Pengantar
Pembicaraan bahkan fitnah terkait masalah ini sangatlah meresahkan, bagaimana tidak. Sejatinya hal ini merupakan wilayah furu yang selayaknya hanya dibicarakan dalam tataran pencarian terhadap kebenaran lewat diskusi-diskusi hangat yang konstruktif.
Namun harapan-harapan tersebut pupus lewat mulut-mulut sembrono yang dengan mudahnya mengklaim sesuatu dan memaksakan klaim tersebut kepada orang awam yang bermodal kehanifan dan taqlid dalam beragama. Akibatnya nafsu ammarah menguasai mereka lalu terjadilah caci maki yang disebabkan pemahaman yang keliru dan kurang menyeluruh terhadap pendapat para ulama mengenai hal tersebut.
Masalah apakah itu? Biji tasbih!
Yah, pengetahuan yang keliru dan atau tidak menyeluruh serta taqlid buta menyebabkan caci maki terkait perdebatan seputar hukum syar’i menggunakan tasbih untuk berdzikir kepada Allah Subahanahu Wataala.
Sebagai blog yang memaparkan tentang biografi dan sikap serta fatwa Ibnu Taimiyah, maka saya mencoba untuk mengulas pendapat beliau yang begitu wasath dalam masalah ini.
Semoga tulisan ini menjadi pemberat dalam timbangan amal baik serta amal jariyah bagi pemilik dan pengelola blog ini. Amin.
Perselisihan tentang Tasbih
Para ulama berselisih menjadi 3 pendapat besar tentang penggunaan tasbih untuk berdzikir.
Pertama, Sebagian ulama membolehkannya. Inilah pendapat yang Umum
Berkata Ibnu Nujaim Al Hanafi dalam kitab al Bahri al Râiq sebagai komentar terhadap Hadits Nabi tentang berdzikir dengan biji-biji tasbih:
قَوْلُهُ لَا بَأْسَ بِاِتِّخَاذِ الْمِسْبَحَةِ ) بِكَسْرِ الْمِيمِ : آلَةُ التَّسْبِيحِ ، وَاَلَّذِي فِي الْبَحْرِ وَالْحِلْيَةِ وَالْخَزَائِنِ بِدُونِ مِيمٍ )
قَالَ فِي الْمِصْبَاحِ : السُّبْحَةُ خَرَزَاتٌ مَنْظُومَةٌ ، وَهُوَ يُقْتَضَى كَوْنَهَا عَرَبِيَّةً
وَقَالَ الْأَزْهَرِيُّ : كَلِمَةٌ مُوَلَّدَةٌ ، وَجَمْعُهَا مِثْلُ غُرْفَةٍ وَغُرَفٍ.ا هـ
وَالْمَشْهُورُ شَرْعًا إطْلَاقُ السُّبْحَةِ بِالضَّمِّ عَلَى النَّافِلَةِ
قَالَ فِي الْمُغْرِبِ : لِأَنَّهُ يُسَبَّحُ فِيهَا
وَدَلِيلُ الْجَوَازِ مَا رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَقَالَ صَحِيحَ الْإِسْنَادِ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ { أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ : أُخْبِرُك بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْك مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ ؟ فَقَالَ : سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ ؛ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ ، وَاَللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلُ ذَلِكَ ، وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ مِثْل ذَلِكَ ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاَللَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ } : فَلَمْ يَنْهَهَا عَنْ ذَلِكَ .
وَإِنَّمَا أَرْشَدَهَا إلَى مَا هُوَ أَيْسَرُ وَأَفْضَلُ وَلَوْ كَانَ مَكْرُوهًا لَبَيَّنَ لَهَا ذَلِكَ ، وَلَا يَزِيدُ السُّبْحَةُ عَلَى مَضْمُونِ هَذَا الْحَدِيثِ إلَّا بِضَمِّ النَّوَى فِي خَيْطٍ ، وَمِثْلُ ذَلِكَ لَا يَظْهَرُ تَأْثِيرُهُ فِي الْمَنْعِ ، فَلَا جَرَمَ أَنْ نُقِلَ اتِّخَاذُهَا وَالْعَمَلُ بِهَا عَنْ جَمَاعَةٍ مِنْ الصُّوفِيَّةِ الْأَخْيَارِ وَغَيْرِهِمْ ؛ اللَّهُمَّ إلَّا إذَا تَرَتَّبَ عَلَيْهِ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ فَلَا كَلَامَ لَنَا فِيهِ
Yang masyhur secara syariat adalah penggunaaan subhah ini terdapat pada shalat sunnah. Disebutkan dalam Al Maghrib: “karena dia bertasbih padanya.”
Ada pun dalil kebolehannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Al Hakim, dia berkata: shahih sanadnya.
أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ قَالَ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ
Lalu katanya: “Nabi tidak melarangnya. Beliau hanyalah menunjukkan cara yang lebih mudah dan utama, seandainya makruh tentu Beliau akan menjelaskan hal itu kepada wanita tersebut. Dari kandungan hadits ini, kita dapat memahami bahwa subhah tidak lebih dari kumpulan bijian yang dirangkai dengan benang. Masalah seperti ini tidak berdampak pada pelarangan. Maka, bukan pula kesalahan jika ikut menggunakannya sebagaimana sekelompok kaum sufi yang baik dan selain mereka. Kecuali jika didalamnya tercampur muatan riya dan sum’ah, tetapi kami tidak membahas hal ini.[2]
Al Imâm al Syaukânî membahas hadits-hadits terkait biji-bijian tasbih dan berkomentar sebagai berikut
بأن الأنامل مسئولات مستنطقات يعني أنهن يشهدن بذلك فكان عقدهن بالتسبيح من هذه الحيثية أولى من السبحة والحصى . والحديثان الآخران يدلان على جواز عد التسبيح بالنوى والحصى وكذا بالسبحة لعدم الفارق لتقريره صلى اللَّه عليه وآله وسلم للمرأتين على ذلك . وعدم إنكاره والإرشاد إلى ما هو أفضل لا ينافي الجواز
Syaikh Abu al ‘Ala Muhammad Abdurrahmân bin Abdurrahîm Al Mubârakfûri Rahimahullah Beliau menerangkan dalam Tuhfah al Ahwâdzi, ketika menjelaskan hadits Ibnu Amr dan Yusairah binti Yasir, sebagai berikut:
وَفِي الْحَدِيثِ مَشْرُوعِيَّةُ عَقْدِ التَّسْبِيحِ بِالْأَنَامِلِ وَعَلَّلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثِ يَسِيرَةَ الَّذِي أَشَارَ إِلَيْهِ التِّرْمِذِيُّ بِأَنَّ الْأَنَامِلَ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ يَعْنِي أَنَّهُنَّ يَشْهَدْنَ بِذَلِكَ ، فَكَانَ عَقْدُهُنَّ بِالتَّسْبِيحِ مِنْ هَذِهِ الْحَيْثِيَّةِ أَوْلَى مِنْ السُّبْحَةِ وَالْحَصَى ، وَيَدُلُّ عَلَى جَوَازِ عَدِّ التَّسْبِيحِ بِالنَّوَى وَالْحَصَى حَدِيثُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى اِمْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ الْحَدِيثَ ، وَحَدِيثُ صَفِيَّةَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلَافِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا الْحَدِيثَ .
“Hadits ini menunjukkan disyariatkannya bertasbih menggunakan ujung jari jemari, alasan hal ini adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits Yusairah yang diisyaratkan oleh At Tirmidzi bahwa ujung jari jemari akan ditanyakan dan diajak bicara, yakni mereka akan menjadi saksi hal itu. Dalam hal ini, menghitung tasbih dengan menggunakan ujung jari adalah lebih utama dibanding dengan subhah (untaian biji tasbih) dan kerikil. Dalil yang menunjukkan kebolehan menghitung tasbih dengan kerikil dan biji-bijian adalah hadits Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwa beliau bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemui seorang wanita yang dihadapannya terdapat biji-biji atau kerikil yang digunakannya untuk bertasbih (Al Hadits). Dan juga hadits Shafiyah bin Huyai, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemuiku dan dihadapanku ada 4000 biji-bijian yang aku gunakan untuk bertasbih. (Al Hadits).” [4]
Syaikh Abdul Azîz bin Abdullâh bin Bâz Al Hambali Rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang berdzikir setelah shalat menggunakan subhah, bid’ahkah?
Beliau menjawab:
المسبحة لا ينبغي فعلها ، تركها أولى وأحوط ، والتسبيح بالأصابع أفضل ، لكن يجوز له لو سبح بشيء كالحصى أو المسبحة أو النوى ، وتركها ذلك في بيته ، حتى لا يقلده الناس فقد كان بعض السلف يعمله ، والأمر واسع لكن الأصابع أفضل في كل مكان ، والأفضل باليد اليمنى ، أما كونها في يده وفي المساجد فهذا لا ينبغي ، أقل الأحوال الكراهة
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin pernah ditanya tentang hadits: ‘Setiap bid’ah adalah sesat’, artinya tidak ada bid’ah kecuali sesat dan tidak ada bid’ah yang baik, bahkan setiap bid’ah adalah sesat.
Pertanyaan: apakah tasbih dipandang sebagai bid’ah? Apakah ia termasuk bid’ah yang baik atau yang sesat?
Beliau menjawab: tasbih tidak termasuk bid’ah dalam agama, karena manusia tidak bertujuan beribadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala dengannya. Tujuannya hanya untuk menghitung jumlah tasbih yang dibacanya, atau tahlil, atau tahmid, atau takbir. Maka ia termasuk sarana, bukan tujuan.
Akan tetapi yang lebih utama darinya adalah bahwa seseorang menghitung tasbih dengan jari jemarinya:
- karena ia adalah petunjuk dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.[6]
- Karena menghitung tasbih dan yang lainnya dengan alat tasbih bisa membawa kepada kelalaian. Sesungguhnya kita menyaksikan kebanyakan orang-orang yang menggunakan tasbih, mereka bertasbih sedangkan mata mereka menoleh ke sana ke sini, karena telah menjadikan jumlah tasbih menurut jumlah yang mereka inginkan dari tasbihnya atau tahlilnya atau tahmidnya atau takbirnya. Maka engkau mendapatkan mereka menghitung biji-bii tasbih ini dengan tangannya, sedangkan hatinya lupa sambil menoleh ke kanan dan kiri. Berbeda dengan orang yang menghitungnya dengan jemarinya, maka biasanya hal itu lebih menghadirkan hatinya.
- sesungguhnya menggunakan tasbih bisa membawa kepada riya. Sesungguhnya kita menemukan kebanyakan orang yang menyukai banyak bertasbih, menggantungkan di leher mereka tasbih yang panjang. Seolah-olah mereka berkata: lihatlah kepada kami, sesungguhnya kami bertasbih kepada Allah subhanahu wa ta'ala sejumlah bilangan ini. Aku meminta ampun kepada Allah swt dalam menuduh mereka seperti ini, akan tetapi dikhawatirkan terjadinya hal itu.
Kemudian, sesungguhnya yang utama agar menghitung tasbih dengan jari tangan kanannya, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam menghitung tasbih dengan tangan kanannya, dan tanpa diragukan lagi yang kanan lebih baik dari pada yang kiri. Karena inilah yang kanan lebih diutamakan atas yang kiri. Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang seseorang makan atau minum dengan tangan kirinya dan menyuruh manusia makan dengan tangan kanannya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
يَا غُلاَمُ, سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
Dan beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِيْنِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِيْنِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ
Tangan kanan lebih utama dengan tasbih daripada tangan kiri karena mengikuti sunnah dan mengambil dengan kanan. Dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyukai yang kanan dalam memakai sendal, bersisir, bersuci dan dalam seluruh perkaranya. Atas dasar inilah, maka membaca tasbih dengan alat tasbih tidak termasuk bid’ah dalam agama, namun hanya sebagai sarana untuk mencatat hitungan. Ia merupakan sarana yang tidak utama, dan yang utama darinya adalah menghitung tasbih dengan jemarinya.[9]
Kedua, sebagian ulama menganggapnya Mustahab
Imam Muhammad Abdurrauf Al Munawi Rahimahullah menjelaskan dalam kitab Faidhul Qadir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, ketika menerangkan hadits Yusairah:
وهذا أصل في ندب السبحة المعروفة وكان ذلك معروفا بين الصحابة فقد أخرج عبد الله بن أحمد أن أبا هريرة كان له خيط فيه ألفا عقدة فلا ينام حتى يسبح به وفي حديث رواه الديلمي نعم المذكر السبحة لكن نقل المؤلف عن بعض معاصري الجلال البلقيني أنه نقل عن بعضهم أن عقد التسبيح بالأنامل أفضل لظاهر هذا الحديث
Ketiga, Sebagian Ulama secara tegas melarang dan membid’ahkan penggunaan Tasbih untuk berdzikir.
Inilah yang masyhur dari pendapat al Imâm al Albâni dan murid-muridnya. Pendapat Ini juga didukung oleh Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr. Bahkan syaikh Bakr Abu Zaid memiliki risalah khusus yang menegaskan larangan menggunakan biji-bijian tasbih dalam menghitung Dzikir.
