F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Audio ke-67 Al Hajru (Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta) Ketentuan Untuk Orang Yang Pailit

Audio ke-67 Al Hajru (Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta) Ketentuan Untuk Orang Yang Pailit
🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 RABU | 25 Rabi’ul Awwal 1445 H | 11 Oktober 2023 M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-67

📖 Al Hajru (Pembatasan Kewenangan Penggunaan Harta) Ketentuan Untuk Orang Yang Pailit


سم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه أمام بعد

Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Al-Imamu Al-Muallif Al-Imam Abu Syuja rahimahullah ta' ala dalam kitab Matnul Ghayah wat Taqrib (متن الغاية والتقريب). Beliau berkata,

وتصرف المفلس يصحُّ في ذمتهِ دونٙ أعيان مالهِ

Adapun tindakan hukum yang dilakukan oleh orang yang pailit. Kita telah sampaikan sebelumnya bahwa dalam literasi fiqih, orang yang pailit baik itu telah terbit ketetapan hakim (dipailitkan) secara peradilan, ataupun menurut sebagian ulama kalaupun belum digugat tetapi setelah terbukti secara meyakinkan asetnya lebih kecil dibanding nominal hutangnya.

Intinya, orang yang telah dianggap pailit secara syari'at baik dengan terbitnya keputusan hakim atau menurut sebagian ulama setelah terbukti bahwa hutangnya lebih besar dibanding aset (kekayaannya).

Sehingga sudah bisa dipastikan, sudah bisa diduga kuat bahwa dia tidak akan mampu melunasi hutangnya. Maka tindakan orang tersebut atas semua kekayaan yang dimiliki (atas aset yang dimiliki), mahjur, tidak sah.

Walaupun dia baligh, walaupun dia mukallaf, walaupun dia berakal sehat. Kewenangannya telah dicabut secara syari'at baik melalui keputusan hakim ataupun secara otomatis menurut sebagian ulama, yaitu setelah terbukti bahwa asetnya lebih kecil dibanding nominal hutangnya.

Maka kewenangan orang tersebut atas aset yang dimiliki dicabut, dibatasi secara syari'at. Kenapa? Untuk melindungi (memproteksi) hak-hak orang-orang yang telah menghutanginya atau yang disebut dengan kreditur. Untuk melindungi (memproteksi) hak-hak para kreditur agar mereka bisa mendapatkan kembali haknya atau dananya yang terhutang oleh orang pailit tersebut. Karena mereka mahjur.

Sebagaimana dulu yang terjadi pada sebagian sahabat Muadz bin Jabal dan juga terjadi pada Usayfi' di zaman Khalifah Umar Bin Khattab.

Dikisahkan bahwa Usayfi' itu seorang kaya raya, semula orang kaya dan orang yang sangat dermawan. Saking dermawannya seringkali dia ketika musim Haji tiba dia pergi ke Mekkah. Untuk apa? Menyiapkan dapur umum. Sehingga ketika jama'ah haji tiba di Mekkah, tiba di Arafah, tiba di Mina, dapur umum yang telah dia siapkan itu telah beroperasi.

Sehingga siapapun yang butuh makan, butuh minum, bisa datang ke dapur umum ini secara cuma-cuma. Sehingga Usayfi' mengeluarkan biaya yang sangat besar. Untuk apa? Untuk bersedekah kepada jama'ah haji.

Namun, Usayfi' salah perhitungan atau kurang perhitungan, sehingga dia berhutang, ia terlilit hutang yang sangat besar. Maka ketika pihak kreditur menuntut, Usayfi' tidak mampu membayar. Apa yang dilakukan? Tentu para kreditur terancam haknya.

Maka ketika mengetahui hal ini sahabat Umar Bin Khattab yang kala itu menjadi khalifah langsung menerbitkan instruksi perintah agar seluruh aset Usayfi' disita, untuk kemudian dilelang dan hasilnya digunakan untuk melunasi seluruh tagihan-tagihan yang harus dibayar.

Kemudian Umar bin Khattab ketika menyita aset Usayfi' beliau berkata,

ألا إن أسيفع جهينة رضى من دينه وأمانته بأن يقال: سبق الحاج فادان معرضا , فأصبح وقد دين به, فمن كان له عليه دين فليحضر غدا

Umar bin Khattab membuat suatu pengumuman kepada seluruh masyarakat.
"Ketahuilah bahwa Usayfi' merasa puas bila dianggap berhasil mendahului ataupun melayani jama'ah haji tanpa hitungan yang baik. Sehingga dia pailit. Karena itu besok kita akan melelang seluruh kekayaannya. Siapapun yang punya hak, siapapun yang punya piutang atas Usayfi' silahkan datang untuk kita lunasi hutangnya”.
Orang yang pailit ini kewenangannya atas aset yang dia miliki dicabut, dibatasi oleh peradilan oleh negara untuk kemudian asetnya dilelang untuk digunakan melunasi hutangnya.

Adapun tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang yang pailit, yang dilakukan secara non tunai, sehingga dia akan berkewajiban membayar nanti setelah masa pailit berlalu atau hukum pailit dicabut. Sehingga dia melakukan suatu tindakan secara non tunai. Misalnya membeli secara non tunai, menyewa secara non tunai dan serupa.

Maka tindakan yang dilakukan secara non tunai ini, bila itu timing pelunasannya (pembayarannya) jatuh temponya itu setelah seluruh tagihan yang harus dibayar oleh orang pailit itu terlunasi maka itu dianggap sah. Karena tindakan ini tidak bertentangan dengan tujuan diterapkannya hukum pailit pada orang tersebut. Sehingga tidak ada alasan untuk membatalkan tindakannya.

Kenapa? Karena attaflis (hukum pailit) itu mu’alal, diterapkan karena ada suatu tujuan (ada suatu maksud) yaitu melindungi hak-hak orang yang menghutangkan atau yang sering disebut dengan kreditur. Melindungi hak-hak para kreditur agar mereka bisa mendapatkan kembali haknya yang terhutang atas orang pailit tersebut.

Dengan demikian tidak terjadi pertentangan antara transaksi orang yang pailit dengan pembayaran non tunai yang jatuh temponya itu setelah selesai urusan seluruh kreditur dengan hukum pailit.

Karena itu tidak ada alasan untuk mengatakan, "tindakan hukum, perbuatan transaksi yang dilakukan orang yang pailit dengan skema pembayaran non tunai yang jatuh temponya itu setelah seluruh hutang, seluruh hutang-hutangnya seluruh kewajiban itu terbayar tidak ada yang bertentangan."

Karenanya di sini disampaikan bila orang yang pailit itu melakukan transaksi secara non tunai dan jatuh temponya setelah seluruh hutangnya bisa dilunasi maka itu sah secara hukum asalnya.

Kenapa? Karena perlu diketahui orang pailit itu yang pertama dia orang yang sudah baligh, dia berakal sehat, ketiga dia juga memiliki kewenangan untuk melakukan suatu tindakan karena dia cakap hukum. Sehingga karena hukum pailit itu ditetapkan karena satu tujuan, bila tujuannya itu telah terwujud berarti kembali kepada hukum asal sebagai implementasi dari kaidah fiqhiyah yang mengatakan:

الأمر إذا ضاق اذ اتسع وإذا اتسع ضاق
Semua urusan itu ketika menyempit, terjadi masyaqoh, terjadi kondisi darurat, maka Allah akan melapangkan hukumnya.
Memberikan keringanan (dispensasi). Tetapi ketika kita sedang dalam kondisi lapang, maka biasanya atau sering kali syari'at itu akan kembali ketat seperti sediakala.

Sebagaimana dalam ilmu Ushul Fiqih yang juga telah digariskan bahwa:

"الحكم يدور مع علته وجودًا وعدمًا"
Suatu hukum itu bila ditetapkan karena adanya tujuan, dalam rangka mewujudkan suatu tujuan maka bila tujuan ini telah tercapai maka hukumnya akan akan menjadi gugur.
Seperti contoh misalnya, seorang yang musafir diizinkan untuk mengqashar, menjamak dan tidak berpuasa, tujuannya apa? Untuk memberikan keringanan. Sehingga ketika musafir ini telah kembali ke kampung halamannya, maka tidak ada lagi alasan untuk qashar, untuk jamak, atau rukhsoh-rukhsoh yang lainnya.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala menambahkan taufik hidayah kepada Anda. Kurang dan lebihnya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.