F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Mana Dalilnya? Ini Dalilnya..! (8)

Mana Dalilnya? Ini Dalilnya..! (8) novieffendi.com

Ini Dalilnya (18): Istighatsah ala Jahiliyah

Masalah Keempat: Seputar Istighatsah

Definisi istighatsah ala jahiliyah

Pembaca yang budiman, di artikel sebelumnya  Mana Dalilnya? Ini Dalilnya..! (7) telah dibahas tentang masalah tawasul, dan sungguh mengherankan memang, ketika orang yang hidup di abad 21 dengan berbagai kemajuan IPTEK-nya masih berpikir ala jahiliyah. Masih mending jika keyakinan tersebut berangkat dari kebodohan karena ia tinggal di tengah hutan belantara, atau di daerah terpencil yang tak pernah mengenyam pendidikan. Namun jika ia mengaku ‘terpelajar’ dan masih mempercayai takhayul bahkan mengajak orang kepada hal tersebut, maka orang ini perlu kita waspadai. Pasti ada udang di balik batu! Saya sudah berusaha untuk husnuzhan terhadap Novel dari awal buku ini. Akan tetapi, setelah membaca masalah istighatsah di akhir bukunya, saya terbakar rasa cemburu. Cemburu akibat dilanggarnya hak-hak Allah atas nama syariat! Coba perhatikan bagaimana si Qubury ini mendefinisikan istighatsah (hal128):

“Dalam syariat istighatsah diartikan sebagai permintaan tolong kepada Nabi, Rasul atau orang saleh –yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia– untuk mendoakan agar ia dapat memperoleh manfaat atau terhindar dari keburukan dan lain sebagainya”.

Minta doa kepada yang sudah meninggal dunia? Lho kok bisa? (Mungkin menurutnya) bisa saja, karena masalah takhayul memang tidak mengenal batas. Segala sesuatu yang tidak masuk akal pun bisa diterima dengan pola pikir jahiliyah semacam ini. Dia meyakini orang yang sudah mati bisa mendoakan yang masih hidup, padahal Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ

Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar” (Faathir: 22).

Ayat di atas jelas sekali mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak dapat membikin orang yang sudah mati bisa mendengar, padahal beliau adalah manusia paling shalih. Artinya, jelas sekali bahwa siapapun yang sudah mati tidak bisa mendengar seruan orang yang masih hidup. Jadi percuma saja orang minta-minta kepada orang mati, sebab yang dia mintai tadi sama dengan batu yang tidak mendengar. Kalau ada yang membolehkan minta doa kepada orang mati, berarti ia meyakini bahwa orang mati bisa mendengar permintaan yang masih hidup. Nah, bukankah ini sama dengan menentang makna ayat di atas? Lalu perhatikan ayat berikut beserta penafsiran Imam Ibnu Jarir[1] atasnya:

Allah Ta’ala berfirman,

يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ (13) إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ (14)

Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nya lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (QS. Fathir: 13-14)

Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau pun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu seperti yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.

Syaikhul Mufassirin[2] Al Imam Ibnu Jarir Ath Thabari dalam tafsirnya mengatakan: Allah mengatakan bahwa jika kalian –wahai sekalian manusia- menyeru sesembahan-sesembahan yang kalian sembah selain Allah itu, mereka tidak akan mendengar seruan kalian karena mereka adalah benda mati yang tidak bisa memahami apa yang kalian katakan. Kalau pun mereka bisa mendengar, memahami dan tahu bahwa kalian menyeru mereka; mereka tidak akan menjawab seruan kalian karena mereka tidak bisa bicara, dan tidak setiap yang mendengar ucapan bisa menjawabnya dengan mudah. Kemudian Allah berfirman kepada orang-orang yang menyekutukannya dengan para aalihah dan autsaan[3]: “Lalu bagaimana kalian bisa menyembah selain Allah yang sifatnya seperti itu? Sedangkan sesembahan itu tidak punya manfaat apa-apa untuk kalian, dan tidak mampu mencelakai kalian, lalu kalian tinggalkan peribadatan Dzat yang dapat memberi manfaat dan kecelakaan bagi kalian, padahal Dia lah yang menciptakan dan memberi nikmat kalian? Demikianlah penjelasan para ahli tafsir…”, kemudian beliau menyebutkan nama & ucapan mereka satu persatu[4]. Lalu Allah berfirman kepada orang-orang musyrik penyembah watsan: Di hari kiamat nanti, sesembahan-sesembahan kalian yang selain Allah akan berlepas diri dari kalian. Mereka mengingkari kalau mereka dijadikan sekutu Allah ketika di dunia. Mereka tidak pernah mengakui perbuatan syirik tersebut dan tidak merestuinya. Dan tidak ada yang bisa bercerita kepadamu, hai Muhammad, –tentang sesembahan kaum musyrikin dan bagaimana keadaan mereka dan para penyembahnya di hari kiamat– seperti Allah yang tahu akan semua yang sedang dan akan terjadi. Demikianlah penjelasan para ahli tafsir”. Kata beliau mengakhiri ucapannya.[5]

Dari uraian di atas, kita dapat menarik titik temu antara definisi Novel yang mengatakan bahwa istighatsah adalah minta tolong kepada Nabi, Rasul, atau orang shalih walaupun sudah meninggal.. dst; dengan keyakinan kaum musyrikin kepada berhala-berhala mereka. Di mana titik temunya? Ialah karena Novel dan orang-orang musyrik tersebut sama-sama meyakini bahwa para berhala maupun orang yang mati tadi bisa memberi manfaat, atau mendengar seruan orang yang menyerunya.

