F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Perbedaan antara wali-wali Allah dan wali-wali syaithon

Anggapan yang telah menyebar di kaum muslimin pada umumnya, terutama yang ada di Indonesia bahwasanya yang disebut wali Allah adalah orang-orang yang memiliki kekhususan-kekhususan yang tidak dimiliki oleh orang-orang biasa. Yaitu mampu melakukan hal-hal yang ajaib yang disebut dengan karomah para wali. Sehingga jika ada seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi tentang syari’at Islam namun tidak memiliki kekhususan ini maka kewaliannya diragukan. Sebaliknya jika ada seseorang yang sama sekali tidak berilmu bahkan melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah dan meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah ta'ala, namun dia mampu menunjukan keajaiban-keajaiban (yang dianggap karomah) maka orang tersebut bisa dianggap sebagai wali Allah.



Hal ini disebabkan karena kaum muslimin (terutama yang di Indonesia) sejak kecil telah ditanamkan pemahaman yang rusak ini. Apalagi ditunjang dengan sarana-sarana elektronik seperti adanya film-film para sunan yang menggambarkan kesaktian para wali[1]. Tentunya hal ini adalah sangat berbahaya yang bisa menimbulkan rusaknya aqidah kaum muslimin.

Ketahuilah Allah ta'ala telah menjelaskan dalam kitab-Nya dan sunnah Rosul-Nya bahwasanya Allah ta'ala memiliki wali-wali dari golongan manusia dan demikian pula syaithon juga memiliki wali-wali dari golongan manusia. Maka Allah membedakan antara para wali Allah dan para wali syaithon.[2] Sebagaimana firman Allah ta'ala :




}اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ{ (البقرة:257)

Allah adalah wali (penolong) bagi orang-orang yang beriman. Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir penolong-penolong mereka adalah thogut yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan-kegelapan. (Al-Baqoroh : 256)


}فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ{ (النحل:100-98)

Jika engkau membaca Al-Qur’an maka berlidunglah kepada Allah dari (godaan) syaithon yang terkutuk. Sesungguhnya tidak ada kekuatan baginya terhadap orang-orang yang beriman dan mereka bertawakal kepada Robb mereka. Hanyalah kekuatannya terhadap orang-orang yang berwala’ kepadanya dan mereka yang dengannya berbuat syirik. (An-Nahl :98-100)

}وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيّاً مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَاناً مُبِيناً{ (النساء:119)

Dan barangsiapa yang menjadikan syaithon sebagai wali selain Allah maka dia telah merugi dengan kerugian yang nyata (An-Nisa’ : 119)

}الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفاً{ (النساء:76)

Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah dan orang-orang kafir berperang di jalan thogut. Maka perangilah para wali-wali syaithon sesungguhnya tipuan syaithon itu lemah. (An-Nisa’ : 76)[3]


Maka wajib bagi kita untuk membedakan manakah yang merupakan wali-wali Allah dan manakah yang merupakan wali-wali syaithon, sebagaimana Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakannya.[4]


Definisi wali

Wali diambil dari lafal al-walayah yang merupakan lawan kata dari al-‘adawah. Adapun arti dari al-walayah adalah al-mahabbah (kecintaan) dan al-qorbu (kedekatan). Sedangkan arti al-‘adawah adalah al-bugdlu (kebencian) dan al-bu’du (kejauhan). Sedangkan wali artinya yang dekat.[5]


Siapakah yang disebut wali Allah ?

Yang disebut wali Allah adalah orang yang dia mencintai Allah ta’ala dan dekat dengan Allah ta’ala. Dan orang seperti ini harus memiliki sifat-sifat berikut :

1. Dia harus ittiba’ (mengikuti) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjalankan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi larangan-larangan beliau. Berdasarkan firman Allah ta’ala:

}قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ{ (آل عمران:31)

Katakanlah :”Jika kalian mencintai Allah maka ikutlah aku maka Allah akan mencintai kalian dan memaafkan kalian dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Ali Imron :31)

Ayat ini merupakan ayat ujian yang turun untuk menguji orang-orang yang mengaku mencintai Allah ta’ala (termasuk di dalamnya orang yang mengaku dia adalah wali Allah). Jika dia benar mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka kecintaannya kepada Allah ta’ala adalah benar, dan jika tidak maka cintanya adalah dusta.

2. Dia harus bersifat lembut kepada kaum muslimin dan keras kepada kaum kafir, dan berjihad di jalan Allah dan tidak takut dengan celaan orang-orang yang mencela, sesuai dengan firman Allah ta’ala:

}يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ{ (المائدة:54)

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang mutad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 5:54)

Hal ini sangatlah bertentangan dengan sifat sebagian orang yang mengaku dirinya wali, atau dianggap wali oleh masyarakat yang sifatnya sangat dekat dengan orang-orang kafir, bahkan mengagumi orang-orang kafir.

3. Dia harus bertaqwa dan beriman, yaitu beriman dengan hatinya dan bertaqwa dengan anggota tubuhnya, sesuai dengan firman Allah ta’ala:

}أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ{ (يونس:-6263)

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih (hati). (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. (Yunus : 62,63)

Maka barangsiapa yang mengaku sebagai wali Allah namun tidak memiliki sifat-sifat ini maka dia adalah pendusta.[6]

Orang Gila Wali???

Oleh karena itu sungguh keliru persangkaan sebagian orang yang mengangkat orang gila sebagai wali. Bahkan sebagian orang meyakini bahwa orang gila tersebut hanyalah telah sampai kepada derajat kewalian jika telah gila dan tatkala ia belum gila ia belum menjadi wali sejati.

Berkata Ibnu Taimiyah dalam Al-Furqon ((Jika seorang hamba tidak bisa menjadi seorang wali hingga menjadi seorang yang beriman dan bertakwa…maka tentu telah diketahui bahwa tidak seorangpun dari orang-orang kafir dan orang-orang munafik yang merupakan wali Allah maka demikan pula orang-orang yang tidak sah imannya dan ibadahnya –meskipun mereka tidak berdosa misalnya- …sebagaimana orang gila dan anak-anak karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يُفِيْقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ

"Diangkat pena dari tiga (golongan), orang gila yang hilang akalnya hingga sadar, dari orang yang tidur hingga terjaga dan dari anak kecil hingga bermimpi (dewasa)"[7]


…Namun anak-anak yang mumayyiz (telah bisa membedakan/ sudah ngerti jika diberi tahu-pen) maka sah ibadah mereka dan diberi pahala menurut pendapat mayoritas ulama. Adapun orang gila yang diangkat pena darinya maka ibadahnya sama sekali tidak sah berdasarkan kesepakatan para ulama, tidak sah keimanan yang dilakukannya (sebagaimana juga jika ia melakukan kekufuran), sholat, dan ibadah-ibadah yang lainnya.

Bahkan menurut seluruh orang yang berakal bahwasanya orang gila tidak layak untuk mengerjakan urusan-urusan duniawi seperti berdagang dan industri. Maka tidak layak untuk menjadi penjual kain, atau penjual minyak wangi, tukang besi, tukang kayu. Dan tidak sah transaksi-transaksi yang dilakukannya, tidak sah penjualannya, pembeliannya, nikahnya, cerainya, pembenarannya, persaksiannya, dan perkataan-perkataannya yang lainnya, bahkan seluruh perkataannya semuanya tidak ada artinya, tidak berkaitan dengan hukum syar’i, tidak ada pahalanya, dan tidak ada hukuman.

Maka jika orang gila tidak sah keimanannya, ketakwaannya, demikian juga taqorrubnya kepada Allah dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban dan perkara-perakara yang sunnah, maka tidak boleh seorangpun yang meyakini bahwa ia adalah wali Allah, apalagi dalihnya adalah karena mukasyafat yang ia dengar dari orang gila tersebut atau karena perbuatan orang gila itu seperti ia telah melihat orang gila itu menunjuk kepada seseorang lalu orang tersebut meninggal atau terkapar. Karena sesungguhnya telah diketahui bahwasanya orang-orang kafir dan orang-orang munafik dari kalangan kaum musyrikin dan ahlul kitab mereka juga memiliki mukasyafaat (mengungkap tabir rahasia)[8] dan perbuatan-perbuatan yang dibantu syaitan seperti para dukun dan tukang sihir…maka tidak boleh bagi seorangpun hanya sekedar berdalih dengan hal-hal tersebut untuk menunjukan bahwa seseorang adalah wali Allah -meskipun ia tidak mengetahui apakah orang itu melakukan perkara-perkara yang membatalkan kewaliannya kepada Allah-)).

Ibnu Abil ‘Izz berkata, “Adapun yang terjadi pada sebagian mereka -tatkala mendengar lagu-lagu yang indah- berupa igauan dan berbicara dengan bahasa-bahasa yang lain dengan bahasa yang biasa digunakannya, maka itu adalah syaitan yang berbicara melalui lisannya sebagaiman syaitan yang berbicara melalui lisan orang yang kemasukan syaitan. Ini semua merupakan perbuatan-perabuatan syaitan.

Bagaimanakah mungkin hilangnya akal merupakan sebab atau ibadah atau syarat untuk menjadi wali Allah??, sebagaimana yang disangka oleh banyak orang-orang sesat. Bahkan seorang dari mereka berkata,

هُمْ مَعْشَرٌ حَلُّو النِّظَامَ وَخَرَّقُوا ال سيَاجَ فَلاَ فَرْضَ لَدَيْهِمْ وَلاَ نَفْلَ

مَجَانِيْنُ إِلاَّ أَنَّ سِرَّ جُنُوْنِهِمْ عَزِيْزٌ عَلَى أَبْوَابِهِ يَسْجُدُ الْعَقْلُ

Mereka (orang-orang gila yang dianggap wali) telah membuka (ikatan) aturan (syari’at) dan mereka memporak-porandakan pagar-pagar (aturan).

Maka tidak ada lagi (yang namanya) kewajiban bagi mereka dan tidak juga (yang namanya) sunnah (mustahab).

Orang-orang gila, hanya saja rahasia kegilaan mereka adalah besar dimana akal sujud pada pintu-pintu rahasia tersebut

Dan ini adalah perkataan orang yang sesat bahkan kafir, yang menyangka bahwa pada kegilaaan ada sebuah rahasia yang akal sujud pada pintu rahasia tersebut karena ia melihat dari sebagian orang-orang gila tersebut suatu mukaasyafah (penglihatan di masa datang) atau tindakan yang ajaib yang luar biasa yang hal itu disebabkan bantuan syaitan sebagaimana yang terjadi pada para tukang sihir dan para dukun. Maka orang sesat ini menyangka bahwa setiap orang yang bisa mukasyafah atau melakukan hal yang luar biasa adalah seorang wali Allah. Barangsiapa yang berkeyakinan seperti ini maka ia adalah kafir. Allah telah berfirman

}هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَن تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ, َنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ { (الشعراء : 221 -222 )

Apakah akan aku beritahukan kepadamu, kepada siapkah syaithon-syaithon itu turun ?, mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa. Mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaithon) itu, dan kebanyakan mereka adalah pendusta. (As-Syu’aro’ : 221-222)

Dan setiap orang yang syaitan turun kepadanya maka pasti ia melakukan kedustaan dan kefajiran”[9]

Ibnu Abil ‘Izz berkata, “Barangsiapa yang meyakini bahwa sebagian orang-orang dungu (agak gila) –yang meninggalkan ittiba’ (mengikuti) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam pembicaraannya, amalan-malannya, maupun keadaan-keadaannya- bahwsanya mereka termasuk wali-wali Allah, dan lebih utama daripada para pengikut jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia adalah orang yang sesat, mubtadi’, dan salah dalam beraqidah. Karena orang dungu tersebut kalau bukan ia adalah syaitan yang zindiiq…, atau seorang gila yang mendapat udzur. Maka bagaimana ia bisa lebih mulia daripada orang yang termasuk wali-wali Allah yang mengikuti sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam??? Atau menyamainya???. Dan tidaklah dikatakan bahwa mungkin saja orang dungu ini mengikuti sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di batin meskipun ia meninggalkan ittiba’ di dzohir??. Ini sesungguhnya juga merupakan kesalahan, dan yang wajib adalah mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik secara batin maupun secara zhohir”[10]

Diantara mereka ada yang berdalil dengan hadits yang lemah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,


اطَّلَعْتُ على الجنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهاَ البُلْهَ

“Aku melihat surga ternyata aku lihat mayoritas penghuninya adalah orang-orang dungu”[11]


Ibnu Abil ‘Izz berkata[12], “Hadits ini tidak sah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh dinisbahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena surga hanyalah diciptakan bagi ulil Albab yang akal mereka mengantarkan mereka kepada beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, dan hari ahkir. Allah telah menyebutkan para penghuni surga beserta ciri-ciri dan sifat-sifat mereka dalam Al-Qur’an dan Allah (sama sekali) tidak menyebutkan bahwa diantara sifat penduduk surga adalah kedunguan. (Yang benar) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah bersabda


اطَّلَعْتُ على الجنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهاَ الفُقَرَاءَ

“Aku melihat surga ternyata aku lihat mayoritas penghuninya adalah orang-orang faqir”[13]


Islam adalah agama yang menyeru manusia untuk menggunakan akalnya memikirkan ayat-ayat Allah, dan bukanlah agama yang menyeru kepada kedunguan apalagi kegilaan, karena hal ini tidakalah bisa diterima fitroh manusia, tidak diterima oleh akal sehat, bahkan orang gilapun mungkin tidak menerimanya.

Akal adalah anggota tubuh yang membedakan antara hewan dan manusia, akal merupakan tempat memahami, dengan akal seseorang bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan, antara hak dan batil. Oleh karena itu agama Islam sangat memperhatikan penjagaan akal dan menjadikan sebagai tempat digantungkannya "taklif" (beban untuk menjalankan hukum-hukum syari'at) dan Islam menjatuhkan taklif bagi orang yang kehilangan akal sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


رفع القلم عن ثلاثة عن المجنون المغلوب على عقله حتى يفيق وعن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم

"Diangkat pena dari tiga (golongan), orang gila yang hilang akalnya hingga sadar, dari orang yang tidur hingga terjaga dan dari anak kecil hingga bermimpi (dewasa)"[14]


Oleh karena itu merupakan perbuatan kriminal seseorang terhadap akalnya sendiri dengan meniadakan fugsi akal dan menghentikan aktifitas akal. Orang tersebut pantas untuk dihukum akibat perbuatan kriminalnya tersebut walaupun pada hakikatnya orang tersebut telah berbuat kriminal terhadap dirinya sendiri dimana ia telah menutup akalnya sehingga jadilah ia seperti hewan atau lebih parah yang tidak bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan karena alat yang digunakannya untuk membedakan telah ia rusakan fungsinya.

Apakah merupakan tindakan seorang yang memiliki akal untuk berusaha untuk menghilangkan fungsi akalnya?? yang akal merupakan alat yang sangat teliti yang mampu mencatat masa lalunya dengan baik serta membuatnya berjalan dalam jalan yang teratur, serta memberikan gambaran yang baik di masa depan, apakah ada orang yang berakal yang ingin menghilangkan fungsi akalnya??. Sesungguhnya orang yang menghilangkan fungsi akalnya dengan sengaja, perbuatannya itu menunjukan bahwa ia bisa tanpa akalnya, ia tidak butuh dengan akalnya, ia ingin berjalan di atas muka bumi dengan keadaannya yang tanpa akal, dia ingin seperti hewan-hewan yang tidak bisa membedakan, atau seperti benda-benda mati yang tidak bisa merasakan apa yang terjadi di daerah sekitarnya[15]

Oleh karena itu orang-orang yang mendengarkan lagu-lagu hingga pingsan (hilang akal mereka) adalah para mubtadi’ yang sesat, tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk berusaha melakukan perkara-perkara yang menyebabkan hilangnya akalnya, tidak ada seorang sahabat maupun seorang tabi’in pun yang melakukan demikian, bahkan tatkala mereka mendengarkan Al-Qur’an. Akan tetapi mereka sebagaimana yang disifatkan oleh Allah


إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (الأنفال : 2 )

Apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal (QS. 8:2)


اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَاباً مُّتَشَابِهاً مَّثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَن يُضْلِلْ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ (الزمر : 23 )

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka diwaktu mengingat Allah.Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya. (QS. 39:23)[16]



Yang lebih parah dari orang gila yaitu yang diketahui melakukan perkara-perkara yang membatalkan tauhid, apakah seorang wali??

Ibnu Taimiyah berkata, ((Bagaimana lagi jika diketahui bahwasanya ia telah melakukan hal-hal yang membatalkan kewalian kepada Allah??, misalnya diketahui bahwasanya (1) ia tidak meyakini wajibnya mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara dzohir dan batin namun ia hanya meyakini wajibnya mengikuti Rasulullah pada syari’at-syari’at yang dzhahir dan bukan yang batin, atau (2) meyakini bahwa para wali memiliki jalan menuju Allah yang berbeda dengan jalan para nabi. Atau (3) ia berkata bahwa para nabi hanyalah mempersulit jalan atau (4) para nabi hanyalah teladan bagi orang-orang umum dan bukan teladan bagi orang-orang khusus dan yang semisalnya yang telah keluar dari mulut-mulut orang-orang yang mengaku-ngaku mereka adalah wali-wali Allah. Mereka ini terdapat pada mereka perkara-perkara kekufuran yang membatalkan keimanan apalagi kewalian??. Barangsiapa yang berdalil dengan hal-hal aneh yang dilakukan oleh mereka untuk menunjukan kewalian mereka maka ia lebih sesat dari orang-orang Yahudi dan Nasrani))

Berkata Syaikh Sholeh Alu Syaikh, ((Inilah yang menyebabkan bid’ah-bid’ah dan kesyirikan tersebar merajalela di negeri-negeri dikarenakan kesalahan keyakinan tentang wali (yaitu meyakini bahwa wali adalah orang yang bisa melakukan hal yang luar biasa meskipun ia adalah ahli maksiat –pen). Karena jika wali (palsu yang pada hakekatnya bukan wali) hidup dan fasik maka ia menjadikan masyarakat suka terhadap sebagian kemungkaran atau sebagian bid’ah agar ia bisa memperoleh uang atau kedudukan atau yang lainnya dari mereka. Masyarakatpun meyakini bahwa ia adalah seorang wali lalu merekapun mengikuti kemungkaran dan kebid’ahan yang dilakukannya itu. Mereka berkata “Ini adalah wali fulan”. Untuk bisa menghancurkan kondisi yang seperti ini adalah dengan menegakkan dalil (menanamkan keyakinan kepada masyarakat) bahwa kewalian tidaklah diperoleh kecuali bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa… (namun) para wali pendusta mereka menyebarkan kepada masyarakat bahwa amalan dzohir para wali tidak sama dengan amalan batin mereka sehingga mereka ingin menepis penjelasan (ahlussunnah) yang benar ini. Mereka berkata, “Wali ini dzohirnya mengamalkan perkara-perkara (maksiat) namun di batinnya hatinya dan amalannya adalah untuk Allah. Diantara mereka ada suatu kelompok yang namanya “Al-Malamiyah” yang mereka adalah orang-orang yang karena ingin ikhlas maka mereka menampakkan perkara-perkara yang menyelisihi tauhid atau menyelisishi keistiqomahan, atau menyelisihi keikhlasan agar mereka dituduh dengan riya’[17]. Mereka berkata, “Kami menampakkan seperti ini demi keikhlasan” agar tidak dikatakan bahwasanya mereka adalah orang-orang yang riya’. Maka merekapun menyembunyikan ketaatan mereka dan mereka menampakkan kefasikan agar mereka tidak berbuat riya’ di hadapan manusia. Al-Fudhail bin ‘Iyadh telah berkata tentang orang-orang semodel mereka ini, العمل لغير الله رياء وترك العمل لغير الله شرك “Beramal karena selain Allah adalah riya’ dan meninggalkan amal karena selain Allah adalah kesyirikan”. Mereka menyangka mereka telah terlepas dari riya’ namun mereka terjatuh dalam kesyirikan karena mereka telah meninggalkan amal karena manusia…yaitu meninggalkan amalan-amalan yang wajib.))[18]


Seorang wali tidaklah maksum sebagaimana seorang nabi

Namun perlu diperhatikan bukanlah syarat seorang wali dia harus ma’sum (tidak pernah berbuat salah), dan tidak pula dia harus menguasai seluruh ilmu syari’at. Bahkan boleh baginya tidak mengetahui sebagian syari’at atau masih samar baginya sebagian perkara agama. Oleh karena itu tidak wajib bagi manusia untuk mengimani seluruh apa yang dikatakan oleh seorang wali Allah karena dia bukanlah seorang nabi, tetapi seluruh yang dikatakannya dikembalikan kepada ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika sesuai, maka perkataannya diterima dan jika tidak, maka ditolak. Jika tidak diketahui apakah sesuai atau tidak dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tawaquf.[19] Dan inilah sikap yang benar kepada wali Allah. Adapun sikap yang salah kepada wali Allah yaitu membenarkan semua apa yang diucapkan dan yang dilakukannya, atau sebaliknya jika melihat dia mengatakan atau melakukan sesuatu yang menyelisihi syari’at maka langsung mengeluarkan dia dari kewaliannya.[20]


Umar bin Al-Khotthob merupakan contoh wali Allah namun ia tidaklah maksum

Umar bin Al-Khottob radhiyallahu ‘anhu adalah contoh seorang wali Allah, yang Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya


قَدْ كَانَ فِيْمَا قَبْلَكُمْ مِنَ الأُمَمِ نَاسٌ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ يَكُنْ مِنْ أُمَّتِيْ أَحَدٌ فَإِنَّهُ عُمَرُ

Pada umat-umat sebelum kalian ada orang-orang yang muhaddatsun (yang mendapatkan sejenis ilham dari Allah)[21]. Kalaupun ada di kalangan umatku satu orang, maka dia adalah Umar.[22]

إِنَّ اللهَ وَضَعَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ يَقُوْلُ بِهِ

Sesungguhnya Allah meletakkan kebenaran pada lisan Umar yang ia mengucapkan kebenaran tersebut.[23]

لَوْ كَانَ نَبِيٌّ بَعْدِي لَكَانَ عُمَرَ

Kalaulah ada nabi setelahku maka dia adalah Umar.[24]

Hadits-hadits ini jelas menunjukan bahwasanya Umar radhiyallahu ‘anhu adalah seorang wali Allah, bahkan beliau mendapatkan ilham dari Allah. Selain itu beliau pernah melakukan hal-hal yang ajaib sebagaimana beliau pernah mengutus sebuah pasukan dan beliau mengangkat seorang pemuda yang bernama Sariyah untuk memimpin pasukan tersebut. Tatkala Umar sedang berkhutbah di atas mimbar, beliau berteriak :”Wahai Sariyah, gunung !, wahai Sariyah, gunung !”. Lalu utusan pasukan tersebut menemui Umar dan berkata : “Wahai Amirul Mu’minin, kami bertemu musuh, tiba-tiba ada suara teriakan :”Wahai Sariyah, gunung!”, lalu kami menyandarkan punggung-punggung kami ke gunung kemudian Allah memenaggkan kami”.[25]

Beliau juga sangat ditakuti oleh Syaitan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Umar,


يَا بْنَ الْخَطَّاب وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا لَقِيَكَ الشَّيْطَانُ قَطْ سَالِكًا فَجًّا إِلاَّ سَلَكَ فَجًّا غَيْرَ فَجِّكَ

“Wahai Ibnul Khotthob, -demi Yang jiwaku berada di tanganNya- tidaklah syaitan bertemu dengan engkau di jalan manapun kecuali ia mencari jalan yang lain”[26]


Namun hal ini tidak menunjukan bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu harus ma’sum (terjaga dari kesalahan). Kesalahan yang pernah beliau lakukan diantaranya [27]:

1. Yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berumroh pada tahun ke enam Hijroh bersama sekitar 1400 kaum muslimin –mereka itu adalah yang berbai’at di bawah pohon- dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengadakan perjanjian damai (perjanjian Hudaibiyah) dengan kaum musyrikin setelah melalui perundingan dengan kaum musrikin. Keputusan perundingan tersebut adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum mukminin kembali ke Madinah pada tahun ini dan akan berumroh pada tahun yang akan datang. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi beberapa syarat terhadap mereka yang dalam syarat-syarat tersebut ada tekanan kepada kaum muslimin secara dzohir, sehingga hal itu memberatkan kebanyakan kaum muslimin, sedangkan Allah dan Rosul-Nya lebih mengetahui dengan maslahat yang ada di balik itu. Umar radhiyallahu ‘anhu termasuk orang yang tidak setuju dengan hal itu, lalu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :”Wahai Rosulullah, bukankah kita di atas kebenaran dan musuh kita di atas kebatilan ?”, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :”Benar”, lalu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata lagi :”Bukankah orang-orang yang terbunuh diantara kita masuk ke dalam surga dan orang-orang yang terbunuh di antara mereka masuk ke dalam neraka?”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :”Benar”. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata :”Kenapa kita bersikap merendah pada agama kita?”, Nabi berkata :”Aku adalah Rosulullah dan Allah adalah penolongku dan aku bukanlah orang yang bermaksiat kepadanya.”, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata :”Bukankah engkau berkata kepada kami bahwa kita akan mendatangi baitulloh dan berthowaf ?”, Nabi berkata :”Benar”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi:”Apakah aku mengatakan kepadamu sesungguhnya engkau akan mendatanginya pada tahun ini?”, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata :”Tidak”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :”Sesungguhnya engkau akan mendatanginya dan berthowaf.”

Umar pun mendatangi Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan berkata kepadanya sebagaimana perkataannya kepada Rosulullah. Dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pun menjawab sebagaimana jawaban Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal dia tidak mendengar jawaban Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (kepada Umar). Dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang lebih sering sesuai dengan Allah dan Rosul-Nya dari pada Umar radhiyallahu ‘anhu, dan Umar radhiyallahu ‘anhu mengakui kesalahannya dan berkata :”Aku benar-benar akan mengamalkannya”[28]

2. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Umar mengingkari kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun tatkala Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata :”Sesungguhnya dia telah wafat”, maka Umar radhiyallahu ‘anhu pun menerimanya.[29]


3. Ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat, maka Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu :”Bagaimana bisa kita memerangi manusia, sedangkan Rosulullah bersabda :”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku adalah Rosulullah. Apabila mereka mengakui hal ini maka terjagalah darah-darah dan harta-harta mereka, kecuali dengan haknya””, maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata :”Bukanlah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “kecuali dengan haknya”?, sesungguhnya zakat termasuk haknya. Demi Allah kalau mereka itu menolak untuk membayar zakat kepadaku yang mereka membayarnya kepada Rosulullah maka aku akan memerangi mereka karena ketidakmauan mereka”. Berkata Umar radhiyallahu ‘anhu :”Demi Allah tidaklah ada, kecuali aku melihat Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi (orang-orang yang enggan membayar zakat), maka aku mengetahui bahwasanya dia adalah benar”[30]


Faidah yang bisa diambil dari pemaparan ini adalah [31]:

a. Seorang wali tidak ma’sum, bisa berbuat salah, bahkan berkali-kali sebagaimana Umar yang salah berkali-kali.

b. Seorang wali bisa memiliki karomah sebagaimana Umar yang mendapat ilham dari Allah ta’ala.

c. Tidak berarti seseorang yang mendapat karomah berarti lebih mulia daripada wali Allah yang tidak ada karomahnya[32]. Sebagaimana Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu jelas lebih mulia daripada Umar radhiyallahu ‘anhu, namun dia tidak mendapatkan ilham dari Allah ta’ala dan tidak memiliki karomah-karomah sebagaimana yang dimiliki oleh Umar.

Berkata Ibnu Taimyah, ((Dan termasuk perkara yang perlu untuk diketahui bahwasanya karomah terkadang sesuai dengan kebutuhan seseorang. Jika seorang yang lemah imannya membutuhkan karomah atau orang yang butuh maka Allah memberikannya karomah untuk manguatkan imannya dan memenuhi kebutuhannya. Sehingga orang yang kewaliannya lebih sempurna tidak butuh kepada karomah tersebut, maka tidaklah datang kepadanya seperti karomah tersebut karena derajatnya yang tinggi. Dan tidak butuhnya ia kepada karomah tersebut bukan karena derajat kewaliannya yang kurang. Oleh karena itu munculnya karomah lebih banyak terjadi di generasi tabiin dari pada para sahabat. Berbeda dengan kejadian luar biasa yang terjadi melalui tangan-tangan para nabi untuk memberi petunjuk kepada manusia dan kebutuhan manusia…))

d. Seorang wali tetap harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah ta’ala dan Rosul-Nya dan menjauhi larangan-larangan Allah ta’ala dan Rosul-Nya. Sebagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu yang tetap melaksanakan perintah Allah ta’ala dan RasulNya

e. Walaupun seorang wali, tapi perkataan dan perbuatannya harus ditimbang dengan Al-Kitab dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ma’sum. Sebagaimana ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu dikembalikan (ditimbang) oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dengan Sunnah Nabi. Berkata Yunus bin Abdil A’la As-Shodafi : Saya berkata kepada Imam Syafi’i : “Sesungguhnya sahabat kami –yaitu Al-Laits- mengatakan :”Apabila engkau melihat sesorang bisa berjalan di atas (Permukaan) air, maka janganlah engkau anggap dia sebelum engkau teliti keadaan (amalan-amalan) orang tersebut, apakah sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.”, lalu Imam Syafi’i berkata :”Al-Laits masih kurang, bahkan kalau engkau melihat seseorang bisa berjalan di atas air atau bisa terbang di udara, maka janganlah engkau anggap ia sebelum engkau memeriksa keadaan (amalan-amalan) orang tersebut apakah sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah”.[33]

Sehingga tidaklah benar anggapan bahwa Aresto adalah wali Allah karena Aresto adalah mentrinya Iskandar yang kafir (karena tidak ada wali Allah dari orang kafir), yang sebagian orang (diantaranya Ibnu Sina) menyangka bahwa Iskandar adalah Dzulqornain.[34]

f. Seorang wali yang telah jelas bahwasanya perkataan atau perbuatannya menyelisihi Sunnah Nabi, maka dia harus kembali kepada kebenaran. Dan dia tidak menentangnya. Sebagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau tidak membantah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dengan berkata :”Tapi saya kan wali, saya kan mendapat ilham dari Allah, saya kan dijamin masuk surga, dan kalian harus menerima perkataan saya”

g. Seorang wali harus mematuhi syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para Nabi saja kalau hidup sekarang harus mengikuti syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam apalagi para wali. Karena jelas para Nabi lebih bertaqwa daripada para wali dari selain Nabi. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata :”Tidaklah Allah mengutus seorang nabipun kecuali Allah mengambil perjanjiannya, jika Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diutus dan nabi tersebut masih hidup maka nabi tersebut harus benar-benar beriman kepadanya dan menolongnya. Dan Allah memerintah Nabi tersebut untuk mengambil perjanjian kepada umatnya kalau Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diutus dan mereka (umat nabi tersebut masih) hidup maka mereka akan benar-benar beriman kepadanya dan menolongnya.”[35]

h. Seorang wali tidak boleh menyombongkan dirinya dengan mengaku-ngaku bahwa dia adalah wali sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul kitab yang mereka mengaku bahwa mereka adalah wali-wali Allah. Allah berfirman :


فَلاَ تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

Dan janganlah kalian menyatakan diri-diri kalian suci. Dia (Allah) yang lebih mengetahui tentang orang yang bertaqwa. (An-Najm : 32 )



Orang mengaku dirinya adalah wali maka dia telah berbuat maksiat kepada Allah ta’ala karena telah melanggar larangan Allah ta’ala ini. Dan orang yang bermaksiat tidak pantas disebut wali Allah.[36]

i. Dan juga bukan termasuk syarat sebagai wali Allah yaitu dia harus memiliki karomah. Namun karomah merupakan tambahan kenikmatan yang Allah berikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dari kalangan para wali-Nya.[37]

j. Dan wali-wali Allah tidak memiliki ciri-ciri yang khusus pada perkara-perkara mubah yang bisa membedakannya dengan manusia yang lain.[38] Pakainnya sama, rambutnya sama, dan yang lainnya juga sama. Ciri-ciri wali tidaklah kembali pada perkara-perkara dunia, namun ciri-ciri wali kembali pada perkara-perkara akhirat. Oleh karena itu jelas kesalahan sebagian orang menyangka bahwa ahlu suffah telah mencapai derajat kewalian karena sekedar sifat mereka yang miskin dan kumuh[39], demikian juga sebagian orang yang menyangka bahwa ciri-ciri wali adalah orang yang memakai sorban, atau memakai tongkat, atau membawa selendang hijau, atau ciri-ciri yang lainnya.


Contoh-contoh karomah para wali Allah [40]:

1. Amir bin Fahiroh mati syahid, maka mereka mencari jasadnya namun tidak bisa menemukannya. Ternyata ketika dia terbunuh dia diangkat dan hal ini dilihat oleh Amir bin Thufail. Berkata Urwah:”Mereka melihat malaikat mengangkatnya”[41]

2. Kholid bin Walid ketika mengepung musuh di dalam benteng yang kokoh, maka para musuhpun berkata :”Kami tidak akan menyerah sampai engkau meminum racun”, lalu diapun meminum racun namun tidak mengapa.[42]

3. Sa’ad bin Abi Waqqos adalah orang yang selalu dikabulkan do’anya. Dan dengan do’anya itulah dia berhasil mengalahkan pasukan Kisro dan menguasai Iroq.[43]

4. Abu Muslim Al-Khoulani, dia pernah dicari oleh Al-Aswad Al-‘Anasi yang mengaku sebagai nabi. Lalu Al-Aswad bertanya kepada beliau :”Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah Rosul Allah?”, lalu dia berkata :”Saya tidak dengar”, lalu dia bertanya lagi :”Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rosul Allah?”, beliau menjawab :”Ya”. Lalu disiapkan api dan beliau dilemparkan ke api. Namun mereka mendapatinya sedang sholat di dalam kobaran api itu, api itu menjadi dingin dan keselamatan untuknya.[44]

5. Sa’id Ibnul Musayyib, di waktu hari-hari yang panas, beliau mendengar adzan dari kuburan Nabi ketika tiba waktu-waktu sholat, dan mesjid dalam keadaan kosong (karena panasnya hari –pent), tidak ada seorangpun kecuali dia.[45]

6. Uwais Al-Qoroni ketika wafat mereka menemukan di bajunya ada beberapa kain kafan yang sebelumnya tidak ada, dan mereka juga menemukan lubang yang digali di padang pasir yang sudah ada lahadnya. Lalu mereka mengafaninya dengan kefan-kafan teresbut dan menguburkannya di lubang tersebut.[46]

7. Asid Bin Hudlair membaca surat Al-Kahfi lalu turunlah bayangan dari langit yang ada semacam lentera dan itu adalah para malaikat yang turun karena bacaannya.[47] Dan malaikat pernah menyalami Imron bin Husain radhiyallahu ‘anhu [48]. Salman radhiyallahu ‘anhu dan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu makan di piring lalu piring mereka bertasbih atau makanan yang ada pada piring tersebut bertasbih.[49] Abbad bin Bisyr radhiyallahu ‘anhu dan Asid bin Hudlair radhiyallahu ‘anhu kembali dari Rosulullah pada malam yang gelap gulita. Maka Allah menjadikan cahaya bagi mereka berdua, dan tatkala mereka berpisah maka terpisah juga cahaya tersebut.[50]

8. Muthorrif bin Abdillah jika memasuki rumahnya maka tempayan-tempayannya bertasbih bersamanya.[51] Dia bersama seorang sahabatnya berjalan di malam hari, lalu Allah menjadikan cayaha untuk mereka berdua.[52]

9. Ahnaf bin Qois. Ketika dia wafat, tutup kepala milik seseorang terjatuh di kuburannya. Lalu orang tersebut mengambil topinya, dan dia melihat kuburan Ahnaf bin Qois telah menjadi seluas mata memandang.[53]

10. Utbah Al-gulam, dia meminta kepada Allah tiga perkara, yaitu suara yang indah, air mata yang banyak, dan makanan yang diperoleh tanpa usaha. Dan jika dia membaca Al-Qur’an maka dia menangis dengan air mata yang banyak. Dan jika dia bernaung di rumahnya dia mendapatkan makanan dan dia tidak tahu dari manakah makanan tersebut.[54]


Siapakah wali-wali syaithon ?

Allah ta’ala berfirman :


}وَمَن يَعْشُ عَن ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَاناً فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ{ الزخرف : 36

Dan barang siapa yang berpaling dari pengajaran Ar-Rohman, kami adakan baginya syaithon yang menyesatkan, maka syaithon itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. (Az-Zukhruf : 36)

}هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَن تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ, َنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ, يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ{ (الشعراء : 221 -223 )

Apakah akan aku beritahukan kepadamu, kepada siapkah syaithon-syaithon itu turun ?, mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa. Mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaithon) itu, dan kebanyakan mereka adalah pendusta. (As-Syu’aro’ : 221-223)


Contoh-contoh tipuan syaithon

1. Abdullah bin Soyyad. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menguji Ibnu Soyyad (seorang dukun yang hidup di zaman Nabi yang dia adalah seorang Yahudi). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya :”(Cobalah tebak) aku menyembunyikan sesuatu (di hatiku)”. Ibnu Soyyad berkata :”Ad-Dukh…Ad-Dukh..”. Padahal sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang menyembunyikan surat Ad-Dukhon. Lalu Nabi berkata kepadanya :”Cih, engkau tidak mampu melampaui kemampuanmu”[55]. Ibnu Soyyad hampir betul menebak apa yang ada di hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ini adalah suatu keajaiban, namun dengan bantuan syaithon. Karena seorang yang normal maka dia tidak akan bisa mengetahui isi hati manusia, bahkan Nabi pun tidak mengetahui isi hati manusia kecuali yang diberitahu oleh Allah ta’ala. Para sahabat pun (kecuali Hudzifah, karena dia telah diberitahu oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak mengetahui siapa-siapa saja orang munafik yang ada bersama mereka. [56]
2. Al-Aswad Al-‘Anasi yang mengaku sebagai nabi. Dia dibantu para syaithon yang memberitahukan kepadanya tentang perkara-perkara ghoib. Dan tatkala kaum muslimin memeranginya mereka khawatir para syaithonnya akan mengabarkan kepadanya apa yang mereka bicarakan tentang dirinya (yaitu bahwasanya dia akan dibunuh –pent). Namun istrinya sadar akan kekafiran suaminya maka diapun menolong kaum muslimin.[57]
3. Musailamah Al-Kadzdzab yang juga mengaku sebagai nabi, memiliki syaithon-syaithon yang memberitahukan perkara-perkara gho’ib kepadanya dan membantunya melakukan hal-hal yang ajaib[58]. Diantaranya dia pernah meludah di sumur sehingga air sumur tersebut menjadi melimpah.[59]
4. Al-Harits Ad-Dimasyqi, seorang pembohong besar yang muncul dan mengaku sebagi nabi di Syam pada zaman khalifah Abdul Malik bin Marwan (wafat tahun 86 H). Al-Harits memiliki kemampuan ajaib. Para syaithonnya melepaskan kedua kakinya dari belenggu, dan membuatnya kebal senjata, dan batu pualam bisa bertasbih jika dia sentuh dengan tangannya. Dan dia telah memperlihatkan kepada manusia sekelompok orang-orang sedang berjalan di udara dan naik kuda terbang di udara, dia berkata : “Mereka adalah malaikat”, padahal mereka adalah jin. Dan tatkala kaum muslimin menangkapnya untuk dibunuh, maka ada orang yang menombaknya di tubuhnya, namun tidak mempan. Maka Abdul Malik berkata kepadanya :”Engkau tidak menyebut nama Allah”. Lalu orang itu menyebut nama Allah dan berhasil membunuh Al-harits.[60]
5. Lia ‘Aminuddin, yang mengaku sebagai Imam Mahdi dan mengaku telah didatangi oleh Jibril. Keajaiban yang ada padanya yaitu dia mampu untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Bahkan dia mengaku adalah seseorang yang memberantas bid’ah dan kesyririkan[61].

Syubhat-syubhat

Syubhat pertama

Sesungguhnya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada manusia pada umumnya namun tidak pada manusia-manusia yang khusus yaitu para wali, dan para wali tersebut tidak butuh kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka memiliki cara tersendiri untuk mencapai Allah ta’ala. Sebagaimana Nabi Musa tidaklah diutus kepada Nabi Khidir sehingga Nabi Khidir tidak wajib mengikuti syari’at Musa.[62]

Jawab [63]:

Perkataan ini sebagaimana perkataan kebanyakan para ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) bahwasanya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada orang-orang yang tuna aksara bukan kepada mereka. Dan pendalilan dengan kisah antara Khidir dan Musa adalah tidak tepat, sebab :

a. Kisah yang terjadi antara nabi Musa dan Khidir hanyalah bisa dijadikan dalil kalau ternyata Khidir adalah seorang wali dan bukan seorang nabi. Ulama berselisih pendapat tentang status Khidir, ada yang berpendapat bahwa ia adalah seorang hamba yang sholeh, namun pendapat yang benar bahwasanya khidr adalah seorang nabi dan bukan seorang wali.

Yang menunjukan bahwa Khidr adalah seorang nabi adalah sebagai berikut:

1. Firman Allah


فَوَجَدَا عَبْداً مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْماً {65}

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (QS. 18:65)


Hal ini menunjukan bahwa Allah telah memberi wahyu kepada Khidir

2. Firman Allah


قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْداً {66} قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْراً {67} وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْراً {68} قَالَ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ صَابِراً وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْراً {69} قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَن شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْراً

Musa berkata kepada Khidhr:"Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu" (QS. 18:66) Dia menjawab:"Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. (QS. 18:67) Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu" (QS. 18:68) Musa berkata:"Insya Allah kamu akan mendapatkanku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun". (QS. 18:69) Dia berkata:"Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tetang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu". (QS. 18:70)


Berkata Ibnu Katsir, ((Jika seandainya Khidr adalah seorang wali dan bukan seorang nabi maka Musa tidak akan berbicara dengan dia seperti ini, dan tidaklah Khidir menjawab Musa dengan seperti ini. Bahkan Musa hanyalah meminta kepada Khidr agar menemaninya untuk memperoleh ilmu yang dimilikinya yang Allah khususkan baginya dan bukan untuk selainnya. Kalau Khidir bukanlah nabi maka ia tidaklah ma’sum (terjaga dari kesalahan) dan tidaklah Musa -yang ia seorang nabi yang agung dan seorang rasul yang mulia, yang ma’sum- memiliki keinginan yang sangat besar dan permintaan yang besar untuk mencari ilmu seorang wali yang tidak ma’sum. Dan tidaklah ia akan bersungguh-sungguh untuk pergi mencari Khidir dan menelusurinya meskipun memakan waktu yang lama. Dikatakan bahwa masa ia mencari Khidr adalah 80 tahun. Kemudian tatkala ia bertemu dengan Khidir maka Musapun bersikap tunduk kepadanya dan mengagungkannya serta mengikutinya sebagaimana orang yang ingin mencari faedah dari Khidir. Hal ini (semua) menunjukan bahwa Khidir adalah seorang nabi seperti Musa yang diberi wahyu kepadanya sebagaimana diberi wahyu kepada Musa. Dan iapaun telah dikhususkan dengan ilmu laduuni dan rahasaia-rahasia kenabian yang tidak Allah beritahukan kepada Musa Al-Kaliim yang merupakan nabi bani Israil yang mulia. ))[64]

3. Ibnu Katsir berkata, ((Khidir memberanikan diri untuk membunuh anak tersebut, dan tidaklah hal itu dilakukannya kecuali karena wahyu yang disampaikan kepadanya oleh malaikat pemberi kabar. Dan ini merupakan dalil tersendiri akan kenabian Khidir dan petunjuk yang jelas akan kema’sumannya, karena seorang wali tidak boleh baginya untuk membunuh jiwa manusia hanya dengan sekedar apa yang diilhamkan ke dadanya. Karena perasaan (yang diilhamkan) kepadanya tidaklah ma’sum, mungkin saja perasaannya itu. salah Dan ini merupakan hal yang disepakati. Maka tatkala Khidir maju membunuh anak tersebut yang belum dewasa dengan ilmunya bahwa anak itu jika mencapai usia dewasa akan membawa kedua orangtuanya kepada kekufuran karena besarnya kecintaan kedua orangtuanya kepadanya sehingga menyebabkan keduanya mengikutinya, maka membunuh anak tersebut ada kemaslahatan yang besar yang lebih daripada dibiarkan hidup demi menjaga kedua orangtuanya dari kekufuran dan akibat kekufuran. Hal ini menunjukan akan kenabian Khidir dan ia dibantu oleh Allah dengan kema’sumannya))[65]

4. Berkata Ibnu Katsir, ((Tatkala Khidir menjelaskan kepada Musa sebab-sebab perbuatannya, dan ia menerangkan hakikat perkaranya maka ia berkata setelah itu,


رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي {82}

“Sebagai rahmat dari Rabbmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri". (QS. 18:82)


Yaitu, “Apa yang telah aku perbuat bukanlah dari perasaanku akan tetapi aku diperintahkan untuk melakukannya dan diwahyukan kepadaku”

Maka keempat sisi di atas ini menunjukan akan kenabian Khidir, dan hal ini tidaklah menafikan kewaliannya bahkan tidak menafikan kerasulannya sebagaimana pendapat yang lain…

Dan jika telah tetap apa yang kami sebutkan maka tidak tersisa dalil dan sandaran yang bisa dipegang oleh orang yang mengatakan kewalian Khidir bahwasanya seorang wali terkadang bisa mengetahui hakikat perkara-perkara tanpa diketahui oleh para pemimpin syari’at yang zhohir (para rasul)…))[66]

b. Kalaulah memang Khidir adalah seorang wali bukan seorang nabi maka nabi Musa tidaklah diutus kepada Khidir (tetapi hanya diutus untuk bani Isroil), sehingga Khidir tidaklah wajib mengikuti nabi Musa ‘alaihissalam.

