F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-43 Bab Tayammum Bag. 4 Mengusap di atas Perban Gips dan Semisalnya

Audio ke-43 Bab Tayammum Bag. 4 Mengusap di atas Perban Gips dan Semisalnya
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 RABU | 18 Sya’ban 1445 H | 28 Februari 2024 M
🎙 Oleh: Ustadz Anas Burhanuddin, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-43
https://drive.google.com/file/d/1zgVPrUA64mOseAbBJcLQiMCqQPji7hev/view?usp=sharing

📖 Bab Tayammum (Bag. 4) Mengusap di atas perban, gips, dan semisalnya


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين سيدنا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين
أما بعد

Anggota grup WhatsApp Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh subhānahu wa ta’ālā.

Kita lanjutkan kajian kita dari kitab Matnul Ghāyah wat Taqrīb (متن الغاية والتقريب) karya Abu Syuja’ Al-Ashfahani rahimahullāhu ta’ālā.

Dan hari ini kita akan mempelajari bersama tentang tayammum. Abu Syuja Al-Ashfahani Asy Syafi'i rahimahullāhu ta’ālā mengatakan,

وَصَاحِبُ الجَبَائِرِ يَمْسَحُ عَلَيْهَا وَيَتَيَمَّمُ وَيُصَّلِي وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ إنْ كَانَ وَضَعَهَا عَلَى طُهْرٍ

Dan orang yang memakai jabāir (جَبَائِر) dia boleh untuk mengusap di atas jabāir (جَبَائِر) tersebut.

Jabāir (جَبَائِر) adalah jamak dari jabīrah (جبيرة).

Jabīrah (جبيرة) adalah kayu yang dipakai untuk menyangga tulang yang patah atau yang semacamnya. Atau lebih umum dia adalah sesuatu yang diletakkan di atas anggota wudhu untuk suatu keperluan. Jadi bisa berupa perban, bisa berupa kayu penyangga dan di zaman kita penggantinya adalah gips atau semacamnya. Ini semuanya disebut sebagai jabīrah (جبيرة) atau jabāir (جَبَائِر).

Dan saat kita memiliki luka pada badan kita kemudian kita menutup luka itu dengan perban atau gips atau yang semacamnya maka kita boleh untuk mengusap luka yang ditutup dengan perban atau gips tadi itu. Artinya kita berwudhu sebagaimana biasa, mandi sebagaimana biasa, kemudian kita mengusap tempat yang ditutupi oleh perban atau gips.

Jadi beliau mengatakan disini,

وَصَاحِبُ الجَبَائِرِ يَمْسَحُ عَلَيْهَا

Orang yang memakai perban atau yang semacamnya boleh untuk mengusapnya.

وَيَتَيَمَّمُ وَيُصَّلِي

Kemudian dia tayammum dan shalat

وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ إنْ كَانَ وَضَعَهَا عَلَى طُهْرٍ

Dan dia tidak harus mengulangi wudhunya kalau dia sudah memakai perban dan semacamnya tersebut dalam kondisi suci.

Bolehnya mengusap jabīrah (جبيرة) ini dasarnya adalah haditsnya Jabir radhiyallāhu ‘anhuma bahwasanya ada seorang sahabat yang memiliki luka di kepalanya. Kemudian beliau mimpi dan beliau bertanya kepada kawan-kawan beliau yang lain dari kalangan sahabat apakah beliau bisa mendapatkan rukhsah untuk tayammum. Maka mereka mengatakan, "Kami tidak mendapatkan rukhsah untukmu sementara engkau bisa memakai air".

Maka orang yang memiliki luka di kepala ini atau sahabat yang memiliki luka di kepala ini akhirnya mandi yaitu mandi wajib kemudian beliau meninggal.

Maka ketika para sahabat tersebut datang kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan kejadian ini, Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengatakan, "Mereka telah membunuhnya semoga Allāh membalasnya".

Dan kenapa mereka tidak bertanya saat mereka tidak mengetahui sementara obat dari kebingungan adalah bertanya. Di akhir hadits Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengatakan, "Sesungguhnya cukup baginya untuk tayammum kemudian membebat lukanya dengan kain kemudian mengusap kain tersebut dan dia membasuh seluruh anggota tubuhnya yang lain”.

Ini adalah dalil dari disyariatkannya mashul jabīrah (مسح الجبيرة) atau al mash ‘alal jabīrah (المسح على الجبيرة), mengusap perban, gips, dan semacamnya.

