🗓 JUM’AT | 23 Dzulqa’dah 1445H | 31 Mei 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-136
https://drive.google.com/file/d/1XVos9RCREbwsmTWbJFyPLhlk9heCskQg/view?usp=sharing📖 Ghashab Bagian Ketiga
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد
Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Masih bersama matan Kitab Al-Ghayyah fi Al-Ikhtishar buah karya Syaikh Imam Abu Syuja rahimahullahu ta'ala.
Kita sampai pada pembahasan tentang, Al-Ghashbu (merampas hak orang lain).
Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda:
من ظلم شبراً من الأرض طوقه يوم القيامة من سبع أراضين
Siapapun yang merampas, mengambil, menguasai, sejengkal tanah milik orang lain, maka kelak di hari kiamat kalau dia tidak kembalikan, kalau dia tidak minta dimaafkan. Maka dia akan dipikulkan kepadanya tanah yang dia rampas (kuasai) sebanyak tujuh lapis.
Karena para ulama telah menjelaskan bahwa siapa pun yang memiliki sebidang tanah, maka dia memiliki sebidang tanah tersebut hingga tembus ke lapis ke tujuh dari bumi ini. Itu hak dia. Sebagaimana hak dia adalah juga terus ke atas hingga langit yang ketujuh, itu hak dia. Tidak boleh ada yang menghalang-halangi dia untuk memanfaatkan udara yang ada di atas tanah dia hingga ke langit sana.
Karenanya dalam hadits tadi, siapa pun yang merampas tanah walaupun hanya sejengkal maka tanah itu akan dikalungkan kepada dia kelak di hari kiamat sebanyak tujuh lapis tanah yang ada di dunia ini.
Ini membuktikan bahwa ghashab bukan hanya berlaku pada benda-benda yang bisa dipindahkan, bisa dimobile, bisa dipindahtempatkan tetapi berlaku juga pada properti.
Dan di sini Al-Muallif rahimahullah menjelaskan bahwa solusi yang paling ideal dari ghashab adalah mengembalikan barangnya. Mengganti rugi cacat yang terjadi atau penyusutan yang terjadi pada barang tersebut, dan membayar nilai sewa selama barang tersebut ada di tangan Anda. Ini solusi paling ideal.
Namun ketika kita kaji dalil-dalil yang ada dari Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam, kita temukan bahwa solusi dari ghashab bukan hanya sebatas mengembalikan, karena walaupun mengembalikan adalah solusi ideal.
Itu yang paling ideal (paling bagus), sehingga barang dapat kembali kepada pemiliknya. Pemiliknya bisa memanfaatkan barang kembali seperti sedia kala, sehingga Anda betul-betul selesai dari tanggung jawab dosa ghashab.
Namun ada solusi alternatif bagi yang tidak bisa menyelesaikan ghashab sesuai dengan yang dijelaskan oleh Al-Muallif di sini, yaitu dengan cara meminta maaf.
Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda: Siapapun yang pernah melakukan satu tindak kedzhaliman baik dengan menyakiti, menumpahkan darah, menodai kehormatan atau merampas harta kekayaan seseorang.
Maka Nabi memberikan arahan,
فَلْيَتَحَلَّلْهُ منه اليَومَ
“Hendaknya segera dia minta dihalalkan, minta dimaafkan, baik dengan cara mengembalikan barangnya atau bisa jadi kalau memang itu memungkinkan yaitu meminta maaf.
Bisa jadi pemiliknya berlapang dada, berbesar hati untuk kemudian menghalalkan, "Ya sudah tidak apa-apa, saya maafkan itu sudah milik Anda, saya berikan saja". Kalau ini terjadi maka ini solusi alternatif, walaupun seringkali pemilik harta akan lebih memilih bila hartanya dapat kembali kepada dia seperti sediakala.
Karena memang manusia itu memiliki karakter al-bukhul, al-hirsh, pelit, eman, sayang, apalagi kepada orang yang telah terbukti curang, terbukti berbuat zhalim. Makanya seringkali orang yang didzhalimi, orang yang diambil haknya, sering kali memilih untuk dikembalikan haknya, bukan memaafkan.