Oleh karena itu Khidir berkata kepada Musa : “Aku diatas ilmu yang diajarkan Allah kepadaku yang tidak kau ketahui dan engkau di atas ilmu yang Allah mengajari engkau yang aku tidak mengetahuinya”[67]. Dan tidak boleh bagi seorangpun yang sampai kepadanya risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berkata sebagaimana perkataan Khidir ini.

Adapun Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam risalahnya umum untuk seluruh jin dan manusia. Bahkan jika ada orang yang lebih mulia dari Khidir (seperti Ibrohim, Musa, dan Isa) bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia wajib mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apalagi Khidir jika ia hidup di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam [68] tentu lebih wajib lagi baginya untuk mengikuti syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah ta'ala berfirman dalam surat Ali Imron : 81 :


}وَإِذْ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّيْنَ لَمَا آتَيْتُكُم مِّن كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءكُمْ رَسُولٌ مُّصَدِّقٌ لِّمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنصُرُنَّهُ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُواْ أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُواْ وَأَنَاْ مَعَكُم مِّنَ الشَّاهِدِينَ{


”Dan (ingatlah) tatkala Allah mengambil perjanjian dari para nabi:”Sungguh apa saja yang Aku berikan kepada kalian berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepada kalian seorang Rosul yang membenarkan apa yang ada pada kalian, niscaya kalian akan sungguh-sungguh beriman kepada Rosul tersebut dan sungguh-sungguh akan menolongnya”. Allah berfirman :”Apakah kalian mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu ?”, mereka menjawab :”Kami mengakui”. Allah berfirman :”Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kalian.”


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda


فإنه لو كان موسى حيا بين أظهركم ما حل له إلا أن يتبعني

“Sesungguhnya kalau Musa hidup di tengah-tengah kalian maka tidaklah boleh baginya kecuali mengikuti aku”[69]


Berkata Ibnu Katsir, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para nabi selamanya hingga hari kiamat, dan dia adalah Imam yang teragung yang seandainya jika ia hidup di zaman kapan saja maka yang wajib adalah mendahulukan ketaatan kepadanya di atas ketaatan kepada seluruh nabi-nabi yang lain. Oleh karena itu Nabilah yang mengimami mereka tatkala malam isro’ mi’roj tatkala para nabi berkumpul di baitul maqdis. Dan ia juga (satu-satunya) pemberi syafa’at di padang mahsyar agar Allah datang untuk memutuskan perkara diantara hamba-hambaNya, dan ia adalah Al-Maqoom Al-Mahmuud yang tidak pantas kecuali untuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam”[70]

c. Apa yang telah dilakukan oleh Khidir[71] tidaklah menyelisihi syari’at Musa. Musa tidaklah mengetahui sebab yang membolehkan hal-hal itu. Dan ketika Khidir menjelaskan sebab-sebab tersebut Musa menyetujuinya. Sehingga berkata Ibnu Abbas kepada Najdah Al-Harwari ketika dia bertanya kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu tentang membunuh anak-anak kecil: إن كنت علمت منهم ما علمه الخضر من ذلك الغلام فاقتلهم، وإلا فلا تقتلهم “Jika kamu mengetahui anak-anak tersebut sebagaimana yang diketahui oleh Khidir tentang anak kecil (yang dibunuhnya) maka bunuhlah mereka, dan jika tidak maka jangan.”[72]

Berkata Ibnu Taimiyah dalam Al-Furqon, ((Sebagaimana dintara orang-orang kafir ada yang mengaku-ngaku bahwasanya ia adalah wali Allah padahal ia bukan wali Allah namun sebaliknya ia adalah musuh Allah maka demikian juga hal ini terdapat diantara orang-orang munafik yang menampakan Islam dan menampakkan pembenaran syahadatain dan menampakan bahwa mereka mengakui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk seluruh manusia bahkan untuk seluruh jin dan manusia padahal di dalam batin mereka berkeyakinan yang sebaliknya (maksud beliau adalah orang-orang yang mengaku wali namun tidak mau mengamalkan syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -pen), contohnya

- Mereka meyakini bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah seorang utusan Allah, ia hanyalah seorang raja yang ditaati yang mengatur manusia dengan kepandaiannya sebagaiamana raja-raja yang lain.

- Atau mereka berkata bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah diutus kepada ummiyin (orang-orang yang tuna aksara) dan tidak diutus kepada ahli kitab sebagaimana yang didengungkan oleh kebanyakan orang-orang Yahudi dan Nasrani,

- Atau ia diutus untuk seluruh manusia namun Allah memiliki wali-wali khusus yang Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah diutus kepada mereka, dan para wali itu tidak butuh kepadanya bahkan mereka memiliki jalan untuk menuju kepada Allah tanpa melalui jalannya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mereka (para wali) mengambil langsung dari Allah apa saja yang mereka butuhkan untuk dimanfaatkan tanpa melalui perantara

- Atau Muhammad itu diutus dengan syari’at yang dzhohir dan mereka (para wali) menyetujuinya dalam hal ini, adapun hakikat yang batin maka ia tidak diutus dengan hakikat batin, atau mereka mengatakan bahwa mereka lebih paham tentang hakekat batin, atau mereka mengatakan bahwa mereka mengerti hakekat batin sebagaimana Muhammad mengetahuinya hanya saja mereka mengetahuinya tanpa melalui jalannya, atau ia tidak mengetahui hakekat batin.

Sebagian mereka berkata bahwasanya ahlus suffah[73] (penghuni suffah) mereka tidak butuh kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah diutus kepada mereka, dan diantara mereka ada yang berkata bahwasanya Allah memberi wahyu kepada ahlus suffah di batin mereka berupa apa yang diwahyukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam mi’roj (dinaikkan ke sidratul muntaha) maka jadilah ahlus suffah kedudukannya seperti kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka yang mengatakan demikian sungguh terlalu bodoh karena tidak mengetahui bahwasanya isro’ mi’roj terjadi tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekah sebagaimana firman:


}سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ{ (الاسراء:1)

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. 17:1)


Mereka juga tidak tahu bahwasanya suffah itu adanya di Madinah yaitu di utara masjid Nabawi yang ditempati oleh orang-orang yang asing yang tidak memiliki keluarga atau sahabat yang bisa ditinggali oleh mereka. Kaum mukminin mereka berhijroh ke Madinah maka barangsiapa yang memungkinkan bagi mereka untuk tinggal di suatu tempat maka di situlah ia tinggal dan barangsiapa yang tidak bisa maka ia tinggal di masjid Nabawi hingga mendapatkan tempat tinggal. Dan bukanlah ahlus suffah adalah orang-orang tertentu yang selalu tinggal di suffah namun jumlah mereka terkadang sedikit dan terkadang banyak, seseorang tinggal di situ pada waktu tertentu kemudian meninggalkan tempat tersebut.

Para penghuni suffah mereka sama juga seperti kaum mukminin yang lainnya, mereka tidak memiliki keutamaan (kelebihan) khusus dalam bidang ilmu atau agama bahkan diantara mereka ada yang murtad (keluar) dari agama Islam dan dibunuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaiamana “Uroniyyiin” yang tidak betah tinggal di Madinah maka Nabi memerintah mereka untuk mencari onta yang ada susunya dan memerintah mereka untuk meminum susunya dan air kencingnya. Tatkala mereka sehat mereka membunuh penggembala onta tersebut dan membawa lari beberapa onta maka Nabipun mengutus pelacak untuk melacak jejak mereka lalu merekapun tertangkap dan dibawa di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah untuk memotong tangan-tangan dan kaki-kaki mereka dan mata-mata mereka di biarkan terbuka lalu mereka dijemur di bawah terik matahari dan mereka meminta minum namun tidak diberi minum. Hadits tentang kisah mereka terdapat di shahihain (Bukhari dan Muslim) dari hadits Anas dan dalam hadits tersebut disebutkan bahwasanya mereka menghuni suffah[74], maka mereka juga menetap di suffah sebagaimana para penghuni yang lainnya. Dan suffah juga pernah ditinggali oleh seorang diantara kaum muslimin yang terbaik yaitu Sa’ad bin Abi Waqqosh dan ia adalah orang terbaik yang pernah tinggal di suffah kemudian ia berpindah dari suffah tersebut. Demikian juga pernah ditinggali Abu Huroiroh dan yang lainnya….

Adapun kaum Anshor mereka tidak termasuk penghuni suffah, dan demikian juga para sahabat senior seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Tolhah, Az-Zubair, Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Ubaidah radhiyallahu ‘anhu dan para sahabat yang lain, mereka bukanlah termasuk penghuni suffah. Dan diriwayatkan bahwa Budak milik Al-Mugiroh bin Syu’bah (yaitu yang telah membunuh Umar bin Al-Khothtob-pen) juga pernah tinggal di suffah. Dan diriwayatkan juga bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentangnya, “Ini (Budak Mugiroh) adalah termasuk dari yang tujuh”, dan ini adalah hadits palsu berdasarkan kesepakatan para ulama meskipun diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitabnya Al-Hilyah, dan demikian juga semua hadits yang berkaitan dengan jumlah para wali, atau abdal, atau nuqoba’, atau autaad, aqtoob.....

Maksud dari pembicaraan ini ada di antara orang-orang yang pada dzhohirnya (tampak luarnya) mengakui risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk seluruh umat manusia namun di dalam batin mereka meyakini perkara-perkara yang membatalkan pengakuan dzohir mereka, dan mereka mengaku-ngaku bahwa mereka adalah para wali Allah padahal mereka menyimpan kekufuran di dalam batin mereka…sebagaimana banyak dari orang-orang Yahudi dan Nashrani yang mengaku-ngaku bahwa mereka adalah wali-wali Allah dan mereka meyakini bahwa Muhammad adalah utusan Allah namun mereka berkata, “Muhammad hanyalah diutus untuk selain ahlul kitab dan tidak wajib bagi kami untuk mengikutinya karena telah diutus kepada kami rosul sebelum dia”…))

Beliau juga berkata, ((Harus terdapat dalam keimananmu bahwasanya engkau beriman bahwa Muhammad adalah penutup para nabi dan Allah telah mengutusnya untuk seluruh manusia dan jin, maka siapa saja yang tidak beriman dengan apa yang dibawa oleh Muhammad maka ia bukanlah seorang mukmin, apalagi termasuk wali-wali Allah yang bertakwa. Barangsiapa yang beriman dengan sebagian yang dibawanya dan kafir kepada sebagian yang lain maka ia adalah orang kafir dan bukan odrang mukmin sebagaimana firman Allah


}إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً أُوْلَئِكَ هُمْ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ أُوْلَئِكَ سَوْفَ يُؤْتِيهِمْ أُجُورَهُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا{ (النساء : 152-150)

Sesungguhnya orang-orang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan:"Kami beriman kepada yang sebahagian dan kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para Rasul-Nya dan tidak membedakan seorangpun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 4:150-152)


Dan termasuk iman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu mengimani bahwa ia adalah perantara antara Allah dan makhluk-makhlukNya dalam menyempaikan perintahNya dan laranganNya, janji dan ancamanNya, perkara-perkara yang dihalalkan dan diharamkanNya. Maka perkara yang halal adalah apa yang dihalalkan oleh Allah dan RasulNya dan yang haram adalah apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya, dan agama adalah apa yang disyari’atkan oleh Allah dan RasulNya, maka barangsiapa yang meyakini bahwa seorang wali memiliki jalan menuju Allah selain jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia adalah orang kafir dan termasuk wali-wali syaitan…))

Beliau juga berkata, ((Kalau seseorang telah mencapai tingkatan dalam zuhud, ibadah, dan ilmu dalam tingkatan yang tinggi namun ia tidak beriman dengan seluruh apa yang dibawa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia bukanlah orang yang beriman, dan bukan wali Allah sebagaimana kondisi para rahib dan pendeta yaitu ulama dan para ahli ibadah dari kalangan Yahudi dan Nashrani…dan ia adalah orang kafir dan musuh Allah meskipun sekelompok orang menyangka bahwa ia adalah wali Allah))



Syubhat kedua

Mereka (para wali syaithon) menganggap bahwa mereka mendapat wahyu langsung dari Allah -sebagaimana yang diserukan oleh Ibnu Arobi-, dan bahwasanya mereka lebih baik dari para nabi yang mengambil ilmu dari Allah melalui perantara. Mereka berkata :”Kenabian telah berakhir dengan wafatnya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan kewalian belum berakhir[75]. Dan yang paling terakhir adalah yang lebih baik dari yang sebelumnya”.

Jawab :

Ini adalah pemikiran sesat Ibnu Arobi yang sama sekali tidak bersandar kepada dalil. Ketika dia mengetahui bahwa syari’at ini sudah tidak bisa dirubah lagi hingga hari kiamat, (dan dia ingin keluar dari syari’at) maka dia berkata :”Kenabian telah tertutup, tetapi kewalian belum”, dan dia menganggap bahwa kewalian lebih tinggi derajatnya dari pada kerosulan dan kenabian, sebagaimana dia berkata :

مَقَامُ النبوة في برزخٍ فويق الرسول و دون الولي

Kedudukan kenabian berada di barzakh (pemisah antara dua dzat)[76], sedikit di atas (kedudukan) Rosul dan dibawah (kedudukan) Wali

Hal ini tentunya pemutarbalikan syari’at. Seharusnya kenabian lebih khusus dari kewalian dan kerosulan lebih khusus daripada kenabian. Sehingga kedudukannya adalah kerosulan lebih tingi daripada kenabian dan kenabian lebih tinggi daripada kewalian.[77] Berkata Imam Abul ‘Izz Al-Hanafi :”Maka siapakah yang lebih kafir dari memisalkan dirinya dengan sebuah bata emas dan memisalkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bata perak, lalu dia menjadikan dirinya lebih tinggi daripada Nabi,…….bagaimana bisa samar kekufuran dari perkataannya (Ibnu Arobi) ini ?…..dan kekufuran Ibnu “Arobi lebih parah dari kekufuran orang-orang yang berkata : “Tidaklah kami beriman hingga kami diberikan apa yang diberikan kepada Rosulullah” (Al-An’am : 124)”[78]



Syubhat ketiga

Kami tidak usah menjalankan syari’at karena Allah ta’ala telah bersatu dengan kami para hambanya yang sholih. Bukankah Allah ta’ala berkata dalam hadits qudsi :


وَ مَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ, فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَ بَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ يِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْشِطُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا, وَلَئِنْ سَأَلَنِي لأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيْذَنَّهُ

Dan hamba-Ku senantiasa bertaqorrub (mendekatkan dirinya) kepada-Ku dengan amalan-amalan nafilah (sunnah) hingga Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang dia mendengar dengannya, dan penglihatannya yang dia melihat dengannya, dan tangannya yang dia memukul dengannya, dan kakinya yang dia berjalan dengannya, dan jika dia meminta kepada-Ku maka akan aku berikan, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku maka aku akan melindunginya.[79]


Jawab : Dzohir hadits ini adalah bukanlah Allah ta’ala menjadi pendengarannya, penglihatannya, tangannya, dan kakinya, tetapi dzohirnya adalah Allah ta’ala meluruskan (memberi petunjuk) kepada penglihatan, pendengaran, tangan dan kakinya, sehingga apa yang dilakukan oleh hamba tersebut selalu dibimbing oleh Allah ta’ala. Adapun makna yang batil di atas adalah tidaklah mungkin, sebab :

a. Ini merupakan aqidah wihdatul wujud (manunggaling kawulo gusti) yang sesat[80] karena bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang muhkam (jelas) yang tidak bisa lagi dipalingkan lagi maknanya.

b. Hadits ini menunjukan bahwa syarat seseorang menjadi wali Allah yang sejati adalah ia harus melaksanakan perkara-perkara syair’at yang merupakan kewajibannya, bahkan tidak cukup hanya sampai di situ bahkan ia harus melaksanakan perkara-perkara sunnah (mustahab) sehingga Allahpun mencintainya. Dan demikianlah keadaan wali Allah yang sejati sepanjang hidupnya sehingga Allah senantiasa mencintainya Hadits ini sama sekali tidaklah menunjukan bahwa jika seseorang telah mencapai derajat kewalian (dicintai oleh Allah) maka ia boleh meninggalkan syari’at bahkan hadits ini menunjukan yang sebaliknya, yaitu seorang wali senantiasa banyak beribadah dengan perkara-perkara yang wajib dan yang sunnah. Dan praktek penghulu para wali (yaitu Rasulullah r) senantiasa beribadah hingga akhir hayatnya. Bahkan beliau meskipun sakit-sakitan hingga pingsan berulang-ulang beliau tetap berusaha untuk melaksanakan sholat secara berjama’ah[81].

c. Barang siapa yang memperhatikan hadits ini dengan baik maka dia akan faham tentang batilnya aqidah wihdatul wujud ini. Dalam hadits ini Allah ta’ala menetapkan adanya hamba (yang beribadah)[82] dan ma’bud (yang diibadahi), yang mendekat (bertaqorrub) dan yang didekati (ditaqorrubi), yang dicintai dan yang mencintai, yang meminta dan yang memberi, yang meminta perlindungan dan yang memberi perlindungan. Maka hadits ini menunjukan adanya dua dzat yang berbeda, yang satu bukan yang lainnya. Dan bukan pula yang satu merupakan sifat atau bagian dari yang lainnya.

d. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki si wali semuanya adalah sifat-sifat atau bagian-bagian pada makhluk yang baru tercipta yang sebelumnya belum ada (belum tercipta). Maka tidak mungkin bagi siapa saja yang berakal untuk memahami bahwa pencipta yang awal (yaitu Allah) yang tidak ada sebelum Dia sesuatupun, akan menjadi pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki makhluk. Bahkan hal seperti inipun sulit untuk dibayangkan kalaupun kita anggap benar.[83]
Perbedaan antara karomah wali Allah dan tipuan wali syaithon

1. Bahwa karomah para wali tersebut disebabkan oleh keimanan dan ketaqwaan. Sedangkan keajaiban dan keluarbiasaan lain yang merupakan bantuan syaithon disebabkan oleh hal-hal yang merupakan larangan Allah ta’ala dan Rosulullah[84]. Jadi apabila di dalamnya mengandung unsur-unsur yang disenangi oleh syaithon, baik itu kemusyrikan, kedzoliman, atau kebid’ahan, maka jelas yang terjadi pasti bukan karomah.

2. Karomah tidak bisa dibatalkan dengan bacaan-bacaan apa saja dan tidak bisa dilawan. Sedangkan kejadian-kejadian luar biasa lain yang merupakan bantuan syaithon bisa dibatalkan dengan bacaan-bacaan ayat-ayat Allah seperti ayat kursi dan lain-lain

3. Karomah tidak bisa dipelajari sehingga menjadi suatu ilmu kedigdayaan yang baku. Sedangkan kejadian-kejadian luar bisa yang berasal dari syaithon bisa dipelajari.[85] Sebagaimana karomah-karomah yang telah dimiliki oleh para salaf, tidak ada satu atsarpun yang menunjukan bahwa mereka pernah mengajarkan karomah mereka kepada orang lain. Sebagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau tidak pernah mengajarkan karomahnya kepada orang lain, kerena memang tidak bisa diajarkan.

4. Karomah pada umumnya tidak bisa dilakukan terus menerus, tetapi terjadi sesuai kehendak Allah bukan berdasarkan kehendak Wali yang mendapatkan karomah tersebut.


Pengetahuan tambahan :

1. Seluruh orang yang beriman adalah wali-wali Allah. Dan wali-wali yang paling mulia adalah para Nabi. Dan para Nabi yang paling mulia adalah para Rosul. Dan para Rosul yang paling mulia adalah para Rosul yang lima (Ulul ‘Azmi), dan diantara Ulul ‘Azmi yang paling mulia adalah Nabi Muhammad.[86]

2. Persamaan dan perbedaan antara Mu’jizat dan karomah.

a. Persamaannya : Mu’jizat dan karomah sama-sama merupakan hal yang ajaib yang luar biasa (yang tidak bisa dilkukan olah orang biasa) yang Allah berikan kepada para hambanya.

b. Perbedaannya [87]:

e. Mu’jizat hanya berlaku pada para nabi dan rosul, adapun karomah pada para wali.

f. Mu’jizat diperoleh dengan kenabian, adapun karomah diperoleh dengan ketaqwaan.

g. Karomah kedudukannya lebih rendah daripada mu’jizat.

h. Akibat dari mu’jizat adalah baik, adapun efek samping dari karomah belum tentu.[88]

i. Pemilik mu’jizat (yaitu para Nabi dan Rosul) menantang orang-orang yang menyelisihinya, adapun pemilik karomah tidak demikian.

3. Kita harus mengakui adanya karomah, tidak sebagaimana mu’tazilah yang mengingkari karomah dan berkata :”Kalau kita mengakui karomah, maka akan sama wali dengan Nabi”, oleh karena itu kami mengingkari karomah dan juga mengingkari hakikat sihir. Namun ini tidaklah benar sebab orang yang memiliki karomah tidaklah mengaku bahwa dia adalah seorang Nabi.[89]
4. Hukum tenaga dalam, jika diatasnamakan Islam (biasanya dicampur dengan dzikir-dzikir asma Allah) maka harom. Kalau mereka menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah untuk beribadah kepada Allah, maka kita katakan bahwa ini adalah bid’ah sebab kenapa harus menggunakan tata cara dan gerakan-gerakan khusus yang tidak pernah diajarkan oleh Allah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak ada dalil sama sekali bahwa dengan bacaan-bacaan dan gerakan-gerakan khusus yang mereka lakukan bisa mengahasilkan tenaga dalam. Kalau mereka mengatakan tujuan mereka untuk beribadah dan untuk mempeoleh kekuatan, maka kita katakan bahwa mereka telah melakukan kesyirikan sebab niat ibadah mereka selain untuk Allah juga untuk hal yang lain.[90]

Selain itu perkatek-praktek tenaga dalam yang ada menyelisihi syari’at diantaranya :

a. Latihannya harus menggunakan emosi, padahal Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang untuk emosi, beliau bersabda :


لا تغضب فردد مرارا لا تغضب

“Janganlah engkau marah”, Rosulullah mengulanginya beberapa kali “Janganlah engkau marah”


Rahasia mereka (yang latihan tenaga dalam) harus marah sebab dengan marah tersebut syaithon bisa masuk dalam tubuh mereka sehingga bisa memberi kekuatan untuk tenaga dalam mereka. Sebagaimana sabda Rosulullah :


إن الشيطان يجري من بني آدم مجرى الدم

Sesungguhnya syaithon mengalir dalam tubuh manusia sebagaimana aliran darah. (Riwayat Bukhori)


b. Ketika latihan, mereka sering tidak sadar, terutama ketika sedang memprkatekkan jurus mereka. Hal ini sama saja dengan sengaja membuat diri menjadi tidak sadar (alias mabuk), dan hal ini tidak boleh dalam Islam, sebab Islam menganjurkan kita untuk senantiasa menjaga akal kita sehingga bisa senantiasa berdzikir kepada Allah.

c. Kadang disertai dengan puasa mutih (tidak boleh makan kecuali yang putih-putih), yang ini tidak ada syari’atnya dalam Islam. Atau untuk menjaga ilmunya dia harus menghindari pantangan-pantangan tertentu yang sebenarnya hal itu dihalalkan baginya sebelum dia memiliki ilmu tenaga dalam tersebut. Dan ini berarti mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah.



Mencari karomah (kesaktian) tidaklah disyari’atkan

Dalam beribadah hendaknya kita berniat karena Allah bukan karena untuk mencari karomah (karena sama sekali tidak ada dalil yang menunjukan bahwa seorang mukmin harus mencari karomah/kesaktian dan keajaiban). Bahkan beribadah dalam rangka untuk memperoleh kesaktian merupakan bentuk beribadah karena ingin memperoleh dunia yang diharamkan oleh Allah[91].

Allah berfirman:


}مَّن كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاء لِمَن نُّرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُوماً مَّدْحُوراً{ (الإسراء : 18 )

Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. (QS. 17:18)

}مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ، أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ{ (هود : 15-16 )

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. (QS. 11: 15-16)



Namun yang Allah perintahkan hendaknya seorang mukmin berusaha untuk beristiqomah. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan penghulu dan pemimpin para wali bahkan pemimpin para nabi dan rasul telah diperintahkan oleh Allah untuk beristiqomah. Allah berfirman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam


}فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْاْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ{ (هود : 112 )

Maka istiqomahlah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. 11:112)


Berkata Ibnu Abil ‘Izz, “Mereka tidak mengetahui bahwasanya pada hakekatnya yang namanya karomah itu adalah melazimi keitiqomahan, dan bahwasanya Allah tidaklah memuliakan seorang hamba dengan memberikannya sebuah karomah yang lebih mulia daripada menjadikannya sesuai dengan apa yang dicintaiNya dan diridhoiNya yaitu taat kepadaNya dan taat kepada rasulNya, loyal kepada para walinya dan memusuhi musuh-musuhNya”[92]

Berkata Abu Ali Al-Jaurjani : “Jadilah engkau orang yang mencari keistiqomahan, jangan menjadi pencari karomah. Sesungguhnya jiwamu bergerak (berusaha) dalam mencari karomah padahal Rob engkau mencari keistiqomahanmu”.[93]

Berkata Syaikh As-Sahrowardi :”Ucapan ini adalah prinsip yang agung dalam perkara ini, karena sesungguhnya banyak mujtahid dan ahli ibadah mendengar salaf as-sholih, telah diberi karomat-karomat dan hal-hal yang luar biasa sehingga jiwa-jiwa mereka (para ahli ibadah itu) senantiasa mencari sesuatu dari hal itu (karomah tersebut), dan mereka ingin diberikan sedikit dari hal itu, dan mungkin diantara mereka ada yang hatinya prustasi dalam keadaan menuduh dirinya bahwa amal ibadahnya tidak sah karena tidak mendapatkan karomah. Kalau mereka mengetahui rahasia hal itu (yaitu Allah tidak menuntut para hambanya untuk memperoleh karomah, tetapi yang Allah inginkan para hambanya beristiqomah –pent) tentu perkara ini (mencari karomah) adalah perkara yang rendah bagi mereka”[94].

Keadaan orang-orang yang memiliki karomah :

- Bertambah derajatnya karena apa yang dilakukannya merupakan ketaatan dan yukur kepada Allah

- Semakin rendah derjatnya karena dia menggunakan karomahnya untuk bermaksiat kepada Allah. (Misalnya dia sombong dengan karomah yang pernah dia alami, atau dia merasa telah bertaqwa dan yakin masuk surga dengan karomahnya itu).

Contohnya yang terjadi pada Bal’aam bin Ba’uuroo. Beliau termasuk ahli ibadah di zaman bani Israil. Ia memiliki karomat, tidaklah ia meminta sesuatu kepada Allah kecuali Allah mengabulkannya. Maka kaumnyapun mendatanginya dan memintanya agar berdoa keburukan atas nabi Musa dan kaumnya. Maka setelah kaumnya merayu-rayunya dan memaksanya akhirnya iapun memenuhi permintaan kaumnya maka Allahpun mencabut karomahnya tersebut[95].

Contoh yang lain adalah Lia Aminudiin yang konon kabarnya ia dahulu bisa menyembuhkan penyakit dengan membaca surat Al-Fatehah, akhirnya lama kelamaan iapun di datangi jin yang mengaku Jibril, akhirnya sekarang ia sesat dan menyesatkan.

- Tidak bertambah dan tidak pula berkurang kebaikan-kebaikannya. Jadilah karomahnya seperti perkara yang mubah.[96]





Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 6 Syawwal 1426 H ( 10 November 2005 M)

Disusun oleh Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja As-Soronji



Daftar Pustaka :

1. Shahih Al-Bukhori, tahqiq DR Mushthofa Dib Al-Bagho, terbitan Dar Ibni Katsir

2. Shahih Muslim, tahqiq Muhammad Fu’ad Abdil Baqi, terbitan Dar Ihya At-Turots Al-‘Arobi

3. Sunan Abu Dawud, tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdilhamid, terbitan Darul Fikr

4. Sunan At-Thirmidzi, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir dan yang lainnya, Dar Ihya’ At-Turots, Beiruut

5. Sunan Ibnu Majah, tahqiq Muhammad Fu’ad Abdul Baaqi, Darul Fikr Beiruut

6. Al-Ihsan fi taqriib Shahih Ibn Hibban, karya al-Amin ‘Ala-uddin al-Farisi, tahqiq Syu’aib al-Arna-uth, cetakan kedua, Mu-assasah ar-Risalah

7. Shahih Ibni Khuzaimah, tahqiq DR Muhammad Musthofa Al-A’dzomi, Al-Maktab Al-Islami

8. Musnad Imam Ahmad, terbitan Maimaniah

9. Mushonnaf Ibni Abi Syaibah, tahqiq Kamal Yuusuf Al-Huut, Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh

10. Fathul Baari, Ibnu Hajar Al-‘Asqolaani, tahqiq Muhibbuddin Al-Khoyhiib, Darul Ma’rifah (Beiruut)

11. Al-Furqon baina auliyaurrohman wa auliyaussyaithon, karya Ibnu taimiyah, tahqiq Fawwaz Ahmad Zamarli, terbitan Darul Kutub Al-‘Arobi
12. At-Ta’liqoot Al-Hisaan ‘alal Furqon, dari ceramah Syaikh Sholeh Alu Syaikh.
13. Syarah Al-Ushul As-Sittah, karya Syaikh Utsaimin
14. Al-Qowa’id Al-Mutsla, karya Syaikh Utsaimin, tahqiq Abu Muhammad Asyrof bin Abdil Maqsud, terbitan Adlwa’ As-Salaf.
15. Syarah Al-Aqidah At-Thohawiyah, karya Abul ‘Izz Al-Hanafi, tahqiq DR Abdul Muhsin At-Turki dan Syu’aib Al-Arnauth, cetakan pertama Muassasah Ar-Risaalah
16. Ceramah Syaikh Sholeh Alu Syaikh Sayrah Matan Al-Aqiidah At-Thohawiyah,
17. Taqdiis Al-Asykhoosh fil fikri As-Suufii, Muhammad Ahmad Luuh, cetakan pertama, Dar Ibnul Qoyyim
18. Majalah As-Sunnah 03/III/1418
19. Al-Jadawil Al-Jami’ah
20. Adhwa’ul bayan karya Syaikh Asy-Syingqithi, Darul Fikr
21. Tafsir Ibnu Katsir, terbitan Darul Fikr
22. Al-Bidaayah wan Nihaayah, Ibnu Katsiir, Maktabatul Ma’aariif Beiruut
23. Tafsir At-Thobari, terbitan Darul Fikr
24. Ad-Dur Al-Manstuur, As-Suyuthi, Darul Fikr Beiruut

25. Abjadul ‘Ulum, Siddiiq bin Hasan Al-Qonuuji, tahqiq Abduljabbar Zakkar, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah

26. At-Ta’aariif, Al-Munaawii, tahqiq DR Muhammad Ridwan Ad-Dayah, cetakan pertama, Darul Fikr Al-Mu’aashir

27. Al-‘Ilal Al-Mutanaahiyah, Ibul Jauzi, tahqiq Kholil Al-Miis, cetakan pertama Darul Kutub Al’Ilmiyah

28. An-Nihaayah fi ghoriibil hadits wal Atsar, Ibnul Atsiir, tahqiq Tohir Ahmad Az-Zaawi dan Mahmuud Muhammad At-Thonaahi, Daru Kutub Al-‘Ilmiyah

29. Ghoriibul Hadits, Ibnul Jauzi, tahqiq DR Abdul Mu’thi Amiin Al-Qol’aji, cetakan pertama, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah

30. Lisaanul ‘Arob, Ibnu Manzhur, Dar Shodir

31. Majalah Al-Jami’ah Al-Islamiyah no 54





[1] Seperti film sunan Kalijaga, yang digambarkan bahwa beliau memperoleh derajat sunan setelah bertapa di pinggir sungai selama waktu yang lama, sehingga tubuh beliau tertimbun dengan tanah karena saking lamanya. Jelas ini merupakan kekufuran!!!, Apakah derajat kewalian bahkan derajat sunan bisa diperoleh dengan meninggalkan kewajiban yang paling asasi yaitu sholat selama waktu yang lama karena bertapa di pinggir kali???,. Apakah para sahabat Nabi r yang dipuji oleh Allah, yang sebagian mereka telah dijamin masuk surga demikian cara ibadah mereka??. Seandainya kaum muslimin di Indonesia mengikuti cara sunan Kalijaga sebagaimana di film yaitu bertapa dipinggir kali hingga waktu yang lama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, dalam rangka memperoleh derajat kewalian maka saya rasa mereka semua akan mati bunuh diri karena tidak makan dan minum selama berminggu minggu. Kemudian film-film seperti inilah yang semakin menjauhkan orang-orang kafir yang dari agama Islam, karena mereka menyangka iniliah ajaran Islam yang penuh dengan keanehan dan kedunguan serta kemunduran.

[2] Al-Furqon hal 25

[3] Lihat pula surat-surat Al-Maidah :51-56, Al-Kahfi : 44, Al-Kahfi : 50, Ali Imron : 173-175

[4] Al-Ushul As-sittah hal 173

[5] Al-Furqon hal 31

[6] Al-Ushul As-Sittah hal 171,172

[7] HR Abu Dawud 4/140 (dan ini adalah lafal dari Abu Dawud), Ibnu Majah 1/658, Ibnu Hibban 1/356, Ibnu Khuzaimah 4/348

[8] Al-Mukaasyafah adalah kemampuan untuk menjelaskan hakikat sesuatu tanpa membutuhkan kepada pengamatan terhadap dalil-dalil (At-Ta’aariif I/672)

Ilmu Al-Mukaasyafah dinamakan juga dengan ilmu batin yaitu suatu ibarat tentang cahaya yang nampak di hati tatkala hati disucikan dan dibersihkan dari sifat-sifat yang tercela. Yang dengan cahaya tersebut terungkaplah banyak perkara…(Abjadul ‘Ulum II/517)

Dan yang dimaksud dengan mukaasyafah menurut orang-orang sufi yaitu dibukanya tabir hal-hal yang ghoib.

[9] Syarah Al-Aqiidah At-Thohaawiyah II/776

[10] Syarah Al-Aqiidah At-Thohaawiyah II/773

[11] HR Ibnu ‘Asakir dalam Tarikhnya 43/533, lihat takhrijnya dalam syarah al-aqiidah at-Thohawiyah II/773 dan Al-‘ilal Al-Mutanaahiyah II/934-935. Lihat Dho’iiful Jami’ no 2959

Peringatan, kalaupun hadits ini benar maka makna balh dalam hadits ini bukanlah maknanya adalah orang-orang dungu, namun maknanya adalah orang-orang yang lalai dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah (An-Nihayah fi ghoriibil Hadits IV/283, Lisaanul ‘Arob XIII/477). Berkata Al-Azhari, “Mereka adalah orang-orang yang tabi’atnya diciptakan di atas kebaikan dan tidak mengenal keburukan” (Goriibul Hadits Ibnul Jauzi I/87)

[12] Syarah Al-Aqiidah At-Thohaawiyah II/774

[13] HR Al-Bukhari no 3069, 4902, 6083, 6180 Muslim no 2737 dan At-Thirmidzi no 2602, 2603

[14] HR Abu Dawud 4/140 (dan ini adalah lafal dari Abu Dawud), Ibnu Majah 1/658, Ibnu Hibban 1/356, Ibnu Khuzaimah 4/348

[15] Lihat pembahasan Syaikh Sa'd Nida dalam majalah Jami'ah Islamiyah no 54, hal 123-131

[16] Syarh Al-Aqiidah At-Thohawiyah II/774

[17] Dan praktek seperti ini ada di Indonesia sebagaimana penulis pernah berdialog dengan sebagian orang yang pernah mengikuti sebagian thoriqon-thoriqot sufiyah

[18] Dari At-Ta’liqoot Al-Hisaan ‘alal Furqon

[19] Al-Furqon hal 71, Al-Ushul As-Sittah hal 175

[20] Al-Furqon hal 82

[21] Berkata Syaikh Sholeh Alu Syaikh, ((مُحَدَّث yaitu مُلهَم (diberi ilham) maka dilemparkan kebenaran dalam hatinya maka iapun menangkapnya. Diungkapkan dengan lafal مُحَدَّث (yang diajak bicara) karena pelakunya merasa ia telah diajak bicara dengan kebenaran tersebut, maka yang terjadi seakan-akan ada seseorang yang berbicara dengannya dalam batinya dan berkata ini dan itu.))

[22] Riwayat Bukhori no 3469 dan Muslim no 2398

[23] Riwayat Abu Dawud no 2962 dishahihkan oleh syaikh Al-Albani

[24] Riwayat At-Thirmidzi no 3686, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani

[25] Riwayat Bukhori no 3198, dan Muslim no 1610

[26] HR Al-Bukhari III/1199 no 3120, III/1347 no 3480, V/2259 no 5735, Muslim IV/1863 no 2396

[27] Al-Furqon hal 86,87

[28] Riwayat Bukhori no 2732, 2732,

Lihat kisah jalannya perundingan Hudaibiyah secara lengkap pada HR Al-Bukhari no 2731,2732, Kitab As-Syurut. Secara ringkas kejadiannya sebagai berikut:

Nabi r bersama para sahabatnya (diantaranya adalah Abu Bakar dan Umar) pergi dari Madinah pada hari senin bulan Dzul Qo’dah tahun ke enam Hijriah (Umdatul Qori 14/6), menuju Mekah untuk melaksanakan Umroh. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sampai dan singgah di Hudaibiyah datanglah Budail bin Warqo’ mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang-orang musyrik di Mekah telah siap siaga untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dan akan mengahalangi mereka mengerjakan umroh. Nabi ÷pun berkata,

“Sesungguhnya kami datang bukan untuk memerang seorangpun, namun kami datang untuk mengerjakan umroh. Sesungguhnya peperangan (yang telah terjadi antara kaum muslimin dan kafir Quraisy secara berulang-ulang-pen) telah melemahkan kaum Quraisy dan telah memberi kemudhorotan kepada mereka. Jika mereka ingin maka aku akan memberikan waktu perdamaian (gencat senjata) antara aku dan orang-orang (yaitu orang-orang kafir Arab). Jika (di masa perdamaian tersebut) kaum selain mereka (yaitu orang-orang kafir dari selain kafir Quraisy kota Mekah) mengalahkan aku maka mereka tidak perlu memerangiku lagi (karena aku telah dikalahkan oleh selain mereka-pen). Dan jika aku mengalahkan kaum selain mereka, maka jika mereka ingin mentaatiku sehingga masuk dalam Islam sebagaimana orang-orang masuk dalam Islam maka silahkan. Dan jika mereka enggan masuk dalam Islam maka selepas masa gencatan senjata kekuatan mereka telah kembali. Namun jika mereka (sekarang) enggan untuk gencatan senjata maka demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, aku sungguh-sungguh akan memerangi mereka di atas agamaku hingga aku mati (dan aku bersendirian dalam kuburanku). Dan sesungguhnya Allah akan menolong agamaNya”.

Akhir cerita akhirnya orang-orang Quraisy setuju dengan gencatan senjata lalu mereka mengutus Suhail bin ‘Amr untuk menulis perjanjian damai dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lalu datanglah Suhail bin ‘Amr, lalu iapun berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Tulislah suatu pernyataan antara kami dan kalian!”, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil penulis (yaitu Ali bin Abi Tholib) dan menyuruhnya untuk menulis Bismillahirrohmanirrohim. Suhail berkata, “Adapun Ar-Rohim maka demi Allah, aku tidak tahu apa itu?, tapi tulislah saja bismikallahumma sebagaimana engkau pernah menulis demikian” (karena kebiasaan orang jahilah dahulu mereka menulis “bimikallahumma” dan mereka tidak mengenal bismillahirromanirrohim, lihat Umdatul Qori 14/13). Kaum muslimin (yaitu para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata, “Demi Allah kami tidak akan menulis kecuali bimillahhirrohmanirrohim”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada si penulis, “Tulilah bismikallahumma”, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menulis “Ini adalah keputusan Muhammad utusan Allah”. Suhail berkata, “Demi Allah kalau kami mengetahui bahwasanya engkau adalah utusan Allah maka kami tidak akan menghalangimu untuk umroh dan kami tidak akan memerangimu, tapi tulislah “Muhammad bin Abdillah”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Demi Allah aku adalah utusan Allah meskipun kalian mendustakan aku, tulislah “Muhammad bin Abdillah”. ((Dalam riwayat yang lain dari hadits Al-Baro’ –HR Al-Bukhari no 3184- Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak (pandai) menulis maka iapun berkata kepada Ali, “Hapuslah tulisan “Utusan Allah!”. Ali berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menghapusnya selamanya”. Nabi r berkata, “Perlihatkanlah kepadaku tulisan tersebut!”, maka Alipun memperlihatkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menghapusnya dengan tangannya)). Lalu Nabi berkata kepada Suhail, “Dengan syarat kalian membiarkan kami untuk ke baitullah melaksanakan towaf”. Suhail berkata, “Demi Allah tidak (bisa demikan) –Bangsa Arab akan mengatakan bahwa kami telah terpaksa (mengalah membiarkan kalian umroh-pen)-, tapi kalian bisa umroh tahun depan”, lalu hal itupun di catat (dalam pernyataan perdamaian), lalu Suhai berkata (menambah pernyataan), “Dengan syarat tidak ada seorangpun yang datang dari kami (dari Mekah) meskipun ia berada di atas agamamu (Islam) kecuali engkau mengembalikannya kepada kami”. Para sahabat berkata, “Subhanallah, bagaiamana dikembalikan kepada orang-orang musyrik padahal ia telah datang (kepada kami) dalam keadaan beragama Islam?”. Dan tatkala mereka masih berunding membuat pernyataan perdamaian, tiba-tiba datang Abu Jandal anak Suhai bin ‘Amr dalam keadaan berjalan tertatih-tatih karena ada belenggu yang membelenggunya, ia telah lari dari bawah kota Mekah dan melemparkan dirinya di tengah-tengah para sahabat. Berkata Suhai (ayah Abu Jandal), “Wahai Muhammad ini adalah orang pertama yang aku menuntut engkau untuk mengembalikannya kepadaku!”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kita sama sekali belum selesai membuat pernyataan!”. Suhail berkata, “Kalau begitu, demi Allah, aku sama sekali tidak mau mengadakan perundingan damai denganmu”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Biarkanlah ia (Abu Jandal) bersamaku!”, Suhail berkata, “Aku tidak akan membiarkannya bersamamu!”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tidak, tapi engakau akan membiarkannya bersamaku, lakukanlah!”. Suhail berkata, “Aku tidak akan melakukannya”. Berkata Abu Jandal, “Wahai kaum muslimin, apakah aku dikembalikan kepada orang-orang musyrik (Mekah) padahal telah datang dalam keadaan beragama Islam?, tidakkah kalian melihat apa yang telah menimpaku?”, dan ia telah disiksa oleh orang-orang musyrik dengan siksaan yang keras karena bertahan di jalan Allah.

Umar berkata,”Akupun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata kepadanya, “Bukankah engkau adalah benar seorang Nabi (utusan) Allah?”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tentu saja”, Aku berkata, “Bukankah kita berada di atas kebenaran dan musuh kita berada di atas kebatilan?”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tentu saja”, Aku berkata, “Lantas mengapa kita bersikap merendah pada agama kita?”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku adalah Utusan Allah dan aku tidak bermaksiat kepadaNya, dan Dia adalah penolongku”. Aku (Umar) berkata, “Bukankah engkau perrnah mengatakan kepada kami bahwa kita akan mendatangi ka’bah dan bertowaf di ka’bah?”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Iya, namun apakah aku mengabarkan kepadamu bahwa kita akan mendatangi ka’bah tahun ini?”, Umar bekata, “Tidak”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi ka’bah dan akan thowaf di sana”. Umar berkata, “Akupun mendatangi Abu Bakar, lalu aku katakana kepadanya, “Wahai Abu Bakar , bukankah Nabi Muhammad adalah benar seorang Nabi (utusan) Allah?”, Abu Bakar berkata, “Tentu saja”, Aku berkata, “Bukankah kita berada di atas kebenaran dan musuh kita berada di atas kebatilan?”, Abu Bakar berkata, “Tentu saja”, Aku berkata, “Lantas mengapa kita bersikap merendah pada dalam agama kita?”, Abu Bakar berkata, “Wahai Umar, sesungguhnya ia adalah utusan Allah, dan tidak akan bermaksiat kepada Tuhannya, dan Tuhannya akan menolongnya, maka berpegangteguhlah dengan perintahnya dan janganlah menyelisihinya!”. Aku berkata, “Bukankah ia pernah mengabarkan kepada kita bahwa kita akan mendatangi ka’bah dan berthowaf di ka’bah?”, Abu Bakar berkata, “Tentu saja, namun apakah ia mengabarkan kepadamu bahwa engkau akan mendatangi ka’bah tahun ini?”, Aku berkata, “Tidak”, Abu Bakar berkata, “Engkau akan mendatangi ka’bah dan akan thowaf di sana!”. (HR Al-Bukhari no 2731, 2732, Fathul Bari 5/408-425, Umdatul Qori 14/3-14)

Imam Nawawi berkata, “Para ulama berkata bahwa bukanlah pertanyaan-pertanyaan Umar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas karena keraguan, namun karena karena beliau ingin mengungkap apa yang ia tidak pahami (kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa memutuskan demikian –pen) dan untuk memotivasi (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar) untuk merendahkan orang-orang kafir dan memenangkan Islam sebagaimana hal ini merupakan akhlak beliau dan semangat dan kekuatan beliau dalam menolong agama dan menghinakan para pelaku kebatilan. Adapun jawaban Abu Bakar kepada Umar yang seperti jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal ini merupakan tanda yang sangat jelas akan tingginya kemuliaan Abu Bakar dan dalamnya ilmu beliau serta menunjukan kelebihan beliau di atas para sahabat yang lain dalam pengetahuan dan kemantapan ilmu pada seluruh perkara tersebut” (Al-Minhaj 12/141, atau cetakan Al-Ma’arif 12/353)

[29] Riwayat Bukhori no 1241, 1242

[30] Riwayat Bukhori no 1399-1400

[31] Disimpulkan dari Al-Furqon hal 85-88

[32] Ini adalah perkara yang sangat penting sekali yang banyak dilalaikan oleh kaum muslimin

[33] Syarah Aqidah At-Tohawiyah II/773

[34] Al-Furqon hal 42

[35] Lihat tafsir Ibnu Katsir jilid 1, Al-Furqon hal 92

[36] Syarah Al-Ushul As-Sittah hal 170

[37] Majalah As-Sunnah 03/III/1418 hal 25

[38] Al-Furqon hal 69

[39] Lihat penjelasan Syaikh Sholeh Alu Syaikh dalam At-Ta’liqoot Al-Hisaan

[40] Diringkas dari Al-Furqon hal 154-157

[41] As-Siyar 2/224

[42] Al-Furqon hal 154

[43] Riwayat At-Thirmidzi no 3751 dan Ibnu Hibban no 2215

[44] As-Siyar 4/8,9

[45] Riwayat Al-Lalikai dalam Al-Karomat hal 165-166

[46] Al-Furqon hal 157

[47] Riwayat Bukhori no 5018

[48] Riwayat Muslim no 1226

[49] As-Siyar 2/348

[50] Riwayat Bukhori no 3805

[51] As-Siyar 4/195

[52] As-Siyar 4/86

[53] As-Siyar 5/60

[54] As-Siyar 9/7

[55] Riwayat Bukhori no 1354, Al-Furqon hal 158

[56] Bahkan Rasulullah r sendiri tidak mengetahui seluruh orang munafik. Allah berfirman

وَمِمَّنْ حَوْلَكُم مِّنَ الأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُواْ عَلَى النِّفَاقِ لاَ تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ (التوبة : 101 )

Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka. (QS. 9:101)

Hal ini juga sesuai dengan hadits tentang Usamah bin Zaid yang membunuh seorang kafir yang ketika pedang Usamah telah di depan matanya tiba-tiba si kafir tersebut mengucapkan la ilaha illallah, namun Usamah tetap membunuhnya. Dan hal ini dilaporkan kepada Rasulullah. r, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Usamah :”Apakah dia (yang terbunuh itu) telah berkata la ilaha illallah dan kau (tetap) membunuhnya ?”, Usamah menjawab :”Ya, Rasulullah, dia mengatakan itu hanya karena takut akan senjataku”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :”Apakah sudah kau belah dadanya sehingga kau tahu ia berkata itu karena takut atau tidak ?”. Maka Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulang-ulang perkataannya hingga Usamah berangan-angan seandainya dia baru masuk Islam pada hari itu. (HR Al-Bukhori no 4021, 6478, dan Muslim no 62 dan ini adalah lafal Muslim). Hadits ini menunjukan bahwa Usamah yang telah berjihad tidak mengetahui isi hati manusia. Dan ada isyarat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar para sahabat menilai seseorang dengan amalan dzohirnya bukan amalan batin. Kalau para sahabat mengetahui isi hati manusia tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memerintahkan mereka untuk menilai secar dzohir saja.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إنكم تختصمون إلي ولعل بعضكم ألحن بحجته من بعض فمن قضيت له بحق أخيه شيئا بقوله فإنما أقطع له قطعة من النار فلا يأخذها

“Sesungguhnya kalian berselilih dan berhukum kepadaku, dan bisa jadi sebagian kalian lebih pandai berhujah (berargumen) daraipada yang lain. Maka barangsiapa yang aku putuskan hukuman utuknya (memenangkannya) dengan (mengorbankan) sesuatu hak saudaranya maka sesungguhnya akau telah memberikan kepadanya suatu bongkahan dari api neraka maka janganlah ia mengambilnya” (HR Al-Bukhari II/952 no 253)

Kalau seandainya Rasulullah r tahu isi hati manusia tentunya beliau tidak akan tertipu dengan pintarnya bersilat lidah dalam berargumen.

Demikian juga kisah Ma’iz bin Malik yang berzina kemudian datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakui perbuatannya. Rasulullah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui isi hatinya, oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menolaknya dan berpaling darinya hingga Maiz datang kepadanya empat kali, bahkan setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya أبك جنون (Apakah engkau tidak waras)? (HR Al-Bukhari no 6430). Dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Maiz, “Mungkin engkau hanya menciumnya atau memegangnya atau hanya melihatnya? (HR Al-Bukhari no 6438). Kalau memang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui isi hati Maiz maka tidak perlu ia bersusah payah bertanya kepada Maiz dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud berkata :”Saya telah mendengar Umar bin Khottob berkata :”Dahulu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang diterima (dihukumi) menurut keterangan wahyu, dan kini wahyu telah terputus. Maka kami akan bertindak (menghukumi) kalian dengan perbuatan-perbuatan kalian yang dzohir (nampak) bagi kami. Maka barang siapa yang menampakkan kebaikan kepada kami maka kami percaya dan kami hargai, dan sama sekali bukan urusan kami mengenai batinnya . Allah yang akan menghisabnya . Dan barang siapa yang menampakkan keburukan kepada kami, maka kami tidak akan mempercayainya dan tidak kami benarkan, walaupun dia berkata sesungguhnya batinnya adalah baik.”” (HR Al-Bukhori)

[57] Al-Furqon hal 159

[58] Al-Furqon hal 159

[59] Majalah As-Sunnah 03/III/1418

[60] Al-Furqon hal 159

[61] Sebagaimana hal ini pernah dimuat dalam beberapa tabloid di Indonesia

[62] Al-Furqon hal 36

[63] lihat jawaban ini dalam Al-Furqon hal 141-142

[64] Al-Bidaayah wan Nihaayah I/328

[65] Al-Bidaayah wan Nihaayah I/328

[66] Al-Bidaayah wan Nihaayah I/328

[67] Riwayat Bukhori, no 74

[68] Pendapat yang benar bahwasanya Khidir telah meninggal dan tidak kekal hingga hari kiamat. Setelah Ibnu Katsir menyebutkan dan menjelaskan lemahnya dalil-dalil dan hikayat-hikayat yang dijadikan sandaran bahwa Khidir masih hidup hingga hari ini beliau berkata, “Dan riwayat-riwayat ini serta cerita-cerita (hikayat-hikayat) ini merupakan dasar pegangan orang yang berpendapat bahwa Khidir masih hidup hingga hari ini, dan semua hadits yang marfu’ lemah sekali (dho’iif jiddan), tidak bisa hujjah ditegakkan di atas hadits-hadits seperti ini. Dan cerita-cerita mayoritasnya pada sanadnya ada kelemahan dan paling banter hanyalah shahih kepada orang yang tidak ma’sum seperti sahabat atau yang lainnya yang mungkin untuk salah” (Al-Bidaayah Wan Nihaayah I/334)

Dalil-dalil yang menunjukan bahwa Khidir tidaklah kekal hingga hari kiamat adalah sebagai berikut:

1. Firman Allah

}وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ الْخُلْدَ{ (الأنبياء : 34 )

Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad) (QS. 21:34)

Dan Khidir adalah seorang manusia yang ada sebelum Nabi r, maka ia tidakalah keluar dari keuumaman ayat ini (bahwasanya yang namanya manusia tidak ada yang kekal) kecuali dengan dalil yang shahih, namun tidak ada dalil yang shahih yang mengeluarkannya dari keumuman ayat ini.

2. Firman Allah

وَإِذْ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّيْنَ لَمَا آتَيْتُكُم مِّن كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءكُمْ رَسُولٌ مُّصَدِّقٌ لِّمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنصُرُنَّهُ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُواْ أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُواْ وَأَنَاْ مَعَكُم مِّنَ الشَّاهِدِينَ{

”Dan (ingatlah) tatkala Allah mengambil perjanjian dari para nabi:”Sungguh apa saja yang Aku berikan kepada kalian berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepada kalian seorang Rosul yang membenarkan apa yang ada pada kalian, niscaya kalian akan sungguh-sungguh beriman kepada Rosul tersebut dan sungguh-sungguh akan menolongnya”. Allah berfirman :”Apakah kalian mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu ?”, mereka menjawab :”Kami mengakui”. Allah berfirman :”Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kalian.”

Dan Khidir jika ia seorang nabi (terlebih lagi seorang wali yang derajatnya lebih rendah dari nabi) maka ia termasuk dalam perjanjian ini. Maka jika ia hidup di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka merupakan kemuliaan yang sangat besar baginya jika ia menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beriman dengan Apa yang diturunkan Allah kepada Nabi r dan berusaha menolong Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jangan sampai seorang musuhpun menyentuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan jika ia seorang wali maka Ash-Shiddiiq (Abu Bakar) lebih mulia darinya. Dan jika ia seorang nabi maka Musa lebih mulia darinya padahal Rasulullah r pernah bersabda

فإنه لو كان موسى حيا بين أظهركم ما حل له إلا أن يتبعني

“Sesungguhnya kalau Musa hidup di tengah-tengah kalian maka tidaklah boleh baginya kecuali mengikuti aku”

Dan ayat yang mulia ini menunjukan bahwa seluruh nabi jika seandainya mereka hidup di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka mereka seluruhnya adalah pengikut dan dibawah perintah dan syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala berkumpul dengan mereka di malam isro’ maka beliau mengimami mereka sholat.

