F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Mengusap khuf, Sorban, dan Perban

Disyari’atkan menurut Al-Kitab dan As-Sunnah, serta ijmak Ahlus Sunnah wal Jama’ah sesuai dengan firman Allah ta'ala

وَامْسَحُوْا بِرُؤُوْسِكُمْ وَأََرْجُلَِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Dan usaplah kepala-kepala kalian dan kaki-kaki kalian hingga ke mata kaki (Al-Maidah 6)

Jika dibaca dengan majrur (mengkasrohkan huruf ل pada َأََرْجُلِكُمْ ) maka merupakan dalil untuk mengusap kaki yang tertutup, adapun qiro’ah dengan mansub (memfathahkan ل pada َأََرْجُلَكُمْ), maka dibawakan pada mencuci kedua kaki yang terbuka[1].
Adapun berdasarkan As-Sunnah, maka telah mutawatir hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang disyari’atkannya hal ini. Sehingga Imam Ahmad berkata:

لَيْسَ فِيْ قَلْبِيْ مِنَ الْمَسْحِ شَيْءٌ, فِيْهِ أَرْبَعُوْنَ حَدِيْثًا عَنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم , مَا رَفَعُوْا إِلَى النَّبِيِّ r وَمَا وَقَفُوْا

Tidak ada dalam hatiku (keraguan) sedikitpun tentang mengusap (khuf). Ada empat puluh hadits dari para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Ada yang marfu’ dan ada yang mauquf [2].

Berkata Hasan Al-Bashri :

حَدَّثَنِيْ سَبْعُوْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم, أَنَّهُ مَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ

Telah menceritakan kepadaku tujuh puluh orang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengusap kedua khuf [3]



Namun bolehnya mengusap khuf ini diselisihi oleh Syi’ah Rofidloh. Mereka telah menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jam’ah dalam masalah thoharoh pada tiga hal:



1. Mereka tidak mencuci kaki-kaki mereka ketika berwudlu, tetapi mereka cukup mengusapnya (lihat fiqh wudlu).

2. Mereka mengusap kaki mereka ketika wudlu tidak sampai ke kedua mata kaki tetapi hanya sampai ke punggung kaki.

3. Mereka tidak mengusap kedua khuf, mereka memandang bahwa hal itu adalah harom, padahal mereka tahu bahwa salah seorang dari para sahabat yang meriwayatkan masalah mengusap khuf adalah Ali bin Abi Tholib radliyallahu 'anhu. Padahal Ali radliyallahu 'anhu menurut mereka adalah imamnya para imam[4].

Oleh karena itu sebagian ulama memasukkan pembahasan mengusap kedua khuf dalam buku-buku mengenai aqidah, padahal ini bukan masalah aqidah. Sebabnya adalah untuk menunjukan penyimpangan Syi’ah dalam masalah ini yang kemudian penyimpangan ini menjadi syi’ar mereka[5]

Dan yang afdhol terhadap setiap orang adalah sesuai dengan keadaan kakinya. Maka bagi pemakai khuf -jika syarat-syaratnya telah terpenuhi- adalah mengusap khufnya dan dia tidak membuka khufnya dalam rangka mencontohi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Adapun bagi orang yang kakinya terbuka maka hendaknya dia mencuci kakinya tersebut dan janganlah dia bersusah payah untuk memakai khuf (kalau memang tidak dibutuhkan -pent) agar bisa diusap.

Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mencuci kedua kakinya jika terbuka dan mengusap jika beliau memakai khuf[6], sesuai dengan hadits Ibnu Umar radliyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda :

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ

Sesungguhnya Allah ta'ala menyukai rukhsoh-rukhsoh-Nya dilaksanakan sebagaimana Dia membenci dilakukannya kemaksiatan.[7]

Dan juga hadits Ibnu Mas’ud radliyallahu 'anhu dan ‘Aisyah :

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُقْبَلَ رُخَصُهُ كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ

Sesungguhnya Allah ta'ala menyukai rukhsoh-rukhsoh (keringanan-keringanan)-Nya diterima sebagaimana dia menyukai dilaksanakannya ‘azimah-‘azimah-Nya[8].


Syarat-syarat mengusap kedua khuf dan yang semisalnya

Khuf adalah penutup kaki hingga ke mata kaki atau lebih, yang terbuat dari kulit dan semisalnya.[9] Agar bisa diusap (sebagai ganti mencuci kaki) harus memenuhi syarat sebagai berikut
1. Si pemakai dalam keadaan suci (bersih dari hadats) ketika memakai kedua khufnya
Berdasarkan hadits Mugiroh bin Syu’bah radliyallahu 'anhu, beliau berkata :

كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم، فِيْ سَفَرٍ فَأَهْوَيْتُ لأَنْزِعَ خُفَّيْهِ فَقَالَ :" دَعْهُمَا فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْن"،ِ فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا

Aku bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam safar, lalu aku turun untuk melepas kedua khufnya, maka Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :”Tinggalkanlah kedua khuf tersebut (jangan dilepaskan –pent), karena sesungguhnya aku memasukkan keduanya dan kedua kakiku dalam keadaan suci”. Maka Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengusap kedua khuf beliau.[10]

Jumhur Ulama mensyaratkan si pemakai khuf tersebut harus berthoharoh dengan air, jika dengan tanah (tayammum) maka tidak sah untuk mengusap khuf. Adapun madzhab Syafi’iyyah membolehkan dengan tayammum.[11]

Dan yang dirojihkan oleh Syaikh Utsaimin adalah pendapat jumhur, beliau berdalil dengan sabda Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْن (kedua kakiku dalam keadaan suci), hal ini menunjukan bahwa kedua kaki Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah dalam keadaan suci, sedangkan tayammum tidak berhubungan dengan kaki tapi dengan wajah dan kedua tangan. Oleh karena itu jika seseorang tidak mendapat air atau dia sakit sehingga tidak bisa menggunakan air untuk wudlu, maka dia menggunakan khuf walaupun dia tidak dalam keadaan suci, dan dia terus memakai khuf tersebut tanpa dibatasi oleh waktu sampai dia menemukan air (jika semula dia tidak mendapatkan air) atau sampai dia sembuh (jika semula dia sakit sehinga tidak bisa menggunakan air), karena kaki tidak ada hubungannya dengan tayammum.[12]
2. Mengusap khuf hanya dilakukan untuk hadats kecil

Berdasarkan hadits :

عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرَ أَنْ لاَ نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِهِنَّ إِلاَّ مِنْ جَنَابَة، وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ

Dari Sofwan bin 'Asal radliyallahu 'anhu berkata :"Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintah kami jika kami bersafar agar tidak melepaskan khuf-khuf kami selama tiga hari tiga malam kecuali karena janabah, tetapi (tidak usah dilepas kalau hanya) karena buang air besar, buang air kecil, dan tidur"[13].

Maka tidak boleh mengusap khuf jika ditimpa junub atau hal-hal yang mewajibkan mandi.
3. Mengusap dilakukan dalam waktu yang ditentukan secara syar’i
Waktunya tersebut adalah sehari semalam bagi orang yang mukim, dan tiga hari tiga malam untuk orang yang bersafar, sesuai dengan hadits Ali bin Abi Tholib radliyallahu 'anhu beliau berkata :

جَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَ لَيَالِيَهِنَّ لِلْمُسَافِرِ، وَيَوْماً ولَيْلَةً لِلْمُقِيْمِ

Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam bagi musafir dan sehari semalam bagi yang mukim [14]

Dan juga sesuai dengan hadits Sofwan bin ‘Assal radliyallahu 'anhu yang telah lalu. Dan juga hadits Abu Bakroh radliyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :

أَنَّهُ رَخَصَ لِلْمُسَافِرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَ لَيَالِيَهِنَّ ، وَ لِلْمُقِيْمِ يَوْماً ولَيْلَةً, إِذّا تَطَهَّرَ فَلَبِسَ خُفَّيْهِ أَنْ يَمْسَحَ عَلَيْهِمَا

Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberi keringanan (untuk mengusap khuf –pent) bagi musafir tiga hari tiga malam, dan bagi mukim sehari semalam. Jika beliau bersuci maka beliau memakai kedua khuf beliau untuk mengusap keduanya. [15]

Kapankah mulai dihitung waktu tersebut ?. Ada tiga kemungkinan yang berhubungan dengan awal mulai dihitungnya waktu tersebut.

1. Pertama : Dihitung mulai ketika memakai khuf. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama.

2. Kedua : Dihitung ketika pertama kali berhadats setelah memakai khuf. Dihikayatkan oleh Al-Mawardi dan As-Syasyi pendapat ini dari Hasan Al-Bashri.

3. Ketiga : Dihitung ketika pertama kali mengusap khuf setelah berhadats[16], dan ini adalah pendapat Al-Auza’i, Abu Tsaur, satu riwayat dari Imam Ahmad, Dawud, dan disampaikan oleh Ibnul Mundzir bahwa ini adalah pendapat Umar bin Khottob radliyallahu 'anhu.

Dan ukuran waktu ini yang benar dihitung dari awal pertama kali mengusap khuf setelah berhadats dan berakhir waktu tersebut setelah dua puluh empat jam bagi orang yang mukim dan setelah tujuh puluh dua jam bagi musafir[17]. Dalilnya adalah dalam riwayat yang lain

يَمْسَحُ الْمُقِيْمُ يَوْمًا وَ لَيْلَةً وَ يَمْسَحُ الْمُسَافِرُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ

Orang yang mukim mengusap sehari semalam dan musafir mengusap selama tiga hari.[18]

Dalam hadtis ini untuk menghitung waktu pengusapan harus ada pengusapan karena Rosulullah bersabda “Orang mukim mengusap….musafir mengusap”, dan ini tidaklah mungkin mulai dihitung waktunya kecuali dengan memulai pengusapan untuk pertama kali.[19]

Misalnya seseorang berwudlu untuk sholat subuh pada tanggal 3. Setelah sholat dia memakai khuf lalu dia terus dalam keadaan suci hingga jam sembilan pagi. Kemudian dia berhadats dan belum berwudlu. Dia baru berwudlu pada jam dua belas siang untuk sholat dhuhur. Maka menurut pendapat yang benar bahwa hitungan waktu baru dimulai pada jam dua belas siang. Jika dia seorang mukim maka dia wajib membuka kedua khufnya pada jam 12 siang tanggal 4. Dan jika dia seorang musafir maka dia wajib membuka kedua khufnya pada jam 12 siang pada tanggal 6.

Perhatian :Jika seseorang mengusap khuf dan dia mukim lalu dia bersafar, maka menurut pendapat yang rojih waktu mengusapnya adalah dia menempurnakan waktu mengusap musafir (yaitu tiga hari tiga malam), karena dia bersafar. Dan demikian juga sebaliknya jika dia mengusap dalam keadaan dia bersafar lalu mukim, maka selanjutnya waktu mengusapnya adalah waktu mengusap mukim (yaitu sehari semalam).[20]


4. Kedua khuf atau perban atau sorban harus dalam keadaan suci (tidak terkena najis)

Jika terkena najis maka tidak boleh diusap. Dan kedua khuf atau perban atau sorban tersebut harus suci bukan merupkan najis ‘aini/dzati (misalnya khufnya terbuat dari kulit himar atau kulit babi) dan juga bukan mutanajis (najis hukmi) yaitu asalnya suci namun terkena najis (misalnya khufnya terbuat dari kulit onta namun terkena najis). Namun jika khufnya mutanajis, lalu dibersihkan maka boleh diusap dan boleh sholat dengan menggunakan khuf tersebut. Ada yang mengambil dalil dari hadits Mugiroh radliyallahu 'anhu yaitu pada perkataan Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْن (Sesungguhnya aku memasukkan keduanya dalam keadaan suci) bahwa ini menunjukan bahwa kedua khuf dalam keadaan suci. Namun pendalilan ini salah, sebab yang dimaksud dengan “keduanya dalam keadaan suci” adalah kedua kaki beliau, sebagaimana dijelaskan dalam lafal hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud no 151 dengan lafal : فَإِنِّي أَدْخَلْتُ الْقَدَمَيْنِ الْخُفَّيْنِ وَ هُمَا طَاهِرَتَانِ(Sesungguhnya aku memasukkan kedua kakiku ke kedua khuf dan kedua kakiku dalam keadaan suci).

Namun disana ada hadits yang lain yaitu hadits Abu Sa’id Al-Khudri رضي الله عنه beliau berkata :

بَيْنَمَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ، فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ، فَلَمَّا قَضَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم صَلاَتَهُ قَالَ : "مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَائِكُمْ نِعَالَكُمْ ؟" قَالُوْا رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم :"إِنَّ جِبْرِيْلَ عليه السلام أَتَانِي فَأَخْبَرَنِيْ أَنَّ فِيْهِمَا قَذْرًا"، وَ قَالَ : "إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ, فَإِنْ رَأَى فِيْ نَعْلَيْهِ قَذْرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ (بِالأَرْضِ) وَلْيُصَلِّ فِيْهِمَا

Ketika Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sholat mengimami para sahabat, tiba-tiba beliau membuka kedua sendal beliau lalu meletakkannya di kiri beliau. Ketika kaum (para sahabat yang diimami Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) melihat hal itu maka mereka (juga melepaskan dan -pent) melemparkan sendal-sendal mereka. Ketika Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyelesaikan sholatnya maka beliau berkata :”Apa yang membuat kalian membuang sendal-sendal kalian?”, maka para sahabat menjawab :”Kami melihat engkau melempar kedua sendal engkau maka kamipun membuang sendal-sendal kami”, maka Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :”Sesungguhnya Jibril 'alaihissalam datang kepadaku lalu mengkhabarkan kepadaku bahwa ada kotoran (najis) pada kedua sendal tersebut”. Lalu Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :”Jika salah seorang dari kalian mendatangi mesjid maka hendaklah dia melihat (kedua alas kakinya –pent), jika dia melihat ada najis atau kotoran maka hendaklah dia mengusapnya (menggosokkannya-pent) (di tanah) dan hendaknya dia sholat dengan kedua sendal tersebut[21].

Hadits ini menunjukan bahwasanya tidak boleh sholat dengan menggunakan sesuatu yang ada najisnya, dan karena najis jika diusap dengan air maka air tersebut akan terkotori dengan najis, maka tidak boleh mengusap dengan air[22].
5. Khuf tersebut harus menutupi anggota-anggota wudlu yang wajib dan harus tebal serta tidak boleh mensifatkan kulit.
Madzhab Ahmad (dan juga dirojihkan oleh Syaikh Bin Baz) berpendapat bahwa tidak boleh nampak kulit kaki yang wajib dicuci ketika wudlu, apakah karena tipisnya khuf atau karena lembutnya khuf atau karena ada robekan-robekan pada khuf. Ta’lilnya (sebabnya) :

1. Karena jika nampak kulit kaki karena tipisnya khuf atau karena robekan maka yang nampak itu harus dicuci (sedangkan yang tertutup khuf dengan diusap), padahal tidak boleh digabungkan antara usapan dan cucian, keduanya tidak bisa bergabung dalam satu anggota wudlu.

