🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SELASA | 20 Dzulqa’dah 1445H | 28 Mei 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-133
https://drive.google.com/file/d/1TgKelSphI42XEb5fDddlKfk8SHEz2-eb/view?usp=sharing📖 ’Āriyah (Peminjaman Barang) Bagian Ketujuh
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد
Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Kita masih bersama pembahasan العارية Peminjaman Barang.
Sebagian ulama lain mengatakan bahwa العرية itu dan ini pendapat yang dikuatkan al-Imam Ibnu Taimiyah serta yang lain, bahwa barang yang dipinjam itu hukum asalnya tidak wajib ditanggung kerugiannya.
Alias peminjam kalau terjadi kerusakan yang tidak disengaja bukan karena human error (bukan karena perilaku manusia yang teledor, perilaku peminjam yang ceroboh), tapi kerusakan itu terjadi karena faktor alami.
Misalnya pinjam motor kemudian di jalan dia rodanya terkena paku sehingga bocor. Maka kebocoran ini tidak wajib dibenahi oleh peminjam. Peminjam boleh mengembalikan dalam kondisi cacat dalam kondisi bocor bannya. Karena bukan kewajiban dia. Dia tidak merusakkannya.
Sehingga dia tidak wajib untuk menanggung kerugian tersebut. Apalagi keberadaan motor tersebut di tangan peminjam itu atas restu dari pemilik barang.
Kecuali bila ada kesepakatan pada saat akad bawa peminjam bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi pada barang. Bila ada persyaratan semacam ini atau klausul kesepakatan ketika akad pinjam-meminjam, maka pada kondisi tersebutlah peminjam wajib mengganti, peminjam wajib menanggung kerugian.
Artinya peminjam, ’tidak’ – hukum aslinya peminjam tidak berkewajiban menanggung kerugian, menanggung kerusakan kecuali bila ada kesepakatan. Baik kesepakatan kedua belah pihak ataupun komitmen sepihak dari peminjam ataupun adanya persyaratan yang diajukan oleh pemilik barang agar peminjam menanggung kerugian tersebut.
Namun sekali lagi dalam madzhab Syafi'i dikatakan bahwa “Peminjam berkewajiban menanggung kerugian secara mutlak, baik kerusakan itu terjadi di sengaja ataupun tidak.” Karena berdalilkan dengan hadits Shafwan ibnu Ummayyah.
عَارِيَةٌ مَضْمُونَةٌ
Pinjaman yang pasti dikembalikan apapun yang terjadi pasti akan dikembalikan.
Ini dalil yang cukup kuat yang bisa dikatakan menguatkan pendapat Al-Imam Syafi'i bahwa, “Barang yang dipinjam itu harus kembali utuh sedia kala apapun yang terjadi di saat barang tersebut sedang berada di tangan peminjam.”
Karena Nabi menjelaskan bahwa عارية itu akan dikembalikan dalam kondisi utuh seperti sediakala.
Dan dalam rangka menutup celah terjadinya kecurangan, terjadinya perbuatan orang-orang yang jahat yang ingin sengaja merusakkan barang orang yang berbuat baik karena unsur hasad, iri dan lainnya.
Atau menutup celah adanya keteledoran perilaku yang gegabah dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab, orang-orang yang tidak tahu berbalas budi. Sehingga ketika dipinjami bukannya dirawat dengan baik justru malah disia-siakan, diabaikan, diperlakukan semena-mena sesuka hatinya.
Tidak seperti ketika dia menggunakan barang atau aset pribadi. Digunakan dengan baik-baik dengan cara bijak. Tapi fakta di lapangan banyak orang yang ketika meminjam memperlakukan barang pinjaman itu sesuka hatinya, dia merasa tidak bertanggung jawab atas kerusakan.
Sehingga ini menjadi alasan untuk kemudian kita katakan bahwa pendapat yang diajarkan dalam madzhab Imam Syafi'i ini sangat kuat atau cukup kuat. Karena berdasarkan dalil di atas dan juga tinjauan secara faktual di mana banyak orang peminjam itu yang ceroboh.
Agar tidak terbuka ruang bagi orang-orang yang seperti ini, maka sangat tepat bila peminjam itu dibebani kewajiban menanggung kerusakan bila terjadi.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf.
بالله التوفيق والهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment