F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Hukum Menggabungkan Aqiqah dengan Qurban

Hukum Menggabungkan Aqiqah dengan Qurban

Menggabungkan Aqiqah dengan Qurban

Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Ada yang membolehkan dan menganggapnya sah sebagai aqiqah sekaligus qurban dan ada yang menganggap tidak bisa digabungkan.

Pendapat pertama

Berqurban tidak bisa digabungkan dengan aqiqah. Ini adalah pendapat Malikiyah, Syafi’iyah, dan salah satu pendapat Imam Ahmad rahimahullah.

Dalil pendapat ini antara lain, bahwa aqiqah dan qurban adalah dua ibadah yang berdiri sendiri, sehingga dalam pelaksanaannya tidak bisa digabungkan. Disamping itu, masing-masing memiliki sebab yang berbeda. Sehingga tidak bisa saling menggantikan.

Al-Haitami berkata dalam Tuhfah Al-Muhtaj Syarh Al-Minhaj (9/371):

وَظَاهِرُ كَلَامِ َالْأَصْحَابِ أَنَّهُ لَوْ نَوَى بِشَاةٍ الْأُضْحِيَّةَ وَالْعَقِيقَةَ لَمْ تَحْصُلْ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا ، وَهُوَ ظَاهِرٌ ; لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا سُنَّةٌ مَقْصُودَةٌ

“Lahiriah pendapat teman-teman kami (ulama Syafi’iyah) adalah: Seandainya seseorang berniat dengan satu ekor kambing untuk qurban dan sekaligus untuk ‘aqiqah maka keduanya dihukumi tidak syah. Inilah pendapat yang lebih tepat, karena masing-masing dari kedua ibadah ini adalah sunnah yang maqshudah (punya tujuan tersendiri).”

Abu Bakr Al-Fihri rahimahullah berkata mengenai hukum menggabungkan antara niat aqiqah, qurban, sekaligus walimah (resepsi pernikahan):

إذَا ذَبَحَ أُضْحِيَّتَهُ لِلْأُضْحِيَّةِ وَالْعَقِيقَةِ لَا يُجْزِيهِ ، وَإِنْ أَطْعَمَهَا وَلِيمَةً أَجْزَأَهُ ، وَالْفَرْقُ أَنَّ الْمَقْصُودَ فِي الْأَوَّلَيْنِ إرَاقَةُ الدَّمِ ، وَإِرَاقَتُهُ لَا تُجْزِئُ عَنْ إرَاقَتَيْنِ ، وَالْمَقْصُودُ مِنْ الْوَلِيمَةِ الْإِطْعَامُ ، وَهُوَ غَيْرُ مُنَافٍ لِلْإِرَاقَةِ ، فَأَمْكَنَ الْجَمْعُ

“Jika dia menyembelih hewan qurbannya dengan niat qurban sekaligus aqiqah, maka itu tidak syah. Namun jika dia menghidangkan hewan qurbannya dalam walimah, maka itu syah. Perbedaan antara kedua penggabungan ini adalah: Tujuan dari kedua ibadah yang pertama (qurban dengan aqiqah) adalah pengaliran darah, sehingga satu pengaliran darah tidak bisa menggantikan posisi dua pengaliran darah. Sementara tujuan dari walimah adalah member makan, dan tujuan ini tidak bertentangan dengan pengaliran darah (yang menjadi tujuan qurban), karenanya keduanya bisa digabungan (dalam satu niat).” Dinukil oleh Al-Haththab rahimahullah berkata dalam Mawahib Al-Jalil (3/259)

Pendapat kedua

Boleh menggabungkan antara qurban dengan aqiqah. Ini merupakan pendapat madzhab Hanafi, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat beberapa tabi’in seperti Hasan al-Bashri, Muhammad bin Sirrin, dan Qatadah rahimahumullah.

Dalil pendapat ini, bahwa tujuan qurban dan aqiqah adalah beribadah kepada Allah dengan menyembelih. Sehingga aqiqah bisa digabungkan dengan qurban. Sebagaimana tahiyatul masjid bisa digabungkan dengan shalat wajib, bagi orang yang masuk masjid dan langsung mengikuti jamaah. Disebutkan Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (5/534) beberapa riwayat dari para tabi’in, diantaranya:

Hasan al-Bashri pernah mengatakan,

إذَا ضَحُّوا عَنْ الْغُلَامِ فَقَدْ أَجْزَأَتْ عَنْهُ مِنْ الْعَقِيقَةِ

“Jika ada orang yang berkurban atas nama anak maka qurbannya sekaligus menggantikan aqiqahnya”

Dari Hisyam dan Ibn Sirrin, beliau berdua mengatakan,
“qurban atas nama anak, itu bisa sekaligus untuk aqiqah.”

Qatadah mengatakan,
“qurban tidak sah untuknya, sampai dia diaqiqahi.”

Al-Buhuti mengatakan,
“Jika aqiqah dan qurban waktunya bersamaan, dan hewannya diniatkan untuk keduanya maka hukumnya sah untuk keduanya, berdasarkan keterangan tegas dari Imam Ahmad.” (Kasyaful Qana’, 3/30)

Sementara itu, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh memilih pendapat yang membolehkan menggabungkan aqiqah dan qurban. Beliau menyatakan dalam fatwanya,
“Andaikan aqiqah dan qurban terjadi secara bersamaan maka satu sembelihan itu bisa mencukupi untuk orang yang menyembelih. Dia niatkan untuk qurban atas nama dirinya, kemudian menyembelih hewan tersebut, dan sudah tercakup di dalamnya aqiqah. Menurut keterangan sebagian ulama dapat disimpulkan bahwa aqiqah dan qurban bisa digabung jika ‘atas namanya’ sama. Artinya qurban dan aqiqahnya tersebut atas nama salah seorang anak. Sementara menurut keterangan ulama lain, tidak ada syarat hal itu. Artinya, jika seorang bapak hendak berqurban maka qurbannya bisa atas nama bapak, dan sekaligus untuk aqiqah anaknya. Ringkasnya, jika ada orang menyembelih hewan, dia niatkan untuk berqurban, dan itu sudah mencukupi untuk aqiqah.” (Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/159)

Pendapat yang rajih

Sebenarnya, jawaban dari permasalahan ini dibangun di atas salah satu masalah ushuliah, yaitu: Hukum menggabungkan dua ibadah dalam satu niat. Apakah hal ini diperbolehkan atau tidak?

Ringkasnya, para ulama ushul menyebutkan 2 syarat akan bolehnya menggabungkan 2 ibadah dalam 1 niat, yaitu:
  1. Kedua ibadah itu sama jenis dan waktunya. Adapun jika kedua ibadah itu tidak sama jenis dan berbeda waktu pelaksanaannya, maka keduanya tidak boleh digabungkan.
  2. Ibadah yang mau digabungkan itu bukanlah ibadah yang berdiri sendiri (arab: Laysat maqshudah li dzatiha), dalam artian ibadah itu bisa diwakilkan pelaksanaannya dengan ibadah lain yang sejenis. Adapun jika kedua ibadah itu berdiri sendiri (arab: Maqshudah li dzatiha), dalam artian keduanya dituntut pelaksanaannya sendiri-sendiri karena maksud dan tujuan kedua ibadah itu berbeda, maka yang seperti ini tidak boleh menggabungkan keduanya.

Contoh yang memenuhi syarat:

Shalat 2 rakaat setelah azan dengan meniatkannya sebagai sunnah rawatib sekaligus tahiyatul masjid.
Tahiyatul masjid bukanlah ibadah yang berdiri sendiri (arab: Laysat maqshudah li dzatiha), dalam artian tahiyatul masjid adalah shalat 2 rakaat (apapun jenisnya) sebelum seseorang duduk di dalam masjid. Karenanya, kapan seseorang sudah shalat 2 rakaat sebelum duduk, maka dia telah melakukan tahiyatul masjid, apapun jenis shalat 2 rakaat yang dia lakukan itu. Karenanya ketika seseorang mengerjakan sunnah rawatib 2 rakaat sebelum duduk, maka itu sudah teranggap sebagai tahiyatul masjid baginya.

Puasa 6 hari di bulan syawal dengan puasa senin kamis.
Yang dituntut dari puasa 6 hari di bulan syawal adalah pokoknya berpuasa 6 hari di dalamnya, hari apapun itu. Karenanya, jika seseorang berpuasa pada hari senin atau kamis di bulan syawal, maka itu bisa sekaligus dia jadikan sebagai puasa syawal baginya.

Mandi junub dengan mandi jumat, karena maksud dari mandi jum’at adalah mandi sebelum pergi shalat jum’at, maka barangsiapa yang junub sebelum jumatan kemudian dia mandi dengan niat mandi junub maka mandi tersebut sudah mencukupi dari mandi jum’at.

Demikian pula menggabungkan thawaf ifadhah (thawaf haji) dengan thawaf wada’ (thawaf perpisahan ketika meninggalkan Mekkah setelah ibadah haji), karena maksud dari thawaf wada’ adalah menjadikan thawaf amalan terakhir sebelum meninggalkan Mekkah, oleh karena itu apabila dia lakukan thawaf ifadhah ketika mau meninggalkan Mekkah maka thawaf tersebut sekaligus menjadi thawaf wada’ karena dilakukan terakhir kali sebelum meninggalkan Mekkah.

Contoh yang tidak memenuhi syarat:

Shalat 2 rakaat di akhir malam menjelang subuh, dengan niat shalat tahajud sekaligus shalat sunnah fajar. Ini tidak boleh, karena asal waktu pengerjaan kedua shalat sunnah berbeda. Satu sebelum subuh dan yang lainnya setelah masuknya waktu subuh.

