F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-66: Pembahasan Bolehnya Hanya Membaca Surat Al Fatihah Saja dalam Satu Rakaat

Audio ke-66: Pembahasan Bolehnya Hanya Membaca Surat Al Fatihah Saja dalam Satu Rakaat - Kitab Shifatu Shalatin Nabiyyi
📖 Whatsapp Grup Islam Sunnah | GiS
☛ Pertemuan ke-99
🌏 https://grupislamsunnah.com/
🗓 SENIN, 20 Muharram 1445 H / 07 Agustus 2023 M
👤 Oleh: Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny, M.A. حفظه الله تعالى
📚 Kitab Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam Minattakbiri Ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari Takbir Sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani Rahimahullah

💽 Audio ke-66: Pembahasan Bolehnya Hanya Membaca Surat Al Fatihah Saja dalam Satu Rakaat


السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّٰهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ لِلهِ ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللّٰهِ ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ .

Kaum muslimin dan kaum muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS -Grup Islam Sunnah- yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syekh Al-Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam Minattakbiri Ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari Takbir Sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya).

Pada kajian kali ini kita akan membahas bolehnya membaca surat Al-Fatihah saja dalam satu rakaat.

Misalnya di rakaat pertama dan di rakaat kedua kita hanya membaca surat Al-Fatihah saja, maka ini dibolehkan. Sebagaimana dahulu salah seorang sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Beliau tidak mengingkarinya. Ini menunjukkan bahwa hal itu dibolehkan. Ini termasuk sunnah taqriiriyyah.

Sunnah taqriiriyyah adalah sunnah-sunnah yang berupa persetujuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap perbuatan yang dilakukan oleh sebagian sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Beliau tahu hal itu dan Beliau tidak mengingkarinya. Beliau menyetujuinya. Beliau mengiyakannya. Inilah sunnah taqriiriyyah.

Ada kisah yang menarik dalam masalah ini. Syaikh Albani rahimahullahu Ta’ala untuk mendatangkan dalil, beliau mendatangkan kisah ini. Kisah Mu’adz ibn Jabal. Mungkin banyak yang belum tahu tentang kisah Mu’adz ini. Dan di sini banyak faedah yang bisa kita ambil dari riwayat Mu’adz ini atau kisahnya Mu’adz.

Disebutkan di sini, Mu’adz radhiyallahu ‘anhu biasa shalat Isya al-akhiirah, maksudnya shalat Isya yang diakhirkan secara berjamaah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mu’adz biasa shalat Isya secara berjamaah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Isya biasa dikatakan atau disebut al-akhiirah karena shalat Maghrib kadang-kadang disebut sebagai shalat Isya dalam bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, shalat Maghrib juga kadang-kadang disebut shalat Isya. Makanya ada istilah Al-‘Isyaa-aan, dua shalat Isya. Shalat Isya yang pertama: Maghrib. Shalat Isya yang kedua, yang terakhir: shalat Isya itu sendiri.

Mu’adz biasa shalat Isya al-akhiirah secara berjamaah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu dia pulang ke desanya untuk mengimami sahabat-sahabatnya shalat Isya. Bayangkan ya, Mu’adz ini shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian pulang. Kemudian pulang ke kampungnya, ke desanya, mengimami sahabat-sahabatnya yang ada di desa tersebut.
Shalatnya Mu’adz ini berapa kali berarti? Dua kali. Shalat yang pertama, shalat wajib. Shalat Isya yang kedua apakah wajib lagi? Tidak. Jadinya shalat sunah berarti. Sedangkan para sahabatnya shalat apa? Shalat wajib.

Ini menunjukkan bahwa kita ketika shalat wajib boleh bermakmum dengan orang yang shalat sunah. Dan ini pendapat yang lebih kuat. Ada yang mengatakan tidak boleh sebagaimana pendapatnya mazhab Hanafi. Namun karena adanya hadits ini maka pendapat jumhur lebih kuat. Mayoritas ulama mengatakan demikian. Bahwa kita boleh shalat wajib dan bermakmum dengan orang yang shalat sunah.

Apabila orang yang shalat wajib boleh bermakmum dengan orang yang shalat sunah, apalagi orang yang shalat wajib bermakmum dengan orang lain yang shalat wajib walaupun beda. Walaupun beda shalatnya. Misalnya ada orang yang menjamak shalat Dzuhur dan shalat Ashar. Sudah selesai shalat Dzuhur, baru datang orang kepingin menjamak juga. Dia boleh menjadikan orang yang tadinya sudah shalat Dzuhur dan sekarang akan shalat Ashar untuk menjadi imamnya sebagai apa? Orang yang shalat Dzuhur. Niatnya beda, yang satunya shalat Ashar, yang satunya shalat Dzuhur. Ini dibolehkan karena dia bermakmum dengan orang yang shalat wajib, walaupun niatnya beda.

Bermakmum dengan orang yang shalat sunah saja dibolehkan, apalagi bermakmum dengan orang yang shalat wajib. Dan ini menunjukkan betapa semangatnya sahabat Mu’adz radhiyallahu ‘anhu dalam beribadah.

Shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lumayan panjang, shalat Isya-nya. Kemudian harus pulang ke desanya. Ini membutuhkan waktu, membutuhkan usaha, membutuhkan perjuangan. Sampai di desanya, masih shalat lagi bersama orang-orang yang ada di desanya. Dan itu dilakukan. Itu kebiasaannya. Dilakukan dengan biasa, kebiasaan beliau seperti itu. Ini menunjukkan betapa semangatnya Mu’adz ibn Jabal radhiyallahu ‘anhu dalam beribadah.

Pada suatu malam, ketika pulang, ia shalat mengimami mereka. Saat itu ada seorang anak muda berasal dari Bani Salimah bernama Sulaim. Ketika merasa shalat yang dilakukan Mu’adz terlalu lama, anak muda itu pun menghentikan shalat jama’ahnya. Bayangkan, Mu’adz ini shalat, tadinya shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan kebiasaan Rasulullah, shalatnya tidak seperti shalat kita yang sebentar-sebentar. Kemudian pulang ke kampungnya. Menjadi imam. Masih ingin shalat dengan shalat yang panjang, sampai ada orang yang tidak tahan dengan shalatnya Mu’adz karena panjangnya. Akhirnya, mufaaraqah, memisahkan diri shalat di sudut masjid.

Ketika merasa shalat yang dilakukan Mu’adz terlalu lama, anak muda itu pun menghentikan shalat jama’ahnya bersama Mu’adz dan mengerjakan shalat secara mandiri, secara sendiri di sudut masjid. Sesudah itu dia keluar, lalu mengambil tali kekang untanya dan bergegas pergi. Orang ini tergesa-gesa, shalat dengan cepat dan setelah itu pergi.

Ketika Mu’adz selesai shalat, diceritakanlah kepadanya tentang hal itu, tentang keadaan orang ini yang berpisah dari jama’ahnya. Maka Mu’adz berkata, "Sungguh anak muda itu memiliki sifat munafik." Mu’adz langsung mengatakan demikian. "Aku pasti akan menyampaikan apa yang dia lakukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam." Mu’adz ingin melaporkan orang ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Anak muda itu juga berkata ketika sampai kabar tentang perkataan Mu’adz ini kepada anak muda itu. Anak muda itu mengatakan, "Begitu pun denganku. Aku juga akan menceritakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam apa yang Mu’adz lakukan." Dua-duanya melapor kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Keesokan harinya keduanya menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mu’adz menceritakan perbuatan anak muda itu. Sedangkan anak muda itu berkata, "Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah lama berada di sisimu, setelah lama dia berada di sisimu (maksudnya Mu’adz), dia pulang lalu mengimami kami shalat dengan bacaan ayat yang panjang."
Ini semangatnya Mu’adz radhiyallahu ‘anhu. Shalat panjang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian pulang ke desanya, shalat panjang lagi.

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan kepada Mu’adz,

❲ أَفَتَّانٌ أنْتَ يا مُعاذ؟ ❳
"Wahai Mu’adz, a fattaanun anta yaa Mu'adz?"
"Wahai Mu’adz, apakah engkau menjadi seseorang yang mengganggu? Mengganggu jama’ahmu atau mengganggu orang lain, sehingga orang lain tersebut tidak suka dengan Islam?"
Ini maksud dari kata-kata "a fattaanun anta, yaa Mu’aadz?" (Apakah engkau suka membuat fitnah, wahai Mu’adz?). Fitnah di sini adalah gangguan yang menjadikan seseorang tidak suka dengan Islam.

Dimarahi Mu’adz oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Padahal sebabnya apa? Shalat yang panjang. Sebabnya ibadah. Oleh karenanya, jangan sampai kita berpikir kalau kita berbuat baik, itu sudah cukup. Dalam berbuat baik kita juga harus memperhatikan maslahat dan mafsadah yang timbul setelah itu.

Kalau misalnya perbuatan baik kita menimbulkan mafsadah yang lebih besar dan bisa dikurangi mafsadah tersebut dengan tidak melakukan sesuatu yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka kurangi. Kurangi perbuatan baik itu yang dengannya tidak ada fitnah; yang dengannya fitnah tidak akan terjadi.

Misalnya ada di sebuah masjid, misalnya. Masyarakat tidak suka dengan da’i tertentu, dengan ustadz tertentu. Masyarakat tidak suka dengan ustadz itu karena mungkin terlalu keras. Maka merupakan maslahat untuk tidak mengundang ustadz tersebut, karena kita bisa mengundang ustadz yang lain yang sama-sama menyampaikan sunnah, tapi dengan metode lain yang lebih baik, lebih digemari oleh masyarakat, tidak menimbulkan fitnah. Ini pelajaran yang berharga bagi kita.

Seperti misalnya lagi, membaca Al-Qur’an itu ibadah. Bahkan membaca membaca Al-Qur’an adalah dzikir yang paling afdal. Dzikir yang paling afdal adalah membaca Al-Qur’an. Tapi ketika membaca Al-Qur’an, di samping kita ada orang yang shalat, kita tidak boleh membaca Al-Qur’an dengan suara yang keras. Kenapa? Karena bacaan Al-Qur’an tersebut akan mengganggu kekhusyukan orang yang shalat itu. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang hal ini.

Kalau membaca Al-Qur’an saja dilarang apabila mengganggu orang yang shalat, apalagi membaca selain Al-Qur’an. Dan ini banyak terjadi di masjid-masjid. Kaum muslimin setelah adzan banyak membaca dzikir-dzikir dengan speaker dan keras. Kasihan orang yang shalat sunah qabliyyah. Mereka terganggu.

Membaca Al-Qur’an saja tidak diperbolehkan, apalagi membaca yang lain apabila itu mengganggu orang yang shalat. Dan ini tidak hanya mengganggu orang yang shalat, orang yang bekerja pun bisa terganggu dengan hal itu. Bahkan akhirnya ada orang-orang yang non-muslim akhirnya protes dengan suara yang bising.

Coba kalau hanya adzan saja sebagaimana dahulu dipraktikkan oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Tentunya hal tersebut akan menghilangkan fitnah-fitnah seperti ini atau gangguan-gangguan yang seperti ini.

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Alaa.

InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang.

وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّٰهِ وَبَرَكَاتُهُ.


══════ ∴ |GiS| ∴ ══════
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.