F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-88 Adh-Dhoman (Penjaminan Hutang) Bagian Pertama

Audio ke-88 Adh-Dhoman (Penjaminan Hutang) Bagian Pertama
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 KAMIS | 08 Jumadal Akhirah 1445 H | 21 Desember 2023 M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-88

📖 Adh-Dhoman (Penjaminan Hutang) Bagian Pertama

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه أمام بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Masih bersama rangkaian kata-kata yang termaktub dalam matan Al-Ghayyah fi Al-Ikhtishar buah karya Syaikh Imam Abu Syuja' rahimahullahu ta'ala.

Pada kesempatan ini kita sampai pada bab baru yaitu Adh-Dhoman (الضمان) penjaminan utang.

Kadang kala seseorang yang berhutang merasa tidak mampu atau khawatir untuk tidak mampu melakukan pembayaran sehingga dia butuh support, bisa berupa gadai, sehingga pada saatnya jatuh tempo barang yang dia gadaikan bisa dijadikan sebagai alat untuk melakukan pelunasan hutang yaitu dengan cara dilelang.

Atau bisa jadi pihak kreditur (pihak yang menghutangi) merasa khawatir kalau-kalau pihak debitur (pihak yang berhutang) mengalami gagal bayar. Untuk memberikan kepastian pada saat jatuh tempo hak-haknya akan dapat di peroleh kembali. Maka kadangkala pihak kreditur mempersyaratkan adanya barang gadai.

Dan di antara instrumen yang dilakukan oleh masyarakat dan dibenarkan secara syariat untuk memberikan kepastian bahwa pihak debitur (pihak yang berhutang) akan melakukan pembayaran, akan menunaikan haknya tepat waktu dalam jumlah yang sesuai dengan yang terhutang.

Kadangkala pihak debitur (pihak yang berutang) mendatangkan orang ketiga atau pihak ketiga yang menyatakan kesanggupan untuk melakukan pembayaran, untuk melunasi hutang bila pihak debitur mengalami gagal bayar.

Atau bisa jadi pula keberadaan pihak ketiga tersebut yang menyatakan kesanggupan untuk mewakili, kesanggupan untuk melunasi untuk bertindak mewakili pihak debitur bisa jadi itu inisiatif dan permintaan dari kreditur.

Karena kreditur merasa, bisa jadi karena tidak kenal, bisa jadi karena ragu akan kemampuan pihak debitur yang berhutang, atau bisa jadi yang memiliki pengalaman yang kurang menyenangkan, sehingga dia tidak ingin terjatuh dalam kesalahan atau dalam kasus yang sama.

Makanya dia meminta adanya pihak ketiga yang biasanya pula pihak ketiga tersebut atau yang sering disebut dengan penjamin hutang biasanya memiliki kemampuan untuk melakukan pelunasan, memiliki kemampuan finansial yang lebih baik, memiliki sikap yang lebih baik dibanding pihak kedua, lebih dikenal oleh kreditur.

Sehingga ketika kreditur menghutangkan dananya kepada debitur kepada pihak yang berhutang, kreditur merasa tenang, bahwa pada saatnya nanti ketika jatuh tempo kalau ia gagal mendapatkan haknya dari debitur, ia akan mendapatkan haknya dari pihak penjamin hutang. Sehingga dalam posisi semacam ini kreditur lebih merasa tenang.

Ini gambaran sekilas tentang apa itu الضمان (penjaminan)

Para ulama berselisih pendapat tentang hekakat الضمان itu sendiri, penjaminan hutang.

Apakah penjamin hutang itu pemindahan tanggungjawab dari pihak debitur yang berhutang kepada pihak penjamin?
Atau penjamin itu adalah cadangan? Sehingga penjamin hanya boleh ditagih, hanya bisa ditagih bila pihak debitur (berhutang) betul-betul telah terbukti gagal bayar atau betul-betul tidak mampu melakukan pembayaran hutang di saat jatuh tempo.

Ini ada dua versi:

Versi Pertama

Penjamin hutang itu adalah pengganti. Dia berperan menggantikan pihak debitur, sehingga kreditur yang menghutangi berhak menagih keduanya secara bersamaan atau secara bergantian.

Versi Kedua

Kreditur tidak berhak melakukan penagihan kepada penjamin hutang, kecuali bila telah terbukti bahwa dia (kreditur) tidak bisa menagihkan haknya kepada debitur.

Baik karena dia telah meninggal dunia, atau karena dia pailit, atau karena kepergiannya, atau karena sikap yang berhutang (debitur) yang tidak kooperatif dalam melakukan pembayaran hutangnya.

Ada dua persepsi dikalangan para ulama. Perbedaan dua persepsi ini akan menimbulkan perbedaan fatwa, perbedaan sikap, perbedaan hukum karena memang mereka para ulama, para ahli fiqih berbeda pendapat, berbeda dalam mengasumsikan, dalam memposisikan atau mengartikan الضمان (penjaminan hutang).

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini kurang dan lebihnya mohon maaf

بالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.