🌐 WAG Dirosah Islamiyah Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
🗓 KAMIS| 3 Dzulhijjah 1444 H | 22 Juni 2023 M
🎙 Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
🔈 Audio ke-161
📖 'Iddah Wanita (Bag. 1)
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، وصلاة وسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاهاما بعد
Kaum muslimin dan muslimat peserta grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh subhānahu wa ta’ālā.
Di antara permasalahan yang harus kita ketahui, karena ini merupakan hukum-hukum yang sangat prinsipil, sangat mendasar dalam hukum keluarga dalam Islam. Bahwa wanita yang dicerai atau ditinggal mati oleh suami, mereka harus menjalani masa 'Iddah yaitu satu masa yang harus mereka jalani.
Pada masa tersebut, wanita menunjukkan (membuktikan), bahwa ia betul-betul kehilangan, ia betul-betul menunjukkan indikasi-indikasi kesetiaan kepada suami yang meninggal dunia atau menceraikannya. Ada i’tikad! Ada indikasi, bahwa wanita tersebut bukanlah wanita murahan yang memiliki mentalitas kutu loncat, tetapi dia wanita yang syarifah (wanita yang mulia). Dia mempunyai i’tikad untuk terus berjuang, berkorban demi keutuhan rumah tangga.
Oleh karena itu, walaupun telah terjadi misalnya perceraian. Tetapi tidak semudah itu wanita muslimah berpindah hati, tidak secepat itu wanita itu kemudian menjalin hubungan dengan lelaki lain. Komunikasi boleh jadi menemui kebuntuan, hubungan bisa jadi gagal mereka rajut dengan baik, tetapi tidak boleh ada kata pesimis.
Bisa jadi sakitnya perceraian bagaikan sakitnya cambuk. Cambuk yang mengenai jasad, yang menjadikan orang tersadar dari kesalahannya. Perceraian bisa jadi merupakan cambuk psikologi bagi suami dan istri untuk mereka berpikir sejenak, sebelum akhirnya betul-betul hubungan rumah tangga mereka itu hancur berantakan.
Islam memberikan kesempatan kepada mereka untuk kesempatan terakhir, untuk kali terakhir memikirkan dengan sungguh-sungguh tentang masa depan rumah tangga mereka. Karena ketika terjadi perceraian, suami terlanjur mengatakan, "Saya ceraikan!". Maka tentunya perceraian ini akan menimbulkan goncangan dalam rumah tangga, bukan hanya pada mereka berdua tetapi pada keluarga besar keduanya. Keluarga besar istri dan keluarga besar suami.
Karena itu idealnya perceraian itu tidak dirahasiakan, perceraian itu disampaikan, terutama kepada keluarga besar masing-masing. Karena sebagaimana mereka dahulu, ketika hendak merajut hubungan pernikahan, merajut hubungan asmara (kasih cinta yang syar'i) mereka melibatkan keluarga besarnya (walinya).
Maka sudah sepatutnya bila hari ini, mereka ternyata menemui jalan buntu untuk bisa membangun rumah tangga yang harmonis, maka barangkali sentuhan lembut orang tua, pengalaman, kedewasaan sikap dan juga support kedua keluarga besar mampu menyelamatkan rumah tangga tersebut.
Karena itu Islam memberikan kesempatan bagi keduanya untuk kali terakhir memikirkan matang-matang tentang kelangsungan dan kelanjutan pernikahan mereka. Dan kesempatan terakhir itu disebut dengan masa 'Iddah, yaitu sejak suami mengucapkan kata-kata perceraian hingga akhirnya hubungan pernikahan itu betul-betul berakhir (final) tidak bisa lagi kembali.
Masa penantian (masa untuk memikirkan ulang) ini disebut dengan masa 'Iddah. Masa 'Iddah juga berlaku bagi wanita yang ditinggal mati oleh suami. Sekali lagi! Islam agama yang mengajarkan akhlak yang mulia dan di antara akhlak yang terpuji dan mulia adalah kesetiaan.
Tentu tidak sejalan dengan moral, tidak sejalan dengan akhlak yang mulia, bila seorang wanita ditinggal mati oleh suami apalagi kematian tersebut terjadi di saat suami sedang berjuang untuk keluarganya, mencari nafkah, mencukupi, membela keluarga.
Sangat hina bila kemudian wanita tersebut dalam waktu yang singkat, suami baru saja menghembuskan nafas terakhir. Tiba-tiba wanita tersebut telah berada dalam pelukan lelaki lain. Karenanya Islam mengajarkan masa 'Iddah, dan bahkan masa 'Iddah wanita yang ditinggal mati suami itu cukup panjang (4 bulan 10 hari).
Sebagai pembuktian bahwa istri bukan tipikal kutu loncat, istri tidaklah menari di atas kematian suami, tetapi sebaliknya istri betul-betul menunjukkan empati, rasa duka. Menunjukkan kehilangan, merasa rugi, hancur masa depannya yang telah dia bangun dengan cinta dan kasih sayang bersama suami.
Sehingga selama 4 bulan simbol-simbol kesedihan itu dia tunjukkan. Tidak menyentuh wewangian, tidak mengenakan perhiasan, dia menutup rapat pintunya dari semua lelaki, karena dia masih fokus pada mengobati dan menata hatinya. Karena hatinya yang harus terpatahkan, hatinya yang telah terlanjur terpaut cinta dengan sang suami harus terpatahkan dengan kematian yang memisahkan antara mereka berdua.
Masa penantian ini dalam Islam disebut masa 'Iddah. Banyak hikmah yang bisa kita petik dari disyari'atkannya 'Iddah, selain bukti kesetiaan dan membuka kesempatan untuk kedua belah pihak (suami dan istri) memikirkan ulang, merajut kembali, menata kembali, mengendalikan emosi, menyejukkan amarah yang mungkin berkecamuk di antara mereka.
Sehingga bisa jadi ketika amarah itu telah surut, suami yang semula bersungut-sungut, suami yang semula begitu keukeuh untuk mengakhiri pernikahan. Bisa jadi ketika melihat anak yang menangis, bisa jadi ketika melihat masa depan anak yang mulai terancam, bisa jadi dinginnya malam yang menyelimuti suami, sunyinya malam yang menghantui sang istri. Menjadikan mereka merendah, menjadikan mereka mengalah, menjadikan mereka meninggalkan ego pribadinya.
Demi apa? Demi keutuhan rumah tangga mereka, demi keutuhan masa depan anak-anak mereka.
Di antara hikmah yang lain, dengan disyari'atkannya 'Iddah adalah untuk memastikan bahwa sang istri tidak sedang hamil, ketika perceraian dijatuhkan oleh sang suami, ada kemungkinan istri sedang hamil. Bisa jadi perceraian itu dijatuhkan setelah suami menggauli istrinya dalam waktu yang tidak selang lama.
Maka ada kemungkinan sang istri hamil dari hubungan tersebut, kalau sang istri buru-buru menikah dengan lelaki lain dan kemudian karena pernikahan telah terjalin antara wanita itu dengan lelaki lain, sehingga terjadi hubungan di antara mereka. Maka sangat dimungkinkan terjadinya percampuran nasab, tersamarkannya nasab sebagian orang yaitu anak yang ada di dalam kandungan sang wanita tersebut.
Untuk memastikan tidak terjadinya pencampuran nasab atau kesamaran nasab, maka Islam menetapkan bahwa wanita yang dicerai atau ditinggal mati sang suami tidak bisa spontanitas, tidak bisa sesegera yang dia harapkan atau diinginkan oleh sebagian orang untuk menjalin hubungan asmara dan kemudian menikah dengan laki-laki lain, sampai betul-betul dipastikan bahwa rahim mereka betul-betul dalam kondisi kosong dari janin, sehingga tidak terjadi percampuran nasab.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, semoga menambah hasanah keilmuan kita.
آخر الكلام،
وسبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك،و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Post a Comment