🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SELASA | 16 Jumadal Akhirah 1446H | 17 Desember 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-216
https://drive.google.com/file/d/1StkYTxpgaDGuu7p5XNIGVeTdfMWT1s9g/view?usp=sharingLaqith Barang Temuan berupa Anak Manusia Bagian Ketiga
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد
Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Masih bersama Bab Al-Luqathah (اللقطة).
Kali ini Al-Imam Al-Muallif (Imam Abu Syuja') rahimahullāhu ta'āla, mengajak kita untuk berbicara tentang barang temuan spesial yaitu barang temuan berupa anak manusia atau yang disebut dengan Laqith (لقيط).
Di antara hal yang perlu digarisbawahi pada masalah anak temuan, yaitu:
1. Masalah Nasab.
Anak yang ditemukan tersebut (tentu) dia pasti adalah anak seseorang, pasti dia mempunyai nasab, namun karena tidak diketahui, baik karena sengaja dibuang oleh orang tuanya atau anak tersebut tersesat (tidak ketahuan orang tuanya). Maka nasab anak tersebut tidak boleh dinasabkan kepada siapapun, tidak boleh dinasabkan kepada yang menemukannya.
Tetapi dinasabkan kepada ayahnya. Katakan dia adalah anaknya Abdullah, seperti yang terjadi di negeri Saudi misalnya. Ketika ada anak-anak temuan, tidak ketahuan orang tuanya mereka dibuatkan nasab, nasab real tetapi itu bukan fiktif.
Dibuatkan nasab dengan nama-nama yang mu'abadillah, anaknya Abdullah Fulan, ibnu Abdillah, ibnu Abdurrahman, ibnu Abdil 'ilah, ibnu Abdurrazaq. Karena siapapun, dia adalah Abdullah dan Abdurrahman. Walaupun nama aslinya (misalnya) John, tetap saja dia adalah Abdullah statusnya adalah hambanya Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Sehingga nasabnya tidak boleh dinasabkan kepada Anda, ketika Anda merasa perlu untuk menutupi status anak tersebut agar tidak dianggap sebagai anak dalam tanda kutip, di masyarakat dianggap sebagai anak sampah, anak hasil hubungan gelap yang dibuang oleh ibunya.
Agar tidak dianggap sebagai sampah masyarakat tentu satu hal yang perlu dipikirkan adalah bagaimana Anda berusaha memproteksi (menutupi) harga diri anak tersebut dengan mengatakan bahwa dia adalah anaknya Abdullah, anaknya cucunya Abdurrahman misalnya, atau cucunya Abdurrazaq atau Abdussam'i, Abdul Ja'bar, Abdul Qahar atau yang lainnya.
Sehingga orang mengira dia betul-betul anak yang tersesat walaupun bisa jadi sejatinya adalah anak yang sengaja dibuang oleh ibunya dari hubungan gelap.
2. Anak Wanita
Ketika anak temuan tersebut adalah anak wanita, tentu suatu saat dia dewasa, tentu akan menjadi masalah bagi keluarga Anda. Kalaupun dia anak laki-laki juga bisa menjadi potensi masalah bagi Anda yang merawatnya. Karena ketika dewasa dia tidak serta merta menjadi mahram bagi anak-anak Anda, bagi istri Anda, bagi keluarga Anda.
Karena itu solusinya, ketika Anda menemukan anak yang masih kecil semacam ini segera susukan kepada kerabat Anda atau mungkin kepada istri Anda atau anak Anda, agar dia menjadi saudara sepersusuan keluarga Anda, menjadi anak susuan Anda, menjadi keluarga besar Anda melalui jalur persusuan.
Sehingga keberadaan anak tersebut di tengah keluarga Anda tidak masalah, dia akan menjadi mahram bagi istri Anda, mahram bagi anak-anak Anda, melalui proses persusuan tersebut.
Dan ketika nanti anak temuan yang berjenis kelamin wanita tersebut telah dewasa dan saatnya menikah maka Anda bisa berkoordinasi dengan pemerintah setempat dalam hal ini dengan kantor urusan Agama (KUA) setempat, untuk meminta restu dari KUA setempat agar Anda direstui menjadi walinya.
Menjadi wali dari anak tersebut dengan status sebagai wali yang mendapatkan kuasa dari pemerintah. Sehingga dalam kondisi semacam ini Anda boleh mengaku sebagai pamannya, padahal sejatinya adalah paman dalam Islam.
Siapapun itu bisa jadi adalah pamannya. Dan Anda secara legal mendapatkan kuasa dari pemerintah setempat, sehingga harga diri anak tersebut tidak tercoreng, tidak menjadi issue yang negatif di masyarakat yang akan menjadikan psikologi anak tersebut terpukul (misalnya).
Kemudian di antara hal yang perlu Anda waspada dalam hal ini adalah:
3. Masalah Warisan
Karena dia bukan keluarga Anda, tidak ada hubungan nasab dengan Anda, maka (tentu) Anda tidak bisa mewarisinya dan dia juga tidak bisa mewarisi Anda.
Maka kalau (memang) Anda terketuk hati untuk memberinya harta, maka berilah dia melalui jalur hibah. Jangan biarkan dia menganggap Anda sebagai ayah kandungnya, sebagai keluarga nasabnya, padahal dia bukan. Sehingga akhirnya nanti keluarga Anda bersengketa dengan dia gara-gara rebutan warisan.
Dudukan sejak awal bahwa dia adalah anak temuan, bukan anak Anda, tetapi Anda memungutnya, sehingga dia tahu diri bahwa dia bukan anak yang berhak mewarisi.
Tetapi di saat yang sama setelah Anda menganggap dia adalah bagian dari keluarga Anda, Anda tidak membiarkannya begitu saja, Anda memberinya hibah berupa harta, sehingga tidak terjadi sengketa dengan keluarga inti Anda.
Dan terakhir berkaitan dengan anak temuan.
4. Bersikap Kooperatif
Anda harus bersikap kooperatif, bisa jadi suatu saat ketahuan, siapakah orang tua anak tersebut, bisa jadi Anda mendapatkan informasi atau ibunya mengakui bahwa itu adalah anak dia atau bisa jadi memang anak tersebut tersesat sehingga orang tuanya mencari ke sana ke mari sampai akhirnya ketemu dengan Anda.
Maka Anda harus berlapang dada mengembalikan anak tersebut kepada keluarganya, seperti yang terjadi pada Haritsah. Haritsah dahulu adalah anak seorang merdeka kemudian dia dicuri oleh sebagian orang Arab dahulu, kemudian dijualbelikan di pasar budak.
Sampai akhirnya Haritsah tersebut dibeli oleh Khadijah radhiyallāhu ta'āla 'anhā, karena telah diperdagangkan di pasar budak kemudian dibeli oleh Khadijah. Tidak mengira bahwa itu adalah (semula) anak merdeka kemudian oleh Khadijah dihibahkan kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Keluarga Haritsah terus berusaha mencari ke sana ke mari tentang keberadaan Haritsah tersebut, sampai akhirnya setelah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam diutus sebagai Rasul barulah ketemu keberadaan Haritsah tersebut. Sehingga keluarganya berbondong-bondong datang kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam meminta kerelaan agar Haritsah dikembalikan kepada mereka.
Namun Haritsah telah masuk Islam, maka Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam memberikan pilihan kepada Haritsah. Apakah ingin kembali bersama keluarganya atau ingin tetap bersama Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam?
Ternyata Haritsah lebih memilih untuk tetap bersama keluarga Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, karena selain dia telah sekian lama hidup di tengah keluarga Nabi, dia telah memiliki ikatan yang lebih spesial dibandingkan ikatan nasab.
Yaitu hidup bersama Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam seorang Rasul, ikatan Iman, ikatan Islam. Sehingga beliau lebih memilih untuk hidup bersama Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam walaupun jauh dari keluarga intinya.
Ini yang harus Anda lakukan, sehingga Anda tidak boleh menutup-nutupi status ini, apalagi sampai menghalang-halanginya untuk diambil kembali oleh keluarganya, karena memang itu bukan hak Anda.
Anda tentu tidak akan kehilangan fadhilah, tidak akan kekurangan pahala, karena Anda telah berjasa menyelamatkannya, mendidiknya dan setelah dewasa ternyata ketemu dengan keluarganya, maka Anda harus berlapang dada untuk mengembalikan anak tersebut, bila memang si anak berkenan dan keluarga mereka menginginkan.
Maka Anda harus berlapang dada dan percayalah Allāh tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan Anda menyelamatkan anak tersebut.
Ini yang bisa Kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia kali ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf.
وبالله التوفيق والهداية
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment