F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Halaqah 30 ~ Landasan 2 Marifatu Dīnil Islam Bil Adillah: Makna Syahadat Lailaha Illallah

Halaqah 30 ~ Landasan Kedua Marifatu Dīnil Islam Bil Adillah: Makna Syahadat Lailaha Illallah
🆔 Group WA HSI AbdullahRoy
🌐 edu.hsi.id
🔊 Halaqah 30 ~ Landasan Kedua Ma'rifatu Dīnil Islam Bil Adillah: Makna Syahadat Lāilāha Illallāh
👤 Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A.
Audio https://drive.google.com/file/d/10IechRS3rLRI9DgUrNMDYz0jKZNS3Ckw/view?usp=sharing

Halaqah 30 ~ Landasan Kedua Ma'rifatu Dīnil Islam Bil Adillah: Makna Syahadat Lāilāha Illallāh

Halaqah yang ke-30 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al Ushūlu AtsTsalātsah wa Adillatuhā (3 Landasan utama dan dalīl-dalīlnya) yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh.

Kemudian beliau rahimahullāh menjelaskan tentang لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ.

Kita akan lihat nanti, ketika beliau menyebutkan shalāt, zakat, haji tentang syaum beliau rahimahullāh tidak menjelaskan panjang lebar tetapi ketika beliau membahas tentang syahādat beliau menjelaskan dengan panjang lebar.

Kenapa demikian?

Karena beliau rahimahullāh mengetahui bahwasanya syahādat adalah pokok di dalam agama Islām, karena ini berkenaan dengan masalah tauhīd. Ma’rifatullāh berkaitan dengan Tauhīd demikian pula Ma’rifaru Dīnul Islām berkaitan juga dengan Tauhīd karena di dalam Dīnul Islām ada 3 tingkatan.

Didalam Islām ada syahādat dan di dalam Imān ada rukun Imān, rukun Imān yang pertama adalah beriman kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Ketika membahas beriman kepada Allāh juga akan membahas tentang tauhīd, ketika membahas شَهِدَ اللّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ الله – juga membahas tentang Tauhīd.
  • Ma’rifatullāh berkaitan dengan Tauhīd.
  • Ma’rifaru Dīnul Islām berkaitan juga dengan Tauhīd.
  • Ma’rifatun Nabi juga akan dibahas tentang Tauhīd.

Makna Syahadat Lailaha Illallah

Beliau rahimahullāh mengatakan makna لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ :

ومعناها: لا معبود بحق إلا الله وحده (لا إله) نافياً ما يعبد من دون الله

Makna شَهَادَةِ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ – Tidak Ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allāh. Ini adalah makna yang paling sempurna dan paling sesuai dengan kalimat لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ .
Tidak Ada sesembahan yang berhak (yang benar) kecuali Allāh.
Yang berhak (bi-haqqi) maksudnya adalah yang memang berhak untuk disembah, karena hak bisa diartikan yang benar atau yang berhak.

Rukun Syahadat Lailaha Illallah

Kalimat لَا إلَهَ إلَّا اللَّه – terdiri dari dua bagian (dua rukun لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ).

  1. Rukun An-Nafī (harus mengingkari) pada kalimat لَا إلَهَ
  2. Rukun Al-Itsbat (Menetapkan) pada kalimat إلَّا اللَّهُ

Ketika seseorang mengatakan لَا إلَهَ berarti dia dalam keadaan nafīyyan. Nafīyyan disini hal, shahihul hal-nya adalah Allāh Azza wa Jalla, karena dia tafsir terhadap firman Allāh شَهِدَ اللّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ.

Nafīyyan maksudnya adalah Allāh menafī’kan segala sesuatu yang disembah selain Allāh. Itu ada di dalam kalimat لَا إلَهَ – Allāh menafī’kan segala sesuatu yang disembah selain Allāh (seluruhnya) kalau itu adalah دون الله – dan dia disembah maka dinafī’kan, baik itu seorang nabi atau malāikat (siapapun dia).

Itu adalah rukun pertama yang dinamakan dengan rukun An-Nafī (harus mengingkari) mengingkari seluruh sesembahan selain Allāh.

Rukun yang kedua إلَّا اللَّهُ :

مثبتاً العبادة لله وحده لا شريك له في عبادته، كما أنه ليس له شريك في ملكه

Allāh menetapkan bahwasanya ibadah itu hanyalah untuk لله وحده saja.

Makna لاَ إِلَـهَ إِلاَّ الله terdiri dari dua rukun yang pertama adalah Al-Nafyu dan Al-Itsbat keduanya harus ada, kalau keduanya tidak ada maka tidak benar maknanya.

Seandainya hanya لاَ إِلَـهَ saja, maka ini pengingkaran adanya sesembahan, dia mengingkari wujud Allāh, dia tidak percaya adanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla (atheis).
Tetapi jika menetapkan saja dengan mengatakan الله معبود atau الله اله – Allāh adalah sesembahan.

Orang yang mengatakan الله اله dia tidak mengingkari bahwasanya yang lain juga اله.

Misalnya :

Orang yang menyembah Isa, dia mengatakan, “Allāh itu sesembahan, kamu percaya bahwa Allāh itu sesembahan?” kemudian dia mengatakan, “Iya, Allāh adalah sesembahan”. Apakah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dia muslim?

Ketika dia mengatakan الله اله belum tentu dia mengingkari yang lain juga اله.

Jika hanya itsbat saja, Allāh adalah اله maka ini tidak cukup , karena ini belum sempurna, agar sempurna kita harus menggabungkan antara Nafyu dan Itsbat, itulah keadilan (قَآئِمَاً بِالْقِسْطِ).

Bagaimana caranya agar sempurna?

Maka kita katakan لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ – Tidak ada sesembahan (kita ingkari semuanya) kemudian kita kecualikan إلَّا اللَّهُ (kecuali Allāh saja).

Oleh karena itu makna yang benar adalah لا معبود بحق إلا الله وحده – itulah makna لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ karena intinya kita mengingkari seluruh sesembahan selain Allāh, yang itu adalah sesembahan yang bathil. Dan kita ingin menetapkan Allāh sebagai satu-satunya sesembahan.

Sehingga sempurnanya adalah لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ – itulah makna apa yang diucapkan oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan yang beliau dakwahkan.

Dan itu pula yang dipahami oleh orang-orang Arab ketika mereka mendengar dakwah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Yang mereka pahami dari beliau adalah لا معبود بحق إلا الله وحده – tidak ada makna yang lain.

Karena sebagian ada yang mengatakan لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ maknanya adalah لا خالق إلا الله (Tidak ada yang mencipta selain Allāh).

Makna لا خالق إلا الله – benar atau tidak?

Makna ini benar, tetapi apakah dia makna dari kalimat لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ ?

Jawabannya, TIDAK !

Benar bahwasanya tidak ada yang mencipta selain Allāh, tapi itu bukan makna inti dari لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ.

Orang-orang musyrikin Quraish yang sudah kita tahu bahwasanya mereka juga meyakini bahwasanya Allāh yang mencipta, memberi rezeki, mengatur alam semesta. Ketika didakwahkan kepada mereka untuk لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ – ternyata mereka tidak mau mengucapkan kalimat itu. Abū Jahl, Abū Lahab, Abū Thālib tidak mau mengucapkan kalimat لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ .

Dan orang-orang yang semisal dengan mereka, didakwahi kepada tauhīd dan mereka meninggal dalam keadaan syirik.

إِنَّهُمْ كَانُوٓا۟ إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ

“Sungguh, apabila dikatakan kepada mereka, Lā ilāha illallāh (Tidak ada tuhan selain Allāh) mereka menyombongkan diri.

وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوٓاْ ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٖ مَّجۡنُونِۭ

Dan mereka berkata, “Apakah kami harus meninggalkan sesembahan kami karena seorang penyair gila?” (QS. Ash-Shāffāt : 35-36)

Tukang syair sudah tercela diantara mereka apalagi tukang syair yang gila.

Seandainya makna لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ – ini adalah لا خالق إلا الله – tentunya Abū Thālib, Abū Lahab, Abū Jahl dengan senang hati mereka akan mengatakan لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ.

Apa yang susah? Memang itu keyakinan kami bahwa Allāh adalah yang mencipta tidak ada yang mencipta selain Allāh.

Hubbal, Lattā, Uzzā dan seterusnya mereka tidak mencipta (itu adalah keyakinan mereka) seandainya maknanya adalah لا خالق إلا الله – ahlan wa sahlan dengan senang hati meskipun mengucapkan لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ sehari 1000 kali mereka akan melakukannya tapi mereka tidak mau mengucapkan satu kali pun kata لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ karena mereka tahu makna لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ – bukan لا خالق إلا الله – tetapi لا معبود بحق إلا الله .

Disana ada makna yang lain yang juga salah لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ – diartikan لا معبود موجود إلا الله (Tidak ada sesembahan yang ada kecuali Allāh) ini bisa disalah-pahami oleh sebagian orang.

Jika diartikan demikian (Tidak ada sesembahan yang ada kecuali Allāh) maka seluruh sesembahan yang ada adalah Allāh. Dan ini adalah pemahaman yang jelas salah.

Berarti orang yang menyembah matahari dia menyembah Allāh, orang yang menyembah bulan dia menyembah Allāh, لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ (Tidak ada sesembahan kecuali Allāh) Ini nanti jadi pemahaman Wihdatul Wujud.

Orang menyembah apa saja itu tauhīd karena dia menyembah Allāh juga ini kembali kepada pemahaman Wihdatul Wujud (menyatunya wujud antara Allāh dengan makhluk) Jadi yang menyembah apapun dia adalah bertauhīd.

Menyembah pohon juga bertauhīd, menyembah matahari juga bertauhīd karena bersatunya wujud antara Allāh dengan makhluk. Ini adalah pemahaman yang bathil.

Kemudian ucapan beliau :

لا شريك له في عبادته، كما أنه ليس له
شريك في ملكه

Kembali beliau mengingatkan tentang hubungan antara tauhīd Rububiyyah dengan tauhīd Uluhiyyah karena intinya beliau ingin membahas tentang tauhīd Al-Uluhiyyah (berhak nya Allāh untuk diibadahi) maka sebagaimana Allāh Subhānahu wa Ta’āla hanya Dia yang memiliki langit dan bumi maka Dia-lah yang berhak untuk diibadahi.

لا شريك له في عبادته، كما أنه ليس له شريك في ملكه

Hubungan antara tauhīd Uluhiyyah dan tauhīd Rububiyyah.

و رب هو المعبد

Rabb itulah yang disembah, disini beliau rahimahullāh mengingatkan dan beliau ingin menjelaskan hubungan antara tauhīd Rububiyyah dengan tauhīd Uluhiyyah.

Demikian yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini, dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

بِاللَّهِ التَّوْفِيْقِ وَ الْهِدَايَةِ
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ ووَبَرَكَاتُهُ

Saudaramu,
‘Abdullāh Roy
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.