🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 SENIN | 23 Jumadal Ula 1446H | 25 November 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-200
https://drive.google.com/file/d/12AszQ4Xu5hpZhOCUym9-t5ba7kNV7Ks5/view?usp=sharingHibah Bagian Pertama
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد
Kaum muslimin anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Al Mualif rahimahullahu ta'ala setelah selesai dan terakhir dari penjelasan tentang wakaf, beliau memulai pembahasan baru yaitu Bab Hibah, penjelasan tentang hibah.
Beliau mengatakan,
و كل ما جازبيعه جازت هبته
Semua harta, semua benda yang boleh diperjualbelikan maka boleh dihibahkan.
Kembali mengingatkan tentang kriteria barang yang boleh diperjualbelikan yang pernah kita bicarakan pada awal pembahasan kita di Bab Muamalah ini.
Para ulama telah menyatakan bahwa kriteria barang yang halal diperjualbelikan adalah barang yang halal, barang yang suci, dan barang tersebut memiliki kegunaan dan kegunaannya adalah halal, maka barang-barang yang halal fisiknya, halal kegunaannya itu boleh diperjualbelikan.
Sehingga apapun bentuknya baik barang yang bersifat ri’il, rumah, ladang, kendaraan, uang, dan yang lainnya boleh dihibahkan.
Sebagaimana barang yang bersifat abstrak yang itu merupakan pengembangan dari harta model kontemporer seperti kekayaan intelektual, merek dagang, program komputer, ataupun yang lainnya, itu juga boleh dihibahkan karena itu barang yang bermanfaat dan manfaatnya mubah, dihalalkan secara syariat. Ini penjelasan tentang hibah.
Dan Mualif mengatakan,
جازبيعه جازت هبته
Boleh.
Sehingga dari sini kita dapat memahami bahwa hibah itu adalah suatu transaksi yang bersifat jawaz, sosial, sukarela, tidak ada paksaan. Anda boleh menghibahkan.
Dan dalam literasi fiqih Syafi'i hibah itu bersifat jaizah (boleh), sehingga ketika hibah tersebut telah selesai telah berkekuatan hukum karena telah diterima oleh yang diberi hibah, maka karena akad hibah itu bersifat jaizah tidak mengikat, Wahib (pemberi) berhak untuk menarik kembali hibahnya, halal baginya untuk menarik kembali hibahnya.
Kenapa? Karena dalam literasi fiqih Syafi'I, hibah itu merupakan akad yang tidak mengikat, alias walaupun sudah terjadi masih bisa dibatalkan (dianulir) walaupun al-Mauhûb lahu (yang diberi hibah) itu sudah menerimanya barang sudah berada di tangan yang diberi. Secara literasi fiqih boleh ditarik kembali.
Dasarnya apa? Dasarnya dari sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
اَلْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَقِيءُ، ثُمَّ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ
Orang yang menarik kembali hibahnya itu bagaikan seekor anjing yang muntah dan kemudian memakan kembali muntahannya.
Dan kita semua tahu bahwa anjing itu halal untuk memakan muntahannya ataupun yang lain, tidak ada kata haram bagi anjing.
Hanya saja tentu ini satu perumpamaan yang buruk, karena itu para ulama dalam mahzab Syafi'i mengatakan hukumnya makruh tidak sampai pada haram. Kalau dilakukan tidak dosa namun kalau ditinggalkan itu lebih utama itu yang dimaksud dari kata جاز.
Sedangkan hukum taklifi kalau kita ingin mengetahui lebih dalam apa status hukum taklifi dari hibah itu sendiri. Maka jawabannya hibah itu adalah suatu akad sosial yang itu sangat dianjurkan karena dengan hibah atau hibah itu sendiri itu adalah akad sosial yang berarti kita memberi manfaat kepada orang yang menerimanya.
Tentu memberi manfaat kepada orang lain itu adalah sesuatu amalan yang dianjurkan
خَيْرُ الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناسِ
Orang yang paling baik dari kalian orang yang paling berguna (bermanfaat) bagi orang lain.
Begitu juga dalil-dalil yang berkaitan dengan menyantuni, berbuat baik kepada orang lain
اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى
Tangan yang di atas itu lebih baik dibandingkan tangan yang dibawah.
Kemudian Nabi menafsirkan. Apa maksud tangan di atas itu?
اَلْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ،
Tangan yang di atas itu adalah tangan yang memberi, bukan tangan yang menerima.
Dan dalam konteks hibah, Al Wahib (yang memberi) itu tentu adalah orang yang tangannya berada di atas. Apalagi sebagian ulama berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
تَهَادُوا تَحَابُّوا
Hendaknya kalian saling memberi hadiah, niscaya akan terjalin hubungan mahabbah saling menyayangi di antara kalian dengan adanya hadiah tersebut.
Walaupun hadits ini berbicara dalam konteks hadiah. Namun itu bisa dijadikan sebagai dasar untuk memahami hukum hibah. Karena hadiah itu adalah salah satu model, salah satu bentuk dari hibah. Bahkan restu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, anjuran untuk memberi hadiah, itu juga merupakan restu untuk memberi hibah.
Dan secara praktek Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dahulu menerima hibah,
أَهْدَى رَجُلٌ مِنْ بَنِي فَزَارَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاقَةً مِنْ إِبِلِهِ الَّتِي كَانُوا أَصَابُوا بِالْغَابَةِ فَعَوَّضَهُ مِنْهَا بَعْضَ الْعِوَضِ فَتَسَخَّطَهُ فَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى هَذَا الْمِنْبَرِ يَقُولُ إِنَّ رِجَالًا مِنْ الْعَرَبِ يُهْدِي أَحَدُهُمْ الْهَدِيَّةَ فَأُعَوِّضُهُ مِنْهَا بِقَدْرِ مَا عِنْدِي ثُمَّ يَتَسَخَّطُهُ فَيَظَلُّ يَتَسَخَّطُ عَلَيَّ وَايْمُ اللَّهِ لَا أَقْبَلُ بَعْدَ مَقَامِي هَذَا مِنْ رَجُلٍ مِنْ الْعَرَبِ هَدِيَّةً إِلَّا مِنْ قُرَشِيٍّ أَوْ أَنْصَارِيٍّ أَوْ ثَقَفِيٍّ أَوْ دَوْسِيٍّ
Seorang laki-laki dari Bani Fazarah memberi hadiah seekor unta kepada Nabi ﷺ dari beberapa ekor unta yang ia dapat dari hutan, kemudian beliau memberi ganti dengan beberapa ekor, namun laki-laki Badui itu tidak ridha.Lalu aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda di atas mimbar ini, “Sesungguhnya salah seorang laki-laki dari penduduk Arab telah memberiku hadiah, lalu aku memberinya ganti dengan sesuatu yang aku miliki, namun dia tidak ridha bahkan semakin marah terhadapku.Demi Allah, setelah dari tempat berdiriku ini, aku tidak akan menerima hadiah dari seorang Arab pun kecuali dari Quraisy atau Anshar atau Tsaqif atau Daus.”[https://hadits.in/tirmidzi/3881]
Datang dalam satu kasus, datang seorang أعربي (Arab Badui) yang memberi hibah kepada Nabi seekor unta.
Kemudian telah menjadi kebiasaan Nabi kalau Beliau shallallahu 'alayhi wa sallam diberi sesuatu hadiah atau hibah dari orang lain, Beliau akan memberi imbalan. Namun ternyata si A'rabi tadi ketika mendapatkan imbalan dari Nabi, merasa kurang suka dengan imbalan yang diberikan Nabi terlalu kecil katanya.
Maka Nabi memberinya tambahan lagi 2 ekor unta, yang semula diberi satu ekor kembali diberi satu ekor lagi, sehingga menjadi dua.
Masih saja si A'rabi Badui merasa kurang puas. Nabi kembali lagi memberi unta ketiga, imbalan atas hibah yang dia diberikan. Barulah si Badui tersebut merasa puas dengan imbalan yang diberikan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Kemudian setelah melihat sikap Badui yang tidak elegan tersebut, Nabi Shallallahu 'alayhi wa sallam menyampaikan khotbah, menyampaikan pernyataan terbuka di hadapan para sahabat yang lain, kemudian beliau mengatakan,
Mengapa ada orang yang memberi aku hibah, kemudian ketika aku beri dia imbalan. Dia merasa terus tidak puas dengan imbalan yang aku berikan.
Kemudian kata Nabi, "Aku berangan-angan untuk tidak menerima hibah dari siapapun, kecuali dari lelaki dari Quraisy atau dari kabilah bani tsakhih atau dari orang-orang Anshar”.
Yang memang mereka itu orang-orang dari ketiga kabilah tersebut dikenal kedermawanannya, sehingga ketika mereka memberi hibah itu bukan dalam konteks untuk meminta imbalan, tetapi betul-betul hibah yang diberikan dengan tulus.
Dan itu telah terbukti ketika orang-orang Anshor yang menerima kedatangan para Muhajirin tanpa pamrih, bahkan sebaliknya di tengah-tengah orang Anshor tercipta budaya sangat indah yaitu al-Itsar (لْإِيثَارُا ),
وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ﴿الحشر : ۹﴾
Mereka terbiasa dengan mendahulukan saudaranya dibanding dirinya sendiri. Padahal diri sendirinya dalam kondisi membutuhkan.
Sehingga masyarakat yang memiliki kriteria memiliki tradisi budaya yang indah semacam ini, ketika mereka memberi hibah sudah bisa dipastikan mereka bukan dalam konteks ingin mencari imbalan. Sehingga kalaupun nanti akhirnya diberi imbalan, mereka pasti ridho, mereka pasti puas.
Karena memang mereka memberi hibah bukan karena mencari imbalan tapi karena Lillahi Azza wa Jalla karena dalam rangka membangun hubungan yang harmonis. Betul-betul hibah tersebut hanya diharapkan mereka, ketika memberi hibah betul-betul hanya mengharapkan pahala dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini kurang dan lebihnya mohon maaf.
وبالله التوفيق والهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment