F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-125 Pengecualian Harus Tanpa Jeda

Audio ke-125 Pengecualian Harus Tanpa Jeda
🗓 KAMIS | 10 Ramadhan 1445H | 21 Maret 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-125
https://drive.google.com/file/d/1Jb4Zdj3IPjlfCZWwBRDlcwEJuVl4OM6f/view?usp=sharing

📖 Pengecualian Harus Tanpa Jeda


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله أمام بعد

Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Masih bersama tema الإقرار yaitu pengakuan. Al Muallif rahimahullahu taala mengatakan,

ويصح الاستثناء في الإقرار إذا وصله به

Seorang yang membuat suatu pengakuan dan pengakuannya itu bersifat umum memiliki bagian-bagian yang banyak, maka ia boleh membuat pengecualian atau mempersempit ruang pengakuannya, cakupan dari pengakuan dia, selama pengecualian tersebut, penyempitan ruang dari pengakuan itu dilakukan secara berkesinambungan.

Alias antara pengakuan dengan pengecualian atau pengkhususan atau penyempitan tersebut, tidak berjeda, tidak berselang. Sebagai contoh misalnya, ketika seseorang mengakui bahwa ia telah menjual 1 hektar lahan pertanian kepada si B.

A mengakui bahwa ia telah menjual 1 hektar tanah, 1 hektar ladang kepada si B dengan senilai 10 Milyar, misalnya. Kemudian sebelum dia berhenti dari pengakuan ini dalam satu konteks pembicaraan yang berkesinambungan dia mengatakan, "Saya telah menjual 1 hektar atau saya telah menjual tanah sepetak tanah kepada si B seluas 1 hektar kurang 100 meter persegi", (misalnya).

Ketika dia mengatakan, "Satu hektar kurang", ini yang disebut dengan الاستثناء pengecualian atau penyempitan. Menyempitkan ruang penerapan ikrar (pengakuan) yang dia buat tersebut.

Pengecualian semacam ini dapat diterima sehingga ia tidak berkewajiban untuk menyerahkan 1 hektar tanah namun yang dia serahkan 1 hektar kurang 100 meter persegi atau 9900 meter persegi tanah pertanian atau ladang atau yang lainnya kepada si B.

Adapun ketika dia membuat pengakuan itu di waktu yang berbeda dengan pengecualian yang dia maksudkan.

Sebagai contoh:
Di pagi hari A mengakui bahwa ia telah menjual sebidang tanah seluas 1 hektar kepada si B. Di sore hari dia meralat dengan mengatakan, "saya telah menjual sebidang tanah kepada si B seluas 1 hektar kurang 100 meter persegi “ atau dengan mengatakan “kurang”, tiba-tiba mengatakan, "kurang 100 meter persegi”. Dia tidak rujuk dari pengakuannya tapi dia menyempitkan dari 1 hektar menjadi 1 hektar kurang 100 meter persegi.

Pengecualian yang telah berjeda waktu semacam ini tidak diterima dalam tinjauan syariat. Kenapa?

1. Karena pertama kalau itu diterima akan menimbulkan kekacauan, sehingga orang tidak lagi bisa percaya dengan pengakuan siapapun karena bisa jadi di kemudian hari di waktu yang berbeda dia akan membuat pengecualiannya.

Sehingga akhirnya الإقرار (pengakuan) yang semula itu menjadi alat bukti yang paling valid, paling kuat, menjadi tidak dapat diterima karena kapanpun masih ada potensi revisi ataupun pengecualian dari apa yang telah diakui.

2. Dasar kedua apa?
Sebagian ulama berdalil dalam masalah ini termasuk para ulama ahli fiqih dalam madzhab syafi'i mengatakan, salah satu dalil yang menunjukkan bahwa,

الاستثناء المتصل

Pengecualian yang telah berjeda waktu, tidak dapat diterima adalah satu kisah di mana Nabi Sulaiman Alaihissalam pada suatu hari bersumpah,

لأَطُوفَنَّ اللَّيْلَةَ عَلَى مِائَةِ امْرَأَةٍ ـ أَوْ تِسْعٍ وَتِسْعِينَ ـ كُلُّهُنَّ يَأْتِي بِفَارِسٍ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقَالَ لَهُ صَاحِبُهُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ. فَلَمْ يَقُلْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ. فَلَمْ يَحْمِلْ مِنْهُنَّ إِلاَّ امْرَأَةٌ وَاحِدَةٌ، جَاءَتْ بِشِقِّ رَجُلٍ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَوْ قَالَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، لَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فُرْسَانًا أَجْمَعُونَ

“Pada malam ini aku akan menggauli 100 wanita, 100 istriku, 100 budakku, masing-masing dari keseratus wanita, 100 istri, atau budak yang saya gauli itu, dia akan melahirkan seorang lelaki yang kelak akan berjuang berjihad di jalan Allah”.[HR Bukhari: 2819]
Ketika nabi Sulaiman telah selesai mengucapkan sumpahnya ini yang mengandung arti doa. Diriwayatkan bahwa malaikat mengingatkan Sulaiman untuk mengatakan إِنْ شَاءَ اللَّهُ, yang di dalam literasi ilmu bahasa Arab kata-kata إِنْ شَاءَ اللَّهُ itu termasuk الأستثناء termasuk pengecualian, alias Nabi Sulaiman akan melakukan dan mewujudkan cita-citanya ini kecuali bila Allah menghendaki hal yang lain.

Namun ternyata Nabi Sulaiman yang telah diingatkan oleh malaikat untuk mengucapkan إِنْ شَاءَ اللَّهُ, Nabi Sulaiman tidak ingat, tidak mengucapkan, tidak melakukan ucapan tersebut karena Nabi Sulaiman optimis, bahwa dia berniat baik dan sumpah dengan menyebut nama Allah, serta selama ini Nabi Sulaiman senantiasa mendapatkan jawaban, alias doa-doanya dikabulkan.

Terlebih doa-doa yang mengandung kebaikan, ingin berjihad di jalan Allah, maka Subhanallah dari keseratus wanita yang dia gauli tersebut, 99 nya dalam kondisi tidak hamil, tidak melahirkan apapun, hanya ada satu wanita dari keseratus istri beliau yang kemudian hamil dan ternyata pada saatnya ia tidak melahirkan satu orang manusia utuh.

Dia hanya melahirkan separuh manusia, alias cacat dan meninggal dunia. Lahir pun cacat, separuh manusia, tidak bisa bertahan hidup. Dengan demikian sumpah serta doa Nabi Sulaiman tersebut tidak menjadi kenyataan.

Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah menceritakan kisah ini beliau mengatakan, “Andai Nabi Sulaiman mengucapkan in syā Allāh (إِنْ شَاءَ اللَّهُ), niscaya keseratus wanita yang dia gauli itu akan melahirkan seorang anak laki-laki yang kelak, ke 100-nya akan menjadi Mujahid, pejuang di jalan Allāh Subhānahu wa Ta’āla”.

Para ulama termasuk para ulama Syafi'i mengatakan, bahwa pada kisah ini Nabi Sulaiman mengucapkan sumpah sekaligus doa dan ternyata ketika diingatkan Nabi Sulaiman, karena satu atau dua hal tidak mengucapkan إِنْ شَاءَ اللَّهُ. Andai ucapan إِنْ شَاءَ اللَّهُ itu dapat diterima, diakomodir dan dianggap setelah adanya jeda waktu yang panjang, niscaya Nabi Sulaiman akan melakukannya.

Karena beliau pasti tahu beliau sadar bahwa, bersumpah mengabarkan satu hal yang akan terjadi di masa datang, menginginkan sesuatu yang akan dia lakukan di kemudian hari, seharusnya itu diiringi dengan إِنْ شَاءَ اللَّهُ. Nabi Sulaiman pasti mengetahui hal itu. Itu wajib hukumnya.

Namun karena suatu hal akhirnya beliau lupa atau mungkin tidak begitu konsentrasi ketika diingatkan, akhirnya dia tidak mengucapkan إِنْ شَاءَ اللَّهُ dan ternyata Allah buktikan, bahwa dia adalah tetap manusia yang tidak bisa mewujudkan semua yang dia inginkan.

Andai ucapan الاستثناء yang mengatakan إِنْ شَاءَ اللَّهُ itu dapat diterima walau telah berjeda hari, pasti Nabi Sulaiman mengucapkannya. Tapi pada faktanya Nabi Sulaiman Alaihissalam tidak mengucapkan hal tersebut, sebagai bukti bahwa ucapan إِنْ شَاءَ اللَّهُ atau الاستثناء pengecualian yang telah berjeda itu tidak ada efeknya, tidak ada manfaatnya.

3. Karena pembicaraan semula itu telah tuntas dan telah berjeda waktu dan secara tradisi ini alasan ketiga, secara tradisi الاستثناء pengecualian itu hanya diterima oleh masyarakat bila pengecualian itu bersambung, berkelanjutan, berkesinambungan dengan ucapan yang pertama.

Makanya di sini al-mualif yaitu Al Imam Abu Syuja' mengatakan,

ويصح الاستثناء في الإقرارإذا وصله به

Membuat pengeculian atau menyempitkan ruang pengakuan dapat diterima bila pengecualian tersebut disampaikan dalam pembicaraan yang berkesinambungan atau tanpa jeda, tanpa dipisahkan oleh jeda waktu atau aktivitas lain yang tidak ada korelasinya dengan pengakuan tersebut.

Dan wallahu ta'ala a’lam, pendapat yang diajarkan dalam madzhab Syafi'i ini adalah pendapat yang kuat tentunya, pendapat yang sejalan dengan dalil yang telah diutarakan di atas, kalau kita tidak mengakomodir persyaratan ini, niscaya pengakuan apapun oleh siapapun tidak akan pernah bisa dieksekusi, tidak akan pernah bisa ditindaklanjuti.

Karena kapanpun ada kemungkinan pihak yang membuat pengakuan itu merevisi, mempersempit, atau memperkecualikan sesuatu hal dari pengakuannya. Sehingga pendapat ini akan menjadikan الإقرار pengakuan itu menjadi alat bukti yang tidak dapat diamalkan, karena akan terus tergantung, terhambat oleh adanya kemungkinan al-muqir yang membuat pengakuan itu meralat, merevisi atau menyempitkan ruang pengakuannya.

Untuk menjaga stabilitas dan kepastian hak, maka para ulama, menurut pendapat yang rajih, mensyaratkan bahwa الاستثناء itu harus المتصل.

Al-Istitsna’ (الاستثناء) pengecualian, penyempitan itu harus dengan mustatsna minhu (dengan ucapan pertama). Kalau terjeda maka apapun yang dilakukan, apapun yang diucapkan setelah itu tidak diakomodir, tidak dapat menjadi pelengkap dari pengakuan yang telah diutarakan.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, semoga Allah Subhanahu wa ta’ala menambahkan taufik hidayah kepada anda dan kepada kita semuanya

Kurang dan lebihnya saya mohon maaf

بالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.