Wajibnya kembali kepada sahabat dalam memahami Islam
Jauh dari jalan sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah, adalah pertanda kesesatan dan alamat kebinasaan. Dalam sebuah wasiatnya yang agung, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mewanti-wanti umat ini agar selalu berjalan di atas jalan mereka yang lurus. Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Maka sungguh, siapa yang hidup di antara kalian akan menyaksikan perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Al-Khulafa yang mendapat bimbingan dan petunjuk, pegang eratlah sunnah itu dan gigitlah dengan geraham-geraham kalian.”[1]
Nasihat ini ternyata tidak dihiraukan oleh orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya, kaum Khawarij misalnya. Meski mereka orang yang rajin ibadah, tekun berzikir bahkan jidat-jidat mereka hitam terluka karena banyaknya shalat malam, namun tatkala jalan yang mereka tempuh bukan jalan sahabat Rasulullah n –salaf (pendahulu) umat ini– mereka pun Allah Subhanahu waTa'la sesatkan hingga terjerumus dalam jurang kebinasaan. Demikianlah ketentuan Allah Subhanahu waTa'la atas mereka yang menentang Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam dan meninggalkan jalan sahabat-sahabatnya.
“Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)
Rentetan peristiwa tarikh adalah mata rantai-mata rantai bersambung yang tak terpisahkan. Wafatnya Khalifah Ar-Rasyid Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu dalam keadaan syahid dan terzalimi adalah bagian dari akibat buruk pemahaman Khawarij yang jauh dari sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam Mereka memang ahli baca Qur'an, bahkan menghafalnya. Mereka ahli ibadah, bahkan di sebagian besar waktunya. Namun ketika mereka telah tinggalkan sahabat dalam memahami wahyu AllahSubhanahu waTa'la, mereka pun terjatuh dalam jurang kebinasaan.
Bukti kebodohan Khawarij dan jauhnya mereka dari salaf umat ini terlalu banyak untuk disebutkan. Cukuplah dalam lembar berikut kita simak dialog mereka bersama Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, putra paman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, habrul ummah (ulama umat ini). Dalam dialog tersebut kita bisa menyimak sejauh mana mereka menyimpang dari jalan sahabat, dan bagaimana mereka lebih mengedepankan ra’yu (logika) dan perasaan ketimbang jalan lurus yang telah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam gariskan.
Kita tinggalkan Abul Faraj Ibnul Jauzi t meriwayatkan dialog tersebut dalam bukunya, Talbis Iblis, dengan sanadnya hingga Abdullah bin ‘Abbas bin Abdul Muththalib c....
Cermin kebodohan Khawarij dalam memahami agama
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata: “Orang-orang Khawarij memisahkan diri dari Ali Radhiyallahu 'anhu, berkumpul di satu daerah untuk keluar dari ketaatan (memberontak) kepada khalifah. Mereka ketika itu berjumlah enam ribu orang.
Semenjak Khawarij berkumpul, tidaklah ada seorang yang mengunjungi Ali Radhiyallahu 'anhu melainkan dia berkata –mengingatkan beliau–: “Wahai Amirul Mukminin, mereka kaum Khawarij telah berkumpul untuk memerangimu.”
Beliau menjawab: “Biarkan mereka, aku tidak akan memerangi mereka hingga mereka memerangiku, dan sungguh mereka akan melakukannya.”
Hingga di suatu hari yang terik, saat masuk waktu dhuhur aku menjumpai Ali Radhiyallahu 'anhu. Aku berkata: “Wahai Amirul Mukminin, tunggulah cuaca dingin untuk shalat dhuhur, sepertinya aku akan mendatangi mereka (Khawarij) berdialog.”
‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu berkata: “Wahai Ibnu Abbas, sungguh aku mengkhawatirkanmu!”
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu: “Wahai Amirul Mukminin, janganlah kau khawatirkan diriku. Aku bukanlah orang yang berakhlak buruk dan aku tidak pernah menyakiti seorang pun.” Maka Ali Radhiyallahu 'anhu mengizinkanku.
“Jubah terbaik dari Yaman segera kupakai, kurapikan rambutku, dan kulangkahkan kaki ini hingga masuk di barisan mereka di tengah siang.”
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata: “Sungguh aku dapati diriku masuk di tengah kaum yang belum pernah sama sekali kujumpai satu kaum yang sangat bersemangat dalam ibadah seperti mereka. Dahi-dahi penuh luka bekas sujud, tangan-tangan menebal bak lutut-lutut unta. Wajah-wajah mereka pusat pasi karena tidak tidur, menghabiskan malam untuk beribadah.”
Kuucapkan salam pada mereka. Serempak mereka menyambutku: “Marhaban, wahai Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu. Apa gerangan yang membawamu kemari?”
Aku berkata: “Sungguh aku datang pada kalian dari sisi sahabat Muhajirin dan sahabat Anshar, juga dari sisi menantu Rasulullah n,[2] yang kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan dan merekalah orang-orang yang paling mengerti makna Al-Qur’an daripada kalian.”
Pembaca rahimakumullah, sebelum kita lanjutkan penuturan Ibnul Jauzi t, perhatikan sejenak jawaban Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu yang sarat makna dan penuh keindahan. Kata-kata itu sesungguhnya mutiara yang sangat berharga, yang mengingatkan akan kedudukan sahabat Muhajirin dan Anshar sekaligus nasihat bagaimana seharusnya prinsip seorang muslim dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah yaitu: mengembalikan kepada pemahaman sahabat yang kepada merekalah Al-Qur'an diturunkan, dan merekalah orang yang paling mengerti Al-Kitab dan As-Sunnah. Dalam jawaban ini, beliau juga ingin tegaskan besarnya kedudukan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu di sisi Allah , sebagai menantu Rasulullah n. Mungkin dengan ini mereka menyadari kesesatan yang mereka berada di atasnya dan segera bertaubat untuk tidak memerangi Ali Radhiyallahu 'anhu.
Begitu mendengar ucapan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu yang penuh makna dan merupakan prinsip hidup –yang tentunya tidak mereka sukai karena menyelisihi prinsip sesat mereka–, berkatalah sebagian Khawarij memberi peringatan: “Jangan sekali-kali kalian berdebat dengan seorang Quraisy (yakni Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu, pen.). Sesungguhnya Allah l berfirman:
ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ
“Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (Az-Zukhruf: 58)
Betapa bodohnya mereka gunakan ayat ini untuk mencela Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, padahal beliau lebih mengerti Al-Qur’an, sebagaimana Rasulullah n berdoa untuknya: “Ya Allah, faqihkan ia dalam agama dan ajarkanlah ia tafsir.”
Ibnul Jauzi kembali melanjutkan riwayat kisah ini: Berkata dua atau tiga orang dari mereka: “Biarlah kami yang akan mendebatnya!”.
Aku berkata: “Wahai kaum, datangkan untukku alasan, mengapa kalian membenci menantu Rasulullah n beserta sahabat Muhajirin dan Anshar, padahal kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan, Tidak ada pula seorang pun dari sahabat yang bersama kalian, dan ia (Ali Radhiyallahu 'anhu adalah orang) yang paling mengerti dengan tafsir Al-Qur’an?”
Mereka berkata: “Kami punya tiga alasan.”
Aku berkata: “Sebutkan (tiga alasan kalian).”
Mereka berkata: “Pertama: Sungguh dia telah jadikan manusia sebagai hakim (pemutus perkara) dalam urusan Allah , padahal Allah berfirman:
“...Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah ...” (Yusuf: 40)
Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan firman Allah l.[3]
Aku berkata: “Ini alasan kalian yang pertama. Lalu apa lagi?”
Mereka berkata: “Adapun yang kedua, sesungguhnya dia telah berperang dan membunuh tapi kenapa tidak mau menawan dan mengambil ghanimah? Kalau mereka (Aisyah dan barisannya) itu mukmin tentu tidak halal bagi kita memerangi dan membunuh mereka. Tidak halal pula tawanan-tawanannya.”
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata: “Lalu apa alasan kalian yang ketiga?”
Mereka berkata: “Ketiga: Dia telah hapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya. Kalau dia bukan amirul mukminin (karena menghapus sebutan itu) berarti dia adalah amirul kafirin (pemimpin orang-orang kafir).”
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata: “Adakah pada kalian alasan selain ini?” Mereka berkata: “Cukup sudah bagi kami tiga perkara ini!”
Bantahan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu atas kebodohan Khawarij
Pembaca rahimakumullah, lihatlah bagaimana Khawarij bermudah-mudah mengambil vonis kafir, dan mengambil sikap memberontak bahkan kepada khalifah Ar-Rasyid yang penuh keutamaan dan kemuliaan. Alasan-alasan mereka adalah syubhat yang sangat lemah dan menunjukkan kebodohan mereka dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah serta an jauhnya mereka dari pemahaman sahabat.
Selanjutnya, mari kita simak bagaimana Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu mendudukkan syubhat-syubhat tersebut.
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata: “Ucapan kalian bahwa Ali Radhiyallahu 'anhu telah menggunakan manusia dalam memutuskan perkara (untuk mendamaikan persengketaan antara kaum muslimin -pen), sebagai jawabannya akan kubacakan ayat yang membatalkan syubhat kalian. Jika ucapan kalian terbantah, maukah kalian kembali (kepada jalan yang benar)?”
Mereka berkata: “Ya, tentu kami akan kembali.”
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Allah Subhanahu wata'ala telah menyerahkan di antara hukum-Nya kepada hukum (keputusan) manusia, seperti dalam menentukan harga kelinci (sebagai tebusan atas kelinci yang dibunuh saat ihram[5].) Allah Subhanahu wata'alal berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan (hukum) dua orang yang adil di antara kamu, sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (Al-Maidah: 95)
Demikian pula dalam perkara perempuan dan suaminya yang bersengketa, Allah Subhanahu wata'ala juga menyerahkan hukumnya kepada hukum (keputusan) manusia untuk mendamaikan antara keduanya. Allah l berfirman:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.” (An-Nisa: 35)
Maka demi Allah , jawablah oleh kalian. Apakah diutusnya seorang manusia untuk mendamaikan hubungan mereka dan mencegah pertumpahan darah di antara mereka[6] lebih pantas untuk dilakukan, atau hukum manusia perihal darah seekor kelinci dan urusan pernikahan wanita? Menurut kalian manakah yang lebih pantas?"
Mereka katakan: “Bahkan inilah (yakni mengutus manusia untuk mendamaikan manusia dari pertumpahan darah) yang lebih pantas.”
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata: “Apakah kalian telah keluar dari masalah pertama?” Mereka berkata: “Ya.”
Ibnu Abbas melanjutkan: "Adapun ucapan kalian bahwa Ali Radhiyallahu 'anhu telah memerangi tapi tidak mau mengambil ghanimah dari yang diperangi dan tidak menjadikan mereka sebagai tawanan, sungguh (dalam alasan kedua ini) kalian telah mencerca ibu kalian (yakni Aisyah). [7]
Demi Allah ! Kalau kalian katakan bahwa Aisyah bukan ibu kita (yakni kafir), kalian sungguh telah keluar dari Islam (karena mengingkari firman Allah Subhanahu wata'ala). Demikian pula kalau kalian menjadikan Aisyah sebagai tawanan perang dan menganggapnya halal sebagaimana tawanan lainnya (sebagaimana layaknya orang-orang kafir), maka kalianpun keluar dari Islam. Sesungguhnya kalian berada di antara dua kesesatan, karena Allah Subhanahu wata'ala berfirman:
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.” (Al-Ahzab: 6)
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata: “Apakah kalian telah keluar dari masalah ini?”
Mereka menjawab: "Ya."
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata lagi: "Adapun ucapan kalian bahwasanya Ali Radhiyallahu 'anhu telah menghapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya, maka (sebagai jawabannya) aku akan kisahkan kepada kalian tentang seorang yang kalian ridhai, yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Ketahuilah, bahwasanya beliau di hari Hudaibiyah (6 H) melakukan shulh (perjanjian damai) dengan orang-orang musyrikin, Abu Sufyan dan Suhail bin ‘Amr. Tahukah kalian apa yang terjadi?
Ketika itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Ali Radhiyallahu 'anhu: “Wahai Ali, tulislah perjanjian untuk mereka.” Ali menulis: “Inilah perjanjian antara Muhammad Rasulullah...”
Segera orang-orang musyrik berkata: “Demi Allah Subhanahu wata'ala! Kami tidak tahu kalau engkau rasul Allah . Kalau kami mengakui engkau sebagai rasul Allah tentu kami tidak akan memerangimu.”
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Ya Allah , sungguh engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasulullah. Wahai Ali tulislah: Ini adalah perjanjian antara Muhammad bin Abdilah...'.” (Rasulullah memerintahkan Ali untukmenghapus sebutan Rasulullah dalam perjanjian, pen.)
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata: “Demi Allah Subhanahu wata'ala, sungguh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam lebih mulia dari Ali Radhiyallahu 'anhu Meskipun demikian, beliau menghapuskan sebutan Rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyah...” (Apakah dengan perintah Rasul menghapuskan kata Rasulullah dalam perjanjian kemudian kalian mengingkari kerasulan beliau? Sebagaimana kalian ingkari keislaman Ali karena menghapus sebutan Amirul Mukminin?)
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata: “Maka kembalilah dua ribu orang dari mereka, sementara lainnya tetap memberontak (dan berada di atas kesesatan), hingga mereka diperangi dalam sebuah peperangan besar (yakni perang Nahrawan)."[8]
Demikian tiga syubhat Khawarij yang mereka jadikan sebagai alasan memberontak dan memerangi Ali Radhiyallahu 'anhu. Semua syubhat tersebut terbantah dalam dialog mereka dengan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu. Maka selamatlah mereka yang mau mendengar sahabat dan menjadikan mereka sebagai rujukan dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah. Sedangkan mereka yang tidak mau kembali pada sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallamn tetap dalam kebinasaan.
Hingga terjadilah pertempuran Nahrawan. Fitnah pun berlanjut dan terjadilah pembunuhan Khalifah Ar-Rasyid Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu.
[1] HR. Abu Dawud no. 4607 dan At-Tirmidzi no. 2676.
[2] Yakni Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu .
[3] Maksud mereka: Kenapa Ali Radhiyallahu 'anhu melakukan tahkim (berhukum) dengan keputusan Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu 'anhu dari pihak beliau dan ‘Amr bin Al-Ash Radhiyallahu 'anhu dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu 'anhu untuk melakukan shulh (perdamaian), demi menjaga darah-darah muslimin setelah sebelumnya terjadi perang Shiffin di bulan Shafar tahun 37 H.
[4] Yaitu perang Jamal tahun 36 H. Perang antara barisan 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu dan barisan Aisyah Radhiyallahu 'anha Hal yang harus diketahui tentang perang Jamal, bahwasanya dalam perang tersebut sama sekali Ali bin Abi Thalib maupun Aisyah tidak menginginkan adanya peperangan. Yang terjadi adalah keinginan Aisyah untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) antara dua barisan kaum muslimin. Berangkatlah Aisyah menuju Bashrah bersama Thalhah, Az-Zubair dan sejumlah kaum muslimin dengan tujuan ishlah. Perdamaian pun terjadi di antara kedua belah pihak. Namun para penyulut fitnah tidak tinggal diam dengan ketenangan dan perdamaian yang terwujud. Mereka melakukan makar dengan memunculkan penyerangan dari dua kubu sekaligus. Maka Ali menyangka beliau diserang, sehingga harus membela diri. Demikian pula Aisyah menyangka diserang sehingga harus membela diri, hingga terjadilah peperangan yang sesungguhnya tidak diinginkan. Yang harus diketahui pula, bahwasanya tidak ada seorang sahabat pun yang ikut dalam fitnah tersebut. (Lihat Tasdid Al-Ishabah Fima Syajara Bainash-Shahabah, oleh Dziyab bin Sa’d Al-Ghamidi)
[5] Haji atau ‘umrah.
[6] Sebagaimana dilakukan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu mengirim Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu 'anhu untuk menghentikan perang Shiffin.
[7] Karena konsekuensinya adalah menjadikan Aisyah Radhiyallahu 'anha sebagai tawanan perang, budak yang boleh dinikahi, padahal beliau adalah Ummul Mukminin yang haram bagi siapapun menikahi beliau sesudah wafatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
[8] Talbis Iblis Ibnul Jauzi dengan beberapa perubahan.
dimbil dari:
http://www.asysyariah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=43:dialog-ibnu-abbas&catid=76:kajian-utama-edisi-57&Itemid=3
Post a Comment