyatakan bahwa diantara sebab tersesatnya seseorang ialah karena ia mengikuti jalan yang lain dari jalan orang-orang beriman (ghaira sabilil mu’minin)? Pertanyaannya; siapakah orang-orang beriman yang dimaksud oleh ayat ini? Jelas bahwa orang-orang yang pertama kali masuk dalam kategori ayat ini ialah mereka yang telah beriman saat ayat ini diturunkan… mereka lah para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Karenanya Imam Syafi’i berdalil dengan ayat ini bahwa ijma’nya para sahabat adalah hujjah (dalil), dan barangsiapa menyelisihi ijma’ mereka berarti termasuk orang-orang yang terancam oleh ayat di atas [11]).
Ayat Kedua
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya; dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar (QS. 9:100).
Penjelasannya:
Dalam ayat ini sangat jelas bahwa Allah telah meridhai para sahabat dari kalangan muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Mereka semua (muhajirin & anshar) telah dijamin surga oleh-Nya. Lantas mengapa kita mencari teladan selain mereka yang belum tentu masuk surga dan selamat dari neraka?? Padahal di hadapan kita telah terbentang jalan yang terang benderang menuju Surga dan keridhaan Allah… Jalan manakah yang lebih baik dari jalan mereka…?!
Masihkah kita meyakini bahwa ada golongan lain yang lebih rajin beribadah, dan lebih bertakwa dari mereka? Mungkinkah kita akan mendapati sebuah amal shaleh yang belum mereka ketahui? Patutkah kita mencurigai atau menyangsikan keseriusan mereka dalam mengamalkan setiap yang baik…? Ataukah semestinya kita mencurigai siapa pun yang datang setelah mereka, bila ia mengada-adakan suatu praktik ibadah yang belum pernah mereka lakukan… Bagaimana menurut pembaca?
Ayat Ketiga:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Ayat Keempat:
لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ. وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. 59: 8-9).
Penjelasan ayat ketiga dan keempat:
Dalam dua ayat ini Allah memerintahkan semua orang yang beriman agar bersama dengan orang-orang yang benar (ash shaadiquun), kemudian Dia menjelaskan bahwa orang-orang yang benar tersebut ialah para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Sedang dalam kaidah ushul fiqih, setiap perintah itu hukumnya wajib hingga ada dalil lain yang menggesernya menjadi mustahab (sunnah) atau mubah, dan dalil tersebut tidak ada. Kesimpulannya, kita wajib mengikuti jalan mereka.
Ayat Kelima:
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوا ۖ وَّإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Penjelasan ayat kelima:
Konteks ayat ini selengkapnya merupakan bantahan terhadap klaim orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengatakan bahwa barangsiapa mengikuti mereka niscaya akan mendapat petunjuk (ayat 135). Maka Allah membantah klaim mereka tersebut, kemudian memerintahkan mereka untuk mengatakan: kami beriman kepada Allah, beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami,…. dan seterusnya (ayat 136). Kemudian Allah menentukan hakikat keimanan tadi; Jika mereka beriman dengan apa yang kalian beriman dengannya[12]), maka mereka telah mendapat petunjuk. Yang dimaksud dengan kata ‘kalian’ di sini ialah para sahabat.
Jadi, jelas sekali bahwa jalan satu-satunya untuk mendapatkan petunjuk ialah dengan mengikuti manhaj para salaf, terutama generasi sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Ayat Keenam:
إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَنزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَىٰ وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا ۚ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu’min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat taqwa dan adalah mereka lebih berhak dengan kalimat taqwa itu dan merekalah ahlinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. 48:26).
Penjelasan ayat keenam:
Ayat ini menyingkap bagi kita akan arti taqwa yang sesungguhnya, sekaligus menjelaskan bahwa para sahabatlah yang paling bertaqwa. Perhatikanlah ayat di atas bahwa yang memberi “stempel ahli taqwa” bukanlah manusia, jin, ataupun makhluk lainnya… tetapi Pencipta alam semesta; Allah Ta’ala.
Namun sayangnya, masih banyak orang yang berat menerima pengertian ini. Mereka merasa ada banyak cara untuk bertakwa kepada Allah yang terluputkan oleh para sahabat.
2. Dalil dari As Sunnah
Berikut ini beberapa hadits yang menjadi landasan dalam bermanhaj salafus shaleh;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ قَالَ خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ… أخرجه البخاري ( 2652, 3651, 6429) و مسلم ( 2533 )
Dari Abdullah (ibnu Mas’ud) radhiyallahu ‘anhu, katanya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik manusia ialah mereka yang hidup di zamanku, kemudian yang datang setelah mereka, kemudian yang datang setelahnya lagi…” (H.R. Bukhari no 2652,3651,6429; dan Muslim no 2533).
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ رَبِّ الْكَعْبَةِ قَالَ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ جَالِسٌ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ وَالنَّاسُ مُجْتَمِعُونَ عَلَيْهِ فَأَتَيْتُهُمْ فَجَلَسْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ في سَفَرٍ فَنَزَلْنَا مَنْزِلًا فَمِنَّا مَنْ يُصْلِحُ خِبَاءَهُ وَمِنَّا مَنْ يَنْتَضِلُ وَمِنَّا مَنْ هُوَ فِي جَشَرِهِ إِذْ نَادَى مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ الصَّلَاةَ جَامِعَةً فَاجْتَمَعْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ فَقَالَ إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَإِنَّ أُمَّتَكُمْ هَذِهِ جُعِلَ عَافِيَتُهَا فِي أَوَّلِهَا وَسَيُصِيبُ آخِرَهَا بَلَاءٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا … الحديث
Dari Abdurrahman bin Abdi Rabbil Ka’bah katanya: Sewaktu aku masuk ke masjidil haram, kudapati Abdullah bin Amru bin Ash sedang duduk berteduh di bawah ka’bah, sedangkan di sekelilingnya ada orang-orang yang berkumpul mendengarkan ceritanya. Lalu aku ikut duduk di majelis itu dan kudengar ia mengatakan: “Pernah suatu ketika kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu safar. Ketika kami singgah di sebuah tempat, diantara kami ada yang sibuk membenahi kemahnya, ada pula yang bermain panah, dan ada yang sibuk mengurus hewan gembalaannya. Tiba-tiba penyeru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru lantang: “Ayo… mari shalat berjamaah!!” maka segeralah kami berkumpul di tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya tak ada seorang Nabi pun sebelumku, melainkan wajib baginya untuk menunjukkan umatnya akan setiap kebaikan yang ia ketahui; dan memperingatkan mereka dari setiap kejahatan yang ia ketahui. Sesungguhnya umat kalian ini ialah umat yang keselamatannya ada pada generasi awalnya; sedangkan generasi akhirnya akan mengalami bala’ dan berbagai hal yang kalian ingkari… al hadits” (H.R. Muslim no 1844).
Kami rasa dua hadits di atas cukup jelas maknanya bagi para pembaca. Jadi, jelaslah bahwa generasi awal (As Salafus Shaleh) dari umat ini, ialah generasi terbaik yang terpelihara dari fitnah-fitnah besar yang menimpa umat ini di kemudian hari. Maka wajar jika manhaj mereka yang paling dekat kepada kebenaran, dan paling terjaga dari penyimpangan. Kemudian disusul oleh generasi kedua dan ketiga.
Berangkat dari sini, maka setiap praktik ibadah yang muncul sepeninggal mereka harus kita waspadai. Janganlah terkecoh dengan banyaknya pengikut, karena jumlah yang banyak bukanlah jaminan sebuah kebenaran.
3. Mutiara Hikmah As Salafus Shaleh
Sebagai pelengkap, berikut ini adalah wasiat-wasiat berharga dari para salaf yang lebih memperjelas akan pentingnya ittiba’ (mengikuti) dan bahayanya ibtida’ (membuat bid’ah). Sebagian besar mutiara hikmah ini kami nukil dari kitab Al Wajiez fi Aqidatis Salafis Shaleh Ahlissunnah wal Jama’ah, oleh syaikh Abdullah bin Abdil Hamid Al Atsary -hafidhahullah- jilid 1 hal 153-160.
Hudzaifah ibnul Yaman :
كُلُّ عِبَادَةٍ لَمْ يَتَعَبَّدْ بِهَا أََصْحَابُ رَسُولِ اللهِ فلاَ تَتَعَبَّدُوْا بِهَا ؛ فإَِنَّ الأَوَّلَ لَمْ يَدَعْ لِلآخِرِ مَقَالاً ؛ فَاتَّقُوا اللهَ يَا مَعْشَرَ القُرَّاءِ ، خُذُوْا طَرِيْقَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
(رواه ابن بطة في الإبانة)
“Setiap ibadah yang tidak pernah diamalkan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, janganlah kalian beribadah dengannya. Karena generasi pertama tak menyisakan komentar bagi yang belakangan. Maka takutlah kepada Allah wahai orang yang gemar beribadah, dan ikutilah jalan orang-orang sebelummu” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah).
Abdullah bin Mas’ud:
مَنْ كان مُسْتنَاًّ فَلْيَسْتَنِّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ كَانُوا خَيْرَ هَذِهِ الأُمَّةِ ، وَأَبَرَّهَا قُلُوباً ، وَأََعْمَقَها عِلْماً ، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا ، قَوْمٌ اِخْتَارَهُمُ اللهُ لِصُحْبَة نَبِيِّهِ وَنَقْلِ دِيْنِهِ فَتَشَبَّهُوْا بِأََخْلاَقِهِمْ وَطَرَائِقِهِمْ ؛ فَهُمْ كَانُوا عَلَى الهَدْيِ المُسْتَقِيمِ (أخرجه البغوي في شرح السنة)
“Siapa yang ingin mengikuti ajaran tertentu, hendaklah ia mengikuti ajaran orang yang telah wafat, yaitu para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ialah sebaik-baik umat ini. Hati mereka paling baik, ilmu mereka paling dalam, dan mereka paling tidak suka berlebihan (takalluf) dalam beragama. Merekalah kaum yang dipilih Allah untuk menjadi pendamping Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menyampaikan dien-Nya. Maka tirulah akhlak dan tingkah laku mereka, karena mereka selalu berada di atas petunjuk yang lurus” (Diriwayatkan oleh Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah).
Beliau juga mengatakan:
اِتَّبِعُوا وَلاَ تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيْتُمْ ؛ عَلَيْكُمْ بِالأََمْرِ العَتِيْقِ (أخرجه الدارمي في سننه)
“Ikutilah dan jangan berbuat bid’ah, karena kalian telah dicukupi. Hendaklah kalian berpegang teguh dengan perkara yang terdahulu” (Diriwayatkan oleh Ad Darimi dalam Sunan-nya).
Umar ibnul Khatthab:
وَعَنْ عَابِسٍ بْنِ رَبِيْعَةَ ، قاَلَ : رَأََيْتُ عُمَرَ بْنَ الخْطَاَّبِ يُقبِّلُ الحَجَرَ- يَعْنِي الأَسْوَدَ- وَيَقُوْلُ : إِنِّي لأَعْلَمُ أََنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وُلاَ تَنْفَعُ ، وَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ الله ِ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلتُكَ
(متفق عليه)
عَنْ أَبِي الْعَلاَءِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ شِخِّيْرٍ قَالَ : عَطَسَ رَجُلٌ عِنْدَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ : اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ ، فَقَالَ عُمَرُ : وَعَلَيْكَ وَعَلىَ أٌمِّكَ ، أَمَا يَعْلَمُ أَحَدُكُمْ مَا يَقُوْلُ إِذَا عَطَسَ ؟ إِذَا عَطَسَ أَحَدَكُمْ فَلْيَقُلْ : اَلْحَمْدُ ِللهِ ، وَلْيَقُلِ الْقَوْمُ : يَرْحَمُكَ اللهُ ، وَلْيَقُلْ هُوَ : يَغْفِرُ اللهُ لَكُمْ
(رواه عبد الرزاق في المصنف, 10/451-452, رقم 19677؛ و البيهقي في شعب الإيمان 39, فصل فيما يقول العاطس في جواب التشميت, رقم 9030).
Dari Abul ‘Ala’ bin Abdillah bin Syikhkhir, katanya: “Ada seseorang bersin di samping Umar bin Khatthab t, lalu mengucapkan: “Assalaamu ‘alaika…”, maka sahut ‘Umar: “Alaika wa ‘ala ummik…! Apa kalian tidak tahu apa yang musti diucapkan ketika bersin? Kalau kalian bersin hendaknya mengucapkan: “Alhamdulillah”, sedang yang mendengar mengucapkan: “Yarhamukallaah” lalu yang bersin membalas: “Yaghfirullaahu lakum” (H.R. Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya, dan Al Baihaqy dalam Syu’abul Iman).
Hadits yang senada juga diriwayatkan dari sahabat Salim bin ‘Ubeid:
أَنَّهُ كَانَ مَعَ الْقَوْمِ فِي سَفَرٍ فَعَطَسَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ فَقَالَ عَلَيْكَ وَعَلَى أُمِّكَ- وَعِنْدَ الطَّحَاوِي فِي مُشْكِلِ الآثَارِ: مَا شَأْنُ السَّلاَمِ وَشَأْنُ مَا هَاهُنَا ؟- ، ثُمَّ قَالَ بَعْدُ : لَعَلَّكَ وَجَدْتَ مِمَّا قُلْتُ لَكَ ؟ قَالَ: لَوَدِدْتُ أَنَّكَ لَمْ تَذْكُرْ أُمِّي بِخَيْرٍ وَلَا بِشَرٍّ قَالَ : إنَّمَا قُلْتُ لَكَ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ إنَّا بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا عَطَسَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ فَقَالَ : السَّلَامُ عَلَيْكُمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ وَعَلَيْكَ وَعَلَى أُمِّكَ ثُمَّ قَالَ : إذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ الْحَدِيث } وَرَوَاهُ أَحْمَدُ وَفِي لَفْظٍ { فَلْيَقُلْ الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ ، أَوْ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ }. رواه أبو داود والترمذي وأحمد وابن حبان في صحيحه
Bahwa ketika beliau bersama rombongannya dalam sebuah safar, ada seseorang yang bersin lantas mengucap: “Assalaamu ‘alaikum!”, maka sahut Salim: “Alaika wa ‘ala ummik [14]” –dalam riwayat Ath Thahawy ditambahkan: “Apa hubungannya antara salam dengan orang bersin?”– Kemudian Salim berkata lagi: “Nampaknya kau tersinggung dengan ucapanku barusan…?” jawabnya: “Ya… andai saja kau tak menyebut-nyebut ibuku tadi…” lalu kata Salim: “Aku tak mengucapkan lebih dari yang diucapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam … suatu ketika kami sedang bersama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala ada orang yang bersin dan mengucapkan: “Assalaamu ‘alaikum..” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Alaika wa ‘ala ummik…” lalu lanjutnya: “Kalau kalian bersin hendaklah mengucapkan: “Alhamdulillah” atau “Alhamdulillahi ‘ala kulli haal” atau: “Alhamdulillahi rabbil ‘alamien” (H.R. Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, dan Ath Thahawy).
Abdullah bin Umar:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ؛ وَإِنْ رَآهاَ النَّاسُ حَسَنَةً (رواهما اللالكائي في شرح أصول الاعتقاد)
قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ لمن سأله عن مسألةٍ ، وقال له : إِن أَباك نهى عنها: أَأَمْرُ رَسُوْلِ اللهِ أََحَقُّ أََنْ يُتَّبَعَ ، أََوْ أََمْرُ أَبِي؟! (زاد المعاد)
Ibnu Umar memang terkenal sebagai sahabat yang paling ittiba’ kepada sunnah dan anti bid’ah. Imam At Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunan-nya:
Dari Nafi’ katanya; ada seseorang yang bersin di samping Ibnu Umar lantas mengatakan: Alhamdulillah was salaamu ‘ala Rasuulillaah! Maka Ibnu ‘Umar mengatakan: “Aku pun mengatakan: Alhamdulillah was salaamu ‘ala Rasuulillaah, tapi bukan begitu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada kami (ketika bersin). Beliau mengajarkan kami agar mengucapkan Alhamdulillaahi ‘ala kulli haal” [16]).
Abdullah bin ‘Abbas :
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا- لِمَنْ عَارَضَ السُّنَّةَ ؛ بِقَوْلِ أََبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : يُوشكُ أَنْ تَنـْزِلَ عَلَيْكُمْ حِجَارَةً مِنَ السَّمَاءِ ؛ أََقُوْلُ لَكُمْ : قَالَ رَسُولُ اللهِ- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلََى آلِهِ وَسَلَّمَ- وَتَقُوْلُوْنَ : قاَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ (رواه عبد الرزاق في المصنف بسند صحيح)
Beliau mengatakan kepada orang yang menolak Sunnah Nabi dengan perkataan Abu Bakar dan Umar: “Hampir saja hujan batu menimpa kalian…!! Kukatakan bahwa: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda begini dan begitu…” namun kalian malah mengatakan: “Abu Bakar dan Umar mengatakan begini dan begitu…!!” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq Ash Shan’ani dalam Mushannaf-nya dengan sanad shahih) [17]).
Mu’adz bin Jabal
Dirwayatkan dari Yazid bin ‘Umairah -salah seorang sahabat Mu’adz– bahwa Mu’adz bin Jabal dalam setiap majelisnya selalu mengatakan: “Allah itu bijaksana dan Maha Adil. Celakalah orang-orang yang ragu…”. Kemudian pada suatu hari Mu’adz mengatakan: “Sesungguhnya di belakang kalian akan ada fitnah yang banyak…. Saat itu harta melimpah ruah, Al Qur’an dibaca beramai-ramai oleh orang mu’min maupun munafik, wanita maupun anak-anak, dan hamba sahaya maupun orang merdeka… sampai-sampai ada yang mengatakan: “Mengapa orang-orang tak mau mengikutiku, padahal aku telah membaca Al Qur’an? Sungguh, mereka memang tidak mau mengikutiku sampai aku membikin bid’ah yang lain bagi mereka…”. Maka waspadalah kalian dari bid’ah yang diperbuatnya, karena setiap bid’ah itu sesat. Dan waspadalah kalian dari kesesatan orang bijak… karena Syaithan kadang menyampaikan kesesatan melalui lisan si Bijak; dan kadang si Munafik mengatakan yang haq”. Maka tanyaku: “Semoga Allah merahmatimu… lantas bagaimana aku tahu bahwa si Bijak menyampaikan kesesatan, dan si Munafik berkata benar?” “Bisa…” jawab Mu’adz. “Yaitu ketika si Bijak mengatakan sesuatu yang jelas-jelas batil; hingga kamu mengatakan: “Omongan apa ini !?” Namun jangan sampai hal itu menjauhkanmu darinya; karena boleh jadi ia segera bertaubat dan kembali kepada kebenaran… Maka terimalah al haq begitu kamu mendengarnya, karena dalam al haq itu terdapat cahaya” [18]).
Makna kesesatan orang bijak (زيغة الحكيم), sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab ‘Aunul Ma’bud ialah:
أَيْ اِنْحِرَاف الْعَالِم عَنْ الْحَقّ. وَالْمَعْنَى أُحَذِّركُمْ مِمَّا صَدَرَ مِنْ لِسَان الْعُلَمَاء مِنْ الزَّيْغَة وَالزَّلَّة وَخِلَاف الْحَقّ فَلَا تَتَّبِعُوهُ (عون المعبود شرح سنن أبي داود, كتاب السنة, باب: لزوم السنة)
(Yaitu) menyimpangnya seorang ‘alim dari al haq. Jadi maksud ucapan Mu’adz ialah: “Kuperingatkan kalian akan penyimpangan, kekeliruan dan pernyataan yang tidak benar, yang muncul dari lisan para ‘ulama; jangan sampai kalian mengikutinya” (‘Aunul Ma’bud, lihat pada syarah hadits di atas).
