F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-14: Menghadap Kiblat dalam Kondisi Genting dan ketika Tidak Tahu Sama Sekali Arah Kiblat

Transkrip Audio ke-14: Menghadap Kiblat dalam Kondisi Genting dan Cara Menentukan ketika Tidak Tahu Sama Sekali Arah Kiblat
📖 Whatsapp Grup Islam Sunnah | GiS
☛ Pertemuan ke-42
🌏 https://grupislamsunnah.com/
🗓 KAMIS, 20 Syawal 1444 H / 11 Mei 2023 M
👤 Oleh: Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny, M.A. حفظه الله تعالى
📚Kitab Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam Minattakbiri Ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi mulai dari Takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani Rahimahullah

💽 Audio ke-14: Menghadap Kiblat dalam Kondisi Genting dan Cara Menentukan ketika Tidak Tahu Sama Sekali Arah Kiblat


السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّٰهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ لِلهِ ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللّٰهِ ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ

Kaum muslimin dan kaum muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS -Grup Islam Sunnah- yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syekh Al-Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam Minattakbiri Ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi mulai dari Takbir sampai Salamnya seakan-akan Anda Melihatnya).

Baiklah, kita lanjutkan kajian kita.

Beliau menjelaskan tentang bagaimana ketika keadaannya sedang genting. Apakah kita disyaratkan harus menghadap kiblat?

Maka beliau mengatakan:

وَأَمَّا فِيْ صَلَاةِ الْخَوْفِ الشَّدِيْدِ ؛
“Adapun ketika shalat dalam keadaan kondisi yang takut (sangat genting)”
فَقَدْ سَنَّ ﷺ لِأُمَّتِهِ أَنْ يُصَلُّوْا ❲ رِجَالًا ❳
“maka Beliau mensyari'atkan bagi umatnya untuk shalat sambil berjalan”
❲ رِجَالًا قِيَامًا عَلَى أَقْدَامِهِمْ أَوْ رُكْبَانًا، مُسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةِ، أَوْ غَيْرَ مُسْتَقْبِلِيْهَا ❳
“bisa dalam keadaan berjalan, berdiri, atau di atas kendaraan; baik menghadap kiblat ataupun tidak.”
Ini karena keadaannya genting, jadi semua syarat-syarat tersebut bisa gugur. Dan ini bukti bahwa Islam adalah agama yang dimudahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Makanya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan:

{ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ }
“Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menjadikan kesulitan dalam agama ini.”(QS. Al-Hajj: 78)
Transkrip Audio ke-14: Menghadap Kiblat dalam Kondisi Genting dan Cara Menentukan ketika Tidak Tahu Sama Sekali Arah Kiblat
Dan ini dalil dari kaidah:

❲ الْمَشَقَّةُ تَجْلِبِ التَّيْسِرُ ❳
“Kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan.”
Ketika dalam keadaan genting, ini dalam keadaan yang sulit, maka Allah dan Rasul-Nya menggugurkan banyak kewajiban dalam shalat.
  • Menghadap kiblat jadi gugur.
  • Berdiri di dalam shalat fariidhah (dalam shalat fardhu) gugur.
Misalnya kita sedang perang, sedang dalam ketakutan, sedang dalam keadaan yang genting, kita harus tiarap misalnya, dalam waktu yang lama. Maka ketika waktu shalat fardhu datang dan kita tidak mungkin mengakhirkannya lagi, maka ketika tiarap itu kita shalat fardhu.
  • Kewajiban untuk berdiri di shalat fardhu menjadi gugur karena keadaan yang genting ini.
  • Menghadap ke mana pun boleh. Gugur kewajiban untuk menghadap ke kiblat.
  • Di atas kendaraan atau di bawah kendaraan ini juga gugur. Syarat untuk di bawah kendaraan menjadi gugur karena kesulitan tersebut.
Kemudian mualif rahimahullah mengatakan:

وَقَالَ ﷺ : ❲ إِذَا اخْتَلَطُوْا ؛ فَإِنَّمَا هُوَا التَّكْبِيْرُ وَالْإِشَارَةُ بِالرَّأْسِ ❳
“Jika mereka sudah saling berbaur (saling menyerang), bercampur dalam pertempuran, maka yang disyariatkan dalam shalat tersebut hanyalah takbir dan isyarat dengan kepala.”
Ini lebih dahsyat lagi. Jadi, rukuknya hilang, sujudnya hilang, gerakan-gerakan tersebut hilang semuanya, diganti dengan isyarat saja. Mengisyaratkan dengan kepala.

Beliau ﷺ juga pernah bersabda:

وَكَانَ ﷺ يَقُوْلُ : ❲ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ ❳ .
“Arah antara tempat terbitnya matahari timur dan tempat terbenamnya matahari yaitu barat adalah kiblat.”
وَقَالَ جَابِرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ :

Jabir mengatakan:

❲ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ فِي مَسِيْرِةٍ أَوْ سَرِيَّةٍ ، فَأَصَابَنَا غَيْمٌ ، فَتَحَرَّيْنَا وَاخْتَلَفْنَا فِي الْقِبْلَةِ ، ❳

Ini masalah lain.
Jadi tadi masalah perang. Ketika sedang dalam keadaan perang, menghadap kiblat juga gugur.

Sekarang, ketika kita tidak bisa menentukan arah kiblat, keadaan kita aman, tapi kita tidak bisa menentukan kiblat, bagaimana solusinya? Apakah menghadap kiblat tetap diwajibkan? Kalau kita salah, maka kita harus mengulang shalatnya?

Maka hadits ini menjelaskan hukum tersebut.

❲ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ فِي مَسِيْرِةٍ أَوْ سَرِيَّةٍ ، فَأَصَابَنَا غَيْمٌ ، فَتَحَرَّيْنَا وَاخْتَلَفْنَا فِي الْقِبْلَةِ ، فَصَلَّى كُلُّ رَجُلٍ مِنَّا عَلَى حِدَّةٍ، فَجَعَلَ أَحَدُنَا يَحُطُّ بَيْنَ يَدَيْهِ لِنَعْلَمَ أَمْكِنَتَنَا ، فَلَمَّا أَصْبَحَنَا نَظَرْنَاهُ ، فَإِذَا نَحْنُ صَلَّيْنَا عَلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ، فَذَكَرْنَا ذٰلِكَ لِلنَّبِيِّ ﷺ ، [ فَلَمْ يَأْمُرْنَا بِالْإِعَادَةِ ] ، وَقَالَ: ( قَدْ أَجْزَأَتْ صَلَاتُكُمْ ) ❳
Artinya:
Kami pernah bersama Rasulullah ﷺ dalam sebuah perjalanan atau pasukan kecil (diberikan istilah "shariyyah"). Lalu kami ditutupi oleh awan hitam pekat, (langitnya mendung). Kami berusaha mencari tahu dan berselisih pendapat tentang arah kiblat. Akhirnya masing-masing dari kami shalat mengikuti arah berdasarkan pendapatnya masing-masing. Dan masing-masing kami juga menggaris di hadapannya (membuat garisan di hadapannya) untuk memberikan tanda, agar kami mengetahui tempat masing-masing. Ketika memasuki pagi hari kami melihatnya. Ternyata kami shalat bukan ke arah kiblat.

Kiblatnya salah, tapi mereka sudah berusaha mencari arah kiblat. Kalau kita tidak tahu arah kiblat, maka kita harus berusaha semaksimal mungkin.

Makanya kata-katanya taharrayna (تَحَرَّيْنَا). Taharrayna dalam bahasa Arab itu berusaha untuk memperkirakan (arah kiblat). Ini menjadi kewajiban. Tidak boleh kita tidak tahu arah kiblat, kemudian kita langsung menentukan arah tanpa berusaha dahulu. Misalnya, bertanya kepada orang lain atau sekarang misalnya ada aplikasi hp yang bisa memberikan arah kita untuk bisa shalat ke arah kiblat.

Intinya, harus berusaha semaksimal mungkin untuk menentukan arah kiblat dahulu apabila kita tidak tahu arah kiblat. Setelah itu baru shalat. Kalau ternyata masih salah, maka tidak mengapa, kewajibannya sudah digugurkan.

Lantas kami melaporkan. Ketika memasuki pagi hari, kami melihatnya ternyata kami shalat bukan ke arah kiblat. Lantas kami melaporkan hal itu kepada Nabi Muhammad ﷺ. Beliau ﷺ tidak memerintahkan kami agar mengulanginya, dan Beliau hanya bersabda, “Shalat kalian sudah sah/sudah cukup.”
Ini menunjukkan bahwa, ketika keadaannya demikian maka dibolehkan untuk tidak menghadap ke kiblat, karena sudah berusaha. Dan itulah kewajiban seseorang

{ لَا يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا }
"Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya."(QS. Al-Baqarah: 286)
Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Ala.

InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

════ ∴ |GiS| ∴ ════
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.