F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-132 Ariyah (Peminjaman Barang) Bagian Keenam

Audio ke-132 Ariyah (Peminjaman Barang) Bagian Keenam
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SENIN | 19 Dzulqa’dah 1445H | 27 Mei 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-132
https://drive.google.com/file/d/1TZCBUJueHqU8PHe2hSIahlcirwA1mEdS/view?usp=sharing

📖 ’Āriyah (Peminjaman Barang) Bagian Keenam


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kita masih bersama pembahasan العارية Peminjaman Barang, Muallif mengatakan,

وهي مضمونة على المستعير بقيمتها يوم تلفها

Dan barang yang dipinjam itu statusnya مضمونة statusnya wajib ditanggung segala kerugian (kerusakan) yang terjadi pada barang yang dipinjam harus ditanggung oleh peminjam.

Harus ditanggung oleh siapa? Peminjam, karena barang tersebut berada ditangannya (di tangan peminjam) bukan karena kepentingan pemilik barang tetapi karena kepentingan peminjam, sehingga tentu tidak etis kalau kemudian barang tersebut rusak dikembalikan dalam kondisi rusak.

Ini akan memicu keengganan orang untuk meminjamkan barang-barangnya. Ini akan menyebabkan para pemilik barang enggan untuk meminjamkan barangnya.

Tetapi ketika anda sebagai peminjam kemudian barang tersebut terjadi kerusakan baik disengaja ataupun tidak, keteledoran ataupun tidak, karena faktor manusia ataupun faktor alami. Kemudian setiap kerugian itu anda tanggung sehingga barang dapat dikembalikan utuh seperti sedia kala, ini akan menjadikan masyarakat tetap bersemangat meminjamkan barang.

Tetapi kalau meminjamkan, kemudian barang itu rusak, cacat, kemudian peminjam tidak dibebani kewajiban untuk mereparasi (menservis) barang yang rusak tersebut agar bisa dikembalikan dalam kondisi utuh, tentu ini akan menjadikan para pemilik barang was-was dan takut dari meminjamkan barangnya.

Selanjutnya, kalau barang yang dipinjamkan itu tidak dijamin, kerusakannya tidak ditanggung oleh peminjam, ini akan menimbulkan dua kerugian besar, dua kerusakan besar:

* Pertama

Membuka pintu selebar-lebarnya kepada orang yang ingin berbuat jahat, dengan dalih meminjam kemudian dia rusakkan, kemudian dia berkamuflase bahwa kerusakan itu terjadi bukan karena kesengajaan, tentu ini akan membuka pintu kejahatan bagi para orang-orang yang tidak berperikemanusiaan, tidak tahu berbalasbudi.

* Kedua

Menjadikan para peminjam itu cenderung untuk berbuat semena-mena (berbuat sesuka hatinya), tidak maksimal dalam merawat dan menjaga barang-barang yang dia pinjam.

Kenapa? toh ini pinjaman kalau rusak juga tidak akan mengganti, toh jika rusak tidak akan bertanggung jawab.

Akhirnya apa? akhirnya para peminjam ini sesuka hatinya memperlakukan barang yang dia pinjam. Tentu ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar tuntunan syariat.

Karena Islam tidak pernah merestui, Islam tidak pernah mengizinkan umatnya untuk menerapkan prinsip membalas air susu dengan air tuba, membalas kebaikan dengan kejahatan, yang diajarkan dalam Islam justru sebaliknya

هَلْ جَزَآءُ ٱلْإِحْسَـٰنِ إِلَّا ٱلْإِحْسَـٰنُ
"Adakah balasan yang layak untuk diberikan kepada orang yang berbuat baik selain balasan kebaikan pula.” [QS Ar-Rahman: 60]
Karenanya dalam madzhab Syafi’i, dinyatakan bahwa barang yang dipinjam itu kalau terjadi kerusakan disengaja ataupun tidak disengaja, maka itu menjadi tanggung jawab siapa? tanggung jawab peminjam.

Dia harus mereparasi, merawat atau mengganti rugi atas kerusakan yang terjadi. Dasarnya apa?

Dasarnya adalah satu kisah, satu hadits dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, suatu hari ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sedang mempersiapkan pasukan perang untuk menyerang orang-orang kafir yang berlindung di negeri Hunain, maka Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kala itu dalam kondisi kekurangan persenjataan.

Mempersiapkan pasukan perang tapi ternyata logistik peralatan perang kurang. Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mendatangi salah satu seorang Quraisy, tokoh Quraisy yang baru saja masuk Islam, namanya Shafwan ibnu Ummayyah Radhiyallahu ta'ala 'anhu.

Dia dikenal sebagai seorang konglomerat kaya raya dari kalangan orang Quraisy dan dikenal memiliki persenjataan yang banyak, baik itu perisai, panah, busur, pedang dan yang lainnya.

Maka Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam datang kepada Shafwan ibnu Ummayyah untuk meminjam sebagian peralatan perang kemudian Shafwan ibnu Ummayyah mengatakan,

أَغَصْبٌ يَا مُحَمَّدُ

"Wahai Nabi Muhammad, apakah engkau datang meminjam barang ini dalam konteks ingin merampas kekayaanku (mengambil paksa kekayaanku)?”

Maka nabi menjawab, "Tidak".

بَلْ عَارِيَةٌ مَضْمُونَةٌ

Tidak! Aku tidak ingin aku merampas hartamu, tetapi ini adalah peminjaman yang terjamin. Aku jamin akan aku kembalikan seperti sedia kala.”

Berdasarkan hadits ini, kemudian para fuqaha Syafi'i menyatakan bahwa 'Ārīyah itu wajib ditanggung, peminjam wajib menanggung kerusakan ataupun cacat yang terjadi pada barang yang dia pinjam.

Disengaja kerusakan barang tersebut ataupun tidak disengaja. Alasannya dalam rangka menutup celah bagi orang-orang yang berniat jahat, untuk menutup celah adanya orang yang teledor, ceroboh dalam menjaga dan merawat barang pinjaman

Dan juga berdasarkan hadits Shafwan ibnu Ummayyahyang padanya Nabi mengatakan,

عَارِيَةٌ مَضْمُونَةٌ

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

بالله التو فيق والهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبر كاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.