3. Dan tidak diketahui dengan sanad yang shahih bahwasanya Khidir pernah ikut perang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -meskipun hanya sehari-. Dan tatkala perang Badar yang dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa kepada Allah “Ya Allah jika binasa umat ini maka engkau tidak akan disembah setelahnya di muka bumi”. Dan di hari yang sangat berat itu semuanya berkumpul, baik pemuka-pemuka kaum muslimin (dari para sahabat) maupun pemuka-pemuka para malaikat, bahkan Jibril berada di bawah bendera kaum muslimin. Kalau seandainya Khidir hidup maka keberadaannya di bawah bendera kaum muslimin tatkala itu merupakan kemuliaan yang agung baginya (Lihat Al-Bidayah wan Nihaayah I/335)

4. Apakah faedah baginya –jika ia masih hidup hingga saat ini- dengan sikapnya yang bersembunyi, padahal jika ia menampakan dirinya maka pahalanya baginya lebih banyak dan derajatnya lebih tinggi dan lebih nampak mu’jizatnya (Lihat Al-Bidayah wan Nihaayah I/336)

5. Kemudian jika ia masih hidup setelah zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka perbuatan yang sangat mulia yang bisa ia lakukan adalah dengan menyampaikan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjelaskan hadits-hadits yang lemah dan palsu, membantah amalan-amalan dan pemikiran-pemikiran bid’ah, berperang bersama kaum muslimin, menghadiri sholat jum’at bersama kaum muslimin, memberi manfaat kepada mereka (dengan mengajarkan ilmu kepada mereka), meluruskan para ulama dan pemerintah, menjelaskan tentang dalil-dalil dan hukum-hukum, semua ini lebih baik baginya daripada ia hanya sekedar berjalan memutari dunia, atau berkumpul dengan sebagian orang-orang (sufi) tertentu (yang tidak dikenal) yang kemudian menyampaikan perkataannya kepada manusia. (Lihat Al-Bidayah wan Nihaayah I/336)

6. Ibnu Umar berkata, “Rasulullah r mengimami kami sholat isya’ di akhir hayat beliau. Tatkala beliau salam beliau berdiri dan berkata

أرأيتكم ليلتكم هذه فإن رأس مائة سنة منها لا يبقى ممن هو على ظهر الأرض أحد

Tahukah kalian malam hari ini?, sesungguhnya setelah seratus tahun setelah malam ini maka tidak akan tersisa seorangpun (yang sekarang masih hidup) di atas muka bumi ini (HR Al-Bukhari I/55 no 116)

Berkata Ibnul Jauzi, “Hadits-hadits yang shahih ini (yang semakna dengan hadits Ibnu Umar ini) memutuskan sampai ke akar-akarnya propaganda bahwa Khidir masih hidup…jika Khidir mendapati masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hadits ini menunjukan bahwa ia tidak akan hidup setelah seratus tahun, oleh karena itu maka sekarang ia telah tidak ada karena ia masuk dalam keumuman hadits ini. Dan hukum asal adalah ia masuk dalam hadits ini hingga ada dalil yang shahih yang mengkhususkannya” (Lihat Al-Bidayah wan Nihaayah I/336-337)

[69] HR Ahmad III/338 no 14672, Ibnu Abi Syaibah V/312 no 26421 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam irwaaul golil no 1589 dan Misykaatul Mashobiih no 177

[70] Tafsir Ibnu Katsir I/379

[71] Yaitu membocorkan kapal, membunuh seorang anak kecil dan memperbaiki tembok yang akan runtuh, sebagaimana dikisahkan dalam surat Al-Kahfi : 70-82

[72] Riwayat Muslim no 1812

[73] Ash Shuffah adalah semacam pelataran yang bersambung dengan mesjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, (masih satu atap dengan mesjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang dulu dijadikan tempat tinggal sementara oleh beberapa orang sahabat Muhajirin yang miskin, karena mereka tidak memiliki harta, tempat tinggal dan keluarga di Madinah, maka Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan mereka tinggal sementara di pelataran tersebut di bawah naungan mesjid sampai mereka memiliki tempat tinggal tetap dan penghidupan yang cukup. (lihat kitab "Taqdis Al Asykhash" tulisan Syaikh Muhammad Ahmad Lauh 1/34)

[74] (HR Al-Bukhari 6/2495 no 6419 bab)

Dari Abi Qilabah dari Anas bin Malik ia berkata, “Datang beberapa orang dari ‘Ukl kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka dahulunya tinggal di suffah namun mereka maka mereka berkata, “Wahai Rasulullah mintakanlah untuk kami susu!”, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku tidak bisa membantu untuk kalian kecuali kalian pergi mendatangi onta-onta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (onta-onta zakat)”. Maka merekapun mendatangi onta-onta tersebut dan meminum susunya dan air kencingnya hingga merekapun sembuh dan gemuk, lalu mereka membunuh penggembala onta-onta tersebut dan membawa lari sekelompok onta, lalu terdengarlah teriakan (orang minta tolong) maka Nabi rpun mengutus seorang pelacak untuk melacak jejak mereka. Dan tidak sampai tengah hari merekapun telah tertangkap. Lalu Nabi rpun memerintahkan untuk memanaskan paku-paku lalu ia menculek mata mereka dan memotong tangan-tangan dan kaki-kaki mereka dan Rasulullah r tidak menghasm mereka (hasm adalah memberhentikan aliran darah pada bagian tubuh yang terpotong, seperti dengan menggunakan besi panas lalu ditempelkan ka bagian tubuh yang terpotong atau dengan memanaskan minyak panas lalu diletakkan ke bagian tubuh yang terpotong agar darah tidak mengalir Al-Fath 12/111 -pen) kemudian mereka dilemparkan di bawah terik matahari, mereka minta minum namun tidak diberi minum hingga akhirnya merekapun mati”. Abu Qilabah berkata, “Mereka mencuri dan membunuh dan memerangi Allah dan RasulNya” (Lihat Al-Fath 6/153)

[75] Diantara yang mengaku bahwa mereka adalah penutup para wali adalah Ibnu ‘Arobi, Muhammad bin ‘Utsman As-Suudaani, dan At-Tijaani Al-Magribi, yang masing-masing dari ketiga orang ini mengaku bahwa dialah penutup para wali. Ini jelas menunjukan bahwa mereka bertiga adalah para pendusta dan para dajjal, bagaimana masing-masing mengaku sebagai penutup dan wali yang terakhir sementara masih ada wali yang lain yang juga mengaku demikian. (lihat syarh Syaikh Sholeh Alu Syaikh terhadap matan Al-Aqidah At-Thohawiyah)

[76] Maksudnya yaitu pemisah antara kerasulan dan kewalian

[77] Ibnu Arobi juga berkata (dalam kitabnya “Fususul hukum”) :”Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memisalkan kenabian dengan sebuah dinding (yang tesusun) dari bata dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat bahwa dinding tersebut telah sempurna kecuali tinggal tempat satu bata lagi, dan dialah sebagai bata yang terakhir (yang menutupi bata-bata (nabi-nabi) sebelumnya –pent). Adapun penutup para wali maka pasti ia melihat juga dinding ini, dia melihat dinding yang dimisalkan oleh Nabi r dan dia melihat dirinya di dinding yaitu di tempat dua bata, dirinya telah tercetak di tempat dua bata tersebut, sehingga sempurnalah dinding itu. Yang menyebabkan dia melihat dinding itu tinggal tempat dua bata (padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya hanya ada satu tempat bata –pent) adalah karena dinding terdiri dari bata perak dan bata emas. Bata perak adalah bagian luar dinding tersebut (yaitu bagian luar syari’at-pen) dan hukum-hukum yang mengikutinya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil syari’at yang dzohir dari Allah yang diikuti, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat perkaranya sebagaimana adanya sehingga demikianlah pasti dia melihatnya. Padahal bagian dalam tempat satu bata itu adalah tempat (yang lain bagi) bata emas, yang dia (penutup para wali tersebut) mengambil dari sumber yang malaikat yang diutus kepada Nabi mengambil dari sumber itu. Jika engkau memahami apa yang kami isyaratkan maka engkau telah mendapatkan ilmu yang bermanfaat.” (Syarah Al-Aqidah At-Thohawiyah hal 493)

Maksudnya yaitu penutup para wali tatkala mengambil wahyu tidak butuh kepada perantara malaikat, ia bisa langsung mengambil dari Allah. Berbeda dengan penutup para nabi, ia hanya bisa mengambil wahyu dengan perantara malaikat yang mengambil dari Allah.

[78] Syarah Al-Aqidah At-Thohawiyah hal 493-494, Al-Furqon hal 110

[79] Riwayat Bukhori no 6502, dari hadits Abu Huroiroh.

[80] Yang aqidah ini merupakan aqidah Ibnu ‘Arobi, yang dimana ia berkata di awal bukunya Al-Futuhaat,

الرَّبُّ حَقٌّ وَالْعَبْدُ حَقٌّ يَا لَيْتَ شِعْرِي مَنٍ الْمُكَلَّفُ؟

إِنْ قُلْتَ عَبْدٌ فَذَاكَ نَفْيٌ أَوْ قُلْتَ رَبٌّ أَنَّى يُكَلَّفُ؟

Ar-Rob adalah Al-Haq (Allah) dan hamba juga Al-Haq (Allah), duhai kabarkanlah kepadaku siapakah yang diberi tugas (ibadah)?

Jika engkau mengatakan bahwa yang diberi tugas (ibadah) adalah hamba maka itu adalah penafian atau jika engkau mengatakan Rob maka bagaimana ia bisa disuruh untuk beribadah

Ia juga berkata,

قلنا صدقت وهل عرفت محققا من موجد الكون الأعم سوائي

فإذا مدحت فإنما أثني على نفسي فنفسي غير ذات ثنائي

Kami katakan engkau benar, dan apakah engkau mengetahui dengan benar pencipta alam semesta seluruhnya selain aku?

Jika aku memuji Allah maka sesungguhnya aku memuji diriku sendiri. Diriku bukanlah pujianku

Ia juga berkata (pada bab yang ke sepuluh)

انظر الحق في الوجود تراه عينه فالبغيض فيه الحبيب

ليس عيني سواه إن كنت تدري فهو عين البعيد وهو القريب

إن رآني به فمنه أراه أو دعاني إليه فهو المجيب

Lihatlah Allah di alam nyata ini maka engkau akan melihatnya, semua alam nyata ini adalah dzat Allah, maka orang yang dibenci dalam dzat Allah dia juga adalah orang yang dicintai

Dan tidaklah dzatku ini selain Allah jika engkau mengetahuinya, maka sesuatu yang jauh itulah sesuatu yang dekat.

Jika Dia melihatku melalui diriNya maka dari diriNya aku melihatNya, atau Dia memanggilku kepadaNya maka Dialah yang memenuhi panggilan tersebut.

Jelas dalam bait yang terakhir ini bahwa Ibnu ‘Arobi tidak hanya menyatakan bahwa Allah bersatu dengan dirinya, bahkan lebih parah dari itu ia berkeyakinan bahwa alam semesta ini dialah dzat Allah. Semuanya yang nampak itulah dzat Allah, oleh karena itu menurut Ibnu ‘Arobi bahwasanya orang yang dibenci pada hakikatnya itulah orang yang dicintai juga, sesuatu yang jauh itulah juga sesuatu yang dekat. Seseorang yang memanggil orang lain pada hakekatnya ia sedang memanggil dirinya sendiri, maka ia adalah yang memanggil dan sekaligus yang memenuhi panggilan.

Keyakinan seperti ini lebih parah dan lebih kafir daripada keyakinan orang-orang Nashrani yang hanya membatasi bersatunya Allah pada Isa saja, karena Ibnu ‘Arobi menyatkan bahwa Allah bersatu dengan seluruh makhluq. Dan konsekuensi dari keyakinan ini bahwasanya Orang-Orang musyrik Arab dahulu tidaklah bersalah tatkala mereka menyembah patung, karena pada hakekatnya mereka sedang menyembah Allah juga. Bahkan Fir’aun dan para pengikutnya adalah orang-orang yang sempurna imannya yang mengenal hakekat Allah, karena pada hakekatnya Fir’aun itulah Allah. Selain itu juga menurut aqidah Ibnu ‘Arobi ini bahwasanya pada hakekatnya tidak ada perbedaan antara pengharaman dan penghalalan, tidak ada perbedaan antara ibu, saudara kandung wanita, dan wanita ajnabiah. Tidak ada perbedaan antara khomr dan air biasa, antara zina dan nikah, semuanya dari dzat yang satu yaitu Allah. Konsekuensi dari aqidah ini bahwasanya para nabi dan rosul hanyalah mempersulit manusia. (Lihat Syarh Al-Aqidah At-Thohawiyah I/126)

[81] Sebagian orang yang tidak ingin dikekang dengan syari’at mereka berdalil dengan firman Allah

}وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ{ (الحجر:99)

dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu keyakinan(QS. 15:99)

Mereka mengatakan, “Jika kami telah mencapai rasa yakin maka kami telah terlepas dari kewajiban beribadah kepada Allah”

Ini adalah penafsiran yang salah karena yang dimaksud dengan Al-Yaqin dalam ayat ini adalah kematian. Dengan dalil-dalil sebagai berikut:

a. Ini adalah penafsiran salaf. Imam Al-Bukhari berkata, “Berkata Salim (bin Abdillah bin Umar) Al-Yaqin adalah Al-Maut (kematian)” (Shahih Al-Bukhari 4/1739), dan atsar ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya (14/74). Ini juga adalah penasiran Mujahid, Hasan Al-Bashri, Qotadah, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dan yang lainnya (Tafsir Ibnu Katsir 2/561)

b. Ini juga sesuai dengan firman Allah

}مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ{

Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?. Mereka menjawab:"Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami Al-Yaqin (kematian)". (QS. 74:44-47)

c. Ini juga sesuai dengan hadits Nabi r (HR Al-Bukhari 1/419 no 1186) dimana Nabi r berkata tentang Utsman bin Madz’un yang telah wafat, أما هو فقد جاءه اليقين والله إني لأرجو له الخير والله ما أدري وأنا رسول الله ما يفعل بي ((Adapun dia (Utsman bin Madz’un) maka telah datang kepadanya Al-Yaqin (kematian), maka aku mengharapkan kebaikan baginya, demi Allah aku tidak tahu apa yang Allah lakukan padaku padahal aku adalah utusan Allah))

d. Ayat ini justru maknanya kebalikan dari apa yang dipahami oleh orang-orang zindiq tersebut. Justru ayat ini menunjukan bahwa seseorang harus terus beribadah hingga ia meninggal. Sebagaimana firman Allah tentang perkataan Nabi Isa وأوصاني بالصلاة والزكاة ما دمت حيا (Dan Allah mewasiatkan (memeerintahkan) kepadaku untuk (terus) sholat dan membayar zakat selama aku masih hidup) (QS 19:31) Dan inilah yang dipraktekan oleh para nabi dan mereka adalah orang-orang yang paling yakin tentang Allah namun mereka adalah orang-orang yang paling banyak ibadahnya kepada Allah (Adwaul bayan 2/425)

e. Jika Al-Yaqin ditafsirkan dengan arti keyakinan (mengetahui hakekat) maka tidaklah seperti yang dipahami oleh orang-orang zindiq tersebut, namun maknanya yaitu seseorang yang telah meninggal maka akan jelas baginya hakekat hari akhir, hakekat dari perkara-perkara goib yang telah Allah kabarkan kepadanya tatkala ia masih hidup di dunia. (Adlwaul bayan 6/349)

[82] Bukan sebagaimana pemahaman Ibnu ‘Arobi yang malah meninggalkan ibadah.

[83] Al-Qowa’id Al-Mutsla hal 125

[84] Al-Furqon hal 161

[85] Majalah As-Sunnah 03/III 1418 H

[86] Al-Jadawil hal 19

[87] Al-Jadawil hal 20

[88] Lihat akhir pembahasan dalam risalah ini.

[89] Al-Jadawil hal 21 dan Syarah Al-Aqidah At-Thohawiyah hal 494

[90] Majalah As-Sunnah hal 30

[91] Lihat penjelasan Ibnu Abil ‘Izz dalam syarh Al-Aqidah At-Thohawiyah II/757

[92] Syarh Al-Aqidah At-Tohawiyah II/755

[93] Syarah Al-Aqidah At-Thohawiyah II/754

[94] Syarah Al-Aqidah At-Thohawiyah II/754

[95] Lihat Ad-Dur Al-Mantsur III/610 tafsir surat Al-A’rof ayat 175

[96] Syarah Al-Aqidah At-Thohawiyah II/754
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.