Materi 27 – Sifat Ujub
🌍 Kelas UFA
🎙 Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه لله تعالى
📗 Silsilah Amalan Hati dan Penyakit Hati
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
Ikhwan dan akhwat yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, mulai kajian kali ini kita akan membahas tentang penyakit hati yang lain yang tidak kalah berbahaya dari penyakit riya‘, itu penyakit ‘ujub.
‘ujub dan riya’ sama-sama lawan daripada keikhlasan. Kalau orang riya’ atau orang ‘ujub, berarti dia tidak ikhlas. Kemudian ‘ujub dia riya’ sama-sama menggugurkan pahala. ‘Ujub dan riya’ sama-sama merupakan syirik kecil. ‘Ujub dan riya’ sama-sama menyebabkan masuk neraka jahannam.
Oleh karenanya sebagaimana kita berusaha lari daripada riya’, kita juga harus lari daripada ‘ujub. Karena sebagian orang bisa selamat daripada riya’, tapi dia terjatuh pada ‘ujub. Dia bangga, merasa memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain misalnya, dan yang lain halnya.
Sebagian orang selamat daripada ‘ujub tapi dia terjerumus dalam riya’. Seyogyanya kita berusaha terhindar daripada kedua-duanya.
Makna ‘ujub
Secara bahasa, apa yang dimaksud dengan ‘ujub? ‘ujub kalau kita kembali kepada kamus-kamus bahasa Arab, dia hampir-hampir maknanya mirip dengan الكبر (kesombongan), ini secara bahasa. Yaitu yang menunjukkan suatu ketinggian, merasa tertinggi dalam dirinya.
Adapun secara istilah, maka dikatakan oleh Al-Jurjani:
العُجْب: هو عبارة عن تصور استحقاق الشخص رتبة لا يكون مستحقًّا لها
“‘ujub adalah seseorang merasa berhak untuk mendapatkan suatu kedudukan padahal dia tidak berhak mendapatkan kedudukan tersebut.”
Dia merasa bahwa dia harusnya tinggi, padahal sebenarnya dia tidak tinggi.
Al-Ghazali berkata:
العُجْب: هو استعظام النعمة، والركون إليها، مع نسيان إضافتها إلى المنعم
“‘ujub yaitu menganggap hebat nikmat yang ada pada dirinya dan merasa tenang dengan nikmat tersebut sementara dia lupa untuk menyadarkannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan dia karunia atau kenikmatan tersebut.”
Ibnu Taimiyah Rahimahullah menjelaskan makna ‘ujub. ‘Ujub yaitu -intinya adalah- engkau merasa bahwasanya keberhasilanmu adalah sebab dirimu, yaitu bukan hanya semata-mata Allah yang membuat engkau berhasil, tapi karena kelebihan yang kau miliki juga membantumu untuk membuatmu berhasil. Dari sinilah kemudian Ibnu Taimiyah Rahimahullahu Ta’ala menyatakan bahwasanya:
الرياء من باب الإشراك بالخلق، والعُجْب من باب الإشراك بالنفس
Riya’ yaitu kita mensekutukan Allah dengan selain Allah. Yaitu kita mengharap dipuji oleh Allah, mengharap pahala dari Allah, sekaligus kita mengharap pujian dari manusia. Di situ kita meletakkan sumber pengharapan kita kepada dua (kepada Allah dan kepada makhluk). Makanya kita menampakkan amalan shalih kita agar dipuji oleh orang. Di sinilah kita melakukan syirik (mensekutukan Allah dengan manusia). Entah dengan pejabat, entah dengan siapa, yang kita harapkan pujiannya, kita berharap pengakuannya.
Jadi riya’ adalah mensekutukan Allah dengan orang lain yang kita harapkan pujiannya.
Adapun ‘ujub adalah mensekutukan Allah dengan diri kita. Seakan-akan keberhasilan yang kita peroleh ini, misalnya seseorang kaya raya kemudian mengatakan: “Saya kaya karena saya banyak pengalaman, karena saya cerdas,” ketika itu seakan-akan dia meletakkan posisi dia kerjasama dengan Allah yang membuat dia berhasil. Di sinilah nilai ‘ujub, di sinilah kita katakan bahwa ‘ujub adalah syirik kecil. Hal ini karena dia menyandingkan dirinya sendiri dengan kelebihan yang dia miliki, dengan kecerdasan, dengan pengalaman, sehingga membuat dia berhasil. Padahal kita tahu -ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala- bahwasanya keberhasilan kita murni dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Benar kita berusaha, berusaha ada sebab, tapi itu bukan menentukan akibat. Yang menentukan akibat keberhasilan hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagai bukti saya katakan bahwasanya betapa banyak orang yang lebih cerdas daripada kita namun hidupnya tidak senikmat kita. Betapa banyak orang yang punya pengalaman luar biasa bahkan bekerja di berbagai macam perusahaan, tapi dia tidak merasakan kenikmatan seperti kita yang mungkin kita tidak lebih cerdas daripada dia dan kita tidak lebih banyak pengalaman dari dia.
Dari sini kita sadar bahwasanya benar kecerdasan, pengalaman, ini merupakan sebab keberhasilan, tapi dia tidak mesti berbanding lurus. Yang menentukan keberhasilan hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan ‘ujub juga berkaitan dengan masalah agama. Jangan sampai tatkala kita berhasil dalam berdakwah kemudian kita menyadarkan bahwa karena kita yang pintar, karena kita yang pandai mengkoordinir, tidak. Yang membuat dakwah berhasil, yang membuka hati manusia untuk bisa menerima dakwah adalah Allah semata.
Jadi ‘ujub itu bisa dalam masalah dunia, bisa dalam perkara agama.
Oleh karenanya terkadang kita dengar perkataan sebagian orang: “Sayalah yang dulu yang pertama kali membabat alang atau membuka jalan untuk dakwah. Kalau bukan karena saya tentunya…” ini perkataan-perkataan yang menunjukkan ‘ujub. Seakan-akan dia menggantungkan keberhasilan karena dia-nya. Di sini dia mensekutukan Allah dengan dirinya sendiri. Dan ini adalah ‘ujub secara istilah.
Oleh karenanya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu Ta’ala mengatakan:
فالمرائي لا يحقق قوله (إِيَّاكَ نَعْبُدُ) والمعجب لا يُحقِّق قوله: (وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ)
Orang yang riya’, dia tidak mewujudkan firman Allah “hanya kepada Engkaulah kami beribadah (tidak butuh pujian dari yang lain).” Adapun orang yang ‘ujub, dia tidak mewujudkan firman Allah “hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”. Yaitu kita menyadari bahwasanya segala keberhasilan kita dalam urusan dunia maupun dalam urusan agama, semuanya murni pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika kita merasa kita punya andil dalam keberhasilan tersebut, maka sesungguhnya kita tidak mewujudkan firman Allah وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan), ternyata kita merasa kita juga ikut andil dalam keberhasilan diri kita.
Wallahu a’lam, nanti akan kita lanjutkan lagi, ikhwan dan akhwat yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
Post a Comment