F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-203 Hibah Bag. 04

Audio ke-203 Hibah Bag. 04
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 KAMIS | 26 Jumadal Ula 1446H | 28 November 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-203
https://drive.google.com/file/d/12GC_zc9ysYYSBIAqHbT3zljPJNuassp_/view?usp=sharing

Hibah Bagian Keempat


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد


Kaum muslimin anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Masih bersama tema hibah.

Dalam satu riwayat Aisyah pada akhir masa kehidupan Khalifah Abu Bakar yaitu ayahnya sendiri, ayahnya Aisyah. Beliau Ayahnya menghibahkan hasil panen di daerah Awwali, daerah arah timur dari kota Madinah. Selang berapa hari Abu Bakar berkata kepada Aisyah.

Yaa bunayyah (wahai putriku) di dunia ini tidak ada seorangpun yang lebih aku harapkan untuk bisa hidup kaya raya melebihi engkau. Engkau adalah orang yang paling aku harapkan untuk bisa hidup berkecukupan hidup kaya raya.

Dan tidak ada orang yang paling aku sedihkan kalau dia sampai jatuh miskin dibanding dirimu. Dan aku pernah memberimu hibah (pemberian) berupa hasil panen dari ladangku yang ada di daerah Awwali.

Kemudian beliau mengatakan,

ولو كنت جددتيه وأحرزتيه لكان لك، وإنما هو اليوم مال الوارث، وإنما هما أخواك وأختاك فاقتسموه على كتاب ال

Kalau engkau sudah terlanjur memanennya maka ya sudah itu menjadi harta milikmu. Namun kalau engkau belum sempat memanennya, belum sempat mengambilnya, maka hasil panen yang ada di ladang tersebut aku tarik kembali dan harus dibagi sesuai bagian warisan. [HR Malik dalam al-Muwatha', 806]

Sehingga dalam kasus ini didapatkan Abu Bakar, meralat, merevisi, membatalkan hibahnya kepada Aisyah.

Dengan demikian selama hibah itu belum diterima maka masih belum mengikat masih boleh dibatalkan secara sepihak dan bahkan dalam literasi fiqih mazhab Al-Imam Syafi’i.

Dalam literasi mazhab Syafi’i, ketika orang yang menerima hibah mendapatkan hibah (pemberian), Al-Imam Syafi'i mengatakan masih boleh baginya untuk meralat walaupun hibahnya telah diterima, karena seperti di muka dikatakan bahwa akad hibah itu adalah akad yang bersifat jaizah alias boleh direvisi boleh dibatalkan walaupun telah terlanjur.

Namun sekali lagi pendapat Imam Syafi’i rahimahullah ini ternyata di internal Mazhab Syafi'i sendiri tidak disepakati.

Kenapa? karena ada dalil lain yang nampaknya kala itu belum sampai kepada Imam Syafi'i sehingga beliau dalam hal ini berfatwa atau berpendat bahwa hibah itu masih boleh direvisi karena hibah itu adalah akad sosial sehingga akad sosial itu seperti pinjam-meminjam, titip menitip kapan saja boleh dibatalkan.

Namun demikian karena para murid-murid imam Syafi'i dan para ulama setelah zaman Imam Syafi'i kembali mengkaji masalah ini ternyata mereka mendapatkan ada beberapa dalil yang sharih (tegas) melarang revisi dan pembatalan hibah.

Sehingga termasuk Al-Imam Abu Syuja' mengatakan,

وإذا قَبَضَها الموهوبُ له لم يكن للواهِب أن يرجع فيها إلا أن يكون والدا

Beliau mengatakan kalau hibah itu telah diterima oleh orang yang diberi, maka pemberi tidak boleh meralat tidak boleh menarik kembali hibahnya, kecuali bila yang menghibahi itu adalah ayah Anda sendiri.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam,

لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُعْطِيَ اَلْعَطِيَّةَ , ثُمَّ يَرْجِعَ فِيهَا ; إِلَّا اَلْوَالِدُ فِيمَا يُعْطِي وَلَدَهُ" ]رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالْأَرْبَعَةُ , وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ , وَابْنُ حِبَّانَ , وَالْحَاكِم ُ[

Tidak halal (dalam hal ini jelas-jelas لا يَحِلُّ - tidak halal) bagi seseorang yang telah memberikan hibah kepada orang lain, menghibahkan sesuatu kepada orang lain kemudian dia ralat, kemudian dia tarik kembali, kecuali bila yang memberi hibah itu adalah ayah Anda sendiri maka boleh.

Kenapa demikian karena Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda,

أنت ومالك لأبيك

Engkau dan seluruh hartamu itu adalah di bawah kuasa ayahmu. Ayahmu kuasa untuk menarik.

Bahkan harta yang milik anak sendiri bukan dari hibah orang tuanya boleh diminta, boleh diambil oleh ayahnya. Kenapa? Karena anak itu adalah bagian dari hasil jerih payah Ayah, sehingga ayah boleh memanfaatkan harta anaknya walaupun tanpa izin, selama pemanfaatan itu tidak mencelakakan, tidak merusakkan harta anaknya.

Sehingga Ayah semacam punya hak Veto untuk meminta harta anaknya, mengambil harta anaknya. Dan ketika orang tua mengambil atau memakan harta anaknya, (hasil kerja anaknya) itu tidak sama sekali ada hutang budi. Orang tua tidak sama sekali berutang budi kepada anak.

Kenapa? Karena anaknya itu adalah hasil karya, hasil pendidikan orang tua. Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda,

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

Tidaklah ada seseorang itu memakan makanan yang lebih baik, dibanding makanan yang didapat dari hasil cucuran keringat sendiri. [HR Bukhari]

وَإِنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ

Dan anak itu adalah bagian dari hasil jerih payah ayahnya.

Sehingga hadits-hadits ini kemudian oleh para ulama termasuk murid-murid Imam Syafi'i atau para penganut Mazhab Syafi'i mereka kemudian merevisi meralat pendapat Imam Syafi’i Rahimallahu ta’ala.

Dan mengatakan bahwa seseorang pemberi hibah itu tidak lagi boleh meralat (membatalkan) hibahnya selama hibahnya telah diberikan, diterima, kecuali bila yang memberikan hibah itu adalah ayah kandung sendiri atau orang tua sendiri.

Walaupun dalam hadits ini redaksinya bercerita tentang ayah, tetapi secara tinjuan substansi maknanya ini mencakup, ayah ibu kakek nenek dan seterusnya, karena mereka semua dalam literasi syari’at dikatakan sebagai Al-Walid sebagai orang tua.

Adapun kalau yang memberi hibah itu orang lain yang tidak ada hubungan anak keturunan, tapi anak menghibahkan pada ayah, saudara kepada saudaranya seseorang kepada pamannya atau keponakannya, maka bila telah diterima tidak boleh dibatalkan dianulir apalagi ditarik kembali.

Karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sall telah bersabda,

اَلْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ

Orang yang sengaja dengan sadar menarik kembali membatalkan hibahnya setelah diserahterimakan maka itu perumpamaannya bagaikan كلب bagaikan seekor anjing yang muntah dan kemudian memakan kembali muntahannya dan tentu ini satu ilustrasi yang sangat buruk.

Karenanya banyak ulama termasuk para tokoh-tokoh sentral mahzab Syafi'i karena berdasarkan di sini kemudian mereka berpendapat bahwa yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan haram hukumnya membatalkan hibah atau menarik kembali hibah, kecuali bila yang menghibahkan itu adalah Ayah atau orang tua kandung sendiri.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

وبالله التوفيق والهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.