F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-122 Syarat-Syarat Al-Ikrar Atau Pengakuan - Bagian Ketiga

Audio ke-122 Syarat-Syarat Al-Ikrar Atau Pengakuan - Bagian Ketiga
🗓 SENIN | 7 Ramadhan 1445H | 18 Maret 2024M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-122
https://drive.google.com/file/d/1JMB4m8F43rBPC6OJ9s46ZhVm-nI3hu4b/view?usp=sharing

📖 Syarat-Syarat Al-Ikrar Atau Pengakuan - Bagian Ketiga

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله أمام بعد

Anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Masih bersama tema ikrar. Al-Mualif Rahimahullahu Ta'ala mengatakan,

وإن كان بمال اعتبر فيه شرط رابع وهو الرشد

Kalau pengakuan itu berkaitan dengan hukum perdata yang ada kaitannya dengan dagang, pembayaran hutang piutang, atau yang lainnya, maka ada syarat keempat yaitu,

4. Yang membuat pengakuan itu berstatus sebagai orang yang rasyid (memiliki kecakapan), bukan sekedar baligh, bukan sekedar dewasa, tetapi dia betul-betul cakap (mampu untuk menjaga, menyimpan dan membelanjakan hartanya).


Adapun pengakuan yang berkaitan dengan pidana atau yang serupa maka syaratnya ada 3, yaitu:
  • Dia berakal sehat.
  • Telah berumur baligh.
  • Dan dia tidak dalam kondisi dipaksa.

Kalau pengakuan itu berkaitan dengan hukum perdata yang berkaitan dengan harta benda, hutang-piutang, jual beli, penitipan, dan yang serupa, maka ada syarat keempat, yaitu yang membuat pengakuan itu berstatus sebagai seorang yang rasyid (memiliki kecakapan untuk membelanjakan harta).

Sehingga ketika dia menjual tidak tertipu, ketika dia membeli juga bisa membeli dengan harga yang layak, memilih barang yang bagus, ketika dia punya harta maka dia bisa menyimpannya dengan baik tidak dihambur-hamburkan. Itu yang disebut dengan rasyid. Bukan sekedar dewasa.

Betapa banyak orang yang sudah mencapai umur baligh, tetapi dia belum bisa belanja, belum bisa berdagang, belum bisa menjaga hartanya, masih mudah tertipu. Ini dikatakan syafih (belum cakap untuk membelanjakan hartanya).

Karena anak-anak yang masih kecil atau orang yang mengalami gangguan mental, mereka itu dalam aturan syari'at disebut المحجور عليه (mahjur 'alayhi). Kewenangannya untuk membelanjakan harta itu dicabut. Mereka dianggap tidak memiliki kewenangan untuk membelanjakan hartanya.

Agar harta tersebut tidak dihambur-hamburkan atau tidak dimusnahkan atau dirusakkan. Sehingga kewenangannya untuk membelanjakan hartanya dicabut dan dia akan dipercayakan akan ditunjuk satu orang atau lebih, agar dia yang menjadi wali statusnya atau menjadi orang yang bertanggung jawab atas urusan orang yang syafih (orang yang pandir) ataupun orang yang belum memiliki kecakapan hukum untuk membelanjakan hartanya.

Kenapa? Karena pengakuan yang berlaku dalam hukum perdata itu akan berdampak, berkonsekuensi adanya pemindahan hak kepemilikan, atau serah terima barang, atau pengakuan yang berakibat menyebabkan sebagian kekayaannya itu berkurang. Sehingga pengakuan ini diabaikan. Karena memang dia tidak memiliki kewenangan.

Sebagian ulama memberikan satu perincian yang cukup bagus dan logic. Mereka mengatakan,
“Pengakuan orang yang Syafih yang mentalnya itu tidak sempurna itu diabaikan kalau dalam konteks atau pengakuan itu berakibat sebagian hartanya dia harus serahkan atau berpotensi menimbulkan kerugian.”
Tetapi ketika pengakuan itu berakibat dia mendapatkan satu hak, dia mendapatkan tambahan harta. Misalnya, mengakui bahwa dirinya adalah anak keturunan si A yang baru saja meninggal dunia, "Yaa...saya anaknya”. Maka pengakuan ini menguntungkan. Karena akan menjadikan dia mendapatkan harta warisan.

Tapi ketika dia membuat pengakuan, “ya saya memiliki hutang yang belum saya bayar.” Maka pengakuan ini berdampak menimbulkan kerugian. Maka pengakuan yang berdampak, menimbulkan kerugian ini diabaikan.

Tetapi pengakuan yang dapat mendatangkan keuntungan, mendatangkan harta kekayaan baginya maka ini diterima. Dan ini, Wallahu Ta'ala A'lam. Perincian atau pendapat ini cukup kuat dan sejalan dengan tujuan adanya hukum Al-Hajru (Pembatasan Kewenangan) orang syafih dalam melakukan atau membelanjakan harta kekayaannya.

Sehingga dua hal yang tidak perlu dipertentangkan bahkan bisa disinergikan dan dijalankan secara proporsional, dikombinasikan secara proporsional sehingga dua-duanya saling melengkapi, bukan saling bertentangan.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini. Kurang dan lebihnya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.