🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 RABU | 18 Jumadal Ula 1446H | 20 November 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-197
https://drive.google.com/file/d/1mapcGeNqd5oXi-EvlcKEc7TkgpFeWsbJ/view?usp=sharingWakaf Bagian Ketujuh
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد
Kaum muslimin anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Masih bersama pembahasan tentang, الوَقْف (wakaf).
Al Mualif Rahimahullahu Ta'ala mengatakan,
بثلاثة شرائط
Wakaf itu boleh disyari'atkan dengan 3 syarat / kriteria.
أن يكون مما ينتفع به مع بقاء عينه
Pada momentum ini Al Mualif menjelaskan kriteria barang yang boleh diwakafkan.
1. Barang tersebut memiliki manfaat,
memiliki kegunaan dengan ketentuan barang tersebut digunakan tetapi fisik barangnya tidak rusak.
Ketika barang tersebut dimanfaatkan, diambil manfaatnya fisik barangnya tidak rusak. Sehingga dengan kriteria ini dalam literasi fiqih Syafi’i, mewakafkan makanan itu tidak boleh, karena makanan itu manfaatnya dengan cara dikonsumsi. Alias ketika dimanfaatkan fisik barangnya akan habis.
Sebagaimana dalam literasi fiqih Syafi'i mewakafkan tunai (uang tunai) itu juga tidak sah. Kenapa demikian? karena uang tunai hanya bisa dimanfaatkan dengan cara dibelanjakan. Ketika dibelanjakan berarti uangnya habis.
Kalaupun dimanfaatkan dengan cara dihutangkan, maka fisik uang yang tadi diwakafkan itu akan dibelanjakan, dan ketika jatuh tempo piutangnya akan dibayar tapi yang dikembalikan bukan fisik uang yang pertama tetapi itu uang yang lain yang memiliki nilai yang sama.
Sehingga dalam literasi fiqih Syafi'i tidak ada namanya wakaf tunai. Dengan demikian, ketika di masyarakat kita sekarang familiar dengan wakaf tunai maka itu sudah bisa dipastikan tidak mengamalkan mazhab Syafi’i. Tetapi itu adalah merupakan keterbukaan zaman globalisasi ilmu.
Sehingga masyarakat kita yang notabenenya berlatar belakang mazhab Syafi'i tetapi telah membuka diri untuk mengakomodir mazhab lain.
Sehingga yang ada sekarang dalam undang-undang wakaf di negeri kita itu tidak sepenuhnya mengakomodir membatasi diri dengan mazhab Syafi'i. Tapi secara de facto para ahli fiqih di negeri kita ternyata telah membuka diri untuk mengakomodir mazhab Imam Malik. Ini suatu hal yang positif tentunya.
Seiring dengan globalisasi, keterbukaan informasi, dan interaksi manusia global maka sudah sepatutnya pula ahli fiqih juga membuka diri untuk kemudian menerima sudut pandang, pendalilan, dan aplikasi fiqih yang ada di mazhab-mazhab lain. Dengan demikian maslahat masyarakat itu lebih optimal kita upayakan.
Sehingga apa yang kita fatwakan apa yang kita ajarkan tidak monoton. Sesuai dengan mazhab Syafi'i tetapi juga membuka diri, mengakomodir pola pikir sudut pandang yang ternyata lebih relevan dengan kemajuan zaman.
Sebagaimana dalam persyaratan ini ada satu pesan pula bahwa wakaf itu harus berupa benda yang memiliki hak guna. Sehingga sesuai dengan sabda Nabi,
احْبِسْ أَصْلَهَا وَسَبِّلْ ثَمَرَتَهَا
Fisik barangnya jangan engkau tasharuf-kan. Tidak dijualbelikan, tidak diwakafkan, bahkan tidak diwariskan. Tetapi hak gunanya, hasilnya yang disalurkan.
Karena itu secara tekstual hadits ini memberi pesan bahwa yang namanya wakaf itu harus benda. Adapun harta yang tidak memiliki fisik konkrit. Seperti, kekayaan intelektual, hak paten, merek dagang, royalti itu tidak bisa di wakafkan karena tidak ada bendanya. Itu bersifat abstrak.
Demikian pula hak guna. Hak guna bangunan misalnya, orang yang memiliki sewa rumah (hak sewa rumah) atau sewa bangunan dalam tempo sekian tahun, maka ini tidak bisa diwakafkan. Karena tidak ada fisik barangnya, penyewa hanya memiliki hak guna tapi tidak memiliki fisik barangnya.
Dalam literasi fiqih Syafi'i itu tidak bisa diwakafkan. Walaupun dalam undang-undang wakaf di negeri kita, boleh mewakafkan hak guna bangunan ataupun kekayaan intelektual. Seperti royalti, hak paten, dan yang serupa.
Ini satu hal yang positif lagi bahwa ternyata masyarakat kita, ahli fiqih kita yang mereka itu terlibat dalam penyusunan undang-undang wakaf ternyata telah membuka diri untuk mengakomodir Mazhab Al Imam Malik Rahimahullah.
Sehingga ini menjadi satu isyarat positif, satu indikasi positif bahwa ketegangan antara penganut mazhab yang masih sering terjadi di masyarakat dengan dalih, kita bermazhab Syafi'i, kita penganut Mazhab Syafi'i, kalian bermazhab Hambali, kalian bermazhab Maliki. Tidak sepatutnya hidup di negeri kita atau tidak sepatutnya diterapkan di sini. Kita harus mengikuti Mazhab Syafi'i yang berlaku di Indonesia.
Ini sudah tidak relevan lagi, karena secara de facto para pakar agama kita, negara kita bahkan telah menerbitkan undang-undang yang bukan hanya berdasarkan literasi dalam Mazhab Syafi’i, tapi ternyata juga telah membuka diri.
Sehingga kalau boleh dikata masyarakat kita tidak lagi pure (murni) bermazhab Syafi'i tapi juga Mazhab Syafi'i yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa.
Sehingga banyak disempurnakan dengan mengakomodir berbagai sudut pandang yang ada dalam mazhab-mazhab lain. Seperti yang kita contohkan tadi, dalam masalah wakaf tunai, wakaf kekayaan intelektual, barang-barang yang abstrak dan yang serupa.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf.
وبالله التوفيق والهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment