Definisi Khomr
Khomr menurut istilah syariat (terminologi) adalah segala sesuatu yang bisa memabukan tanpa membedakan apakah dari bentuknya nampak bahwa ia memabukan atau bentuknya tidak menunjukkan demikian, dan tanpa memandang dari zat apakah dibuat khomr tersebut, sama saja apakah terbuat dari anggur atau gandum atau nira atau yang lainnya, tanpa memandang apakah berbentuk cairan ataukah berupa zat padat, dan tanpa memandang apakah cara penggunaannya dengan diminum ataukah dengan dimakan atau dengan dihirup, dimasukkan melewati suntikan atau dengan cara apapun, inilah yang di tunjukan oleh hadits-hadits Nabi dan atsar para sahabat.
Sekelompok ulama berkata, “Dan sama saja apakah yang memabukkan tersebut adalah berbentuk benda padat atau benda cair atau berupa makanan atau minuman, dan sama saja apakah yang memabukkan tersebut berasal dari biji atau dari kurma atau susu atau yang lainnya.” (Jami’ul Ulum, 1/423)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
Ini adalah lafal Muslim, dalam riwayat yang lain
Dalam hadits-hadits di atas Rasulullah tidak membeda-bedakan. Rasulullah juga bersabda:
Dan tatkala turun ayat pengharaman khomr maka para sahabat memahami juga secara umum tanpa membeda-bedakan akan zat asal pembuatan khomr tersebut, mereka juga memahami bahwa semua yang memabukkan adalah khomr sama saja apakah terdapat di zaman Nabi atau tidak ada kemudian muncul di zaman mereka, atau di masa mendatang, sama saja apakah namanya khomr atau dengan nama yang lain. (Fathul Bari, 10/46)
Apa yang dijelaskan oleh Umar adalah pengertian khomr secara istilah (terminologi) bukan secara bahasa (etimologi). Ibnu Hajr berkata, “Karena Umar bukan sedang berada dalam posisi menjelaskan definisi khomr menurut bahasa tetapi beliau sedang berada dalam posisi menjelaskan definisi khomr menurut hukum syar’i. Seakan-akan beliau berkata, “Khomr yang diharamkan dalam syariat adalah apa yang menutup akal.” meskipun ahli bahasa berbeda pendapat tentang definisi khomr menurut bahasa… kalaupun seandainya menurut bahasa khomr adalah sesuatu yang memabukkan yang khusus berasal dari anggur. Namun yang menjadi patokan adalah definisi menurut hukum syar’i, telah datang hadits-hadits yang menunjukkan bahwa sesuatu yang memabukkan yang berasal dari selain anggur (juga) dinamakan khomr dan definisi menurut hukum syar’i dikedepankan atas definisi menurut bahasa.” (Fathul Bari, 10/47)
Atsar ini dibawakan oleh para penulis hadits dalam bab-bab hadits-hadits yang marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena di sisi mereka atsar ini memiliki hukum marfu’ karena ia adalah pengabaran dari seorang sahabat yang menyaksikan turunnya ayat (tentang diharamkannya khomr dalam QS. Al-Maidah ayat 90). Beliau adalah sahabat yang mengerti tentang sebab turunnya ayat ini. Umar telah mengucapkan perkataannya ini di hadapan para pembesar sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak dinukil bahwasanya ada seorang pun dari mereka yang mengingkari beliau. Umar hendak mengingatkan bahwa yang dimaksud dengan khomr dalam ayat tidak hanya khusus bagi khomr yang terbuat dari anggur melainkan mencakup semua khomr yang terbuat dari selain anggur. Apa yang dipahami oleh Umar ini telah dengan jelas diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits Nu’man bin Basyir (Fathul Bari, 10/46):
Penggunaan Alkohol Pada Pemakaian Luar (Bukan untuk Diminum)?
Syaikh Utsaimin ditanya tentang hukum penggunaan cairan yang mengandung alkohol untuk tujuan percetakan, gambar, peta, untuk eksperimen ilmiah dan yang lain sebagainya??
Maka beliau menjawab, ((Telah diketahui bersama bahwa zat alkohol kebanyakannya diambil dari kayu dan akar… dan yang paling banyak, kulit-kulit buah-buahan yang kecut seperti jeruk dan lemon sebagaimana yang kita saksikan. Alkohol adalah cairan yang mudah terbakar dan cepat menguap. Jika alkohol murni diminum maka bisa membunuh peminumnya atau memberi mudhorot atau menyebabkan kecacatan. Namun jika alkohol tersebut dicampur dengan zat (cairan) lain dengan ukuran tertentu maka akan menjadikan campuran tersebut minuman yang memabukkan. Oleh karena itu alkohol jika dilihat dari zatnya maka tidaklah digunakan sebagai minuman dan untuk mabuk-mabukan namun ia jika dicampur dengan zat lain maka hasil dari campuran itu memabukkan. Dan apa saja yang memabukkan maka ia adalah khomr yang diharamkan berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Namun apakah khomr zatnya adalah najis sebagaimana air kencing dan tahi?, atau zatnya tidak najis namun yang najis adalah makna (yang terdapat di dalamnya)?, para ulama berselisih tentang permasalahan ini, dan mayoritas ulama berpendapat bahwa zat khomr adalah najis, namun yang benar menurutku zat khomr tidaklah najis namun hanyalah maknanya yang najis. Hal ini dikarenakan hal-hal berikut:
Pertama, karena tidak ada dalil akan najisnya zat khomr. Dan jika tidak ada dalil yang menunjukkan akan najisnya zat khomr maka zat khomr adalah suci karena (kaidah mengatakan) asal segala sesuatu adalah suci, Dan tidak setiap yang haram maka otomatis najis, racun haram namun tidak najis. Adapun firman Allah:
Maka kami katakan bahwasanya penggunaan khomr untuk selain diminum hukumnya adalah boleh karena hal ini tidak sesuai dengan firman Allah:
Sebagaimana perjudian, berhala-berhala (yang disembah) dan anak-anak panah (yang digunakan untuk mengundi nasib) zatnya tidaklah najis maka demikian pula dengan khomr.
Kedua, tatkala turun ayat pengharaman khomr maka khomr ditumpahkan di pasar-pasar yang ada di kota Madinah, kalau seandainya khomr itu zatnya najis maka akan diharamkan juga penumpahannya di jalan-jalan yang dilewati orang-orang sebagaimana diharamkannya menumpahkan air kencing di pasar-pasar tersebut
Ketiga, tatkala khomr diharamkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk mencuci bejana-bejana bekas diletakkan khomr sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencuci bejana-bejana tempat diletakkannya daging keledai negeri tatkala diharamkannya. Maka jika seandainya zat khomr itu najis maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkan para sahabat untuk mencuci bejana-bejana mereka yang bekas diletakkan khomr.
Jika telah jelas bahwa zat khomr tidaklah najis maka tidaklah wajib untuk mencuci sesuatu yang terkena khomr seperti baju, bejana, dan yang lainnya serta tidak diharamkan penggunaan khomr pada selain penggunaan yang diharamkan yaitu untuk diminum atau yang lainnya yang menyebabkan mafsadah (kerusakan) yang Allah menjadikan kerusakan merupakan sebab untuk mengharamkan sesuatu.
Jika dikatakan, “Bukankah Allah mengatakan “Maka jauhilah khomr…”, dan konsekuensi dari perintah ini adalah menjauhi khomr dalam segala keadaan?”, maka jawabannya adalah sesungguhnya Allah menjelaskan sebab perintah-Nya (untuk menjauhi khomr) yaitu firmannya:
Hingga akhir ayat, dan sebab ini tidak ada pada khomr yang digunakan untuk selain diminum dan yang semisalnya. Jika alkohol memiliki manfaat-manfaat yang terbebas dari mafsadah-mafsadah yang disebutkan oleh Allah sebagai sebab adanya perintah (untuk menjauhi khomr) maka bukanlah hak kita untuk melarang orang-orang menggunakan alkohol (untuk selain diminum), dan paling keras yang bisa kita katakan bahwasanya khomr termasuk perkara-perkara yang subhat (tidak jelas hukumnya) dan sisi pengharamannya lemah. Maka jika memang ada kebutuhan untuk menggunakannya (untuk selain diminum) maka hilanglah pengharamannya.
Oleh karenanya maka penggunaan alkohol pada perkara-perkara yang disebutkan oleh penanya hukumnya tidaklah mengapa insya Allah, karena Allah telah menciptakan bagi kita seluruh yang ada di muka bumi ini dan telah menundukkan apa-apa yang ada di langit dan di bumi. Dan bukanlah hak kita untuk menahan sesuatu dan melarang hamba-hamba Allah dari sesuatu tersebut kecuali dengan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah.
Jika dikatakan, “Bukankah tatkala khomr diharamkan, khomr-khomr tersebut (langsung) ditumpahkan?”
“Jawabannya adalah hal itu menunjukkan kesungguhan dalam melaksanakan perintah dan untuk memutuskan hubungan jiwa dengan khomr, lagi pula kita tidak melihat adanya manfaat khomr jika disimpan pada waktu itu, Allah lah yang lebih mengetahui.” (Dari Fatawa Syaikh Utsaimin, no. 210)
Ibnu Taimiyah berkata, “Berobat dengan memakan lemak babi hukumnya tidak boleh adapun berobat dengan memoleskan minyak babi tersebut kemudian nantinya dicuci maka hukumnya dibangun di atas hukum tentang menyentuh najis -tatkala dalam keadaan di luar shalat-, dan para ulama khilaf tentang hukum permasalahan ini. Dan yang benar hukumnya adalah boleh jika dibutuhkan sebagaimana dibolehkannya seseorang untuk beristinja’ (cebok) dengan tangannya dan menghilangkan najis dengan tangannya. Dan apa-apa yang dibolehkan karena ada hajat (kebutuhan, namun tidak mendesak hingga sampai pada keadaan darurat -pen) maka boleh pula digunakan untuk berobat sebagaimana dibolehkan berobat dengan menggunakan memakai kain sutra menurut pendapat yang paling benar dari dua pendapat.
Dan apa-apa yang dibolehkan karena darurat (yang jika tidak dilakukan bisa mengakibatkan kematian -pen) seperti makanan-makanan yang haram, maka diharamkan untuk digunakan sebagai obat (yang dimakan) sebagaimana tidak boleh berobat dengan meminum khomr…” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 24/270)
Syaikh Utsaimin berkata, “Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah) telah membedakan antara memakan dan selain memakan dalam penggunaan benda-benda yang najis, apalagi dengan alkohol yang zatnya tidak najis, karena jika alkohol bukanlah khomr maka jelas akan kesuciannya dan jika ia merupakan khomr maka yang benar zatnya pun tidak najis.” (Fatwa Syaikh Utsaimin no. 211 tatkala beliau ditanya tentang hukum penggunaan alkohol untuk mengobati luka?, maka beliau berkata, “tidaklah mengapa”)
Hukum Meminum Obat yang Bahan Pencampurnya dari Alkohol
Syaikh Utsaimin menukil perkataan Syaikh Muhammad Rasyid Ridho dari fatawa beliau hal 1631 di mana ia berkata, “Kesimpulannya bahwasanya alkohol adalah zat yang suci dan mensucikan dan merupakan zat yang sangat urgen dalam farmasi dan pengobatan dalam kedokteran serta pabrik-pabrik, dan alkohol masuk dalam obat-obat yang sangat banyak sekali. Pengharaman penggunaan alkohol bagi kaum muslimin menghalangi mereka untuk bisa menjadi pakar dalam banyak bidang ilmu dan proyek, dan hal ini merupakan sebab terbesar keunggulan orang-orang kafir atas kaum muslimin dalam bidang kimia, farmasi, kedokteran pengobatan, dan industri. Pengharaman penggunaan alkohol bisa jadi merupakan sebab terbesar meninggalnya orang-orang yang sakit dan yang terluka atau menyebabkan lama sembuhnya penyakit mereka atau semakin parah sakit mereka.”
Syaikh Utsaimin mengomentari fatwa ini, “Ini adalah perkataan yang sangat kokoh, semoga Allah merahmati beliau, adapun mencampurkan sebagian obat dengan sedikit alkohol maka hal ini tidaklah menjadikan haramnya obat-obat tersebut jika campurannya sedikit di mana tidak nampak bekasnya setelah tercampur yang hal ini merupakan pendapat para ulama. Ibnu Qudamah berkata di Al-Mugni, 8/306, “Jika ia mencampur adonan tepung dengan khomr untuk dijadikan roti (dengan meletakkan adonan tersebut di atas pembakaran -pen) lalu ia memakannya, maka ia tidak diberi hukum had karena api telah membakar seluruh bagian khomr tersebut sehingga tidak tersisa bekasnya.” (Ibnu Qudamah) juga berkata di Al-Iqna’ dan syarahnya (4/71 penerbit Muqbil), “Jika ia mencampurkan khomr dengan air sehingga hilang bekas khomr tersebut dalam air kemudian ia meminumnya maka ia tidaklah diberi hukuman had karena dengan lebur dan hilangnya bekas khomr tersebut dalam air tidaklah merubah nama air tersebut (masih dinamakan air -pen), atau ia mengobati lukanya dengan khomr maka ia pun tidak diberi hukuman had karena ia tidak menggunakannya dengan meminumnya atau yang semisalnya.” Dan ini adalah sesuai dengan dalil dan logika. Adapun dalil maka telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:
Walaupun pengecualian dalam hadits ini (yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “kecuali jika berubah baunya…” -pen) lemah (sanadnya) hanya saja para ulama bersepakat untuk mengamalkannya. Sisi pendalilan dari hadits ini yaitu jika jatuh dalam air sesuatu yang najis yang tidak merubah kondisi air tersebut maka air tersebut tetap pada kesuciannya. Maka demikianlah pula dengan khomr jika dicampur dengan cairan yang lain yang halal kemudian tidak mempengaruhi kondisi cairan tersebut maka cairan tersebut tetap pada keadaan asalnya.
Dalam shahih Al-Bukhari, Abu Darda’ berkata
Al-Mury adalah makanan yang terbuat dari ikan yang diolesi dengan garam kemudian diberi khomr lalu dijemur di bawah terik matahari, maka berubahlah rasa khomrnya. Maksud dari atsar Abu Darda’ di atas adalah ikan paus yang ada garamnya dan di letakan di bawah terik matahari sehingga menghilangkan bekas khomr maka hukumnya adalah halal (untuk dimakan) (Lihat Umdatul Qori, 21/107). Adapun jika ditinjau dari logika, maka khomr itu hanyalah diharamkan karena sifat yang dikandungnya yaitu memabukkan, maka jika telah hilang sifat tersebut maka hilanglah pengharamannya karena hukum itu berputar bersama ‘illahnya (sebabnya), jika sebabnya ada maka hukumnya ada dan jika hilang sebabnya maka hilanglah hukumnya jika ‘illahnya (sebabnya) diketahui dengan pasti berdasarkan nash atau ijma’ sebagaimana dalam permasalahan kita ini (yaitu sebab pengharaman khomr diketahui dengan nash karena sifatnya yang memabukan -pen).
Sebagian orang menyangka bahwa sesuatu yang tercampur dengan khomr hukumnya haram secara mutlak meskipun presentasi khomr tersebut kecil dan tidak nampak lagi bekas-bekasnya, dan mereka menyangka bahwa inilah makna dari sabda Nabi:
Lalu mereka berkata, “Dalam obat ini ada sedikit khomr yang jika banyak akan memabukkan maka hukumnya adalah haram”. Maka dijawab bahwasanya khomr yang sedikit ini telah lebur dan hilang bekasnya dalam cairan lain, baik sifatnya maupun hukumnya, maka hukumnya dikembalikan kepada yang mendominasinya (yaitu cairan lain yang dicampuri khomr tersebut -pen). Adapun makna hadits tersebut adalah jika suatu minuman diminum banyak oleh seseorang mengakibatkan ia mabuk dan jika ia meminum sedikit saja tidak mabuk, maka walaupun meminum sedikit hukumnya adalah haram, karena meminum sedikit merupakan sarana untuk meminum yang banyak. Hal ini dijelaskan oleh hadits ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Dan farq adalah suatu volume yang cukup untuk 16 ritl, artinya jika ada sebuah minuman yang tidak bisa memabukkan kecuali jika diminum seukuran farq maka meminum seukuran telapak tangan juga haram dan inilah makna dari hadits:
Aku ingin mengingatkan suatu permasalahan yang rancu pada sebagian para penuntut ilmu yaitu mereka menyangka bahwa makna hadits di atas adalah jika dicampurkan sesuatu yang sedikit dari khomr dengan sesuatu cairan lain yang banyak maka hukumnya otomatis adalah haram, hal ini bukanlah makna hadits ini. Namun makna dari hadits ini adalah jika suatu minuman hanya memabukkan jika diminum dalam jumlah yang banyak maka meminum sedikitpun dari minuman tersebut juga haram hukumnya (meskipun tidak memabukkan). Contohnya jika ada suatu minuman jika seseorang meminumnya sepuluh botol ia akan mabuk dan jika hanya meminum sebotol tidak mabuk, maka sebotol minuman ini meskipun tidak memabukkan namun hukumnya haram inilah makna hadits, “Apa yang jika banyaknya memabukkan maka sedikitnya juga haram.” (Fatawa Syaikh Utsaimin, pertanyaan no. 211)
Hukum Menggunakan Parfum yang Mengandung Alkohol
Syaikh Utsaimin ditanya tentang hukum penggunaan parfum yang mengandung kolonia (yang mengandung alkohol) dan bagaimana hukum shalat dengan menggunakan baju yang tersentuh parfum tersebut??
Beliau menjawab, “Jika persentase alkoholnya besar maka yang lebih utama adalah meninggalkan pemakaian parfum tersebut, dan jika persentasenya kecil maka tidaklah mengapa. Adapun hukum shalat dengan pakaian yang tersentuh parfum tersebut maka adalah sah.”
Syaikh Albani berkata, ((Parfum-parfum yang mengandung alkohol yang bukan minyak tidaklah najis, namun bisa jadi hukumnya adalah haram. Hukumnya haram jika persentase alkohol pada parfum-parfum tersebut besar hingga menjadikan parfum-parfum tersebut suatu cairan yang memabukkan, maka jika demikian jadilah parfum tersebut memabukkan (khomr) dan masuklah ia dalam keumuman hadits-hadits yang melarang dari jual beli dan pembuatan khomr. Maka tidaklah boleh bagi kaum muslimin jika demikian untuk menggunakan parfum tersebut karena jenis penggunaan apapun terhadap parfum ini telah masuk dalam keumuman firman Allah
Dan sabda Nabi: “Allah melaknat khomr pada sepuluh perkara, peminumnya, penuangnya, yang meminta untuk dituangkan, yang membawanya, yang dibawakan untuknya, yang menjualnya, yang membelinya.”
Oleh karenanya, kami menasihati untuk menjauhi perdagangan parfum-parfum yang mengandung alkohol, terlebih lagi jika tertulis dalam labelnya bahwa kandungan alkoholnya 60 persen atau 70 persen, maknanya yaitu memungkinkan untuk mengubah parfum tersebut menjadi minuman yang memabukkan.
Dan di antara kaidah-kaidah dalam syariat adalah bab saddud dzariah (menutup sarana-sarana yang mengantarkan kepada keharaman). Pengharaman syariat terhadap sesuatu yang sedikit dari minuman yang memabukkan termasuk dalam bab ini, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang jika banyaknya memabukkan maka sedikitnya haram.” Kesimpulannya adalah tidaklah boleh jual beli parfum beralkohol jika persentasenya tinggi. (Fatawa Al-Madinah Al-Munawwaraoh, hal 60, soal no. 23)
Cara penyembuhan yang benar dengan taat kepada Allah… dan hal ini tertancap di hati para sahabat radhiyallahu ‘anhu.
Dalam riwayat yang lain dari hadits Abi Burdah, ia berkata:
Ketahuilah wahai saudaraku sesungguhnya Allah adalah Dzat yang maha mengetahui segala sesuatu, sesungguhnya Allah mengetahui akan ada hamba-hambaNya yang memiliki kecenderungan kepada hal-hal yang bersifat kesetanan, akan ada dari hamba-hambanya yang mempermainkan dalil-dalil yang berkaitan dengan pengharaman khomr. Akan ada hambanya yang mengikuti hawa nafsunya (bukan karena hasil ijtihad sebagaimana ijtihadnya para imam kaum muslimin) yang mengatakan bahwa khomr yang diharamkan hanyalah yang berasal dari anggur. Oleh karena itu Allah mewahyukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan jawami’ul kalim dengan sabdanya, “Setiap yang memabukkan adalah khomr dan semua khomr haram.”
Allah mengetahui bahwasanya akan ada dari kaum muslimin yang mempermainkan dalil-dalil pengharaman khomr yang mereka berkata “Khomr hanya diharamkan kalau diminum hingga mabuk, adapun jika diminum sedikit namun tidak sampai mabuk maka tidak diharamkan”, maka Allah pun mewahyukan kepada Rasul-Nya untuk bersabda,
Allah juga mengetahui bahwasanya akan ada dari kaum muslimin yang mempermainkan dalil, mereka meminum khomr namun mereka menggantikan nama khomr dengan nama yang lain, kemudian mereka berkata, “Yang diharamkan hanyalah khomr adapun yang saya minum ini namanya bukan khomr tapi minuman jiwa, atau jamu kesehatan, atau minuman kesehatan”, maka Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya untuk bersabda,
***
Penulis: Ust. Abu Abdil Muhsin Firanda, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Khomr menurut istilah syariat (terminologi) adalah segala sesuatu yang bisa memabukan tanpa membedakan apakah dari bentuknya nampak bahwa ia memabukan atau bentuknya tidak menunjukkan demikian, dan tanpa memandang dari zat apakah dibuat khomr tersebut, sama saja apakah terbuat dari anggur atau gandum atau nira atau yang lainnya, tanpa memandang apakah berbentuk cairan ataukah berupa zat padat, dan tanpa memandang apakah cara penggunaannya dengan diminum ataukah dengan dimakan atau dengan dihirup, dimasukkan melewati suntikan atau dengan cara apapun, inilah yang di tunjukan oleh hadits-hadits Nabi dan atsar para sahabat.
Sekelompok ulama berkata, “Dan sama saja apakah yang memabukkan tersebut adalah berbentuk benda padat atau benda cair atau berupa makanan atau minuman, dan sama saja apakah yang memabukkan tersebut berasal dari biji atau dari kurma atau susu atau yang lainnya.” (Jami’ul Ulum, 1/423)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَام
“Setiap yang memabukan adalah khomr dan setiap khomr adalah haram.” (HR. Muslim no. 2003 dari hadits Ibnu Umar, Bab Bayanu anna kulla muskirin khomr wa anna kulla khmr harom, Abu Daud, no. 3679)Ini adalah lafal Muslim, dalam riwayat yang lain
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Setiap yang memabukkan adalah haram.” (HR. Al-Bukhari no. 4087, 4088 bab ba’ts Mu’adz ilal yaman qobla hajjatil wada’, no. 5773, Muslim no. 1733)Dalam hadits-hadits di atas Rasulullah tidak membeda-bedakan. Rasulullah juga bersabda:
وإنِّي أَنْهَكُمْ عَنْ كُلِّ مُسْكِرٍ
“Dan aku melarang kalian dari segala yang memabukkan.” (HR. Abu Dawud no. 3677, bab al-’inab yu’shoru lil khomr)Dan tatkala turun ayat pengharaman khomr maka para sahabat memahami juga secara umum tanpa membeda-bedakan akan zat asal pembuatan khomr tersebut, mereka juga memahami bahwa semua yang memabukkan adalah khomr sama saja apakah terdapat di zaman Nabi atau tidak ada kemudian muncul di zaman mereka, atau di masa mendatang, sama saja apakah namanya khomr atau dengan nama yang lain. (Fathul Bari, 10/46)
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال خطب عمر على منبر رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال إنه قد نزل تحريم الخمر وهي من خمسة أشياء العنب والتمر والحنطة والشعير والعسل والخمر ما خامر العقل
Dar Ibnu Umar, ia berkata, “Umar berkhotbah di atas mimbar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia berkata, “Sesungguhnya telah turun (ayat) pengharaman khomr, dan khomr berasal dari lima macam, anggur, kurma, hintoh, syair, madu, dan khomr adalah apa yang menutup akal.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, 5/2122 no. 5266, Muslim, 4/2322)Apa yang dijelaskan oleh Umar adalah pengertian khomr secara istilah (terminologi) bukan secara bahasa (etimologi). Ibnu Hajr berkata, “Karena Umar bukan sedang berada dalam posisi menjelaskan definisi khomr menurut bahasa tetapi beliau sedang berada dalam posisi menjelaskan definisi khomr menurut hukum syar’i. Seakan-akan beliau berkata, “Khomr yang diharamkan dalam syariat adalah apa yang menutup akal.” meskipun ahli bahasa berbeda pendapat tentang definisi khomr menurut bahasa… kalaupun seandainya menurut bahasa khomr adalah sesuatu yang memabukkan yang khusus berasal dari anggur. Namun yang menjadi patokan adalah definisi menurut hukum syar’i, telah datang hadits-hadits yang menunjukkan bahwa sesuatu yang memabukkan yang berasal dari selain anggur (juga) dinamakan khomr dan definisi menurut hukum syar’i dikedepankan atas definisi menurut bahasa.” (Fathul Bari, 10/47)
Atsar ini dibawakan oleh para penulis hadits dalam bab-bab hadits-hadits yang marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena di sisi mereka atsar ini memiliki hukum marfu’ karena ia adalah pengabaran dari seorang sahabat yang menyaksikan turunnya ayat (tentang diharamkannya khomr dalam QS. Al-Maidah ayat 90). Beliau adalah sahabat yang mengerti tentang sebab turunnya ayat ini. Umar telah mengucapkan perkataannya ini di hadapan para pembesar sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak dinukil bahwasanya ada seorang pun dari mereka yang mengingkari beliau. Umar hendak mengingatkan bahwa yang dimaksud dengan khomr dalam ayat tidak hanya khusus bagi khomr yang terbuat dari anggur melainkan mencakup semua khomr yang terbuat dari selain anggur. Apa yang dipahami oleh Umar ini telah dengan jelas diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits Nu’man bin Basyir (Fathul Bari, 10/46):
أن النعمان بن بشير خطب الناس بالكوفة فقال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول إن الخمر من العصير والزبيب والتمر والحنطة والشعير والذرة وإني أنهاكم عن كل مسكر
Nu’man bin Basyir berkhotbah di hadapan orang-orang di Kufah lalu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata bahwasanya khomr itu dari perasan (anggur), dari zabib (anggur yang dikeringkan), dari kurma, dari hinthoh (gandum yang sudah dihaluskan), asy-Syai’r (yang masih belum dihaluskan), dan dari Adz-Dzurroh (jagung) dan aku melarang kalian dari segala yang memabukkan.” (HR. Ibnu Hibban, 12/219 no. 5398, Abu Dawud, 3/326 no. 3677)Penggunaan Alkohol Pada Pemakaian Luar (Bukan untuk Diminum)?
Syaikh Utsaimin ditanya tentang hukum penggunaan cairan yang mengandung alkohol untuk tujuan percetakan, gambar, peta, untuk eksperimen ilmiah dan yang lain sebagainya??
Maka beliau menjawab, ((Telah diketahui bersama bahwa zat alkohol kebanyakannya diambil dari kayu dan akar… dan yang paling banyak, kulit-kulit buah-buahan yang kecut seperti jeruk dan lemon sebagaimana yang kita saksikan. Alkohol adalah cairan yang mudah terbakar dan cepat menguap. Jika alkohol murni diminum maka bisa membunuh peminumnya atau memberi mudhorot atau menyebabkan kecacatan. Namun jika alkohol tersebut dicampur dengan zat (cairan) lain dengan ukuran tertentu maka akan menjadikan campuran tersebut minuman yang memabukkan. Oleh karena itu alkohol jika dilihat dari zatnya maka tidaklah digunakan sebagai minuman dan untuk mabuk-mabukan namun ia jika dicampur dengan zat lain maka hasil dari campuran itu memabukkan. Dan apa saja yang memabukkan maka ia adalah khomr yang diharamkan berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Namun apakah khomr zatnya adalah najis sebagaimana air kencing dan tahi?, atau zatnya tidak najis namun yang najis adalah makna (yang terdapat di dalamnya)?, para ulama berselisih tentang permasalahan ini, dan mayoritas ulama berpendapat bahwa zat khomr adalah najis, namun yang benar menurutku zat khomr tidaklah najis namun hanyalah maknanya yang najis. Hal ini dikarenakan hal-hal berikut:
Pertama, karena tidak ada dalil akan najisnya zat khomr. Dan jika tidak ada dalil yang menunjukkan akan najisnya zat khomr maka zat khomr adalah suci karena (kaidah mengatakan) asal segala sesuatu adalah suci, Dan tidak setiap yang haram maka otomatis najis, racun haram namun tidak najis. Adapun firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون، إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah najis termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka tidakkah kalian berhenti (dari mengerjakan pekerjaan itu)??” (QS. al-Maidah [5]: 90-91)Maka kami katakan bahwasanya penggunaan khomr untuk selain diminum hukumnya adalah boleh karena hal ini tidak sesuai dengan firman Allah:
رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
“Adalah najis termasuk perbuatan syaitan.”Sebagaimana perjudian, berhala-berhala (yang disembah) dan anak-anak panah (yang digunakan untuk mengundi nasib) zatnya tidaklah najis maka demikian pula dengan khomr.
Kedua, tatkala turun ayat pengharaman khomr maka khomr ditumpahkan di pasar-pasar yang ada di kota Madinah, kalau seandainya khomr itu zatnya najis maka akan diharamkan juga penumpahannya di jalan-jalan yang dilewati orang-orang sebagaimana diharamkannya menumpahkan air kencing di pasar-pasar tersebut
Ketiga, tatkala khomr diharamkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk mencuci bejana-bejana bekas diletakkan khomr sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencuci bejana-bejana tempat diletakkannya daging keledai negeri tatkala diharamkannya. Maka jika seandainya zat khomr itu najis maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkan para sahabat untuk mencuci bejana-bejana mereka yang bekas diletakkan khomr.
Jika telah jelas bahwa zat khomr tidaklah najis maka tidaklah wajib untuk mencuci sesuatu yang terkena khomr seperti baju, bejana, dan yang lainnya serta tidak diharamkan penggunaan khomr pada selain penggunaan yang diharamkan yaitu untuk diminum atau yang lainnya yang menyebabkan mafsadah (kerusakan) yang Allah menjadikan kerusakan merupakan sebab untuk mengharamkan sesuatu.
Jika dikatakan, “Bukankah Allah mengatakan “Maka jauhilah khomr…”, dan konsekuensi dari perintah ini adalah menjauhi khomr dalam segala keadaan?”, maka jawabannya adalah sesungguhnya Allah menjelaskan sebab perintah-Nya (untuk menjauhi khomr) yaitu firmannya:
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan…”Hingga akhir ayat, dan sebab ini tidak ada pada khomr yang digunakan untuk selain diminum dan yang semisalnya. Jika alkohol memiliki manfaat-manfaat yang terbebas dari mafsadah-mafsadah yang disebutkan oleh Allah sebagai sebab adanya perintah (untuk menjauhi khomr) maka bukanlah hak kita untuk melarang orang-orang menggunakan alkohol (untuk selain diminum), dan paling keras yang bisa kita katakan bahwasanya khomr termasuk perkara-perkara yang subhat (tidak jelas hukumnya) dan sisi pengharamannya lemah. Maka jika memang ada kebutuhan untuk menggunakannya (untuk selain diminum) maka hilanglah pengharamannya.
Oleh karenanya maka penggunaan alkohol pada perkara-perkara yang disebutkan oleh penanya hukumnya tidaklah mengapa insya Allah, karena Allah telah menciptakan bagi kita seluruh yang ada di muka bumi ini dan telah menundukkan apa-apa yang ada di langit dan di bumi. Dan bukanlah hak kita untuk menahan sesuatu dan melarang hamba-hamba Allah dari sesuatu tersebut kecuali dengan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah.
Jika dikatakan, “Bukankah tatkala khomr diharamkan, khomr-khomr tersebut (langsung) ditumpahkan?”
“Jawabannya adalah hal itu menunjukkan kesungguhan dalam melaksanakan perintah dan untuk memutuskan hubungan jiwa dengan khomr, lagi pula kita tidak melihat adanya manfaat khomr jika disimpan pada waktu itu, Allah lah yang lebih mengetahui.” (Dari Fatawa Syaikh Utsaimin, no. 210)
Ibnu Taimiyah berkata, “Berobat dengan memakan lemak babi hukumnya tidak boleh adapun berobat dengan memoleskan minyak babi tersebut kemudian nantinya dicuci maka hukumnya dibangun di atas hukum tentang menyentuh najis -tatkala dalam keadaan di luar shalat-, dan para ulama khilaf tentang hukum permasalahan ini. Dan yang benar hukumnya adalah boleh jika dibutuhkan sebagaimana dibolehkannya seseorang untuk beristinja’ (cebok) dengan tangannya dan menghilangkan najis dengan tangannya. Dan apa-apa yang dibolehkan karena ada hajat (kebutuhan, namun tidak mendesak hingga sampai pada keadaan darurat -pen) maka boleh pula digunakan untuk berobat sebagaimana dibolehkan berobat dengan menggunakan memakai kain sutra menurut pendapat yang paling benar dari dua pendapat.
Dan apa-apa yang dibolehkan karena darurat (yang jika tidak dilakukan bisa mengakibatkan kematian -pen) seperti makanan-makanan yang haram, maka diharamkan untuk digunakan sebagai obat (yang dimakan) sebagaimana tidak boleh berobat dengan meminum khomr…” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 24/270)
Syaikh Utsaimin berkata, “Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah) telah membedakan antara memakan dan selain memakan dalam penggunaan benda-benda yang najis, apalagi dengan alkohol yang zatnya tidak najis, karena jika alkohol bukanlah khomr maka jelas akan kesuciannya dan jika ia merupakan khomr maka yang benar zatnya pun tidak najis.” (Fatwa Syaikh Utsaimin no. 211 tatkala beliau ditanya tentang hukum penggunaan alkohol untuk mengobati luka?, maka beliau berkata, “tidaklah mengapa”)
Hukum Meminum Obat yang Bahan Pencampurnya dari Alkohol
Syaikh Utsaimin menukil perkataan Syaikh Muhammad Rasyid Ridho dari fatawa beliau hal 1631 di mana ia berkata, “Kesimpulannya bahwasanya alkohol adalah zat yang suci dan mensucikan dan merupakan zat yang sangat urgen dalam farmasi dan pengobatan dalam kedokteran serta pabrik-pabrik, dan alkohol masuk dalam obat-obat yang sangat banyak sekali. Pengharaman penggunaan alkohol bagi kaum muslimin menghalangi mereka untuk bisa menjadi pakar dalam banyak bidang ilmu dan proyek, dan hal ini merupakan sebab terbesar keunggulan orang-orang kafir atas kaum muslimin dalam bidang kimia, farmasi, kedokteran pengobatan, dan industri. Pengharaman penggunaan alkohol bisa jadi merupakan sebab terbesar meninggalnya orang-orang yang sakit dan yang terluka atau menyebabkan lama sembuhnya penyakit mereka atau semakin parah sakit mereka.”
Syaikh Utsaimin mengomentari fatwa ini, “Ini adalah perkataan yang sangat kokoh, semoga Allah merahmati beliau, adapun mencampurkan sebagian obat dengan sedikit alkohol maka hal ini tidaklah menjadikan haramnya obat-obat tersebut jika campurannya sedikit di mana tidak nampak bekasnya setelah tercampur yang hal ini merupakan pendapat para ulama. Ibnu Qudamah berkata di Al-Mugni, 8/306, “Jika ia mencampur adonan tepung dengan khomr untuk dijadikan roti (dengan meletakkan adonan tersebut di atas pembakaran -pen) lalu ia memakannya, maka ia tidak diberi hukum had karena api telah membakar seluruh bagian khomr tersebut sehingga tidak tersisa bekasnya.” (Ibnu Qudamah) juga berkata di Al-Iqna’ dan syarahnya (4/71 penerbit Muqbil), “Jika ia mencampurkan khomr dengan air sehingga hilang bekas khomr tersebut dalam air kemudian ia meminumnya maka ia tidaklah diberi hukuman had karena dengan lebur dan hilangnya bekas khomr tersebut dalam air tidaklah merubah nama air tersebut (masih dinamakan air -pen), atau ia mengobati lukanya dengan khomr maka ia pun tidak diberi hukuman had karena ia tidak menggunakannya dengan meminumnya atau yang semisalnya.” Dan ini adalah sesuai dengan dalil dan logika. Adapun dalil maka telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:
الماء طهور لا ينجسه شيء إلا إن تغير ريحه أو طعمه أو لونه بناجسة تحدث فيه
“Air itu suci dan mensucikan dan tidak bisa dinajisi oleh sesuatu pun kecuali jika berubah baunya atau rasanya atau warnanya dengan najis yang mengenainya.”Walaupun pengecualian dalam hadits ini (yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “kecuali jika berubah baunya…” -pen) lemah (sanadnya) hanya saja para ulama bersepakat untuk mengamalkannya. Sisi pendalilan dari hadits ini yaitu jika jatuh dalam air sesuatu yang najis yang tidak merubah kondisi air tersebut maka air tersebut tetap pada kesuciannya. Maka demikianlah pula dengan khomr jika dicampur dengan cairan yang lain yang halal kemudian tidak mempengaruhi kondisi cairan tersebut maka cairan tersebut tetap pada keadaan asalnya.
Dalam shahih Al-Bukhari, Abu Darda’ berkata
وقال أبو الدرداء في المري ذبح الخمر النينان والشمس
“Al-Mury adalah penyembelihan ikan paus dengan khomr dan matahari.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya secara ta’liqon, 5/2092)Al-Mury adalah makanan yang terbuat dari ikan yang diolesi dengan garam kemudian diberi khomr lalu dijemur di bawah terik matahari, maka berubahlah rasa khomrnya. Maksud dari atsar Abu Darda’ di atas adalah ikan paus yang ada garamnya dan di letakan di bawah terik matahari sehingga menghilangkan bekas khomr maka hukumnya adalah halal (untuk dimakan) (Lihat Umdatul Qori, 21/107). Adapun jika ditinjau dari logika, maka khomr itu hanyalah diharamkan karena sifat yang dikandungnya yaitu memabukkan, maka jika telah hilang sifat tersebut maka hilanglah pengharamannya karena hukum itu berputar bersama ‘illahnya (sebabnya), jika sebabnya ada maka hukumnya ada dan jika hilang sebabnya maka hilanglah hukumnya jika ‘illahnya (sebabnya) diketahui dengan pasti berdasarkan nash atau ijma’ sebagaimana dalam permasalahan kita ini (yaitu sebab pengharaman khomr diketahui dengan nash karena sifatnya yang memabukan -pen).
Sebagian orang menyangka bahwa sesuatu yang tercampur dengan khomr hukumnya haram secara mutlak meskipun presentasi khomr tersebut kecil dan tidak nampak lagi bekas-bekasnya, dan mereka menyangka bahwa inilah makna dari sabda Nabi:
ما أسكر كثيره فقليله حرام
“Apa yang jika banyaknya memabukkan maka sedikitnya haram.”Lalu mereka berkata, “Dalam obat ini ada sedikit khomr yang jika banyak akan memabukkan maka hukumnya adalah haram”. Maka dijawab bahwasanya khomr yang sedikit ini telah lebur dan hilang bekasnya dalam cairan lain, baik sifatnya maupun hukumnya, maka hukumnya dikembalikan kepada yang mendominasinya (yaitu cairan lain yang dicampuri khomr tersebut -pen). Adapun makna hadits tersebut adalah jika suatu minuman diminum banyak oleh seseorang mengakibatkan ia mabuk dan jika ia meminum sedikit saja tidak mabuk, maka walaupun meminum sedikit hukumnya adalah haram, karena meminum sedikit merupakan sarana untuk meminum yang banyak. Hal ini dijelaskan oleh hadits ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كل مسكر حرام وما أسكر الفرق منه فملء الكف منه حرام
“Seluruh yang memabukkan adalah haram, dan apa saja yang jika diminum seukuran farq memabukkan maka meminum seukuran telapak tangan juga haram.”Dan farq adalah suatu volume yang cukup untuk 16 ritl, artinya jika ada sebuah minuman yang tidak bisa memabukkan kecuali jika diminum seukuran farq maka meminum seukuran telapak tangan juga haram dan inilah makna dari hadits:
ما أسكر كثيره فقليله حرام
“Apa yang jika banyak memabukkan maka sedikitnya haram…”Aku ingin mengingatkan suatu permasalahan yang rancu pada sebagian para penuntut ilmu yaitu mereka menyangka bahwa makna hadits di atas adalah jika dicampurkan sesuatu yang sedikit dari khomr dengan sesuatu cairan lain yang banyak maka hukumnya otomatis adalah haram, hal ini bukanlah makna hadits ini. Namun makna dari hadits ini adalah jika suatu minuman hanya memabukkan jika diminum dalam jumlah yang banyak maka meminum sedikitpun dari minuman tersebut juga haram hukumnya (meskipun tidak memabukkan). Contohnya jika ada suatu minuman jika seseorang meminumnya sepuluh botol ia akan mabuk dan jika hanya meminum sebotol tidak mabuk, maka sebotol minuman ini meskipun tidak memabukkan namun hukumnya haram inilah makna hadits, “Apa yang jika banyaknya memabukkan maka sedikitnya juga haram.” (Fatawa Syaikh Utsaimin, pertanyaan no. 211)
Hukum Menggunakan Parfum yang Mengandung Alkohol
Syaikh Utsaimin ditanya tentang hukum penggunaan parfum yang mengandung kolonia (yang mengandung alkohol) dan bagaimana hukum shalat dengan menggunakan baju yang tersentuh parfum tersebut??
Beliau menjawab, “Jika persentase alkoholnya besar maka yang lebih utama adalah meninggalkan pemakaian parfum tersebut, dan jika persentasenya kecil maka tidaklah mengapa. Adapun hukum shalat dengan pakaian yang tersentuh parfum tersebut maka adalah sah.”
Syaikh Albani berkata, ((Parfum-parfum yang mengandung alkohol yang bukan minyak tidaklah najis, namun bisa jadi hukumnya adalah haram. Hukumnya haram jika persentase alkohol pada parfum-parfum tersebut besar hingga menjadikan parfum-parfum tersebut suatu cairan yang memabukkan, maka jika demikian jadilah parfum tersebut memabukkan (khomr) dan masuklah ia dalam keumuman hadits-hadits yang melarang dari jual beli dan pembuatan khomr. Maka tidaklah boleh bagi kaum muslimin jika demikian untuk menggunakan parfum tersebut karena jenis penggunaan apapun terhadap parfum ini telah masuk dalam keumuman firman Allah
وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الْأِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.“ (QS. al-Maidah [5]: 2)Dan sabda Nabi: “Allah melaknat khomr pada sepuluh perkara, peminumnya, penuangnya, yang meminta untuk dituangkan, yang membawanya, yang dibawakan untuknya, yang menjualnya, yang membelinya.”
Oleh karenanya, kami menasihati untuk menjauhi perdagangan parfum-parfum yang mengandung alkohol, terlebih lagi jika tertulis dalam labelnya bahwa kandungan alkoholnya 60 persen atau 70 persen, maknanya yaitu memungkinkan untuk mengubah parfum tersebut menjadi minuman yang memabukkan.
Dan di antara kaidah-kaidah dalam syariat adalah bab saddud dzariah (menutup sarana-sarana yang mengantarkan kepada keharaman). Pengharaman syariat terhadap sesuatu yang sedikit dari minuman yang memabukkan termasuk dalam bab ini, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang jika banyaknya memabukkan maka sedikitnya haram.” Kesimpulannya adalah tidaklah boleh jual beli parfum beralkohol jika persentasenya tinggi. (Fatawa Al-Madinah Al-Munawwaraoh, hal 60, soal no. 23)
Cara penyembuhan yang benar dengan taat kepada Allah… dan hal ini tertancap di hati para sahabat radhiyallahu ‘anhu.
Dalam riwayat yang lain dari hadits Abi Burdah, ia berkata:
قال وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم قد أعطى جوامع الكلم بخواتمه فقال أنهى عن كل مسكر أسكر عن الصلاة
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diberikan (oleh Allah) “Jawami’ul kalim bi khowatimihi (Jawami’ul kalim adalah perkataan yang ringkas namun luas maknanya)” lalu ia bersabda, “Aku melarang dari setiap yang memabukkan dari shalat.” (HR Muslim, 3/1586 no. 1733)Ketahuilah wahai saudaraku sesungguhnya Allah adalah Dzat yang maha mengetahui segala sesuatu, sesungguhnya Allah mengetahui akan ada hamba-hambaNya yang memiliki kecenderungan kepada hal-hal yang bersifat kesetanan, akan ada dari hamba-hambanya yang mempermainkan dalil-dalil yang berkaitan dengan pengharaman khomr. Akan ada hambanya yang mengikuti hawa nafsunya (bukan karena hasil ijtihad sebagaimana ijtihadnya para imam kaum muslimin) yang mengatakan bahwa khomr yang diharamkan hanyalah yang berasal dari anggur. Oleh karena itu Allah mewahyukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan jawami’ul kalim dengan sabdanya, “Setiap yang memabukkan adalah khomr dan semua khomr haram.”
Allah mengetahui bahwasanya akan ada dari kaum muslimin yang mempermainkan dalil-dalil pengharaman khomr yang mereka berkata “Khomr hanya diharamkan kalau diminum hingga mabuk, adapun jika diminum sedikit namun tidak sampai mabuk maka tidak diharamkan”, maka Allah pun mewahyukan kepada Rasul-Nya untuk bersabda,
كل مسكر حرام وما أسكر الفرق منه فملء الكف منه حرام
“Seluruh yang memabukkan adalah haram, dan apa saja yang jika diminum seukuran farq memabukkan maka meminum seukuran telapak tangan juga haram))Allah juga mengetahui bahwasanya akan ada dari kaum muslimin yang mempermainkan dalil, mereka meminum khomr namun mereka menggantikan nama khomr dengan nama yang lain, kemudian mereka berkata, “Yang diharamkan hanyalah khomr adapun yang saya minum ini namanya bukan khomr tapi minuman jiwa, atau jamu kesehatan, atau minuman kesehatan”, maka Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya untuk bersabda,
ليشربن ناس من أمتي الخمر يسمونها بغير اسمها
“Sungguh akan ada golongan dari umatku yang meminum khomr lalu mereka menamakan khomr dengan nama yang lain.” (HR. Abu Dawud, 3/329 no. 3688, Ibnu Majah, 2/1123 no. 3384, Ibnu Hibban, Al-Ihsan, 15/160 no. 6758))***
Penulis: Ust. Abu Abdil Muhsin Firanda, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Post a Comment