Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.
Mungkin pernah terbetik di dalam benak kita, kenapa kita yang seorang muslim, hidupnya jauh lebih sengsara, ketimbang mereka yang hidup di dalam kekafiran. Padahal seorang muslim hidup di atas keta’atan menyembah Allah ta’ala, sedangkan orang kafir hidup di atas kekufuran kepada Allah.
Wahai saudaraku seiman, janganlah heran dengan fenomena ini. Karena seorang shahabat Nabi yang mulia pun terheran sambil menangis. Beliau adalah ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Berikut ini kami nukilkan kisah ‘Umar yang termuat dalam kitab Tafsir Surat Yasin karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.
Suatu hari ‘Umar mendatangi rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau sedang tidur di atas dipan yang terbuat dari serat, sehingga terbentuklah bekas dipan tersebut di lambung beliau. Tatkala ‘Umar melihat hal itu, maka ia pun menangis. Nabi yang melihat ‘Umar menangis kemudian bertanya, “Apa yang engkau tangisi wahai ‘Umar?”
‘Umar menjawab, “Sesungguhnya bangsa Persia dan Roma diberikan nikmat dengan nikmat dunia yang sangat banyak, sedangkan engkau dalam keadaan seperti ini?”
Nabi pun berkata, “Wahai ‘Umar, sesungguhnya mereka adalah kaum yang Allah segerakan kenikmatan di kehidupan dunia mereka.”[1]
Di dalam hadits ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir disegerakan nikmatnya oleh Allah di dunia, dan boleh jadi itu adalah istidraj[2] dari Allah. Namun apabila mereka mati kelak, sungguh adzab yang Allah berikan sangatlah pedih. Dan adzab itu semakin bertambah tatkala mereka terus berada di dalam kedurhakaan kepada Allah ta’ala.
Maka saudaraku di jalan Allah, sungguh Allah telah memberikan kenikmatan yang banyak kepada kita, dan kita lupa akan hal itu, kenikmatan itu adalah kenikmatan Islam dan Iman. Dimana hal ini yang membedakan kita semua dengan orang kafir. Sungguh kenikmatan di dunia, tidaklah bernilai secuil pun dibanding kenikmatan di akhirat.
Mari kita bandingkan antara dunia dan akhirat, dengan membaca sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi Allah! Tidaklah dunia itu dibandingkan dengan akhirat, kecuali seperti salah seorang dari kalian yang mencelupkan jarinya ke lautan. Maka perhatikanlah jari tersebut kembali membawa apa?” (HR. Muslim)
Lihatlah kawanku, dunia itu jika dibandingkan dengan akhirat hanya Nabi misalkan dengan seseorang yang mencelupkan jarinya ke lautan, kemudian ia menarik jarinya. Perhatikanlah, apa yang ia dapatkan dari celupan tersebut. Jari yang begitu kecil dibandingkan dengan lautan yang begitu luas, mungkin hanya beberapa tetes saja.
Hadits di atas juga menunjukkan bahwa perhatiannya ‘Umar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak tega, hingga menangis melihat kondisi Nabi yang terlihat susah, sedangkan orang-orang kafir hidup di dalam kenikmatan dunia.
Sebagai penutup tulisan ini, akan saya petikkan kisah seorang hakim dari Mesir, beliau adalah Al-Hafizh Ibnu Hajr. Suatu hari Ibnu Hajr melewati seorang Yahudi yang menjual minyak zaitun, yang berpakaian kotor, dan Ibnu Hajr sedang menaiki kereta yang ditarik oleh kuda-kuda, yang dikawal oleh para penjaga di sisi kanan dan kiri kereta.
Kemudian Yahudi tersebut menghentikan kereta beliau dan berkata, “Sesungguhnya Nabi kalian telah bersabda, ‘Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan Surga bagi orang kafir’[3] Engkau adalah Hakim Agung Mesir. Engkau dengan rombongan pengawal seperti ini, penuh dengan kenikmatan, sementara aku di dalam penderitaan dan kesengsaraan.”
Ibnu Hajr rahimahullah menjawab, “Aku dengan nikmat dan kemewahan yang aku rasakan ini dibandingkan dengan kenikmatan di Surga adalah penjara. Ada pun engkau dengan kesengsaraan yang engkau rasakan, dibandingkan dengan adzab yang akan engkau rasakan di Neraka dalah Surga.”
Orang Yahudi itu lalu berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” Masuk Islam lah orang Yahudi tersebut.
Lihatlah Orang Dibawahmu Dalam Masalah Harta dan Dunia
Betapa banyak orang yang terkesima dengan kilauan harta orang lain. Tidak pernah merasa cukup dengan harta yang ia miliki. Jika sudah mendapatkan suatu materi dunia, dia ingin terus mendapatkan yang lebih. Jika baru mendapatkan motor, dia ingin mendapatkan mobil kijang. Jika sudah memiliki mobil kijang, dia ingin mendapatkan mobil sedan. Dan seterusnya sampai pesawat pun dia inginkan. Itulah watak manusia yang tidak pernah puas.
Melihat Orang Di Bawah Kita dalam Hal Harta dan Dunia
Sikap seorang muslim yang benar, hendaklah dia selalu melihat orang di bawahnya dalam masalah harta dan dunia. Betapa banyak orang di bawah kita berada di bawah garis kemiskinan, untuk makan sehari-hari saja mesti mencari utang sana-sini, dan masih banyak di antara mereka keadaan ekonominya jauh di bawah kita. Seharusnya seorang muslim memperhatikan petuah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini.
Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan nasehat kepada Abu Dzar. Abu Dzar berkata,
“Kekasihku yakni Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah tujuh perkara padaku, (di antaranya): [1] Beliau memerintahkanku agar mencintai orang miskin dan dekat dengan mereka, [2] beliau memerintahkanku agar melihat orang yang berada di bawahku (dalam masalah harta dan dunia), juga supaya aku tidak memperhatikan orang yang berada di atasku. ...” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa) [al kholq], maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar mengatakan, “Yang dimaksud dengan al khalq adalah bentuk tubuh. Juga termasuk di dalamnya adalah anak-anak, pengikut dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kenikmatan duniawi.” (Fathul Bari, 11/32)
Agar Tidak Memandang Remeh Nikmat Allah
Dengan memiliki sifat yang mulia ini yaitu selalu memandang orang di bawahnya dalam masalah dunia, seseorang akan merealisasikan syukur dengan sebenarnya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Al Munawi –rahimahullah- mengatakan,
“Jika seseorang melihat orang di atasnya (dalam masalah harta dan dunia), dia akan menganggap kecil nikmat Allah yang ada pada dirinya dan dia selalu ingin mendapatkan yang lebih. Cara mengobati penyakit semacam ini, hendaklah seseorang melihat orang yang berada di bawahnya (dalam masalah harta dan dunia). Dengan melakukan semcam ini, seseorang akan ridho dan bersyukur, juga rasa tamaknya (terhadap harta dan dunia) akan berkurang. Jika seseorang sering memandang orang yang berada di atasnya, dia akan mengingkari dan tidak puas terhadap nikmat Allah yang diberikan padanya. Namun, jika dia mengalihkan pandangannya kepada orang di bawahnya, hal ini akan membuatnya ridho dan bersyukur atas nikmat Allah padanya.”
Al Ghozali –rahimahullah- mengatakan,
“Setan selamanya akan memalingkan pandangan manusia pada orang yang berada di atasnya dalam masalah dunia. Setan akan membisik-bisikkan padanya: ‘Kenapa engkau menjadi kurang semangat dalam mencari dan memiliki harta supaya engkau dapat bergaya hidup mewah[?]’ Namun dalam masalah agama dan akhirat, setan akan memalingkan wajahnya kepada orang yang berada di bawahnya (yang jauh dari agama). Setan akan membisik-bisikkan, ‘Kenapa dirimu merasa rendah dan hina di hadapan Allah[?]” Si fulan itu masih lebih berilmu darimu’.” (Lihat Faidul Qodir Syarh Al Jaami’ Ash Shogir, 1/573)
Itulah yang akan membuat seseorang tidak memandang remeh nikmat Allah karena dia selalu memandang orang di bawahnya dalam masalah harta dan dunia. Ketika dia melihat juragan minyak yang memiliki rumah mewah dalam hatinya mungkin terbetik, “Rumahku masih kalah dari rumah juragan minyak itu.” Namun ketika dia memandang pada orang lain di bawahnya, dia berkata, “Ternyata rumah tetangga dibanding dengan rumahku, masih lebih bagus rumahku.” Dengan dia memandang orang di bawahnya, dia tidak akan menganggap remeh nikmat yang Allah berikan. Bahkan dia akan mensyukuri nikmat tersebut karena dia melihat masih banyak orang yang tertinggal jauh darinya.
Berbeda dengan orang yang satu ini. Ketika dia melihat saudaranya memiliki Blacberry, dia merasa ponselnya masih sangat tertinggal jauh dari temannya tersebut. Akhirnya yang ada pada dirinya adalah kurang mensyukuri nikmat, menganggap bahwa nikmat tersebut masih sedikit, bahkan selalu ada hasad (dengki) yang berakibat dia akan memusuhi dan membenci temannya tadi. Padahal masih banyak orang di bawah dirinya yang memiliki ponsel dengan kualitas yang jauh lebih rendah. Inilah cara pandang yang keliru. Namun inilah yang banyak menimpa kebanyakan orang saat ini.
Dalam Masalah Agama dan Akhirat, Hendaklah Seseorang Melihat Orang Di Atasnya
Dalam masalah agama, berkebalikan dengan masalah materi dan dunia. Hendaklah seseorang dalam masalah agama dan akhirat selalu memandang orang yang berada di atasnya. Haruslah seseorang memandang bahwa amalan sholeh yang dia lakukan masih kalah jauhnya dibanding para Nabi, shidiqin, syuhada’ dan orang-orang sholeh. Para salafush sholeh sangat bersemangat sekali dalam kebaikan, dalam amalan shalat, puasa, sedekah, membaca Al Qur’an, menuntut ilmu dan amalan lainnya. Haruslah setiap orang memiliki cara pandang semacam ini dalam masalah agama, ketaatan, pendekatan diri pada Allah, juga dalam meraih pahala dan surga. Sikap yang benar, hendaklah seseorang berusaha melakukan kebaikan sebagaimana yang salafush sholeh lakukan. Inilah yang dinamakan berlomba-lomba dalam kebaikan.
Dalam masalah berlomba-lomba untuk meraih kenikmatan surga, Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam keni'matan yang besar (syurga), mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh keni'matan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya), laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. Al Muthaffifin: 22-26)
Al Qurtubhi mengatakan, “Berlomba-lombalah di dunia dalam melakukan amalan shalih.” (At Tadzkiroh Lil Qurtubhi, hal. 578)
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala juga berfirman,
“Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. Al Ma’idah: 48)
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imron: 133)
Inilah yang dilakukan oleh para salafush sholeh, mereka selalu berlomba-lomba dalam kebaikan sebagaimana dapat dilihat dari perkataan mereka berikut ini yang disebutkan oleh Ibnu Rojab –rahimahullah-. Berikut sebagian perkatan mereka.
Al Hasan Al Bashri mengatakan,
“Apabila engkau melihat seseorang mengunggulimu dalam masalah dunia, maka unggulilah dia dalam masalah akhirat.”
Wahib bin Al Warid mengatakan,
“Jika kamu mampu untuk mengungguli seseorang dalam perlombaan menggapai ridho Allah, lakukanlah.”
Sebagian salaf mengatakan,
“Seandainya seseorang mendengar ada orang lain yang lebih taat pada Allah dari dirinya, sudah selayaknya dia sedih karena dia telah diungguli dalam perkara ketaatan.” (Latho-if Ma’arif, hal. 268)
Namun berbeda dengan kebiasaan orang saat ini. Dalam masalah amalan dan pahala malah mereka membiarkan saudaranya mendahuluinya. Contoh gampangnya adalah dalam mencari shaf pertama. “Monggo pak, bapak aja yang di depan”, kata sebagian orang yang menyuruh saudaranya menduduki shaf pertama. Padahal shaf pertama adalah sebaik-baik shaf bagi laki-laki dan memiliki keutamaan yang luar biasa. Seandainya seseorang mengetahui keutamaannya, tentu dia akan saling berundi dengan saudaranya untuk memperebutkan shaf pertama dalam shalat, bukan malah menyerahkan shaf yang utama tersebut pada orang lain.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah shaf pertama, sedangkan yang paling jelek bagi laki-laki adalah shaf terakhir. Sebaik-baik shaf bagi wanita adalah shaf terakhir, sedangkan yang paling jelek bagi wanita adalah shaf pertama.” (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Seandainya setiap orang tahu keutamaan adzan dan shaf pertama, kemudian mereka ingin memperebutkannya, tentu mereka akan memperebutkannya dengan berundi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mari kita saling berlomba dalam meraih surga dan pahala di sisi Allah!
Kekayaan Paling Hakiki adalah Kekayaan Hati
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita melihat kepada orang yang berada di bawah kita dalam masalah dunia agar kita menjadi orang yang bersyukur dan qana’ah yaitu selalu merasa cukup dengan nikmat yang Allah berikan, juga tidak hasad (dengki) dan tidak iri pada orang lain. Karena ketahuilah bahwa kekayaan yang hakiki adalah kekayaan hati yaitu hati yang selalu merasa cukup dengan karunia yang diberikan oleh Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab “Kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan hati (hati yang selalu merasa cukup).”
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim)
Seandainya seseorang mengetahui kenikmatan yang seolah-olah dia mendapatkan dunia seluruhnya, tentu betul-betul dia akan mensyukurinya dan selalu merasa qona’ah (berkecukupan). Kenikmatan tersebut adalah kenikmatan memperoleh makanan untuk hari yang dia jalani saat ini, kenikmatan tempat tinggal dan kenikmatan kesehatan badan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa di antara kalian merasa aman di tempat tinggalnya, diberikan kesehatan badan, dan diberi makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dia telah memiliki dunia seluruhnya.” (HR. Tirmidzi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Oleh karena itu, banyak berdo’alah pada Allah agar selalu diberi kecukupan. Do’a yang selalu dipanjatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah do’a:
“Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina) (HR. Muslim)
An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “”Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.” (Syarh Muslim, 17/41)
Ya Allah, berikanlah pada kami sifat ‘afaf dan ghina. Amin Yaa Mujibas Sa’ilin.
Kaidah penting dalam memahami takdir
Kaidah penting yang harus dipahami, agar manusia tidak buruk sangka terhadap takdir Allah, Dzat yang Mahasuci dari segala kekurangan.
Sebelumnya, perlu kami tegaskan, Anda perlu persiapan mental dan akal untuk memahami kaidah ini. Dalam banyak kesempatan kajian, ketika kaidah ini disampaikan, banyak di antara peserta yang bingung, mumet, rdb (ra dong blas), atau bahkan nesu .... Lumrah, memang memahami kaidah ini seolah memaksakan hati kita untuk mengimani dua hal yang kelihatannya bertentangan. Ya, semoga saja di sini tidak banyak yang mengajukan pertanyaan.
Sebelum mencoba memahami kaidah ini, Anda perlu mendoktrin diri untuk berkeyakinan bahwa:
Kaidah yang kami maksudkan:
Untuk memahami kaidah di atas dengan baik, kita perlu membedakan antara iradah dengan mahabbah, atau antara iradah kauniyah dengan iradah diniyah.
Pertama, iradah kauniyah--atau yang sering diistilahkan dengan "iradah"--adalah kehendak Allah untuk menciptakan dan mewujudkan sesuatu. Semua yang dikehendaki oleh Allah, pasti Dia ciptakan dan Dia wujudkan. Baik sesuatu yang Dia ciptakan itu Dia cintai atau tidak Dia cintai. Dengan kata lain, semua yang terjadi di alam raya ini, merupakan bagian dari iradah kauniyah Allah ta'ala.
Contohnya, Allah menciptakan malaikat dan semua orang saleh. Allah mencintai mereka karena mereka adalah makhluk yang taat. Allah juga menciptakan iblis dan semua orang kafir. Allah membenci mereka karena mereka adalah makhluk pembangkang, dan seterusnya.
Berikut ini kami cantumkan beberapa contoh ayat yang menunjukkan iradah kauniyah Allah:
1. Firman Allah, tentang perkataan Nabi Nuh 'alaihis salam,
“Nasihatku tidak bermanfaat bagi kalian, jika aku ingin menasihati kalian. Sekiranya Allah hendak menyesatkan kalian, Dia adalah Tuhan kalian ....” (Q.S. Hud: 34)
Seorang ahli tafsir, Abdurrahman As-Sa'di, mengatakan, "Kehendak itu yang dominan. Jika Dia berkehendak untuk menyesatkan kalian, disebabkan kalian menolak kebenaran, maka nasihatku sama sekali tidak bermanfaat. Meskipun aku telah berusaha sekuat tenaga untuk menasehati kalian." (Taisir Karimir Rahman, hlm. 381)
Sesuatu yang Allah kehendaki ini terjadi: kaum Nabi Nuh 'alaihis salam tidak mau mengikuti dakwah beliau.
2. Contoh yang lain, firman Allah,
“Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Q.S. Ar-Ra'd:11)
Terjadilah perkara yang Allah kehendaki, meskipun Allah sangat membenci sikap mereka yang menolak kebenaran.
Anda tidak perlu bertanya, mengapa Allah menciptakan sesuatu, padahal sesuatu itu Dia benci. Tentang latar belakang, mengapa menciptakan makhluk demikian, itu bukan urusan kita.
Yang jelas, semua yang Allah ciptakan memiliki hikmah dan tidak sia-sia. Hanya saja, terkadang hikmah itu kita ketahui dan terkadang tidak kita ketahui. Karena itu, bagi Anda yang tidak mengetahui hikmah, jangan berusaha untuk menolak atau mempertanyakannya dengan nada menolak. Tunjukkanlah sikap yang pasrah kepada Allah subhanahu wa ta'ala.
Singkat kata, kesimpulan dari penjelasan tentang iradah kauniyah adalah "Anda dipaksa untuk meyakini bahwa segala sesuatu dan peristiwa yang terjadi di alam ini, baik itu sesuatu yang baik atau sesuatu yang tidak baik, semua terjadi sesuai dengan kehendak Allah". Tidak ada satu pun yang terjadi di luar kehendak Allah.
Kedua, iradah diniyah--bisa juga disebut "iradah syar'iyah", atau sering juga disebut "al-mahabbah"--adalah kecintaan Allah terhadap sesuatu, meskipun sesuatu yang Dia cintai tidak diwujudkan atau diciptakan. Ketika sesuatu itu dicintai maka Allah memerintahkannya dan menjadikannya sebagai aturan syariat.
Misalnya, Allah mencintai ketaatan dan semua bentuk peribadahan kepada-Nya. Karena itu, Allah perintahkan hal ini dan Allah jadikan sebagai bagian dari agamanya. Meskipun Allah tidak menakdirkan semua makhluk-Nya melakukan hal ini. Terbukti dengan adanya banyak makhluk yang kafir, pembangkang, dan tidak menerima aturan Allah.
Contoh yang lain, Allah mencintai ketika semua umat manusia beriman. Karena itu, Allah perintahkan semua umat manusia untuk beriman. Meskipun demikian, Allah tidak menakdirkan seluruh makhluk-Nya beriman, karena tidak semua yang Allah cintai, Allah ciptakan.
Di antara contoh ayat yang menunjukkan iradah diniyah adalah:
1. Firman Allah,
“Sesungguhnya, Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan ....” (Q.S. An-Nahl:90)
Allah perintahkan perkara-perkara di atas, karena Allah mencintainya. Namun, tidak semua makhluk Allah takdirkan melaksanakan perintah tersebut.
2. Firman Allah,
“Sesungguhnya, Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (Q.S. An-Nisa:58)
Sebagaimana perintah di atas, tidak semua orang melaksanakan perintah ini, meskipun Allah mencintainya dan bahkan memerintahkannya, karena Allah tidak menakdirkan seluruh manusia melaksanakan perintah ini.
Demikian penjelasan singkat masalah takdir. Semoga penjelasan di atas tidak membuat Anda terlalu pusing untuk memahami takdir Allah. Namun, yang lebih penting di sini, kita mendapat sebuah kesimpulan bahwa tidak semua yang terjadi di alam ini diridhai dan dicintai oleh Allah. Dengan bahasa yang lebih tegas, tidak semua yang Allah ciptakan berarti Allah setuju atau Allah mencintainya, meskipun segala sesuatu yang ada di alam ini terjadi karena kehendak Allah ta'ala.
Dengan demikian, harta melimpah yang Allah berikan kepada manusia yang tidak taat, bukanlah tanda Allah mencintai mereka. Demikian pula, ketika ada orang yang mencari harta dengan cara pesugihan, kemudian Allah kabulkan keinginannya, bukanlah tanda bahwa Allah mengizinkan perbuatannya mencari harta dengan cara kesyirikan.
Kesimpulan ini dapat Anda analogikan untuk setiap kasus yang sama. Sebagian orang yang gandrung dengan ilmu "kanuragan islami" berdalih bahwa di antara bukti kalau ilmu itu datang dari Allah, ilmu itu bisa dipraktikkan dan berhasil. Jika Allah tidak setuju, tentunya Allah tidak akan mewujudkan keberhasilan paktik ilmu tersebut.
Sungguh aneh alasan ini! Untuk membantahnya, Anda bisa gunakan kesimpulan di atas.
Yang terakhir, saya tidak lupa mencantumkan FAQ penting terkait tulisan ini. Barangkali ada yang bertanya, apakah kaidah di atas termasuk prinsip ahlus sunnah dalam memahami takdir?
Jawabannya: Saya tegaskan, ya! Itulah akidah ahlus sunnah wal jamaah, akidah para shahabat dan para pengikutnya dalam memahami takdir dan ketatapan Allah ta'ala. Berikut ini pernyataan beberapa ulama ahlus sunnah, sebagai bukti untuk klaim di atas:
1. Imam Ibnu Abil Iz mengatakan,
"Para ulama di kalangan ahlus sunnah mengatakan, 'Iradah (kehendak Allah) dalam Alquran ada dua: iradah qadariyah kauniyah khalqiyah dan iradah diniyah amriyah syar'iyah. Adapun iradah syar'iyah adalah kehendak yang mengandung cinta dan ridha, sedangkan iradah kauniyah kehendak Allah yang meliputi semua makhluk yang ada." (Syarh Aqidah Thahawiyah, 1:113)
2. Syekhul Islam Ibn Taimiyah mengatakan,
“Allah telah menyebutkan dalam kitab-Nya tentang perbedaan antara iradah dengan perintah .... Antara kauni, yang Allah ciptakan, Allah takdirkan, dan Allah tetapkan, meskipun tidak dia perintahkan dan tidak dia cintai ... Antara ad-din, yang Allah perintahkan, Dia syariatkan, dan Allah berikan pahala bagi orang yang melaksanakannya ....” Kemudian beliau menyebutkan penjelasan tentang iradah kauniyah dan iradah syar'iyah. (Al-Furqan bayna Auliya Ar-Rahman wa Auliya Asy-Syaithan, hlm. 149)
Sebagai motivasi bagi kita cukuplah hadits berikut jadi pelajaran berharga bagi kita yang hidup dalam kesusahan
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahihnya :
Amr an-Naqid menuturkan kepada kami. Dia berkata; Yazid bin Harun menuturkan kepada kami. Dia berkata; Hammad bin Salamah memberitakan kepada kami dari Tsabit al-Bunani dari Anas bin Malik, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Pada hari kiamat nanti akan didatangkan penduduk neraka yang ketika di dunia adalah orang yang paling merasakan kesenangan di sana. Kemudian dia dicelupkan di dalam neraka sekali celupan, lantas ditanyakan kepadanya, ‘Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat kebaikan sebelum ini? Apakah kamu pernah merasakan kenikmatan sebelum ini?’. Maka dia menjawab, ‘Demi Allah, belum pernah wahai Rabbku!’. Dan didatangkan pula seorang penduduk surga yang ketika di dunia merupakan orang yang paling merasakan kesusahan di sana kemudian dia dicelupkan ke dalam surga satu kali celupan. Lalu ditanyakan kepadanya, ‘Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat kesusahan sebelum ini? Apakah kamu pernah merasakan kesusahan sebelum ini?’. Maka dia menjawab, ‘Demi Allah, belum pernah wahai Rabbku, aku belum pernah merasakan kesusahan barang sedikit pun. Dan aku juga tidak pernah melihat kesulitan sama sekali.’.” (HR. Muslim dalam Kitab Shifat al-Qiyamah wa al-Jannah wa an-Naar)
Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan dimudahkan untuk beramal sholeh.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
****
[1] HR. Al-Bukhari (2468)
[2] Nikmat yang Allah berikan kepada pelaku maksiat dengan tujuan menipu mereka, agar mereka semakin tenggelam dalam maksiatnya
[3] HR. Muslim (2956)
Artikel
Mungkin pernah terbetik di dalam benak kita, kenapa kita yang seorang muslim, hidupnya jauh lebih sengsara, ketimbang mereka yang hidup di dalam kekafiran. Padahal seorang muslim hidup di atas keta’atan menyembah Allah ta’ala, sedangkan orang kafir hidup di atas kekufuran kepada Allah.
Wahai saudaraku seiman, janganlah heran dengan fenomena ini. Karena seorang shahabat Nabi yang mulia pun terheran sambil menangis. Beliau adalah ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Berikut ini kami nukilkan kisah ‘Umar yang termuat dalam kitab Tafsir Surat Yasin karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.
Suatu hari ‘Umar mendatangi rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau sedang tidur di atas dipan yang terbuat dari serat, sehingga terbentuklah bekas dipan tersebut di lambung beliau. Tatkala ‘Umar melihat hal itu, maka ia pun menangis. Nabi yang melihat ‘Umar menangis kemudian bertanya, “Apa yang engkau tangisi wahai ‘Umar?”
‘Umar menjawab, “Sesungguhnya bangsa Persia dan Roma diberikan nikmat dengan nikmat dunia yang sangat banyak, sedangkan engkau dalam keadaan seperti ini?”
Nabi pun berkata, “Wahai ‘Umar, sesungguhnya mereka adalah kaum yang Allah segerakan kenikmatan di kehidupan dunia mereka.”[1]
Di dalam hadits ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir disegerakan nikmatnya oleh Allah di dunia, dan boleh jadi itu adalah istidraj[2] dari Allah. Namun apabila mereka mati kelak, sungguh adzab yang Allah berikan sangatlah pedih. Dan adzab itu semakin bertambah tatkala mereka terus berada di dalam kedurhakaan kepada Allah ta’ala.
Maka saudaraku di jalan Allah, sungguh Allah telah memberikan kenikmatan yang banyak kepada kita, dan kita lupa akan hal itu, kenikmatan itu adalah kenikmatan Islam dan Iman. Dimana hal ini yang membedakan kita semua dengan orang kafir. Sungguh kenikmatan di dunia, tidaklah bernilai secuil pun dibanding kenikmatan di akhirat.
Mari kita bandingkan antara dunia dan akhirat, dengan membaca sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi Allah! Tidaklah dunia itu dibandingkan dengan akhirat, kecuali seperti salah seorang dari kalian yang mencelupkan jarinya ke lautan. Maka perhatikanlah jari tersebut kembali membawa apa?” (HR. Muslim)
Lihatlah kawanku, dunia itu jika dibandingkan dengan akhirat hanya Nabi misalkan dengan seseorang yang mencelupkan jarinya ke lautan, kemudian ia menarik jarinya. Perhatikanlah, apa yang ia dapatkan dari celupan tersebut. Jari yang begitu kecil dibandingkan dengan lautan yang begitu luas, mungkin hanya beberapa tetes saja.
Hadits di atas juga menunjukkan bahwa perhatiannya ‘Umar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak tega, hingga menangis melihat kondisi Nabi yang terlihat susah, sedangkan orang-orang kafir hidup di dalam kenikmatan dunia.
Sebagai penutup tulisan ini, akan saya petikkan kisah seorang hakim dari Mesir, beliau adalah Al-Hafizh Ibnu Hajr. Suatu hari Ibnu Hajr melewati seorang Yahudi yang menjual minyak zaitun, yang berpakaian kotor, dan Ibnu Hajr sedang menaiki kereta yang ditarik oleh kuda-kuda, yang dikawal oleh para penjaga di sisi kanan dan kiri kereta.
Kemudian Yahudi tersebut menghentikan kereta beliau dan berkata, “Sesungguhnya Nabi kalian telah bersabda, ‘Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan Surga bagi orang kafir’[3] Engkau adalah Hakim Agung Mesir. Engkau dengan rombongan pengawal seperti ini, penuh dengan kenikmatan, sementara aku di dalam penderitaan dan kesengsaraan.”
Ibnu Hajr rahimahullah menjawab, “Aku dengan nikmat dan kemewahan yang aku rasakan ini dibandingkan dengan kenikmatan di Surga adalah penjara. Ada pun engkau dengan kesengsaraan yang engkau rasakan, dibandingkan dengan adzab yang akan engkau rasakan di Neraka dalah Surga.”
Orang Yahudi itu lalu berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” Masuk Islam lah orang Yahudi tersebut.
Lihatlah Orang Dibawahmu Dalam Masalah Harta dan Dunia
Betapa banyak orang yang terkesima dengan kilauan harta orang lain. Tidak pernah merasa cukup dengan harta yang ia miliki. Jika sudah mendapatkan suatu materi dunia, dia ingin terus mendapatkan yang lebih. Jika baru mendapatkan motor, dia ingin mendapatkan mobil kijang. Jika sudah memiliki mobil kijang, dia ingin mendapatkan mobil sedan. Dan seterusnya sampai pesawat pun dia inginkan. Itulah watak manusia yang tidak pernah puas.
Melihat Orang Di Bawah Kita dalam Hal Harta dan Dunia
Sikap seorang muslim yang benar, hendaklah dia selalu melihat orang di bawahnya dalam masalah harta dan dunia. Betapa banyak orang di bawah kita berada di bawah garis kemiskinan, untuk makan sehari-hari saja mesti mencari utang sana-sini, dan masih banyak di antara mereka keadaan ekonominya jauh di bawah kita. Seharusnya seorang muslim memperhatikan petuah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini.
Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan nasehat kepada Abu Dzar. Abu Dzar berkata,
أَمَرَنِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ أَمَرَنِي بِحُبِّ الْمَسَاكِينِ وَالدُّنُوِّ مِنْهُمْ وَأَمَرَنِي أَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ دُونِي وَلَا أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقِي
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا نظر أحدكم إلى من فضل عليه في المال والخلق فلينظر إلى من هو أسفل منه
Ibnu Hajar mengatakan, “Yang dimaksud dengan al khalq adalah bentuk tubuh. Juga termasuk di dalamnya adalah anak-anak, pengikut dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kenikmatan duniawi.” (Fathul Bari, 11/32)
Agar Tidak Memandang Remeh Nikmat Allah
Dengan memiliki sifat yang mulia ini yaitu selalu memandang orang di bawahnya dalam masalah dunia, seseorang akan merealisasikan syukur dengan sebenarnya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم
Al Munawi –rahimahullah- mengatakan,
“Jika seseorang melihat orang di atasnya (dalam masalah harta dan dunia), dia akan menganggap kecil nikmat Allah yang ada pada dirinya dan dia selalu ingin mendapatkan yang lebih. Cara mengobati penyakit semacam ini, hendaklah seseorang melihat orang yang berada di bawahnya (dalam masalah harta dan dunia). Dengan melakukan semcam ini, seseorang akan ridho dan bersyukur, juga rasa tamaknya (terhadap harta dan dunia) akan berkurang. Jika seseorang sering memandang orang yang berada di atasnya, dia akan mengingkari dan tidak puas terhadap nikmat Allah yang diberikan padanya. Namun, jika dia mengalihkan pandangannya kepada orang di bawahnya, hal ini akan membuatnya ridho dan bersyukur atas nikmat Allah padanya.”
Al Ghozali –rahimahullah- mengatakan,
“Setan selamanya akan memalingkan pandangan manusia pada orang yang berada di atasnya dalam masalah dunia. Setan akan membisik-bisikkan padanya: ‘Kenapa engkau menjadi kurang semangat dalam mencari dan memiliki harta supaya engkau dapat bergaya hidup mewah[?]’ Namun dalam masalah agama dan akhirat, setan akan memalingkan wajahnya kepada orang yang berada di bawahnya (yang jauh dari agama). Setan akan membisik-bisikkan, ‘Kenapa dirimu merasa rendah dan hina di hadapan Allah[?]” Si fulan itu masih lebih berilmu darimu’.” (Lihat Faidul Qodir Syarh Al Jaami’ Ash Shogir, 1/573)
Itulah yang akan membuat seseorang tidak memandang remeh nikmat Allah karena dia selalu memandang orang di bawahnya dalam masalah harta dan dunia. Ketika dia melihat juragan minyak yang memiliki rumah mewah dalam hatinya mungkin terbetik, “Rumahku masih kalah dari rumah juragan minyak itu.” Namun ketika dia memandang pada orang lain di bawahnya, dia berkata, “Ternyata rumah tetangga dibanding dengan rumahku, masih lebih bagus rumahku.” Dengan dia memandang orang di bawahnya, dia tidak akan menganggap remeh nikmat yang Allah berikan. Bahkan dia akan mensyukuri nikmat tersebut karena dia melihat masih banyak orang yang tertinggal jauh darinya.
Berbeda dengan orang yang satu ini. Ketika dia melihat saudaranya memiliki Blacberry, dia merasa ponselnya masih sangat tertinggal jauh dari temannya tersebut. Akhirnya yang ada pada dirinya adalah kurang mensyukuri nikmat, menganggap bahwa nikmat tersebut masih sedikit, bahkan selalu ada hasad (dengki) yang berakibat dia akan memusuhi dan membenci temannya tadi. Padahal masih banyak orang di bawah dirinya yang memiliki ponsel dengan kualitas yang jauh lebih rendah. Inilah cara pandang yang keliru. Namun inilah yang banyak menimpa kebanyakan orang saat ini.
Dalam Masalah Agama dan Akhirat, Hendaklah Seseorang Melihat Orang Di Atasnya
Dalam masalah agama, berkebalikan dengan masalah materi dan dunia. Hendaklah seseorang dalam masalah agama dan akhirat selalu memandang orang yang berada di atasnya. Haruslah seseorang memandang bahwa amalan sholeh yang dia lakukan masih kalah jauhnya dibanding para Nabi, shidiqin, syuhada’ dan orang-orang sholeh. Para salafush sholeh sangat bersemangat sekali dalam kebaikan, dalam amalan shalat, puasa, sedekah, membaca Al Qur’an, menuntut ilmu dan amalan lainnya. Haruslah setiap orang memiliki cara pandang semacam ini dalam masalah agama, ketaatan, pendekatan diri pada Allah, juga dalam meraih pahala dan surga. Sikap yang benar, hendaklah seseorang berusaha melakukan kebaikan sebagaimana yang salafush sholeh lakukan. Inilah yang dinamakan berlomba-lomba dalam kebaikan.
Dalam masalah berlomba-lomba untuk meraih kenikmatan surga, Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ (22) عَلَى الْأَرَائِكِ يَنْظُرُونَ (23) تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيمِ (24) يُسْقَوْنَ مِنْ رَحِيقٍ مَخْتُومٍ (25) خِتَامُهُ مِسْكٌ وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ (26)
“Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam keni'matan yang besar (syurga), mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh keni'matan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya), laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. Al Muthaffifin: 22-26)
Al Qurtubhi mengatakan, “Berlomba-lombalah di dunia dalam melakukan amalan shalih.” (At Tadzkiroh Lil Qurtubhi, hal. 578)
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala juga berfirman,
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Inilah yang dilakukan oleh para salafush sholeh, mereka selalu berlomba-lomba dalam kebaikan sebagaimana dapat dilihat dari perkataan mereka berikut ini yang disebutkan oleh Ibnu Rojab –rahimahullah-. Berikut sebagian perkatan mereka.
Al Hasan Al Bashri mengatakan,
إذا رأيت الرجل ينافسك في الدنيا فنافسه في الآخرة
Wahib bin Al Warid mengatakan,
إن استطعت أن لا يسبقك إلى الله أحد فافعل
Sebagian salaf mengatakan,
لو أن رجلا سمع بأحد أطوع لله منه كان ينبغي له أن يحزنه ذلك
Namun berbeda dengan kebiasaan orang saat ini. Dalam masalah amalan dan pahala malah mereka membiarkan saudaranya mendahuluinya. Contoh gampangnya adalah dalam mencari shaf pertama. “Monggo pak, bapak aja yang di depan”, kata sebagian orang yang menyuruh saudaranya menduduki shaf pertama. Padahal shaf pertama adalah sebaik-baik shaf bagi laki-laki dan memiliki keutamaan yang luar biasa. Seandainya seseorang mengetahui keutamaannya, tentu dia akan saling berundi dengan saudaranya untuk memperebutkan shaf pertama dalam shalat, bukan malah menyerahkan shaf yang utama tersebut pada orang lain.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِى النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا
Mari kita saling berlomba dalam meraih surga dan pahala di sisi Allah!
Kekayaan Paling Hakiki adalah Kekayaan Hati
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita melihat kepada orang yang berada di bawah kita dalam masalah dunia agar kita menjadi orang yang bersyukur dan qana’ah yaitu selalu merasa cukup dengan nikmat yang Allah berikan, juga tidak hasad (dengki) dan tidak iri pada orang lain. Karena ketahuilah bahwa kekayaan yang hakiki adalah kekayaan hati yaitu hati yang selalu merasa cukup dengan karunia yang diberikan oleh Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
Seandainya seseorang mengetahui kenikmatan yang seolah-olah dia mendapatkan dunia seluruhnya, tentu betul-betul dia akan mensyukurinya dan selalu merasa qona’ah (berkecukupan). Kenikmatan tersebut adalah kenikmatan memperoleh makanan untuk hari yang dia jalani saat ini, kenikmatan tempat tinggal dan kenikmatan kesehatan badan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من أصبح منكم آمنا في سربه معافى في جسده عنده قوت يومه فكأنما حيزت له الدنيا
Oleh karena itu, banyak berdo’alah pada Allah agar selalu diberi kecukupan. Do’a yang selalu dipanjatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah do’a:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “”Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.” (Syarh Muslim, 17/41)
Ya Allah, berikanlah pada kami sifat ‘afaf dan ghina. Amin Yaa Mujibas Sa’ilin.
Kaidah penting dalam memahami takdir
Kaidah penting yang harus dipahami, agar manusia tidak buruk sangka terhadap takdir Allah, Dzat yang Mahasuci dari segala kekurangan.
Sebelumnya, perlu kami tegaskan, Anda perlu persiapan mental dan akal untuk memahami kaidah ini. Dalam banyak kesempatan kajian, ketika kaidah ini disampaikan, banyak di antara peserta yang bingung, mumet, rdb (ra dong blas), atau bahkan nesu .... Lumrah, memang memahami kaidah ini seolah memaksakan hati kita untuk mengimani dua hal yang kelihatannya bertentangan. Ya, semoga saja di sini tidak banyak yang mengajukan pertanyaan.
Sebelum mencoba memahami kaidah ini, Anda perlu mendoktrin diri untuk berkeyakinan bahwa:
- Keadilan Allah itu mutlak sempurna, sehingga tidak ada perbuatannya yang zalim.
- Kekuasaan Allah mutlak sempurna, sehingga tidak ada peristiwa yang terjadi di luar kehendak dan takdir Allah.
- Ilmu atau pengetahuan Allah mutlak sempurna, sehingga tidak ada yang tidak Allah ketahui.
Kaidah yang kami maksudkan:
"Semua yang Allah kehendaki pasti Allah ciptakan, dan tidak semua yang Allah cintai Allah kehendaki."
Untuk memahami kaidah di atas dengan baik, kita perlu membedakan antara iradah dengan mahabbah, atau antara iradah kauniyah dengan iradah diniyah.
Pertama, iradah kauniyah--atau yang sering diistilahkan dengan "iradah"--adalah kehendak Allah untuk menciptakan dan mewujudkan sesuatu. Semua yang dikehendaki oleh Allah, pasti Dia ciptakan dan Dia wujudkan. Baik sesuatu yang Dia ciptakan itu Dia cintai atau tidak Dia cintai. Dengan kata lain, semua yang terjadi di alam raya ini, merupakan bagian dari iradah kauniyah Allah ta'ala.
Contohnya, Allah menciptakan malaikat dan semua orang saleh. Allah mencintai mereka karena mereka adalah makhluk yang taat. Allah juga menciptakan iblis dan semua orang kafir. Allah membenci mereka karena mereka adalah makhluk pembangkang, dan seterusnya.
Berikut ini kami cantumkan beberapa contoh ayat yang menunjukkan iradah kauniyah Allah:
1. Firman Allah, tentang perkataan Nabi Nuh 'alaihis salam,
وَلاَ يَنفَعُكُمْ نُصْحِي إِنْ أَرَدتُّ أَنْ أَنصَحَ لَكُمْ إِن كَانَ اللّهُ يُرِيدُ أَن يُغْوِيَكُمْ هُوَ رَبُّكُمْ
Seorang ahli tafsir, Abdurrahman As-Sa'di, mengatakan, "Kehendak itu yang dominan. Jika Dia berkehendak untuk menyesatkan kalian, disebabkan kalian menolak kebenaran, maka nasihatku sama sekali tidak bermanfaat. Meskipun aku telah berusaha sekuat tenaga untuk menasehati kalian." (Taisir Karimir Rahman, hlm. 381)
Sesuatu yang Allah kehendaki ini terjadi: kaum Nabi Nuh 'alaihis salam tidak mau mengikuti dakwah beliau.
2. Contoh yang lain, firman Allah,
وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Terjadilah perkara yang Allah kehendaki, meskipun Allah sangat membenci sikap mereka yang menolak kebenaran.
Anda tidak perlu bertanya, mengapa Allah menciptakan sesuatu, padahal sesuatu itu Dia benci. Tentang latar belakang, mengapa menciptakan makhluk demikian, itu bukan urusan kita.
Yang jelas, semua yang Allah ciptakan memiliki hikmah dan tidak sia-sia. Hanya saja, terkadang hikmah itu kita ketahui dan terkadang tidak kita ketahui. Karena itu, bagi Anda yang tidak mengetahui hikmah, jangan berusaha untuk menolak atau mempertanyakannya dengan nada menolak. Tunjukkanlah sikap yang pasrah kepada Allah subhanahu wa ta'ala.
Singkat kata, kesimpulan dari penjelasan tentang iradah kauniyah adalah "Anda dipaksa untuk meyakini bahwa segala sesuatu dan peristiwa yang terjadi di alam ini, baik itu sesuatu yang baik atau sesuatu yang tidak baik, semua terjadi sesuai dengan kehendak Allah". Tidak ada satu pun yang terjadi di luar kehendak Allah.
Kedua, iradah diniyah--bisa juga disebut "iradah syar'iyah", atau sering juga disebut "al-mahabbah"--adalah kecintaan Allah terhadap sesuatu, meskipun sesuatu yang Dia cintai tidak diwujudkan atau diciptakan. Ketika sesuatu itu dicintai maka Allah memerintahkannya dan menjadikannya sebagai aturan syariat.
Misalnya, Allah mencintai ketaatan dan semua bentuk peribadahan kepada-Nya. Karena itu, Allah perintahkan hal ini dan Allah jadikan sebagai bagian dari agamanya. Meskipun Allah tidak menakdirkan semua makhluk-Nya melakukan hal ini. Terbukti dengan adanya banyak makhluk yang kafir, pembangkang, dan tidak menerima aturan Allah.
Contoh yang lain, Allah mencintai ketika semua umat manusia beriman. Karena itu, Allah perintahkan semua umat manusia untuk beriman. Meskipun demikian, Allah tidak menakdirkan seluruh makhluk-Nya beriman, karena tidak semua yang Allah cintai, Allah ciptakan.
Di antara contoh ayat yang menunjukkan iradah diniyah adalah:
1. Firman Allah,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
Allah perintahkan perkara-perkara di atas, karena Allah mencintainya. Namun, tidak semua makhluk Allah takdirkan melaksanakan perintah tersebut.
2. Firman Allah,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
Sebagaimana perintah di atas, tidak semua orang melaksanakan perintah ini, meskipun Allah mencintainya dan bahkan memerintahkannya, karena Allah tidak menakdirkan seluruh manusia melaksanakan perintah ini.
Demikian penjelasan singkat masalah takdir. Semoga penjelasan di atas tidak membuat Anda terlalu pusing untuk memahami takdir Allah. Namun, yang lebih penting di sini, kita mendapat sebuah kesimpulan bahwa tidak semua yang terjadi di alam ini diridhai dan dicintai oleh Allah. Dengan bahasa yang lebih tegas, tidak semua yang Allah ciptakan berarti Allah setuju atau Allah mencintainya, meskipun segala sesuatu yang ada di alam ini terjadi karena kehendak Allah ta'ala.
Dengan demikian, harta melimpah yang Allah berikan kepada manusia yang tidak taat, bukanlah tanda Allah mencintai mereka. Demikian pula, ketika ada orang yang mencari harta dengan cara pesugihan, kemudian Allah kabulkan keinginannya, bukanlah tanda bahwa Allah mengizinkan perbuatannya mencari harta dengan cara kesyirikan.
Kesimpulan ini dapat Anda analogikan untuk setiap kasus yang sama. Sebagian orang yang gandrung dengan ilmu "kanuragan islami" berdalih bahwa di antara bukti kalau ilmu itu datang dari Allah, ilmu itu bisa dipraktikkan dan berhasil. Jika Allah tidak setuju, tentunya Allah tidak akan mewujudkan keberhasilan paktik ilmu tersebut.
Sungguh aneh alasan ini! Untuk membantahnya, Anda bisa gunakan kesimpulan di atas.
Yang terakhir, saya tidak lupa mencantumkan FAQ penting terkait tulisan ini. Barangkali ada yang bertanya, apakah kaidah di atas termasuk prinsip ahlus sunnah dalam memahami takdir?
Jawabannya: Saya tegaskan, ya! Itulah akidah ahlus sunnah wal jamaah, akidah para shahabat dan para pengikutnya dalam memahami takdir dan ketatapan Allah ta'ala. Berikut ini pernyataan beberapa ulama ahlus sunnah, sebagai bukti untuk klaim di atas:
1. Imam Ibnu Abil Iz mengatakan,
والمحققون من أهل السنة يقولون : الإرادة في كتاب الله نوعان : إرادة قدرية كونية خلقية وإرادة دينية أمرية شرعية فالإرادة الشرعية هي المتضمنة للمحبة والرضى والكونية هي المشيئة الشاملة لجميع الموجودات
2. Syekhul Islam Ibn Taimiyah mengatakan,
وقد ذكر الله في كتابه الفرق بين " الإرادة " و " الأمر "...بين الكوني الذي خلقه وقدره وقضاه ؛ وإن كان لم يأمر به ولا يحبه ...وبين الديني الذي أمر به وشرعه وأثاب عليه...
“Allah telah menyebutkan dalam kitab-Nya tentang perbedaan antara iradah dengan perintah .... Antara kauni, yang Allah ciptakan, Allah takdirkan, dan Allah tetapkan, meskipun tidak dia perintahkan dan tidak dia cintai ... Antara ad-din, yang Allah perintahkan, Dia syariatkan, dan Allah berikan pahala bagi orang yang melaksanakannya ....” Kemudian beliau menyebutkan penjelasan tentang iradah kauniyah dan iradah syar'iyah. (Al-Furqan bayna Auliya Ar-Rahman wa Auliya Asy-Syaithan, hlm. 149)
Sebagai motivasi bagi kita cukuplah hadits berikut jadi pelajaran berharga bagi kita yang hidup dalam kesusahan
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahihnya :
حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً ثُمَّ يُقَالُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيمٌ قَطُّ فَيَقُولُ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ فَيَقُولُ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ قَطُّ وَلَا رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ
“Pada hari kiamat nanti akan didatangkan penduduk neraka yang ketika di dunia adalah orang yang paling merasakan kesenangan di sana. Kemudian dia dicelupkan di dalam neraka sekali celupan, lantas ditanyakan kepadanya, ‘Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat kebaikan sebelum ini? Apakah kamu pernah merasakan kenikmatan sebelum ini?’. Maka dia menjawab, ‘Demi Allah, belum pernah wahai Rabbku!’. Dan didatangkan pula seorang penduduk surga yang ketika di dunia merupakan orang yang paling merasakan kesusahan di sana kemudian dia dicelupkan ke dalam surga satu kali celupan. Lalu ditanyakan kepadanya, ‘Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat kesusahan sebelum ini? Apakah kamu pernah merasakan kesusahan sebelum ini?’. Maka dia menjawab, ‘Demi Allah, belum pernah wahai Rabbku, aku belum pernah merasakan kesusahan barang sedikit pun. Dan aku juga tidak pernah melihat kesulitan sama sekali.’.” (HR. Muslim dalam Kitab Shifat al-Qiyamah wa al-Jannah wa an-Naar)
Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan dimudahkan untuk beramal sholeh.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
****
[1] HR. Al-Bukhari (2468)
[2] Nikmat yang Allah berikan kepada pelaku maksiat dengan tujuan menipu mereka, agar mereka semakin tenggelam dalam maksiatnya
[3] HR. Muslim (2956)
Artikel
- http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/muslim-nampak-miskin-kafir-hidup-kaya.html Oleh Wiwit Hardi Priyanto
- http://rumaysho.com/belajar-islam/manajemen-qolbu/2354-lihatlah-orang-di-bawahmu-dalam-masalah-harta-dan-dunia.html Oleh Ust Muhammad Abduh Tuasikal
- http://pengusahamuslim.com/kenapa-orang-kafir-lebih-kaya Oleh Ust. Ammi Nur Baits
Post a Comment