Abdullah bin Mas’ud
وَإِيَّاكُمْ وَالْمُحْدَثَاتِ؛ فَإِنَّ شَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (إعلام الموقعين 2/428)
“Waspadailah setiap yang baru (dalam agama), karena sejelek-jelek perkara ialah perkara yang diada-adakan dalam agama, dan setiap bid’ah itu sesat” (I’laamul Muwaqqi’in 2/428).
Sufyan Ats Tsaury -rahimahullah-
البِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيْسَ مِنَ المَعْصِيَةِ ، المَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا ، وَالبِدْعَةُ لاَ يتُاَبُ مِنْهَا
(أخرجه البغوي في شرح السنة)
“Bid’ah itu lebih disukai oleh Iblis dari pada kemaksiatan. Dosa maksiat masih ada harapan taubat, tapi dosa bid’ah tidak ada harapan taubat” [19]) (Diriwayatkan oleh Al Baghawy dalam Syarhus Sunnah).
Abdullah ibnul Mubarak -rahimahullah-
اِعْلَمْ- أَيْ أََخِي- أَنَّ المَوْتَ اليَوْمَ كَرَامَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ لَقِيَ اللهَ عَلىَ السُّنَّةِ ، فَإِناَّ لِلّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ ؛ فَإِلَى اللهِ نَشْكُوْ وَحْشَتَناَ ، وَذَهَابَ الإِخْوَانِ ، وَقِلَّّةَ الأَعْوَانِ ، وَظُهُوْرَ الْْبِدَعِ ، وَإِلىَ اللهِ نَشْكُوْ عَظِيْمَ مَا حَلَّ بِهَذِهِ الأُمَّةِ مِنْ ذَهَابِ الْعُلَمَاءِ ، وَأََهْلِ السُّنَّةِ ، وَظُهُوْرِ الْبِدَعِ
(البدع والنهي عنها لابن وضاح)
“Saudaraku, ketahuilah bahwa kematian hari ini adalah karamah (kemuliaan) bagi setiap muslim yang menghadap Allah di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita semua adalah milik Allah, dan kita semua akan kembali kepada-Nya. Kepada Allah lah kita mengadukan kesendirian kita, mangkatnya saudara kita, sedikitnya penolong kita, dan kemunculan bid’ah di mana-mana. Kepada-Nya jua kita mengeluh akan besarnya musibah yang menimpa umat ini, karena mangkatnya para ulama dan pengikut sunnah, serta munculnya berbagai bid’ah” (Al Bida’u wan Nahyu ‘Anha oleh Ibnu Wadhdhah).
Al Fudhail bin ‘Iyadh -rahimahullah-
اِتَّبِعْ طُرُقَ الهُدَى وَلاَ يَضُرُّكَ قلَِّةُ السَّالِكِينَ ، وَإِياَّكَ وَطُرُقَ الضَّلاَلَةِ ، وَلاَ تَغْتَرُّ بِكَثْرَةِ الْهَالِكِينَ (الاعتصام)
Amirul Mukminin Umar bin ‘Abdul ‘Aziez -rahimahullah-
قِفْ حَيْثُ وَقَفَ القَوْمُ ، فَإِنَّهُمْ عَنْ عِلْمٍ وَقَفُوا ، وَبِبَصَرٍ ناَفِذٍ كَفُّوْا ، وَهُمْ عَلَى كَشْفِهَا كَانُوا أَقْوَى ، وَبِالْفَضْلِ لَوْ كَانَ فِيْهَا أََحْرَى ، فَلَئِنْ قُلْتُمْ : حَدَثَ بَعدَهُمْ ؛ فَمَا أََحْدَثهُ إِلاَّ مَنْ خَالَفَ هَدْيَهُمْ ، وَرَغِبَ عَنْ سُنَّتِهِمْ ، وَلَقَدْ وَصَفُوا مِنْهُ مَا يُشْفِي ، وَتَكَلَّمُوا مِنْهُ بِمَا يَكْفِي ، فَمَا فَوْقَهُمْ مُحَسِّرٌ وَمَا دُوْنَهُمْ مُقَصِّرٌ ، لَقَدْ قَصَرَ عَنْهُمْ قَومٌ فَجَفَوْا وَتجَاوَزَهُم آخَرُوْنَ فَغَلَوْا ، وَإِنَّهُمْ فِيْماَ بَيْنَ ذَلِكَ لَعَلىَ هُدًى مُسْتَقَيْمٍ (أورده ابن قدامة في لمعة الاعتقاد)
“Berhentilah saat mereka (para salaf) berhenti. Karena mereka berhenti berdasarkan ilmu. Mereka menahan diri setelah berpikir jeli. Padahal merekalah yang lebih mampu untuk menyingkap setiap masalah, dan lebih gencar tuk mengejar setiap fadhilah. Kalau kalian berkata: “Banyak hal baru (dalam agama) yang muncul setelah mereka…” ingatlah, bahwa hal tersebut tidak dimunculkan kecuali oleh mereka yang menyelisihi pentunjuk salaf, dan menolak ajaran mereka. Para salaf telah menjelaskan agama segamblang-gamblangnya, dan menerangkannya sejelas mungkin. Siapa yang mendahului mereka akan menyesal, dan siapa yang berada di bawah mereka berarti pemalas. Sungguh, orang-orang yang berada dibawah mereka akhirnya gagal, namun yang ingin mengungguli mereka justru melampaui batas, sedangkan mereka (para salaf) tetap berada di antara keduanya, di atas jalan yang lurus” (disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Lum’atul I’tiqad).
Al Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullah-
قَالَ الإِمَامُ أََحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ ؛ إِمَامُ أَهْلِ السُّنَّةِ رَحِمَهُ اللهُ : أُصُوْلُ السُّنَّةِ عِنْدَناَ : اَلتَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أََصْحَابُ رَسُولِ اللهِ- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلىَ آلِهِ وَسَلَّمَ- وَالاِقْتِدَاءُ بِهِمْ ، وَتَرْكُ الْبِدَعِ ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ فَهِيَ ضَلاَلَةٌ (شرح أصول الاعتقاد, للأمام اللالكائي).
Imam Ahmad, Imam Ahlussunnah wal jama’ah mengatakan: Pokok-pokok aqidah [20]) menurut kami ialah berpegang teguh dengan apa yang dipraktikkan oleh sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meneladani mereka, dan meninggalkan bid’ah. Karena setiap yang bid’ah berarti kesesatan” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah, oleh Imam Al Laalaka-i).
Imam Malik bin Anas –rahimahullah–
مَن ابْتَدَعَ فِي الإِسْلاِمِ بِدْعَةً يَرَاهاَ حَسَنَةً ؛ فَقَدْ زَعَمَ أَن مُحَمَّداً – صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلىَ آلِهِ وَسَلَّمَ- خَانَ الرِّّسَالَةَ ؛ ِلأََنَّ اللهَ يَقُولُ : { الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْناً فَلاَ يَكُونُ اليَوْمَ دِيْناً )الاعتصام بالكتاب والسنة, للشاطبي)
“Barangsiapa melakukan bid’ah dalam Islam yang ia pandang sebagai bid’ah hasanah, berarti ia mengatakan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati kerasulan beliau. Sebab Allah Ta’ala berfirman: “Pada hari ini telah kusempurnakan bagi kalian agama kalian…” (Al Ma’idah: 3). Karenanya, apa pun yang hari itu tidak dianggap sebagai ajaran agama, maka hari ini pun bukan termasuk ajaran agama. (Al I’tisham bil Kitab was Sunnah, oleh Imam Asy Syathiby).
Kemudian Imam Malik meletakkan sebuah kaidah agung, yang merupakan intisari dari perkataan para ulama yang tadi kita sebutkan:
لَنْ يَصْلُحَ آخِرُ هَذِهِ الأُمَّةِ إِلاَّ بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا ؛ فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْناً لاَ يَكُونُ اليَوْمُ دِيْناً (الشفا في حقوق المصطفي, للقاضي عياض 2/88)
“Generasi terakhir umat ini tak akan menjadi baik (shaleh), kecuali dengan apa-apa yang menjadikan generasi pertamanya baik. Karenanya, apa pun yang pada hari itu –saat turunnya surat Al Ma’idah ayat 3– tidak dianggap sebagai agama, maka hari ini pun juga bukan bagian dari agama” (Asy Syifa fi Huquuqil Musthofa 2/88, oleh Al Qadhi ‘Iyadh).
Kami rasa, nukilan-nukilan di atas cukup gamblang dalam menggambarkan manhaj salaf yang menjadi tolok ukur kita dalam menilai mana bid’ah mana sunnah, dan mana haq mana batil.
-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel www.muslim.or.id
[1]) Beliau ialah Al Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal Asy Syaibany Al Baghdady. Imam Ahlussunnah wal Jama’ah, seorang ‘alim dan ahli zuhud panutan. Beliau lahir di bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 H. Beliau salah satu sahabat dekat dan murid kesayangan Imam Syafi’i. Ahmad senantiasa melazimi gurunya yang satu ini hingga ia (Imam Syafi’i) pindah ke Mesir. Imam Syafi’i berkata: “Tak pernah kutinggalkan seorang pun di Baghdad yang lebih bertakwa dan faqieh (pandai) dari Ahmad bin Hambal”. Kitab beliau yang bernama Al Musnad adalah kitab hadits terbesar yang sampai kepada kita, memuat sekitar 30 ribu hadits. Beliau lah satu-satunya ulama yang tetap tegar menolak kemakhlukan Al Qur’an meski disiksa sedemikian rupa, hingga karenanya ia dijuluki Imam Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau wafat pada hari Jum’at 12 Rabi’ul Awwal tahun 241 H, rahimahullahu rahmatan waasi’an. (lihat: Wafayaatul A’yaan 1/63-64 & Tadzkiratul Huffazh 2/431-432)
[2]) Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad Al Handhaly Al Marwazy. Imam dan ulama Ahlussunnah wal jama’ah. Terkumpul padanya ilmu hadits, fiqih, hafalan kuat, kejujuran, sikap wara’ dan zuhud. Beliau mengembara ke Irak, Hijaz, Yaman, Syam, dan kembali ke Khurasan dan wafat di Nishapur. Beliau termasuk salah satu sahabat Imam Ahmad dan guru besar Imam Bukhari. Lahir pada tahun 161 H. Ibnu Khuzaimah berkata: “Demi Allah, seandainya beliau hidup di zaman tabi’in, pastilah mereka mengakui kekuatan hafalan, kedalaman ilmu, dan pemahamannya”. Abu Dawud Al Khoffaf berkata; aku mendengar Ishaq berkata: “Seakan-akan aku melihat 100 ribu hadits dalam kitabku, 30 ribu diantaranya dapat kubaca dengan lancar”. Beliau wafat pada tahun 237 atau 238 H, rahimahullah. (lihat Tahdziebut Tahdzieb, Siyar A’laamin Nubala’, dan Tahdziebul Kamal)
[3]) Beliau ialah Al Imam Al ‘Allaamah Al Hafizh, Abu Sa’id Utsman bin Sa’id bin Khalid bin Sa’id Ad Darimy At Tamimi. Lahir sebelum tahun 200H. Beliau menimba ilmu hadits dari Ali ibnul Madiny, Yahya ibnu Ma’in, dan Ahmad bin Hambal -rahimahumullah,- hingga mengungguli orang-orang di zamannya. Beliau adalah orang yang gigih memegang Sunnah, dan ahli dalam berdebat. Beliau menulis sebuah kitab yang membantah kesesatan Bisyr Al Marrisi (salah seorang tokoh Jahmiyyah), dan kitab Musnad. Beliau wafat pada bulan Dzul Hijjah tahun 280 H (As Siyar, 2/2651-2653).
[4]) Beliau ialah Al Imam Al Hafizh Abu ‘Ubeid, Al Qasim bin Sallam bin Abdillah. Lahir tahun 157 H. berguru kepada Abdullah ibnul Mubarak, Waki’, Ibnu Mahdy, Yahya Al Qatthan dan lainnya. Karnya cukup banyak, diantaranya: Gharibul Hadits, Al Amtsal, Gharibul Mushannaf, Al Amwal, Fadha-ilul Qur’an, Ath Thuhur, dan lain-lainnya. Beliau ahli dalam berbagai disiplin ilmu, seperti hadits, qiraat, fiqih, dan sastera Arab. Ibnul Anbary berkata: “Abu Ubeid konon membagi malam jadi tiga; sepertiga untuk shalat, sepertiga untuk tidur, dan sisanya untuk menyusun kitab”. Ishaq ibnu Rahawaih berkata: “Abu ‘Ubeid lebih luas ilmunya dari kita, lebih mulia perangainya, dan lebih banyak menyusun kitab. Kita membutuhkan dirinya, namun dia tidak butuh kepada kita”. Beliau wafat tahun 224 H (As Siyar 2/3057-3060).
[5]) Jaami’ul ‘Uluumi wal hikam hal 73-74, oleh Ibnu Rajab Al Hambaly. cet. Daarut Tauzi’ wan Nasyril Islamiyyah.
[6]) Konsekuensinya, jika dalil tersebut tidak shahih maka tidak sah dijadikan pegangan. Atau jika dalil tersebut shahih namun petunjuknya bersifat umum –seperti yang disebutkan oleh Novel dalam banyak contohnya–, maka ia juga tidak bisa dijadikan pegangan. Sebab menetapkan ibadah dengan tata cara tertentu, tempat tertentu atau waktu tertentu adalah urusan Allah dan Rasul-Nya. Jika ibadah tersebut diperintahkan untuk dilakukan secara bebas ya kita tidak boleh membatasinya dengan bilangan, waktu dan tata cara tertentu. Sebaliknya jika ibadah tersebut diperintahkan dengan tata cara tertentu ya kita harus terikat dengan tata cara tersebut.
[7]) Definisi ibadah yang paling universal ialah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
اَلْعِباَدَةُ:
اِسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ
الأَقْوَالِ وَالأَعْمَالِ الْباَطِنَةِ وَالْظَاهِرَةِ (كتاب العبودية ص
38)
Ibadah ialah nama untuk setiap apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang nampak maupun tersembunyi. (Kitab Al ‘Ubudiyyah, hal 38)
[8]) Sengaja kami menyebutnya dengan kamus bahasa Arab yang kredibel, agar kita tidak sembarangan menukil makna suatu kalimat. Seperti yang dilakukan oleh Novel ketika mendefinisikan bid’ah dengan menukil dari kamus Al Munjid (Mana Dalilnya 1, hal 13). Padahal kamus ini ditulis oleh seorang pendeta katholik sekte Yesuit yang bernama Louis Ma’louf!! Lantas bagaimana kita hendak mempercayai tulisannya kalau narasumbernya saja seperti ini, laa haula walaa quwwata illa billaah…
[9]) An Nihayah fi Ghariebil Hadits wal Atsar, 2/981. Definisi yang sama juga dinyatakan oleh Ibnu Mandhur dalam Lisaanul ‘Arab 9/158, dan As Sayyid Muhammad Murtadha Az Zabidy dalam Taajul ‘Aruus (kamus Arab terbesar & terlengkap dalam sejarah, terdiri dari 35 jilid) lihat dalam bab Fa’ (ف), kata ‘sa-la-fa (سلف)’.
[10]) hal 146 dengan tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, cet. Wizarah Syu’un Islamiyyah wal Auqaf, Saudi Arabia.
[11]) Lihat kitab Al Ihkaam fi Ushuulil Ahkaam, 1/200 tulisan As Saif Al Aamidy cet. Al Maktabul Islamy. Demikian pula dalam Al Mankhul min Ta’lieqaatil Ushuul, 1/401 tulisan Al Ghazali, cet. Daarul Fikr.
[12]) Begini menurut versi terjemahan Depag, akan tetapi dalam Tafsir Al Baghawy disebutkan makna lainnya yang lebih jelas, seperti: jika mereka (ahli kitab) beriman dengan iman kalian, mentauhidkan Allah dengan tauhid kalian, berarti mereka telah mendapat petunjuk”.
Sedang dalam Tafsir Ibnu ‘Arafah disebutkan:
« فَإِنْ ءَامَنُوُاْ » بسبب مثل الأسباب التي أرشدتكم أنتم إلى الإيمان فقد اهتدوا
“Jika mereka beriman dengan menempuh sebab-sebab yang telah menghantarkan kalian kepada Iman (yang sesungguhnya), berarti mereka telah mendapat petunjuk”.
[13] H.R. Bukhari dalam Shahih-nya, no 1597; dan Muslim dalam Shahih-nya, no 1270 dari sahabat Ibnu ‘Umar.
[14]) Artinya: “(salam sejahtera) atasmu dan atas ibumu”.
[15]) Riwayat ini menjelaskan bahwa para salaf menolak adanya bid’ah yang baik dalam agama.
[16]) Riwayat ini dinyatakan gharieb oleh At Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak 18/56; dinyatakan jayyid (hasan) menurut Ibnu Muflih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilatu Al Ahaadiets Adh Dha’iefah no 891. Dalam komentarnya Syaikh Al Albani mengatakan: “Lihatlah, bagaimana Ibnu ‘Umar mengingkari penempatan shalawat (salam) kepada Nabi disamping hamdalah dengan dalih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak pernah melakukan yang demikian itu; padahal beliau menyatakan bahwa dirinya sendiri mengucap hamdalah dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seakan beliau hendak menolak anggapan yang mungkin muncul di benak sebagian orang, bahwa beliau mengingkari ucapan shalawat (salam) secara mutlak. Persis sebagaimana anggapan sebagian orang jahil ketika menyaksikan para pembela Sunnah mengingkari bid’ah-bid’ah semacam ini, orang-orang jahil itu menuduh mereka mengingkari shalawat atas Nabi… semoga Allah memberi hidayah kepada mereka! (idem, 2/390).
[17]) Mengomentari jawaban Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar diatas, Al Imam Al Hafizh Ibnul Qayyim berkata: “Begitulah cara ulama menjawab. Tidak seperti jawaban orang yang mengatakan bahwa ‘Utsman dan Abu Dzar -umpamanya- lebih tahu mengenai Rasulullah dari pada kita… Mengapa Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar tidak mengatakan: “Abu Bakar dan Umar lebih tahu mengenai Rasulullah dari pada kami”…? Demikian pula tak seorang pun dari sahabat atau tabi’in yang rela dengan jawaban seperti ini sebagai alasan untuk menolak sebuah nash dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itu karena mereka lebih tahu mengenai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan lebih takut kepada-Nya kalau mereka sampai berani mendahulukan pendapat seseorang yang tidak ma’shum di atas pendapat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ma’shum” (lihat Zaadul Ma’aad, 2/178)
[18]) Lihat Sunan Abu Dawud, kitab: Assunnah, bab: Luzuumus Sunnah, hadits no 4611. Hadits ini dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud. Demikian pula dishahihkan oleh sayyid ‘Alawi Assaqqaf dalam Mukhtasar Al I’tisham, hal 25.
[19]) Memang benar apa yang beliau katakan. Seorang pelaku maksiat bagaimana pun juga pasti merasa dirinya bersalah. Karena dihantui rasa bersalah tadi, ia akhirnya terdorong untuk bertaubat. Tapi, lain halnya dengan pelaku bid’ah yang tidak pernah merasa bersalah, bahkan merasa lebih shaleh dari orang lain. Kalau lah tidak karena rahmat dan hidayah Allah, mustahil orang seperti ini akan bertaubat.
[20]) Para salaf biasa menyebut aqidah dengan istilah sunnah, dan ini termasuk salah satu makna sunnah.
Post a Comment