Na’udzubillahi minal kufri wasy syirki billaah (kami berlindung kepada Allah dari perbuatan kufur dan syirik kepada-Nya)!! Inikah yang kau ajarkan hai Novel?? Sungguh buruklah apa kau ajarkan selama ini!! Engkau membolehkan kaum muslimin untuk minta doa dari orang yang sudah mati, dan menganggap mereka bisa memberi manfaat kepada yang masih hidup. Lantas apa bedanya ajaran yang engkau bela tersebut dengan keyakinan musyrikin Mekkah yang selama 23 tahun ditentang habis-habisan oleh Kakekmu[6], Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya? Toh musyrikin Quraisy pada hakikatnya tidak meyakini bahwa patung dan berhala yang mereka sembah mampu menolong mereka secara langsung, mereka tidak lain tidak bukan hanyalah menganggap sesembahan itu sebagai perantara untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah, karena berhala tersebut adalah lambang atau simbol dari orang-orang shalih yang pernah hidup di zaman dahulu[7]. Inilah hakikat syirik yang mereka lakukan, yaitu menganggap bahwa dalam beribadah kita harus pakai perantara. Siapakah perantaranya? Yaitu berhala untuk musyrikin tempo dulu, atau kuburan ‘wali’, orang shalih, habib, kyai, dll untuk musyrikin zaman ini. Apa bedanya? Tidak ada.

Jadi, saya tidak mengada-ada bila mengatakan bahwa Novel hendak mengembalikan ajaran jahiliyah yang dibungkus dengan indah dan dibumbui ayat-ayat dan hadits-hadits[8] agar bisa diterima masyarakat. Toh banyak masyarakat kita masih banyak yang percaya dengan takhayul, tidak mengerti bahasa Arab, ilmu tafsir, musthalah hadits dan lain sebagainya. Hingga mudah bagi dia untuk mempermainkan akal mereka demi kepentingan pribadinya.

Kalau engkau mengatakan (hal 127): “Saudaraku, kita semua meyakini bahwa hanya Allah lah yang dapat menolong kita. Hanya DIA lah yang dapat memberi manfaat dan mencegah keburukan. Itulah keyakinan semua umat Islam. Tetapi, apakah dengan demikian kita tidak boleh meminta tolong kepada makhluk yang Ia beri keistimewaan?”

Saya katakan: engkau salah besar! Tidak semua orang yang mengaku Islam meyakini seperti itu, bahkan puluhan atau mungkin ratusan juta kaum muslimin masih meyakini bahwa para wali, orang shalih, atau haba-ib –yang kuburannya dibangun megah dan dikeramatkan di berbagai penjuru dunia– dapat memberi manfaat dan menyampaikan hajat mereka[9].

Kalaulah mereka tidak meyakini hal tersebut, niscaya tidak ada gunanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang keras segala bentuk pengeramatan dan pengagungan terhadap orang shalih yang sudah mati. Kalaulah seluruh kaum muslimin meyakini seperti apa yang kau katakan, maka tolong jelaskan apa maksud ayat berikut?

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ [يوسف/106]

Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)”. (QS. Yusuf: 106)

Adapun meminta tolong kepada orang yang Dia beri keistimewaan, maka sepanjang yang dimintai tolong adalah orang yang masih hidup dan mampu menolong, maka hal tersebut tidak mengapa dan tidak ada kaitannya dengan makna istighatsah dalam syari’at. Itu adalah isti’anah (minta tolong) biasa. Tapi jika yang dimintai tolong adalah orang mati, maka kemungkinannya hanya dua:
  1. dia telah mendustakan firman Allah di atas (Faathir: 22), atau 
  2. dia orang gila karena menganggap orang mati bisa mendengar ucapannya.

Ini Dalilnya (19): Bolehkah Ngalap Berkah pada Selain Rasulullah?

Masalah kelima: Seputar Tabarruk

Di penutup buku ini, saya tidak akan mengoreksi dalil-dalil yang disebutkan Novel tentang tabarruk para sahabat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena semua dalil yang disebutkannya shahih, dan saya sependapat dengan siapa pun yang mengatakan bolehnya tabarruk dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik sewaktu hidup maupun sepeninggal beliau. Tapi ingat, tabarruk dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, bukan dengan selain beliau.[10]

Yang menjadi masalah ialah ketika ada orang yang membolehkan tabarruk dengan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara mengqiyaskan orang lain tersebut dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang dilakukan oleh Novel di akhir pembahasannya, ia mengatakan (hal 147):

Kesimpulan

Saudaraku, dalam berbagai hadits yang kami kemukakan di atas jelas terlihat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada para sahabat dan umatnya untuk mencari keberkahan para shalihin. Baik dalam diri, tempat, benda yang berhubungan dengan mereka, maupun amalan mereka. Beliau tidak pernah mengatakan bahwa para sahabat tersebut telah mengkultuskannya dan berbuat syirik. Semua ini menunjukkan bahwa tabarruk dengan diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta peninggalan para Rasul dan kaum shalihin merupakan bagian dari tauhid Islam.

Oleh karena itu, jika ada saudara kita sesama muslim yang berupaya untuk memperoleh keberkahan majlis, keberkahan kaum shalihin, dan keberkahan napak tilas dan peninggalan orang-orang saleh, janganlah kita menuduh mereka telah berbuat syirik. Sebab, apa yang mereka lakukan murni ajaran Islam dan upaya yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan penerus mereka.

Saya katakan, dalam kesimpulannya tersebut Novel telah membuat tiga kesalahan besar! Pertama: Rasulullah tidak pernah mengajarkan para sahabat dan umatnya untuk mencari keberkahan para shalihin baik dalam diri, tempat, dst. Bahkan ini merupakan kedustaan yang terang-terangan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak satu pun dari dalil yang disebutkannya membolehkan hal tersebut. Kesimpulan ini tidak lain adalah hasil akal-akalannya semata, dia menqiyaskan ‘orang shalih’ dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas dimanakah letak persamaannya? Apakah ‘illah yang menyamakan antara keduanya hingga qiyas tersebut dapat diterima? Kemudian, masalah tabarruk bukanlah masalah ijtihadiyyah yang boleh ditetapkan dengan qiyas, apalagi qiyas yang ngawur bin serampangan seperti itu. Tabarruk adalah masalah ibadah yang harus pakai dalil yang shahih dan sharih, seperti yang berulang kali kami tegaskan

Kalau ia mengatakan bahwa ‘illah yang dimaksud ialah karena keduanya[11] sama-sama shalih, lantas apakah keshalihan Rasulullah bisa disamakan dengan selain beliau? Qiyas semacam ini adalah qiyas ma’al faariq, yakni menyamakan dua hal yang berbeda, alias qiyas yang batil.

Kedua; ia mengatakan bahwa: tabarruk dengan diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta peninggalan para Rasul dan kaum sholihin merupakan bagian dari tauhid Islam. Dalam perkataan ini ia telah mencampuradukkan antara yang haq dan yang batil. Tabarruk dengan diri Rasulullah dan peninggalan beliau memang dibolehkan. Hal ini jelas ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, sedangkan sepeninggal beliau, maka bagaimana seseorang bisa melakukannya? Adakah dia memiliki bukti bahwa apa yang diklaim sebagai peninggalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memang benar-benar peninggalan beliau, padahal antara dia dengan Rasulullah telah terpaut lebih dari 1400 tahun?

Intinya, mustahil bagi orang zaman ini untuk tabarruk dengan diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun peninggalan beliau kecuali satu hal, yaitu berpegang teguh dengan Sunnah beliau dan mencampakkan segala bentuk bid’ah, khurafat dan syirkiyyat[12], termasuk tabarruk-tabarruk yang tidak benar seperti ini.

Adapun tabarruk dengan diri dan peninggalan ‘orang shalih’, maka sama sekali bukan bagian dari ajaran ‘tauhid Islam’, akan tetapi itulah ‘tauhid Novel Alaydrus’ dan tauhid orang Sufi. Ajaran ini sengaja dipelihara agar kaum Ba’alawi[13] tetap dipandang keramat oleh masyarakat, diyakini membawa berkah bagi mereka, doanya mujarab, dan segudang penghormatan lainnya. Itulah salah satu bentuk kultus individu yang bertentangan dengan ‘tauhid Islam’. Buktinya, tidak ada seorang pun dari para sahabat yang bertabarruk dengan Abu Bakar Ash Shiddiq dan Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhuma maupun sahabat-sahabat agung lainnya. Padahal mereka adalah manusia paling shalih setelah para Nabi dan Rasul. Demikian pula para tabi’in, tidak seorang pun dari mereka yang ber-tabarruk dengan para sahabat. Kalaulah tabarruk dengan diri dan peninggalan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sesuatu yang dibolehkan[14], pastilah mereka lebih dahulu melakukannya.

Lantas, bagaimana bentuk tabarruk yang benar dengan orang shalih?

Masalah tabarruk dengan orang shalih adalah masalah umum yang tidak bisa dihukumi kecuali jika diperinci. Jika yang dimaksud tabarruk dengan orang shalih adalah tabarruk dengan dzat mereka, keringat mereka, air bekas minum/wudhu mereka, pakaian mereka, tempat yang mereka singgahi, dsb maka hal ini adalah perkara yang batil. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan para salaf tidak pernah memerintahkan hal tersebut, dan sebagai orang beriman, kita diwajibkan mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap perintah dan larangannya, yaitu dengan melaksanakan perintah beliau sebagaimana yang beliau lakukan dan perintahkan. Demikian pula dalam menyikapi setiap larangan, kita harus meninggalkan apa yang beliau tinggalkan dan beliau larang.

Kalau ada yang mengatakan: “Kami mendapat berkahnya Si Fulan” atau “Sejak Si Fulan datang kami mendapat berkah”, maka perkataan ini bisa benar bisa salah. Yang benar ialah jika maksudnya bahwa Si Fulan menunjukkan kami dan mengajari kami serta memerintahkan kami kepada yang ma’ruf dan melarang kami dari yang munkar, maka berkat mengikuti dan menaatinya kami mendapat banyak kebaikan seperti ini. Sebagaimana penduduk Madinah yang mendapat berkah saat kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ketika mereka beriman dan menaati beliau. Lalu berkat itu semua mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat. Demikian pula setiap mukmin yang beriman dan menaati beliau akan mendapat berkah karenanya. Ia akan mendapat banyak kebaikan di dunia dan akhirat yang hanya Allah yang tahu berapa besarnya.

Demikian pula jika yang dimaksud bahwa atas berkat doa dan keshalihan Si Fulan, Allah menolak kejahatan dari kita dan kita mendapat rezeki dan kemenangan, maka ini pun sesuatu yang haq. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا يَنْصُرُ اللَّهُ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِضَعِيفِهَا بِدَعْوَتِهِمْ وَصَلَاتِهِمْ وَإِخْلَاصِهِمْ

Allah menolong umat ini tidak lain ialah karena orang-orang lemah diantara mereka, (yaitu) berkat doa, shalat dan keikhlasan mereka”.[15]

Jadi, yang dimaksud dengan berkahnya para wali Allah dan kaum shalihin itu ialah manfaat yang mereka berikan kepada umat lewat doa mereka untuk kebaikan kaum muslimin dan ajakan mereka agar manusia taat kepada Allah. Termasuk juga ketika Allah menurunkan rahmat-Nya atau menghindarkan siksa-Nya tersebab mereka, ini termasuk sesuatu yang haq dan memang ada. Inilah sebenarnya yang dimaksud dengan tabarruk dengan orang-orang shalih.[16]

Kesalahan besar ketiga ialah saat Novel mengatakan bahwa “mencari keberkahan majelis, keberkahan kaum sholihin, dan keberkahan napak tilas dan peninggalan orang-orang saleh… dst adalah murni ajaran Islam dan upaya yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan penerus mereka”. Jelas sekali di sini bahwa Novel kembali mencampuradukkan antara tabarruk yang haq dengan yang batil, yang menujukkan kejahilannya akan hal tersebut. Kemudian ia melengkapi kejahilannya tadi dengan kedustaan yang diatas namakan ajaran Islam, dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Laa haula walaa quwwata illa billaah. Alangkah buruknya apa yang dilakukan Novel, lebih-lebih jika mengingat bahwa dirinya termasuk ahlul bait, padahal disebutkan dalam kitab: Al Masyra’ur Rawiy fie Manaqibi Aal Abi ‘Alawiy (1/58):

إن القبيح من أهل البيت أقبح منه في غيرهم، ولهذا قال العباس لابنه عبد الله – رضى الله عنهما -، يا بني! إن الكذب ليس بأحدٍ أقبح من هذه الأمة أقبح منه بي وبك وبأهل بيتك

Suatu kejelekan yang berasal dari ahlul bait adalah lebih jelek jika dibandingkan dengan yang berasal dari selain mereka. Karenanya, Abbas berkata kepada Abdullah puteranya –semoga Allah meridhai mereka berdua-: “Wahai puteraku, sesungguhnya tidak ada kedustaan yang dilakukan seseorang dari umat ini, yang lebih jelek daripada kedustaan yang berasal dariku, darimu dan dari ahli baitmu”".

Sebagai penutup, kami akan menjelaskan secara singkat alasan dilarangnya tabarruk dengan diri orang shalih atau bekas-bekas peninggalannya sebagai berikut:
  1. Hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh para sahabat maupun para salaf terhadap orang-orang shalih diantara mereka. Adapun tabarruk para sahabat dengan diri dan peninggalan Rasulullah maka hal tersebut khusus berlaku bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, dan tidak boleh dikiaskan kepada selain beliau.
  2. Bila dibiarkan, hal ini akan membawa kepada syirik. Oleh karenanya, sebagai tindakan preventif hal ini harus dilarang.
  3. Keshalihan seseorang hanya bisa diketahui lewat wahyu mengingat letaknya di hati, sedangkan seseorang hanya bisa dinilai dari lahirnya. Padahal bisa saja seseorang kelihatan sebagai orang shalih tapi hatinya tidak seperti itu. Atau keadaannya berbalik menjelang matinya. Beda dengan orang yang dikabarkan oleh Allah sebagai orang-orang shalih yang telah diridhai-Nya, seperti para sahabat umpamanya. Mereka pasti benar-benar shalih, sebab Allah tidak mungkin mengabarkan sesuatu yang berbeda dengan kenyataannya, atau berubah setelah itu.
Karenanya, jika ada yang mengatakan: “Ini termasuk tabarruk dengan orang shalih”, kita katakan: “Ini hanya bersifat dugaan yang tidak dapat dipastikan. Sedangkan dugaan tidak boleh jadi landasan hukum dalam masalah seperti ini”.

Khatimah

Demikianlah sedikit penjelasan yang dapat penulis sampaikan. Penulis hanya berharap agar tulisan ini dapat difahami dengan baik dan benar oleh para pembaca, tanpa meninggalkan syubhat sedikit pun dalam hati mereka. Sungguh demi Allah, seandainya bukan karena tanggung jawab besar yang Allah pikulkan kepada orang yang diberi ilmu untuk menyampaikan yang haq sepahit apa pun resikonya, niscaya buku ini takkan pernah ada… kami mencintai Saudara Novel sebagai seorang muslim dan ahlul bait, akan tetapi kebenaran lebih kami cintai dari siapa pun juga, dan dialah yang harus dibela.

Kami yakin bahwa pasti ada di antara tulisan ini yang tidak enak dibaca oleh sebagian kalangan, oleh karenanya kami mohon maaf. Namun, sebagaimana kata Imam Syafi’i:

إِرْضَاءُ النَّاسِ غَايَةٌُ لاَ تُدْرَكُ

Menyenangkan semua orang adalah tujuan yang tak bisa dicapai.

Karenanya, cukuplah bagi seorang mukmin menghendaki Ridha Allah saja dan bersabar menghadapi kemarahan manusia. Bukankah orang sebaik Rasulullah saja dimusuhi sedemikian rupa? Bahkan dijuluki penyihir, gila, pendusta dan lain sebagainya? Mengapa beliau dimusuhi oleh mereka? Tak bukan ialah karena beliau membawa kebenaran.

Semoga Allah membukakan hati kita untuk menerima kebenaran tersebut dan mengamalkannya dengan baik. Ya Allah, tunjukkanlah yang haq sebagai yang haq dan jadikan kami orang yang mengikutinya; dan tunjukkanlah yang batil sebagai yang batil dan jadikan kami orang yang menjauhinya.



وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

Daftar Pustaka
  1. Al Qur’anul Kariem.
  2. Shahih Al Bukhari. Abu ‘Abdillah, Muhammad bin Isma’il Al Bukhari
  3. Shahih Muslim. Muslim ibnul Hajjaj Al Qusyairi An Nisaburi, tarqim: Muhammad Fuad Abdul Baqi, Maktabah Dahlan, Indonesia.
  4. Sunan Abu Dawud. Abu Dawud, Sulaiman ibnul Asy’ats As Sijistani Al Azdy. Tahqiq: Masyhur bin Hasan Aal Salman & Muhammad Nashiruddien Al Albany, cet.1, t.t, Maktabatul Ma’arif, Riyadh-Saudi Arabia.
  5. Sunan At Tirmidzi. Abu ‘Isa, Muhammad bin ‘Isa bin Saurah At Tirmidzi As Sulamy.
  6. Sunan Ibnu Majah. Abu ‘Abdillah, Muhammad bin Yazid ibnu Majah Al Qazweiny.
  7. Musnad Al Imam Ahmad. Abu ‘Abdillah, Ahmad ibnu Muhammad ibnu Hambal Asy Syaibany Al Baghdady, th. 1419/1998, Baitul Afkar Ad Duwaliyah, Riyadh-Saudi Arabia.
  8. Musnad Ath Thayalisi, Abu Dawud, Sulaiman bin Dawud Ath Thayalisi, tahqiq: DR. Muhammad Abdul Muhsin At Turki & Markaz Buhuts wa Dirasah Al ‘Arabiyyah wal Islamiyyah Daar Hajar, cet. 1, th. 1419/1999, Daar Hajar, Giza-Mesir.
  9. Sunan Ad Darimi. Abu Muhammad, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Ad Darimi At Tamimy.
  10. Al Mu’jamul Kabir. Abul Qasim, Sulaiman bin Ahmad Al Lakhmy, Ath Thabarany Asy Syafi’iy.
  11. Syarh Musykilil Aatsar. Abu Ja’far, Ahmad bin Muhammad bin Salamah Ath Thahawy, tahqiq: Abul Husein, Khalid Mahmud Ar Rabath, cet.1, th. 1420/1999, Daarul Balansiah, Riyadh-Saudi Arabia.
  12. Fathul Baari syarh Shahihil Bukhari. Ahmad bin ‘Ali ibnu Hajar Al Kinani Al ‘Asqalany.
  13. Tuhfatul Ahwadzi syarh Jaami’it Tirmidzi. Abdurrahman Al Mubarakfury.
  14. ‘Aunul Ma’bud syarh Sunan Abi Dawud. Syamsul Haq Al ‘Azhim Abady.
  15. Mukhtasar Iqtidha’is Shiratil Mustaqiem. Syaikhul Islam, Abul ‘Abbas, Ahmad bin ‘Abdil Halim bin Abdissalam ibnu Taimiyyah Al Harrani Al Hambaly. Ikhtisar: DR. Nashir bin ‘Abdil Kariem Al ‘Aql. Cet.1, th. 1419/1999, Daar Isybelia, Riyadh-Saudi Arabia.
  16. Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam. Zainuddien, Abdurrahman bin Ahmad Ibnu Rajab Al Baghdady Al Hambaly. Tahqiq: Muhammad Khalaf Yusuf, Cet. Daarut Tauzi’ wan Nasyril Islamiyyah.
  17. At Tawassul Ahkaamuhu wa Anwaa’uhu, Muhammad Nashiruddien Al Albani, cet. 3, tt, Al Maktabul Islamy, Beirut-Lebanon.
  18. An Nihayah fi Gharibil Hadits wal Aatsar. Majduddien, Abus Sa’adaat Al Mubarak bin Muhammad ibnul Atsir Al Jazary, tahqiq: Thahir Ahmad Azzawy & Mahmud Muhammad Thanahy, th. 1399/1979, Al Maktabatul ‘Ilmiyyah, Beirut-Libanon.
  19. Al Qomus Al Muhith. Abu Thahir, Muhammad bin Ya’qub Asy Syirazi Al Fairuzabadi, cet. 9 th. 1424/2003. tahqiq: Maktab Tahqiqut Turath, Muassasah Ar Risalah, Beirut-Libanon.
  20. Lisaanul ‘Arab. Muhammad bin Mukram ibnu Mandhur Al Ifriqy Al Mishry, cet.1, Daar Shader, Beirut-Libanon.
  21. Taajul ‘Aruus Min Jawahiril Qomus. As Sayyid, Abul Faidh, Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazzaq Al Husainy (Al Murtadha Az Zabidy).
  22. Tahdziebul Lughah. Abu Manshur, Muhammad ibnu Ahmad ibnul Azhar Al Azhary Al Harawy Asy Syafi’iy.
  23. At Ta’riefat. As Sayyid Asy Syarief ‘Ali bin Muhammad Al Jurjani.
  24. Kitabul ‘Ain. Al Khalil bin Ahmad Al Farahidy.
  25. Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah. Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafy, tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, cet. Wizarah Syu’un Al Islamiyyah, Saudi Arabia.
  26. Al Ihkam fi Ushulil Ahkam. Saifuddien, Abul Hasan Ali bin Abi Muhammad Ats Tsa’laby Al Aamidy Al Hambaly tsumma Asy Syafi’iy.
  27. Al Mankhul fi Ta’lieqatil Ushul. Abu Hamid Al Ghazali.
  28. Ma’alimut Tanziel (Tafsir Al Baghawy). Muhyis Sunnah, Abu Muhammad Al Husein bin Manshur Al Baghawy. Cet. 4, th. 1417/1997. tahqiq: Muhammad Abdullah An Namir, Utsman Jum’ah Dhumeiriyyah & Sulaiman Muslim Al Harasy. Darut Taybah lin Nasyri wat Tauzi’, Riyadh-Saudi Arabia.
  29. Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an (Tafsier At Thabary). Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazin Al Aamily At Thabary. Cet.1, th. 1420/2000, tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, Muassasah Ar Risalah, Beirut-Libanon.
  30. Tafsier Ibnu Katsier. Abul Fida’ Ismail ibnu ‘Umar ibnu Katsier Al Qurasyi, cet. 2, th. 1420/1999, tahqiq: DR. Sami bin Muhammad Salamah, Dar Taybah lin Nasyri wat Tauzi’, Riyadh – Saudi Arabia
  31. Silsilah Al Ahadietsus Shahihah. Abu ‘Abdirrahman, Muhammad Nashiruddien Al Albany.
  32. Silsilah Al Ahadietsud Dha’iefah. Abu ‘Abdirrahman, Muhammad Nashiruddien Al Albany.
  33. Shahih wa Dha’if Sunan At Tirmidzi, Abu ‘Abdirrahman, Muhammad Nashiruddien Al Albany.
  34. Shahih wa Dha’if Sunan Ibni Majah, Abu ‘Abdirrahman, Muhammad Nashiruddien Al Albany.
  35. Dhilaalul Jannah Takhriej Ahaadiets As Sunnah, Abu ‘Abdirrahman, Muhammad Nashiruddien Al Albany.
  36. Shifatu Shalaatin Nabiyyi, Abu ‘Abdirrahman, Muhammad Nashiruddien Al Albany.
  37. Irwa’ul Ghalil takhrij Ahaadiets Manaaris Sabiel, Abu ‘Abdirrahman, Muhammad Nashiruddien Al Albany.
  38. Zaadul Ma’aad. Al Hafizh Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad Ad Dimasyqi.
  39. I’laamul Muwaqqi’ien. Al Hafizh Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad Ad Dimasyqi.
  40. Al Wajiez fi ‘Aqiedatu As Salafis Shalih Ahlissunnah wal Jama’ah. Abdullah bin ‘Abdil Hamid Al Atsary, muraja’ah: Shaleh bin Abdil ‘Aziz Alu Syaikh, cet.1, th. 1422, Wizaratu Syu’unil Islamiyyah wad Da’wah wal Irsyad, Saudi Arabia.
  41. Syarhus Sunnah. Muhyis Sunnah, Abu Muhammad Al Husein bin Manshur Al Baghawy
  42. Al Bida’u wan Nahyu ‘Anha. Abu ‘Abdillah, Muhammad Ibnu Wadhdhah bin Bazie’ Al Marwany. Tahqiq: Muhammad Ahmad Dahman, th. 1411 Darus Shafa.
  43. Syarh Ushulu I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah. Abul Qasim, Hibatullah ibnul Hasan bin Manshur Al Laalaka-i Asy Syafi’iy.
  44. Al I’tisham. Abu Ishaq, Ibrahim bin Musa Asy Syathiby.
  45. Lum’atul I’tiqad, Ibnu Qudamah Al Maqdisy, cet.2, th 1420/2000, Wizaratu Syu’unil Islamiyyah, Saudi Arabia.
  46. Kitaabul ‘Ubuudiyyah, Syaikhul Islam, Abul ‘Abbas Ahmad bin Abdil Halim bin Abdissalaam ibnu Taimiyyah Al Harrani Al Hambaly.
  47. Nailul Authar, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukany.
  48. Asy Syifa bita’rief Huquuqil Musthafa. Al Qadhi Abul Fadhel ‘Iyadh Al Yahshuby, th. 1409/1988, Daarul Fikr, Beirut-Libanon.
  49. Wafayaatul A’yaan. Syamsuddien, Abul ‘Abbas, Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr ibnu Khallikan, tahqiq: Ihsan ‘Abbas, Daar Shader, Beirut-Libanon.
  50. Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibni Taimiyyah, Taqiyyuddien Abdul Halim bin Abdissalaam bin Taimiyyah Al Harrani Al Hambaly, dikumpulkan oleh: Abdurrahman bin Qasim dkk, tahqiq: Anwar Al Baz & Amir Al Jazzar, cet.3, th. 1426/2005, Daarul Wafa’.
  51. Tadzkiratul Huffazh, Abu Abdillah, Muhammad bin Ahmad Adz Dzahabi, tashih: Wizaratul Ma’arif Al Hukumiyyah Al Hindiyyah, Daar Ihya’ Turats Al ‘Araby.
  52. Tahdziebul Kamaal fi Asmaa’ir Rijaal, Jamaluddien Abul Hajjaj Yusuf Al Mizzy, tahqiq: DR. Basyar ‘Awwad Ma’rouf, cet.4, th. 1406/1985. Muassasah Ar Risalah, Beirut-Libanon.
  53. Tahdziebut Tahdzieb, Syihabuddien, Ahmad bin ‘Ali ibnu Hajar Al ‘Asqalany Asy Syafi’iy, cet.1, th. 1404/1984. Daarul Fikr.
  54. Taqriebut Tahdzieb, Syihabuddien, Ahmad bin ‘Ali ibnu Hajar Al ‘Asqalany Asy Syafi’iy, tahqiq: Musthafa Abdul Qadir ‘Atha, cet. 1, th. 1413/1993. Daarul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut-Libanon.
  55. Kitabul Majruhien, Abu Hatim Muhammad ibnu Hibban Al Busty.
  56. Al Kamil fi Dhu’afaa-ir Rijaal, Al Imam Abu Ahmad, Abdullah ibnu ‘Adiy Al Jurjani, tahqiq: DR. Suhail Zakkar & Yahya Mukhtar Ghazawy, Daarul Fikr, Beirut-Libanon.
  57. Mudzakkirah fi Ushulil Fiqh. Muhammad Al Amin Asy Syinqithy, cet.5, th 1422/2001, Maktabatul ‘Ulum wal Hikam, Madinah Al Munawwarah-Saudi Arabia.
  58. Al Bahrul Muhith. Badruddien Muhammad bin ‘Abdillah Az Zarkasyi Al Mishry Asy Syafi’iy.
  59. Qawa’id fi Ma’rifatil Bida’. DR. Muhammad bin Husein Al Jezany.
  60. Syarh Al Bahjatil Wardiyyah. Abu Yahya, Zakaria bin Muhammad bin Ahmad Al
  61. Siyaru A’laamin Nubala’. Abu Abdillah, Muhammad bin Ahmad Adz Dzahabi, th.2004, tartib: Hassan Abdul Mannan, Baitul Afkar Ad Duwaliyyah, Beirut-Libanon.
  62. Al Inshaf fiema Qiela fi Maulidin Nabiyyi Minal Ghuluwwi wal Ijhaaf. Abu Bakr Jabir Al Jazairy, cet.1, th.1405, Ar Riasatul ‘Aammah li Idaratil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’ wad Da’wah wal Irsyad, Saudi Arabia.
  63. Al Qomus Al Fiqhy Lughatan Wasthilaahan. DR. Sa’dy Abu Habib, cet.2. th. 1408/1988, Daarul Fikr, Damaskus-Syiria.
  64. Taariekh Dimasyq. Abul Qasim Ibnu ‘Asakir, ‘Ali ibnul Hasan bin Hibatullah Asy Syafi’iy, tahqiq: ‘Ali Syeiry, cet.1, th. 1419/1998, Darul Fikr, Beirut-Libanon.
  65. Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab. Muhyiddien Abu Zakaria, Yahya bin Syaraf An Nawawi, t.t, Darul Fikr.
  66. Hilyatul Auliya’. Al Hafizh Abu Nu’aim, Ahmad bin Abdillah bin Ishaq Al Ashbahany.
  67. Haadzihi Mafaahimuna, Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Aalusy Syaikh.
  68. Qaa’dah Jalielah fie At Tawassul wal Wasielah, Taqiyyuddien Abdul Halim bin Abdussalaam bin Taimiyyah.
  69. Ar Risaalah. Abu ‘Abdillah, Muhammad bin Idris Asy Syafi’iy Al Muththaliby, tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, th. 1358/1939, Al Maktabatul ‘Ilmiyyah, Beirut-Libanon.
  70. Anwaarul Buruq fi Anwa’il Furuq. Syihabuddien, Abul ‘Abbas Ahmad bin Idris Al Qarafy.
  71. Syarh Al Kaukabul Munier. Al Futuhy.
  72. Al Ibanatul Kubra. Ibnu Batthah, Abu ‘Abdillah Ubeidullah bin Muhammad Al ‘Ukbury.
  73. Syu’abul Iman. Al Hafizh Abu Bakr, Ahmad ibnul Husein bin ‘Ali Al Baihaqy Asy Syafi’iy.
  74. Tahqiequl Farqi bainal ‘Aamili bi’ilmihi wa Ghairih, Abdurrahman bin ‘Ubeidillah As Saqqaf, tahqiq: ‘Alawi bin ‘Abdil Qadir As Saqqaf, cet. 1, 1426/2005.
  75. Kamus Kontemporer. Atabik Ali & Ahmad Zuhdi Muhdlor, cet.2 1997, Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta-Indonesia.
  76. Kamus Al Munawwir. Ahmad Warson Munawwir, cet. 14, Januari 1997, Pustaka Progressif, Surabaya-Indonesia.
  77. Mana Dalilnya. Novel bin Muhammad Alaydrus, cet.3, Maret 2005, Taman Ilmu, Solo-Indonesia.
  78. Mana Dalilnya 2. Novel bin Muhammad Alaydrus, cet.1, April 2006, Taman Ilmu, Solo-Indonesia.
  79. Jalan Nan Lurus, Sekilas Pandang Tarekat Bani ‘Alawi, Novel bin Muhammad Alaydrus, cet.1, Agustus 2006, Taman Ilmu, Solo-Indonesia.
Maraji’ Multimedia:
  1. Al Makatabah Asy Syaamilah, vol. 3.8.
  2. Mausu’ah Al Hadeeth Asy Syarief, vol. 2.1, Harf Information Technology, Mesir.
  3. Mausu’ah Al Hadeeth Asy Syarief, vol. 8.0, Elariss for Computer, Libanon.
  4. Al Munadharatul Kubra bainas Salafiyyah wa Mukhalifieha, Asy Syaikh ‘Adnan ‘Ar’ur (vcd).
  5. Syarh Qawa’id fi Ma’rifatil Bida’, Syaikh DR. Muhammad Husein Al Jezany (kaset tape).
  6. Syarh Qawa’id fil buyu’, Syaikh DR. Sulaiman bin Salimullah Ar Ruhaily.
  7. Program Mushaf Rasmul ‘Utsmani.
  8. Terjemahan Al Qur’an (versi Departemen Agama RI).

Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel www.muslim.or.id

***********

[1] Penafsiran ini sengaja kami salin apa adanya secara selang-seling antara potongan ayat dengan tafsirnya agar mudah dipahami.

[2] Demikianlah julukan para ulama terhadap beliau, yang artinya “Gurunya para ahli tafsir”. Hal ini ialah karena kitab tafsir yang beliau susun adalah kitab tafsir paling agung dan paling awal, dan seluruh ahli tafsir setelah beliau pasti menukil dari kitab tersebut. Nama beliau adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir, Abu Ja’far Ath Thabary. Beliau lahir tahun 224 H dan memiliki ilmu, kecerdasan dan banyaknya karya tulis yang jarang ada tandingannya di zaman itu. Beliau mengatakan: “Aku istikharah dan minta tolong kepada Allah selama tiga tahun untuk mewujudkan niatku menyusun tafsir sebelum aku menulisnya, maka Allah pun menolongku”. Suatu ketika beliau berkata kepada murid-muridnya:

“Tertarikkah kalian dengan tarikh sejak Nabi Adam hingga hari ini?”

“Seberapa panjang itu?” tanya mereka.

“Sekitar 30 ribu lembar“, jawab beliau.

“Wah, umur kita akan habis sebelum menyelesaikannya”, jawab mereka.

“Inna lillaah, semangat (dalam mencari ilmu) telah padam”, tukas beliau.

Maka beliau pun meringkasnya menjadi sekitar 3000 lembar. Kemudian ketika ingin meng-imla’kan (mendiktekan) kitab tafsirnya, beliau juga berkata seperti itu dan mendapat jawaban yang sama, maka beliau pun meringkasnya menjadi 3000 lembar. Beliau wafat pada tahun 310 H, dan alhamdulillah, kedua kitab tersebut masih ada sampai hari ini. Demikianlah sekelumit biografi beliau, selengkapnya dapat saudara baca dalam Siyar A’laamin Nubala’ jilid 14 hal 267-282, tulisan Imam Adz Dzahabi.

[3] Inilah yang penting untuk difahami, apa makna aalihah dan autsaan? Yang pertama adalah bentuk jama’ dari kata ilaah, artinya sesuatu yang diibadahi, yang dalam konteks ini adalah shanam (patung/arca). Sedang yang kedua adalah bentuk jama’ dari kata watsan. Beda antara shanam dengan watsan ialah bahwa shanam memiliki tubuh atau wajah, sedangkan watsan tidak (lihat: Lisaanul ‘Arab, kata sha-na-ma (صنم) ).

[4] Lihat: Tafsir Ath Thabari 20/453.

[5] Idem, 20/453.

[6] Ironis memang kalau sang cucu justru mengkhianati perjuangan orang yang diklaim sebagai leluhurnya. Mudah-mudahan dia segera bertaubat dari kesesatannya agar tidak menjadi seperti anak Nabi Nuh yang durhaka dan kufur terhadap ajaran ayahnya, hingga binasa dalam kekufuran. Ya karena Islam bukan agama nepotisme, tidak bisa mentang-mentang keturunan Nabi lantas dapat jaminan Surga, doanya manjur, banyak berkahnya dan sebagainya. TIDAK sama sekali.

[7] Dalam surat Az Zumar ayat 3 Allah berfirman yang artinya: Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Lalu muncullah berhala seperti Laatta, ‘Uzza dan sebagainya. Tahukah Anda siapa itu Laatta? Simak penjelasan Ibnu ‘Abbas, Ibnuz Zubair, Mujahid berikut: Al Laatta konon seorang yang membikin adonan gandum untuk jemaah haji –diambil dari kata: latta-yaluttu fahuwa laattun, yang artinya mencampur tepung dengan air. Al Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya: “Setelah orang itu wafat, mereka mengeramatkan kuburannya dan menyembahnya!” (lihat: Tafsir Al Qurthubi, 17/100).

[8] Tanpa peduli apakah itu shahih, dha’if atau bahkan palsu sekalipun. kalaupun ada yang shahih –dan itu sangat jarang— maknanya pasti tidak mengena dan dipelintir kesana kemari.

[9] Sebagai rujukan, silakan baca kitab yang berjudul: Dam’atun alat tauhid (دمعة على التوحيد). Kitab ini dapat didownload dari internet, isinya tentang fenomena penyembahan terhadap berbagai kuburan di seluruh penjuru dunia. Anda mungkin tidak percaya jika di Mesir saja ada sekitar 6000 kuburan yang dikeramatkan, belum lagi di Pakistan, Bangladesh, Sudan dan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya.

[10] Sebab memang banyak sekali dalil yang menunjukkan hal tersebut. Bahkan jauh lebih banyak dari yang disebutkan oleh Novel sendiri.

[11] Yakni Rasulullah dan orang shalih yang dimaksud.

[12] Artinya hal-hal yang berbau syirik.

[13] Yaitu mereka yang mengaku anak-cucu Ali bin Abi Thalib alias Ahlul bait. Mayoritas dari mereka yang ada di Hadramaut, Indonesia dan berbagai belahan dunia lain sayangnya telah banyak terpengaruh oleh ajaran tasawuf. Bahkan Novel mengakui bahwa kaumnya adalah penganut salah satu tarekat sufi, yaitu dalam bukunya ‘Jalan nan Lurus, sekilas pandang tarekat Bani ‘Alawi’.

[14] Apalagi jika termasuk bagian tauhid Islam seperti anggapan Novel.

[15] HR. Nasa’i no 3178, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani.

[16] Demikian yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Lihat: Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 11/113-114.

Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.