Dan luka kita bisa kita kategorikan dalam empat macam:
  1. Luka yang terbuka (luka yang tidak ditutup dengan perban atau gips tapi dia terbuka dan bisa dicuci). Kita bisa membasuhnya tanpa khawatir, tanpa ada bahaya. Maka di sini kita harus membasuhnya seperti anggota tubuh yang lain
  2. Luka yang terbuka dan luka yang terbuka ini tidak bisa dibasuh artinya kalau dibasuh berbahaya, namun dia bisa diusap maka kita juga mengusap luka yang terbuka ini. Jadi kita basuh seluruh anggota wudhu tapi yang luka kita bisa usap meskipun itu terbuka dan tidak ditutup dengan perban.
  3. Luka yang terbuka namun tidak bisa dibasuh dan tidak bisa juga diusap. Jadi dibasuh bahaya diusap juga bahaya. Di sini kita tidak mandi tidak wudhu tapi kita menggantinya dengan tayammum. Kita tayammum sebagai pengganti dari wudhu atau mandi kita.
  4. Luka yang ditutup dengan perban atau gips atau yang semacamnya yang oleh para ahli fiqih disebut sebagai jabīrah (جبيرة) atau jabāir (جَبَائِر). Maka yang seperti ini kita mengusapnya dan tidak usah tayammum. Jadi kita wudhu atau mandi kemudian membasuh seluruh anggota mandi atau anggota wudhu kita tapi kita mengusap bagian yang ditutup dengan perban atau jabīrah (جبيرة) dan tidak perlu tayammum.

Ini adalah penjelasan yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin seputar hal ini. Dan beliau mengisyaratkan bahwasanya hadits-hadits yang berbicara tentang mashul jabīrah (مسح الجبيرة) dan pensyaratan tayammum ada isykāl (إشكال) atau problematika di dalamnya dan ini adalah penjelasan beliau yang barangkali bisa membantu kita untuk memahami hadits-hadits tersebut.

Abu Syuja’ rahimahullāhu ta’ālā mengatakan,

وَيَتَيَمَّمُ لِكُلِّ فَرِيضَةٍ

Hendaklah seseorang itu tayammum untuk setiap shalat wajib.

وَيُصَلِي بِتَيَمُّمٍ وَاحِدٍ مَا شَاءَ مِنَ النَوَافِلِ

Namun dia boleh untuk shalat lebih dari satu shalat jika shalatnya adalah sunnah.

Ini adalah madzhab sebagian ulama. Ini adalah Madzhab Syafi'i juga Madzhab Malik dan yang lain. Mereka berpendapat bahwasanya tayammum itu hanya boleh untuk satu shalat wajib tapi boleh untuk lebih dari satu shalat sunnah. Dasarnya adalah atsar dari sebagian sahabat. Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan yang lain bahwasanya mereka mengatakan,

يَتَيَمَّمُ لِكُلِّ صَلَاةٍ وَإِن لَمْ يُحْدِثْ

Hendaklah orang yang bertayammum itu melakukan tayammum untuk setiap shalat meskipun dia belum berhadats.

Atsar ini dipahami oleh sebagian ulama sebagain atsar yang mewajibkan kita untuk tayammum setiap masuk waktu shalat fardhu. Adapun untuk shalat sunnah maka tidak dibatasi. Kita bisa tayammum dan shalat dua, tiga, empat, atau lebih dari itu.

Dan ada pendapat yang lain, yang tidak mensyaratkan harus tayammum setiap waktu shalat dan kita baru tayammum lagi kalau sudah batal tayammum yang pertama, karena hadits-hadits yang berbicara tentang tayammum tidak membatasi hal itu. Sementara yang ada adalah atsar-atsar yang juga diperselisihkan di antara para ulama.

Namun yang dipilih oleh Madzhab Syafi'i adalah bahwasanya satu tayammum untuk satu shalat fardhu saja. Dan ini barangkali lebih hati-hati wallāhu a’lam. Dan bisa membuat kita keluar dari khilaf di antara para ulama yaitu dengan mengulangi tayammum kita setiap masuknya waktu shalat fardhu.

Barangkali ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini. Semoga bermanfaat.

Wallāhu ta’ālā a’lam.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى اله وصحبه وسلم

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.