Materi 64 – Hamba yang Tawadhu’ Akan Diangkat Derajatnya Oleh Allah ﷻ
🌍 Kelas UFA
🎙 Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه لله تعالى
📗 Silsilah Amalan Hati dan Penyakit Hati
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
Ikhwan dan akhwat, kita masih membahas hadits tentang tawadhu’, kali ini suatu hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam musnadnya dengan sanad yang shahih.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لَا أَعْلَمُهُ إِلَّا رَفَعَهُ قَالَ يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
Dari Ibnu ‘Umar, dari ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu, -‘Umar memarfu’kan hadits ini kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- Rasulullah bersabda, Allah berfirman.
Ini adalah hadits Qudsi. Karena hadits Qudsi adalah hadits yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meriwayatkan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun bedanya dengan Al-Qur’an, yaitu:
Pertama, kalau Al-Qur’an tidak boleh diriwayatkan dengan makna, adapun hadits Qudsi boleh diriwayatkan dengan makna.
Kedua, lafadz Al-Qur’an يتعبّد به. Yaitu orang membaca Al-Qur’an setiap huruf ada pahalanya secara khusus, sebagaimana kata Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْف
“Aku tidak mengatakan alif lam mim satu huruf, tapi alif satu huruf, lam satu huruf, mim satu huruf.”
وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
“Dan kebaikan dilipatgandakan menjadi 10 kali.”
Jadi kalau kita baca “Alif lam mim” kita dapat pahala 30 kebaikan.
Berbeda dengan hadits Qudsi. Hadits Qudsi tidak beribadah dengan membaca lafadz-lafadznya. Ini beda antara hadits Qudsi dengan Al-Qur’an.
Kita kembali, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:
مَنْ تَوَاضَعَ لِي هَكَذَا
“Barangsiapa yang tawadhu’ karena Aku demikian.”
Maksudnya apa “demikian”?
وَجَعَلَ يَزِيدُ بَاطِنَ كَفِّهِ إِلَى الْأَرْضِ وَأَدْنَاهَا إِلَى الْأَرْضِ
Yazid bin Harun (gurunya Imam Ahmad) ketika meriwayatkan hadits ini, maka dia mengarahkan telapak tangannya ke arah bumi (artinya seseorang merendah), kemudian dia semakin turunkan lagi telapak tangannya sampai mendekati bumi.
Apa kata Allah:
رَفَعْتُهُ هَكَذَا
“Maka Aku akan angkat dia demikian.”
وَجَعَلَ بَاطِنَ كَفِّهِ إِلَى السَّمَاءِ وَرَفَعَهَا نَحْوَ السَّمَاءِ
“Kemudian Yazid bin Harun mengarahkan telapak tangannya ke arah langit, kemudian dia tinggikan lagi ke arah langit.” (Hadits ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih)
Maksud hadits ini, seseorang kalau dia tawadhu’ karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, merendahkan dirinya di hadapan sesama kaum mukminin, dan dia benar tawadhu’nya ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan ingin dipuji, bukan pencitraan, benar-benar tawadhu’ karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengharapkan ganjaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semakin dia tawadhu’ -makanya Yazid bin Harun menurunkan telapak tangannya semakin ke arah bumi), maka semakin diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Yazid bin Harun ketika mempraktekkan “diangkat” diarahkan telapak tangannya ke langit dan dia semakin tinggikan. Dan ini menjelaskan kepada kita agar tidak usah ragu-ragu untuk tawadhu’. Jika Anda ingin diangkat derajatnya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tawadhu’ karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan tawadhu’ harus dilatih. Mulai kita sengaja untuk berbicara dengan tidak meninggikan diri kita, mulai kita bergaul dengan orang-orang susah, tidak ada salahnya kita mengalah dengan memberi salam terlebih dahulu kepada orang lain, tidak ada salahnya kita lebih dahulu menyapa kawan-kawan lama kita, tidak ada salahnya kemudian kita misalnya melayani tamu kita, tidak ada salahnya kita yang telepon terlebih dahulu kerabat-kerabat kita meskipun kita lebih kaya dari mereka, meskipun kita mungkin lebih pintar dari mereka.
Nah, tawadhu’ kalau tidak dilatih akan susah. Benar sikap tawadhu’ adalah ekspresi dari hati yang merendah, tapi perlu dilatih. Dan semakin orang tawadhu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka akan semakin ditinggikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun dengan syarat مَنْ تَوَاضَعَ لِي (harus tawadhu’ karena Allah Subhanahu wa Ta’ala).
Demikian, semoga Allah menjadikan kita hamba-hambaNya yang tawadhu’ karenaNya, bukan karena pencitraan.
Post a Comment