Seseorang yang mempunyai hutang fidyah 10 hari dan sekaligus mempunyai kewajiban bayar kaffarat sumpah. Lalu dia memberi makan 10 orang miskin dengan niat fidyah sekaligus kaffarat sumpah. Maka ini tidak syah digabungkan, karena kedua jenis ibadah ini (fidyah dan kaffarat) adalah ibadah yang berdiri sendiri (arab: Maqshudah li dzatiha), dalam artian keduanya mempunyai maksud dan tujuan dasar yang berbeda. Satu sebagai pengganti puasa, sementara yang lainnya sebagai penggugur dosa karena telah melanggar sumpah.

Nah, bertolak dari uraian di atas, kita bisa mengetahui kalau jawaban dari pertanyaan di atas adalah:

TIDAK BOLEH MENGGABUNGKAN NIAT ANTARA AQIQAH/NASIKAH DENGAN QURBAN/UDHHIAH

Kenapa? Karena kedua ibadah ini berdiri sendiri (arab: Maqshudah li dzatiha), dimana keduanya disyariatkan untuk maksud dan tujuan yang berbeda sehingga tidak bisa saling mewakilkan. Aqiqah/nasikah disyariatkan sebagai rasa syukur dan tebusan untuk anak yang baru lahir, sementara qurban/udh-hiah disyariatkan sebagai tebusan untuk diri sendiri.Dan ini adalah pendapat Malikiyyah (Lihat Mawaahibul Jaliil 4/393), Syafi’iyyah (Lihat Al-Fatawa Al-Kubraa Al-Fiqhiyyah 4/256), dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad (Lihat Furu’ 6/112).–wallahu a’lam-

Kesimpulannya:


Tidak boleh menyembelih hewan dengan niat qurban sekaligus untuk aqiqah karena alasan di atas.

Ini adalah mazhab Al-Malikiah dan Asy-Syafi’iyah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahumullah.

Pendapat ini yang dipilih oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Al-Huda wa An-Nur, kaset no. 689. Namun alasan yang beliau gunakan adalah karena suatu ibadah yang wajib tidak bisa menggantikan ibadah wajib yang lainnya. Hal itu karena beliau memandang aqiqah dan qurban adalah wajib.

Asy-Syaikh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin rahimahullah berkata menjawab pertanyaan mengenai hukum menggabungkan udhhiah dengan aqiqah dalam satu sembelihan, jika Idul Adhha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak:

“Sebagian ulama berpendapat, jika hari Idul Adh-ha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak, kemudian dilaksanakan udhhiah, maka tidak perlu lagi melaksanakan aqiqah. Sebagaimana pula jika seseorang masuk masjid dan langsung melaksanakan shalat fardhu, maka tidak perlu lagi dia melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Hal itu karena kedua ibadah tersebut adalah ibadah yang sejenis dan waktu pelaksanaannya sama. Maka satu ibadah sudah menutupi ibadah yang lainnya.

Hanya saja, saya sendiri memandang bahwa: Jika Allah memberi kecukupan rezeki, maka hendaknya dia berqurban dengan satu kambing, ditambah beraqiqah dengan satu kambing (jika anaknya perempuan) atau beraqiqah dengan dua kambing (jika anaknya laki-laki).” (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il: 25/287-288)

Tanya:
Trus, jika saya ingin menyembelih pada hari raya qurban dalam keadaan saya atau anak saya belum aqiqah, atau hari raya qurban bertepatan dengan hari ke-7 kelahiran anak saya. Apa yang harus saya lakukan?
Jawab:
Jika anda mempunyai keluasan rezeki, maka tidak diragukan jika anda menyembelih untuk keduanya, sembelihan untuk qurban sendiri dan sembelihan untuk aqiqah juga sendiri.

Tanya:
Jika uang saya tidak cukup, mana yang saya dahulukan: Qurban dulu atau aqiqah (untuk anak atau untuk diri sendiri) dulu?
Jawab:
Sebaiknya anda lebih mendahulukan qurban daripada aqiqah, karena waktu pelaksanaan qurban itu terbatas, yakni hanya 4 hari dalam setahun (10-13 Dzulhijjah). Sementara waktu pelaksanaan aqiqah bisa kapan saja sepanjang tahun. Wallahu a’lam.


Sumber:
- Ustadz Abdullah Roy di http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/2009/11/menggabungkan-antara-aqiqah-dan-qurban.html

- Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah) di http://www.konsultasisyariah.com/menggabungkan-akikah-dengan-kurban/ Disadur dari: http://www.islamqa.com/ar/ref/106630

- http://al-atsariyyah.com/hukum-menggabungkan-aqiqah-dan-qurban-dalam-satu-sembelihan.html
1 comment

1 comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.
  • Dewi Rizki
    Dewi Rizki
    August 31, 2016 1:47 PM
    This comment has been removed by a blog administrator.