Walaupun adapula orang-orang yang memang Allāh berikan jiwa besar. Jiwanya pemaaf, hatinya betul-betul dihuni oleh keimanan kepada takdir, sehingga dia tidak merasa sayang, dia tidak merasa eman, kalau dia memaafkan harta tersebut untuk kemudian dimiliki atau dinikmati oleh orang yang mengambilnya dengan cara-cara zhalim, dengan cara-cara tidak benar.
Kenapa? Dia betul-betul beriman dengan takdir. Dia orang yang hatinya bersih jauh dari hasad, jauh dari ambisi untuk balas dendam. Namun sekali lagi, ini adalah solusi alternatif yaitu meminta maaf, minta dihalalkan.
Kalau itu bisa terjadi maka tidak masalah, maka selesai pula masalahnya, karena pemilik hak telah memaafkan Anda. Walaupun barangnya masih tetap berada di tangan Anda. Walaupun barang yang Anda ambil darinya masih Anda gunakan.
Karena dalam urusan hak perdata ataupun pidana sesama manusia kewenangan paling tinggi untuk memaafkan, untuk memberikan satu keputusan itu adalah ada pada tangan pemilik hak. Sampai pun kalau orang itu dibunuh maka ahli warisnya atau yang disebut dengan wali-walinya berhak untuk memaafkan.
"Maafkan saja jangan diqishash, jangan dibunuh, maafkan biar dia hidup.”
Demikian pula orang yang dirampas hartanya diambil hartanya dengan tanpa izin, dia juga punya hak untuk mengatakan, "Saya telah memaafkannya”.
Itu tentu akan lebih baik, karena dengan kita memaafkan Allāh Subhānahu wa Ta'āla akan mengangkat derajat kita, karena dengan memaafkan kita telah membuktikan betul-betul layak sebagai orang yang mendapatkan derajat yang tinggi.
و ما زاد الله عبدًا بعفوٍ إلا عزًّا
"Tidaklah seorang manusia, seorang hamba itu memaafkan saudaranya kecuali Allāh akan tambahkan dia kemuliaan ( عزًّا)."
Dalam ayat lain Allāh juga berfirman:
وَأَن تَعْفُوٓا۟ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
"Kalau engkau memaafkan maka tentu itu lebih dekat dengan nilai-nilai ketakwaan." [QS Al-Baqarah: 237]
Karena Islam agama yang tidak mengajarkan kedzhaliman tetapi Islam melindungi hak, sehingga kalau Anda memilih untuk tidak memaafkan dan menuntut hak maka itu kewenangan Anda.
Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:
فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَٱعْتَدُوا۟ عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا ٱعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ ۚ …..
"Siapapun yang telah melakukan tindak kesewenang-wenangan kepada kalian, maka kalian boleh membalasnya dengan yang setimpal dengan perbuatan mereka (perbuatan dia).” [QS. Al-Baqarah: 194]
Dan jangan sekali-kali kalian melampaui batas ketika kalian mengambil hak atau pun membalas.
Tetapi sekali lagi bila Anda memaafkan Anda merelakan maka itu cermin Anda telah layak untuk mendapatkan kemuliaan dari Allāh karena Anda telah meneladani terinspirasi dengan salah satu nama Allāh Subhānahu wa Ta'āla العَفُوُّ (pemaaf).
Dan Allāh Subhānahu wa Ta'āla lebih senang untuk memaafkan dibanding membalas. Allāh berfirman dalam hadits qudsi:
و رَحْمَتِي سَبَقَتْ غَضَبِي
"Dan kasih sayangku lebih dominan lebih mengalahkan murkaku."
Karenanya sebagai seorang mukmin, seorang muslim sepatutnya Anda berlatih untuk bisa berlapang dada memaafkan. Tetapi Anda boleh menuntut.
Dan kalau Anda sebagai pihak yang berbuat zhalim maka Anda harus kooperatif mengembalikan, mengganti rugi baik kerugian fisik barang ataupun kerugian manfaat kegunaan barang tersebut.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla menambahkan taufik hidayah kepada Anda di manapun Anda berada. Kurang dan lebihnya saya mohon maaf.
وبالله التوفيق والهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment