🗓 RABU | 18 Jumadal Ula 1446 H | 20 November 2024 M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Anas Burhanuddin, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-118
https://drive.google.com/file/d/1mWGVd9sTmzCEvs72XWdtltZOhUEl6Md2/view?usp=sharingBab Seputar Jenazah (Bag. 1)
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين سيدنا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين
أما بعد
Anggota grup whatsApp Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh subhānahu wa ta’ālā.
Abu Syuja’ Al-Ashfahani rahimahullāhu ta’ālā mengatakan,
فَصْلٌ: وَيَلْزَمُ فِي المَيِّتِ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ: غَسْلُهُ وَتَكْفِينُهُ وَالصَّلاَةُ عَلَيْهِ وَدَفْنُهُ
Pasal tentang pengurusan jenazah.
Ada empat kewajiban yang berhubungan dengan mayit atau jenazah
1. Memandikannya.
2. Mengkafaninya.
3. Menshalatkannya
4. Menguburnya
Empat hal ini hukumnya wajib dengan ijma’ dan kesepakatan para ulama semuanya. Jadi ketika ada seorang muslim yang wafat, maka wajib bagi umat Islam untuk mengurus jenazahnya dengan empat hal ini, memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkannya.
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam kewajiban empat hal ini. Dan yang dimaksud wajib adalah wajib kifayah atau fardhu kifayah, artinya wajib bagi sebagian umat Islam untuk mengurus jenazah dengan empat hal ini dan kalau sudah ada sebagian umat Islam yang melakukannya maka kewajiban ini gugur atas umat Islam yang lain. Dan itu adalah makna dari fardhu kifayah. Jadi cukup sebagian yang melakukannya.
Kemudian Beliau mengatakan,
وَاثْنَانِ لَا يُغْسَلاَنِ وَلاَ يُصَلَّى عَلَيْهِمَا الشَّهِيدُ فِي مَعْرَكَةِ المُشْرِكِينَ وَالسِّقْطُ الِّذي لَمْ يَسْتَهِلَّ صَارِخاً
Ada dua jenazah yang tidak perlu untuk dimandikan dan tidak perlu untuk dishalatkan yang pertama adalah orang yang syahid dalam pertempuran melawan orang-orang musyrikin, yang kedua adalah bayi yang lahir dan dia tidak menangis.
Jadi untuk urusan memandikan dan menshalatkan ada dua jenazah yang dikecualikan dari hal tersebut. Di mana keduanya tidak perlu untuk dimandikan dan tidak perlu untuk dishalatkan, jadi langsung bisa dikafani untuk kemudian dikuburkan.
Yang pertama adalah orang yang syahid dalam pertempuran melawan orang-orang musyrik ini berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan juga hadits Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
أَنَّ النَّبِيَ صلى الله عليه وسلم أَمَرَ فِي قَتْلَى أُحُدٍ بِدَفْنِهِمْ فِي دِمَائِهِمْ وَلَمْ يُغَسَّلُوا وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ
Bahwasannya Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar para Syuhada Uhud dikubur bersama darah mereka, mereka tidak dimandikan dan tidak pula dishalatkan.
Ini adalah hukum khusus yang diberikan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam, maka kita mengikuti hukum yang telah Beliau contohkan, hukum yang telah Beliau ajarkan, dan Beliau perintahkan dan karena di sini Beliau mengatakan, Beliau disebutkan amara (أَمَرَ), Beliau memerintahkan seperti ini dan perintah itu menunjukkan kewajiban.
Maka bisa kita katakan orang yang meninggal di medan perang, di medan jihad melawan orang-orang musyrikin maka mereka tidak boleh untuk dimandikan, tidak boleh pula untuk dishalatkan.
Adapun para syuhada yang lain karena syahid ini lebih umum, syahid tentu tidak hanya orang yang meninggal di medan jihad, ada juga bentuk syahid yang lain seperti orang yang dibunuh secara zhalim atau tenggelam atau terbakar atau terkena wabah tha’un atau wanita yang meninggal karena melahirkan. Ini semuanya juga syahid tapi mereka tidak dikecualikan sebagaimana orang-orang yang meninggal dan syahid di medan tempur.
Mereka tetap wajib untuk dimandikan dan juga dishalatkan sebagaimana jenazah-jenazah yang lain. Jadi hukum ini berlalu khusus untuk para syuhada yang meninggal di medan tempur.
Bahkan Abu Bakar Al-Hishni menjelaskan bahwasanya kalau ada orang yang terluka di medan tempur kemudian dia pulang dan masih hidup beberapa hari baru kemudian meninggal maka ini juga tetap dishalatkan dan dimandikan, yang tidak dishalatkan dan tidak dimandikan hanyalah mereka yang benar-benar wafat dan gugur di medan tempur. Ini adalah pengecualian yang pertama.
Sedangkan yang kedua adalah bayi yang lahir tapi tidak menangis, artinya bayi ini lahir dalam keadaan sudah meninggal, jadi tidak hanya menangis tandanya. Jadi tanda hidup itu bukan menangis tapi juga gerakan atau minum susu, ini adalah tanda-tanda hidup. Nah kalau tidak menangis tapi dia bergerak maka ini dimandikan dan dishalatkan.
Tapi kalau dia tidak menangis, tidak bergerak, tidak minum susu juga, maka yang seperti ini tidak perlu untuk dimandikan, tidak perlu juga untuk dishalatkan tapi langsung dikafani dan dikuburkan.
Ini berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah radhiyallāhu ‘anhu yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
الطِّفْلُ لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ وَلَا يَرِثُ وَلَا يُورَثُ حَتَّى يَسْتَهِلَّ
Bayi itu tidak dishalatkan tidak juga mewarisi atau diwarisi sampai dia menangis saat dilahirkan.
Artinya kalau dia tidak menangis, dia tidak memiliki tanda-tanda hidup maka dia tidak perlu untuk dishalatkan. Jadi hadits ini punya pesan tersurat, yaitu bahwasanya seorang bayi tidak dishalatkan kalau dia tidak menangis. Artinya kalau dia menangis, kalau dia memiliki tanda hidup maka berarti dia dishalatkan.
Ini adalah hadits riwayat At-Tirmidzi. Namun At-Tirmidzi rahimahullāhu ta’ālā mengatakan bahwasanya haditsnya mudhtharib. Kemudian juga hadits ini dilemahkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullāhu ta’ālā
Dan sebagian ulama berpendapat bahwasanya bayi yang tidak menangis ini tetap dishalatkan dan dimandikan jika saat dia lahir umurnya sudah lebih dari 4 bulan, di mana ruh sudah ditiupkan padanya.
Nah ini adalah pendapat yang kedua dalam permasalahan ini dimana mereka membedakan antara bayi yang berumur lebih dari 4 bulan sudah ditiupkan ruh padanya dan bayi yang lahir atau gugur sebelum usia 4 bulan.
Ini berdasarkan hadits yang lain yaitu hadits Al-Mughirah bin Syu’bah dari Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam bahwasanya Beliau bersabda,
السِّقْطُ يُصلَّى عَلَيْهِ، ويُدْعَى لِوَالِدَيهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ
Bayi yang gugur itu dishalatkan dan kedua orang tuanya di doakan dengan ampunan dan rahmat.
Hadits ini, Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam menyebutkan as-siqth (السِّقْط), bayi yang gugur secara umum, bayi yang gugur semuanya. Jadi meskipun dia tidak menangis selagi umurnya sudah lebih dari empat bulan. Dan hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan dihukumi shahih oleh Tirmidzi dan Al-Albani rahimahullāhu ta’ālā.
Berdasarkan keumuman hadits yang menyebutkan bahwasanya bayi yang gugur itu dishalatkan. Mereka berpendapat bahwasanya bayi jika umurnya sudah lebih dari 4 bulan maka dia wajib untuk dimandikan dan dishalatkan dan ini adalah hadits yang shahih. Sementara hadits Tirmidzi tadi dilemahkan oleh Tirmidzi dan juga Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullāhu ta’ālā.
Jadi untuk permasalahan bayi yang lahir dalam keadaan meninggal ini, kita bisa klasifikasi menjadi 2. Yang pertama, jika dia lahir dalam keadaan meninggal, tidak ada tanda hidup. Tapi umurnya kurang dari 4 bulan maka yang seperti ini tidak perlu dimandikan dan tidak perlu dishalatkan.
Ini adalah pendapat madzhab yang empat semuanya bahkan sebagian ulama menukil ijma’ kalau di bawah umur 4 bulan belum ditiupkan ruh, maka tidak perlu dishalatkan dan tidak perlu dimandikan.
Kemudian yang kedua, jika dia lahir meninggal dan umurnya lebih dari 4 bulan. Di sini ada perbedaan pendapat di antara para ulama sebagian besar ulama termasuk madzhab Syafi’i berpendapat bahwasanya yang seperti ini tidak perlu dishalatkan dalil mereka adalah bahwasanya bayi ini mati, dia tidak hidup (belum hidup) maka tidak perlu dimandikan tidak perlu dishalatkan.
Dan dalilnya adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiyallāhu ‘anhu yang sudah kita sebutkan tadi namun dilemahkan oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullāhu ta’ālā.
Sedangkan pendapat yang kedua adalah pendapat yang mengatakan bahwasanya bayi yang lahir meninggal tapi umurnya sudah lebih dari 4 bulan maka dia tetap dishalatkan. Dalilnya mereka mengatakan bahwasanya bayi ini meskipun lahir meninggal tapi dia sudah pernah hidup, dia sudah memiliki ruh.
Kemudian ditambah keumuman hadits Al-Mughirah bin Syu’bah dari Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam yaitu sabda Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam,
السِّقْطُ يُصلَّى عَلَيْهِ
Bayi yang gugur itu dishalatkan. Ini memiliki makna umum.
Adapun kalau bayi itu lahir dalam keadaan hidup, dia menangis atau memiliki tanda-tanda hidup yang lain maka yang seperti ini harus dishalatkan dengan kesepakatan madzhab yang empat semuanya.
Barangkali ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini semoga bermanfaat. Wallāhu ta’ālā a’lam.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلموآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment