F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-68 Bab Rukun Shalat Bag. 1

Audio ke-68 Bab Rukun Shalat Bag. 1
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 RABU | 5 Dzulhijjah 1445 H | 12 Juni 2024 M
🎙 Oleh: Ustadz Anas Burhanuddin, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-68
https://drive.google.com/file/d/1md1nd1bmvfYwCW3237ZqjUhRjjequtUe/view?usp=sharing

📖 Bab Rukun Shalat (Bag. 1)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين سيدنا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين
أما بعد
Masih bersama kajian kitab Matnul Ghāyah wat Taqrīb (متن الغاية والتقريب) karya Abu Syuja’ Al-Ashfahani rahimahullāhu ta’ālā dalam fiqih Syafi'i.

Kita akan membahas tentang rukun shalat. Al Imam Abu Syuja’ Al-Ashfahani rahimahullāhu ta’ālā beliau mengatakan,

فَصْلٌ: وَأَرْكَانُ الصَّلَاةِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ رُكْناً

Pasal tentang rukun shalat.

Dan rukun shalat itu ada 18 (delapan belas) rukun.

Rukun shalat adalah amalan dalam shalat yang harus kita kerjakan dan tidak sah kecuali dengan mengerjakan amalan tersebut. Tidak boleh ditinggalkan juga tidak boleh diganti dengan sujud sahwi. Ini yang dimaksud dengan rukun shalat.

Dan rukun shalat ini menurut Abu Syuja’ Al-Ashfahani rahimahullāhu ta’ālā ada 18 rukun. Ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang jumlah rukun ini bahkan dalam madzhab Asy-Syafi'i juga ada perbedaan.

Nanti kita akan bahas bahwasanya rukun niat keluar dari shalat saat kita mengucapkan salam itu dihitung oleh Abu Syuja’ Al-Ashfahani rahimahullāhu ta’ālā sebagai rukun. Tapi yang shahih dalam madzhab Asy-Syafi'i itu tidak dihitung sebagai rukun. Jadi kalau kita kurangi itu saja maka rukunnya akan menjadi 17 (tujuh belas) saja.

Intinya ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam menghitung berapa rukunnya kemudian apa saja, ini biasa di antara para ulama tidak usah menjadi masalah bagi kita. Dan kita akan membahas apa yang disebutkan oleh Abu Syuja’ Al-Ashfahani rahimahullāhu ta’ālā.

Apa saja 18 rukun ini? Beliau mengatakan:

1. Niat (النِّيَّةُ)

Yaitu mengikhlaskan amalan kita ini semata untuk Allāh subhānahu wa ta’ālā. Dan niat adalah amalan hati, jadi yang dimaksud dengan niat adalah mengolah hati kita sebelum kita mengerjakan shalat dengan mengatakan dalam hati kita bahwasanya ini adalah shalat Zhuhur misalnya.

Kita tentukan ini shalat apa? Untuk membedakan apa ini shalat Zhuhur, shalat Ashar, shalat Shubuh atau shalat sunnah. Kita katakan dalam hati kita, ini adalah shalat Zhuhur karena Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Dan dalam madzhab Syafi'i disunnahkan untuk melafalkan niat dan ini disebutkan dalam kitab-kitab madzhab Syafi'i dan juga madzhab yang lain (sebagian madzhab yang lain) disunnahkan untuk melafalkan niat.

Namun yang lebih hati-hati wallāhu ta’ālā a’lam adalah mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam di mana tidak diriwayatkan bahwasanya beliau melafalkan niat beliau.

Maka niat adalah amalan hati jadi cukup sebelum kita mengerjakan shalat kita olah hati kita, kita pasang niat dalam hati kita bahwasanya ini adalah shalat Zhuhur karena Allāh subhānahu wa ta’ālā. Harus seperti itu dan niat ini adalah rukun jadi harus ada tidak bisa diganti.

Dan kita mengetahui bahwasanya niat dan ikhlas dalam beramal adalah salah satu syarat diterimanya amalan kita, yang kalau sampai tidak kita lakukan maka berarti shalat kita tidak sah dan ditolak oleh Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Adapun dalilnya adalah firman Allāh subhānahu wa ta’ālā,

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ
Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar mereka beribadah kepada Allāh dengan mengikhlaskan agama untuknya.
[QS Al-Bayyinah: 5].
Juga sabda Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khaththab radhiyallāhu 'anhu bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
Sungguh amalan-amalan itu hanya sah dengan niat-niatnya.
Jadi hadits ini menunjukan bahwasanya amalan kita tidak sah kecuali dengan niat. Maka seorang muslim harus mewujudkan hal ini sebelum dia memulai shalat. Olah hati, pasang hati kita, camkan bahwasanya ini adalah shalat A karena Allāh subhānahu wa ta’ālā, kita tidak mengharap dari shalat ini kecuali hanya pahala dari Allāh subhānahu wa ta’ālā saja.

Dan dengan begitu kita sudah mengerjakan sebuah ibadah yang agung karena niat adalah amalan hati dan amalan hati itu adalah salah satu ibadah yang agung bahkan ibadah inti dalam Islam yang mengalahkan pahala amalan anggota tubuh yang lain.

Jadi kita jangan hanya berpikir ini adalah sebuah tugas dan kewajiban tapi kita juga menghadirkan bahwasanya niat ini adalah amalan hati yang berpahala besar, maka kita harus berusaha untuk mewujudkannya bukan hanya karena dia wajib, bukan hanya karena niat adalah wajib tapi kita juga ingat bahwasanya niat ini adalah amalan hati yang agung yang bisa menambah pundi-pundi pahala kita. Dengan demikian insya Allāh niat akan menjadi sesuatu yang ringan bagi kita.

2. Berdiri jika kita mampu (وَالقِيَامُ مَعَ القُدْرَةِ)

Artinya kalau kita mampu berdiri, maka kita wajib untuk berdiri.

Maka kita katakan dalam shalat fardhu di kereta, di pesawat, kita tidak boleh duduk selagi kita masih mampu untuk berdiri. Dan kita tidak boleh untuk duduk kecuali dalam keadaan darurat dan terpaksa.

Dalilnya adalah hadits Imran bin Hushain radhiyallāhu ta’ālā 'anhu yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari bahwasanya beliau mengatakan, "Saya pernah sakit bawasir (yakni wasir), maka saya bertanya kepada Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam, maka beliau mengatakan,

صَلَّى قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Hendaklah engkau shalat dengan berdiri, kalau engkau tidak bisa shalat berdiri hendaknya duduk dan kalau engkau tidak bisa shalat dengan duduk maka engkau shalat dengan miring, berbaring miring di atas pinggang kita."

Jadi semampu kita, tapi dalam keadaan kita bisa berdiri maka berdiri itu wajib. Dan dalam sebuah riwayat Al-Baihaqi disebutkan kalau seseorang tidak bisa shalat dengan miring maka dia boleh shalat dengan terlentang. Ini adalah kemudahan yang diberikan oleh Islam.

Jika kita bisa berdiri, maka kita harus berdiri, ini adalah sebuah kewajiban dalam shalat. Bahkan ini adalah sebuah rukun, baru kalau kita tidak bisa berdiri (kita) kewajiban untuk berdiri itu gugur untuk kemudian berpindah kepada duduk, kalau tidak bisa duduk bisa dengan miring (berbaring miring), kemudian kalau tidak bisa kita bisa terlentang.

Ini adalah sebuah rukhshah dalam Islam yang selaras dengan firman Allāh subhānahu wa ta’ālā,

فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ مَا ٱسْتَطَعْتُمْ

"Maka bertakwalah kepada Allāh dengan semampu kalian."[QS At-Taghabun: 16]

Demikian semoga bermanfaat, wallāhu ta’ālā a’lam.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين


•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.