Dalil-dalil mereka adalah sebagai berikut:
- Hal itu menyalahi Sunnah dan tidak disyariatkan oleh Rasulullah bahkan bid’ah yang tidak memiliki asal dalam syariat sedangkan permasalah ibadah adalah Tauqifiyah oleh karena itu ibadah kepada Allah itu hanya boleh dilakukan jika ada syariatnya
- Adanya riwayat ketidaksukaan Ibnu Mas’ud dan Sahabat lain terhadap hal tersebut. Ibnu Waddhah[11] berkata dalam kitabnya al Bid’u wan nahyu anha: Dari Ibrahim berkata : “Dahulu ‘Abdullah (Ibnu Mas’ud) membenci berdzikir dengan tasbih seraya bertanya : “Apakah kebaikan-kebaikannya telah diberikan kepada Allah?” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf No. 7667) dengan sanad shohih. Dari as-Shalt bin Bahram berkata : “Ibnu Mas’ud melewati seorang wanita yang berdzikir dengan tasbih, maka segera beliau potong tasbih lalu membuangnya. Kemudian beliau melewati seorang lai-laki berdzikir dengan kerikil, maka beliau menendangnya, kemudian berkata : “Sungguh kalian telah mendahului Rasulullah, kalian melakukan bid’ah dengan zhalim dan ilmu kalian telah melebihi ilmu Sahabat-Sahabat Muhammad.
Pendapat Ibnu Taimiyah dan Tarjih
Ibnu Taimiyah memberi pendapat yang wasath dalam hal ini, beliau mengatakan[12]
وعد التسبيح بالأصابع سنة كما قال النبي للنساء سبحن واعقدن بالأصابع فإنهن مسؤولات مستنطقات
وأما عده بالنوى والحصى ونحو ذلك فحسن وكان من الصحابة رضي الله عنهم من يفعل ذلك وقد رأى النبي أم المؤمنين تسبح بالحصى واقرها على ذلك وروى أن أبا هريرة كان يسبح به
وأما التسبيح بما يجعل في نظام من الخرز ونحوه فمن الناس من كرهه ومنهم من لم يكرهه , وإذا أحسنت فيه النية فهو حسن غير مكروه
Adapun menghitung tasbih dengan biji-bijian dan batu-batu kecil (semacam kerikil) dan semisalnya, maka hal itu perbuatan baik (hasan). Dahulu sebagian sahabatpun (Radhiallahu ‘Anhum )ada yang memakainya dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melihat ummul mukminin bertasbih dengan batu-batu kecil dan beliau menyetujuinya. Diriwayatkan pula bahwa Abu Hurairah pernah bertasbih dengan batu-batu kecil tersebut
hukum menggunakan tasbih sebagai alat untuk berdzikir adalah boleh dan mubah bukan bid’ah, inilah yang masyhur dari pendapat para ulama dari 4 Mazhab dan juga ulama-ulama Salafi serta sesuai dengan kaidah bahwa asal sesuatu adalah Mubah selama tidak ada dalil yang melarang. Adapun jika ada kesan menganggapnya hasan maka hal tersebut adalah kelaziman dari hukum mubah yang diniatkan untuk kebaikan
Dalam matan zubad, Ibnu Ruslan berkata:
و خص ما يباح باستوى الفعل والترك على السواء
لكن إذا نوى بأكله القوى لطاعة الله به ما قد نوى
Dikhususkan kesamaan dalam hukum mubah baik meninggalkan maupun melakukan
Namun jika seseorang makan agar kuat dalam ketaatan kepada Allah, maka ia mendapatkan sesuai yang ia Niatkan.
Syaikh Muhammad bin sholih al Utsaimin menjelaskan ketika membahas tentang hukum Mubah dalam kitab al ushul min ilmil Ushul:
Seandainya ada kaitannya dengan perintah karena keberadaannya (yakni suatu yang mubah) sebagai wasilah terhadap hal yang diperintahkan, atau ada kaitannya dengan larangan karena keberadaannya sebagai wasilah terhadap hal yang dilarang, maka bagi hal yang mubah tersebut hukumnya sesuai dengan keadaan wasilah tersebut.
Adapun yang menyunnahkan, maka hal tersebut keliru Karena tidak ada dalil khusus yang mengindikasikan hal tersebut, bahkan Rasulullah menyarankan agar menggantinya dengan menggunakan jemari.
