F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-67: Pembahasan Bolehnya Hanya Membaca Surat Al Fatihah Saja dalam Satu Rakaat Bag 02

Audio ke-67: Pembahasan Bolehnya Hanya Membaca Surat Al Fatihah Saja dalam Satu Rakaat Bag 02 - Kitab Shifatu Shalatin Nabiyyi
📖 Whatsapp Grup Islam Sunnah | GiS
☛ Pertemuan ke-100
🌏 https://grupislamsunnah.com/
🗓 SELASA, 21 Muharram 1445 H / 08 Agustus 2023 M
👤 Oleh: Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny, M.A. حفظه الله تعالى
📚 Kitab Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam Minattakbiri Ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari Takbir Sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani Rahimahullah

💽 Audio ke-67: Pembahasan Bolehnya Hanya Membaca Surat Al Fatihah Saja dalam Satu Rakaat Bag 02


السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّٰهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ لِلهِ ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللّٰهِ ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ .

Kaum muslimin dan kaum muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS -Grup Islam Sunnah- yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syekh Al-Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam Minattakbiri Ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari Takbir Sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya).

Pada kajian kali ini kita akan membahas bolehnya membaca surat Al-Fatihah saja dalam satu rakaat.

Misalnya di rakaat pertama dan di rakaat kedua kita hanya membaca surat Al-Fatihah saja, maka ini dibolehkan.

Syaikh Albani rahimahullah Ta’ala untuk mendatangkan dalil, beliau mendatangkan kisah Mu’adz ibn Jabal.

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam mengatakan,

❲ أَفَتَّانٌ أنْتَ يا مُعاذ؟ ❳
"Wahai Mu’adz, apakah engkau senang membuat fitnah atau membuat sesuatu yang bisa menjadi pengganggu bagi kaum muslimin dan akhirnya mereka tidak suka dengan syariat Islam?"
Dan Beliau bertanya kepada anak muda itu, "Kamu sendiri apa yang kamu lakukan jika shalat, wahai ibnu akhii (wahai anak saudaraku)?"

Ibnu akhii [ إبن أخي ] di sini adalah untuk panggilan kesayangan, untuk melembutkan panggilan. Orang Arab demikian. Ibnu akhii, anak saudaraku. Padahal ayahnya orang ini bukan saudaranya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dari kekerabatannya, bukan. Tapi anak saudaranya mungkin saudara se-Islam, se-aqidah, se-iman.
"Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan jika shalat, wahai putra saudaraku?"
Ini menunjukkan akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam memanggil sahabat-sahabatnya. Ini juga menunjukkan bagaimana usaha Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam melembutkan hatinya para sahabatnya.

Pemuda itu menjawab (ini yang diinginkan oleh Syaikh Albani rahimahullah Ta’ala ketika mendatangkan kisah ini), "Aku membaca Al-Fatihah, lalu memohon surga kepada Allah dan memohon perlindungan kepada-Nya dari neraka."

Ini menunjukkan bahwa orang ini membaca Al-Fatihah saja, tidak membaca surat-surat yang lainnya. Karena orang ini mengatakan, "Aku membaca Al-Fatihah lalu aku memohon surga kepada Allah dan memohon perlindungan kepada-Nya dari neraka." Berdoa setelah itu, orang ini. Dan ini menunjukkan bolehnya berdoa ketika berdiri, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari apa yang dilakukan oleh orang ini.

Setelah membaca Al-Fatihah kita berdoa, tidak masalah. Karena memang hal tersebut dibolehkan oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ada sahabatnya yang melakukan demikian, Beliau tidak melarangnya. Beliau tidak mengingkarinya. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang ma’shuum, tidak mungkin Beliau membiarkan kemungkaran di depan Beliau. Kalau itu salah, tentunya akan Rasulullah ingatkan. Ternyata Beliau tidak ingkari hal itu. Berarti itu menunjukkan bahwa hal itu dibolehkan.

Kemudian di sini disebutkan, "Dan aku tidak tahu dandanah."

Dandanah dalam bahasa Arab itu adalah suara yang lirih. Kita mendengar suaranya tapi kita tidak paham apa yang dikatakannya. Suaranya kita dengar, tapi apa isi dari suara tersebut kita tidak tahu. Orang yang di sampingnya, dia bisa mendengar dan bisa paham dia. Bisa dikatakan, "Aku tidak tahu suara lirih Anda dan juga suara lirihnya Mu’adz."

(وَإِنِّيْ لَا أَدْرِيْ مَا دَنْدَنْتُكَ وَدَنْدَنَة مُعَاذ)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Aku dan Mu’adz juga ..."

Di sini, bergumam seputar kedua hal itu atau serupa dengan itu.

( إِنِّيْ وَمُعَاذ حَوْلَ هَاتَيْنِ ، أونَحْوذا ❳

Maksudnya adalah, "Aku dan Mu’adz juga bersuara lirih dengan permintaan dua hal itu."

Dengan permintaan tentang dua hal itu: meminta dimasukkan ke surga dan meminta diselamatkan dari neraka.

Maksud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bahwa, "Aku dan Mu’adz juga demikian."
Maksudnya meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk dimasukkan ke dalam surga dan diselamatkan dari neraka. Atau serupa dengan itu.

Perawi berkata, maka anak muda itu pun berkata, "Akan tetapi nanti pasti Mu’adz akan tahu apabila kaum itu telah datang."
Maksudnya orang-orang kafir; apabila orang kafir datang untuk perang memerangi kaum muslimin. Dan mereka telah diberitahu bahwa musuh telah datang. Ini orang-orang kafir datang. "Dan Mu’adz akan tahu bagaimana kejujuranku dalam Islam." Karena orang ini dituduh Mu’adz apa? Munafik. Orang ini menantang Mu’adz. "Mua’dz akan tahu bagaimana kejujuranku dalam Islam. Nanti lihat bagaimana ketika aku bertemu dengan musuh." Maksudnya demikian.

Perawi hadits berkata, "Kemudian datanglah musuh kaum kuffar (orang-orang kafir). Dan anak muda itu pun mati syahid. Anak muda itupun mati syahid."

Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Mu’adz. "Apa yang telah diperbuat oleh anak muda, lawan bicaraku dan lawan bicaramu ketika itu?"

Mu’adz menjawab, "Wahai Rasululah Shallallahu ‘alaihi wasallam, صَدَقَ الله وَكَذَبْتُ ."

Artinya secara bahasa Arab Shadaqallaaha: Orang ini benar-benar telah jujur dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang ini bukan orang munafik, maksudnya. Dia tulus dalam Islam. Makanya ketika ada musuh menyerang kaum muslimin, orang ini berada di depan. Dan sampai dia mati.
Mu’adz mengatakan, [ صَدَقَ الله ].
"Orang ini benar-benar tulus kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,"
[ وَكَذَبئْتُ ]
"sedangkan aku salah."

Kadzaba dalam bahasa Arab bisa diterjemahkan/bisa bermakna "salah" tidak selalu "berdusta", tidak. Tapi bisa bermakna "salah".

"Aku yang salah, wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika menuduh dia orang munafik. Dia yang benar, dia tidak munafik. Aku yang salah." Ini pengakuan Mu’adz ibn Jabal radhiyallahu ‘anhu.

أُسْتُشهِدَ
Orang ini mati syahid.

Ini kisah yang sangat banyak kalau diambil faedahnya. Kisah ini mengandung faedah yang sangat banyak bagi kita sebagai kaum muslimin yang mengetahui kisah ini.

Kadang seorang yang mulia pun salah dalam menilai orang lain. Mu’adz ibn Jabal, siapa yang ragu dengan keislaman beliau. Siapa yang ragu dengan kewalian beliau. Beliau wali Allah. Beliau orang yang disayangi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jelas. Tapi lihat bagaimana ketika beliau menilai orang ini sebagai munafik. Ternyata beliau salah. Ternyata penilaian beliau tidak tepat.

Oleh karenanya, semulia apa pun, sesaleh apa pun orang, dia bisa salah dalam menilai orang lain. Apalagi kalau dipengaruhi oleh keadaan, situasi, yang menjadikan orang tersebut tidak netral dalam menilai orang lain.

Oleh karenanya, ketika ada, misalnya kita melihat ada teman kita yang saleh menilai orang lain tidak baik, jangan langsung percaya begitu saja. Misalnya ada ulama menilai orang lain tidak baik, jangan percaya begitu saja. Kita harus kedepankan husnudzon, dan kita harus cek; cek dan ricek. Cek terus apakah memang benar seperti itu? Kalau iya banyak bukti, ya, baru kita percaya. Kalau tidak ada buktinya walaupun yang mengatakan adalah orang yang saleh, maka jangan sampai dipercaya. Jangan diterima begitu saja. Kita harus punya bukti dalam menilai orang lain.

Begitu pula di antara ulama. Kadang satu ulama menilai ulama lain tidak baik. Baik itu ustadz ataupun kyai ataupun mahaguru ataupun nama-nama yang lainnya. Kadang-kadang ada situasi yang menjadikan mereka tidak netral, sehingga menilai orang lain tidak baik karena situasinya. Bisa jadi dia salah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di sini menyalahkan Mu’adz. Ternyata penilaian Mu’adz salah dan kemurkaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam itulah yang benar. Rasulullah mengatakan, "A fattaanun anta, yaa Mu’aadz?"
"Apakah engkau senang membuat fitnah, membuat kegaduhan, membuat sesuatu yang menjadikan kaum muslimin tidak suka dengan syariat ini, wahai Mu’adz?" Ternyata benar. Orang ini orang yang jujur. Orang yang tulus dalam agamanya.

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Alaa.

InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang.

وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّٰهِ وَبَرَكَاتُهُ.

══════ ∴ |GiS| ∴ ══════
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.