Adapun yang mengharamkannya dengan dalil dari kebencian Ibnu Mas’ud, maka tidak diketahui secara jelas ada indikasi Ibnu Mas’ud membenci biji-biji tasbih, namun yang dzohir adalah beliau membenci menghitung tasbih (zikir). Dalam menyebutkan atsar-atsar terkait hal tersebut, Ibnu Abi syaibah membuat “fasal tentang orang-orang yang membenci menghitung-hitung tasbih” lalu beliau menyebutkan riwayat dari Ibnu Mas’ud dan ibnu Umar. Begitu juga yang terdapat dalam Sunan Al Dârimi, hal tersebut tidak mengindikasikan secara tegas tentang kebencian beliau. Apakah terkait menunggu waktu sholat dengan menghitung-hitung zikir dan melakukannya secara berjamaah dengan pimpinan satu orang ataukah kebencian beliau terkait kerikil-kerikilnya saja. Namun yang zohir larangan tersebut adalah terkait yang pertama. Wallahu a’lam
Peringatan
Fatwa-fatwa terkait kebolehan menggunakan tasbih selalu diiringi dengan beberapa peringatan. Ibnu Taimiyah mengatakan setelah membolehkan tasbih:
Adapun Tasbih yang dibentuk seperti manik-marik yang terangkai dan semisalnya, maka sebagian manusia ada yang membencinya dan sebagian lagi tidak membencinya. Kalau niatnya baik maka hal itu menjadi baik dan tidak makruh. Adapun menggunakannya tanpa keperluan atau memamerkannya kepada manusia, misanya digantungkan dileher atau dijadikan gelang atau semisalnya, maka hal ini bisa saja riya terhadap manusia atau merupakan hal-hal yang dapat menyebabkan riya dan menyerupai orang yang riya. Yang pertama (riya, red) adalah haram sedangkan yang kedua minimal makruh. Sesunggunhya riya kepada manusia dalam ibadah-ibadah khusus seperti sholat, puasa, zikir, dan membaca qur’an adalah termasuk dosa yang paling besar.
Allah berfirman:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7)
Allah juga berfirman:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
Senada dengan peringatan diatas juga difatwakan oleh Faqihuzzaman Ibnu utsaimin dan Ibnu Bâz, oleh karena itu hendaknya kita menggunakan tasbih jika ada hajat saja untuk menghitung zikir yang jumlahnya cukup banyak seperti zikir pagi dan petang yang merepotkan jika dihitung dengan jemari. Adapun untuk zikir setelah sholat dan senantiasa membawa tasbih ketika sholat atau bepergian seperti berlaku pada sebagian orang yang diklaim alim, maka hal tersebut makruh menurut Syaikh Ibnu Bâz. Lagipula yang secara tegas dianjurkan oleh Rasulullah dan disepakati kesunnahannya oleh ummat adalah menggunakan jemari karena Ia akan menjadi saksi diakherat atas zikir-zikir yang telah kita ucapkan.
Wallahu a’lam Bisshowâb
Semoga bermanfaat
Oleh: dobdob
di http://syaikhulislam.wordpress.com/2010/07/09/tasbih-bidahkah/
[1] HR. Abu Daud No. 1500, At Tirmidzi No. 3568, katanya: hasan gharib. Ibnu Hibban No. 837
[2] Imam Ibnu ‘Abidin, Raddul Muhtar, 5/54. Mawqi’ Al Islam
[3] Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/316-317. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah
[4] Tuhfah al Ahwâdzi, 9/458. Cet. 2, 1383H-1963M. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah. Tahqiq: Abdul Wahhab bin Abdul Lathif
[5] Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqallat, 29/318. Mawqi’ Ruh Al Islam
[6] Ahmad 6/270, Abu Daud 1501, at-Tirmidzi 3583, Ibnu Hibban 842, al-Hakim 1/457 (2007) dan ia tidak memberi komentar dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi, dihasankan oleh Albani dalam ‘Shahih Abu Daud’ 1329.
[7] Al-Bukhari 5376 dan Muslim 2022
[8] Muslim 2020
[9] http://www.islamhouse.com/p/278161 . Syaikh Ibnu Utsaimin –Nur ‘ala darb, halqah kedua hal 68
[10] Faidhul Qadir, 4/468. Cet. 1, 1415H-1994M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut – Libanon
[11] Al Zahabi menyebutkan biografinya dalam siyar 13/445 : Berkata Ibnu al Fardhi : dia banyak mengklaim sabda-sabda nabi Shallallâhu Alaihi Wasallâm padahal itu merupakan kata-katanya sendiri, dia banyak melakukan kesalahan yang telah diketahui berasal darinya, keliru, dan melakukan tashif, serta tidak memiliki ilmu dalam bahasa arab dan juga fiqh
[12] Majmu Fatâwa 22/506
[13] Qs al Mâûn:4-7
[14] Qs Ali Imrân 142
Post a Comment