2. Adapun sebab tidak sah mengusap pada khuf yang lembut sehingga mensifatkan kulit kaki adalah sebab disyaratkan khuf itu adalah menutup, sedangakan khuf yang seperti ini tidak menutupi. Sebagaimana jika seseorang sholat dengan menggunakan baju yang mensifatkan kulit tubuhnya maka sholatnya tidak syah.

Adapun madzhab Syafi’i, khuf yang mensifatkan kulit kaki tidak mengapa untuk diusap sebab kaki telah tertutup sehingga tidak bisa terkena air. Dan tidak mengapa walaupun nampak kulit kaki sebab kaki itu bukan aurot yang wajib untuk ditutupi (sehingga diqiaskan dengan baju yang digunakan untuk sholat adalah tidak tepat, sebab baju menutup aurot). Dan tidak ada dalil dalam sunnah yang menunjukan disyaratkannya kaki tertutup oleh khuf.

Sebagian ulama menyatakan tidak disyaratkan khuf menutupi seluruh bagian kaki yang wajib dicuci. Sebab nas-nas yang ada tentang mengusap khuf adalah mutlaq. Dan apa yang datang dalam keadaan mutlaq maka wajib tetap dimutlaqan. Maka siapapun yang menambah adanya syarat yang lain, dia harus membawa dalil. Sebab banyak para sahabat yang miskin, dan kebanyakan orang miskin mesti khuf-khuf mereka ada robekannya. Jika keadaannya seperti ini dan Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menjelaskannya maka hal ini menunjukan bahwa menutup seluruh kaki (dari jari kaki hingga mata kaki) bukanlah syarat. Dan inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Sedangkan ta’lil mereka -bahwasanya bagian kaki yang nampak harus dicuci dan tidak boleh digabungkan dengan usapan- maka bantahannya adalah :

1. Ini dibangun diatas pendapat mereka bahwa khuf harus menutup kaki. Dan ini telah terbantahkan.

2. Khuf jika masih bisa dikatakan khuf[23] (walaupun agak banyak robekannya) menurut apa yang diitlaqqan oleh sunnah maka bagian kaki yang nampak (karena robek) mengikuti hukum khuf, sehingga cukup diusap.

3. Pendapat tidak blehnya digabungkan antara usapan dan cucian adalah salah, sebab untuk masalah perban (akan datang penjelasannya nanti) boleh digabungkan antara cucian dan usapan.
6. Khufnya harus mubah bukan haram yaitu dengan curian ataupun rampokan dan juga bukan dari sutra (bagi laki-laki)
Karena yang namanya keharoman ada dua. Pertama yaitu dzatnya sudah harom seperti sutra untuk laki-laki, sepatu yang ada gambar-gambar yang bernyawa. Yang kedua yaitu harom karena usaha mendapatkannya, seperti khuf yang diperoleh dengan mencuri atau merampok. Maka tidak sah mengusap pada kedua macam model khuf ini. Karena mengusap khuf adalah rukhsoh maka tidak boleh dipergunakan untuka bermaksiat. Selain itu pendapat yang menyatakan bolehnya (sahnya) mengusap pada kedua macam khuf ini konsekuensinya adalah pengakuan terhadap bolehnya memakai hal yang harom ini, padahal keharoman itu wajib untuk diingkari[24].ini adlah Madzhab Malikiyah dan Hanabilah. Sedangkan Syafi’iyyah tidak mensyaratkan hal ini.[25]


7. Setelah diusap, khuf tidak dilepas sebelum selesai waktunya.

Bila dia melepaskan kedua khufnya atau yang semakna dengannya (yaitu misalnya sendal dan kaus kaki, lihat dalil akan bolehnya mengusap sendal dan kaus kaki pada hal 6) setelah mengusap kedua khufnya, maka dia mengulang wudlu dengan mencuci kedua kaki. Dan pendapat ini telah dirojihkan oleh Syaikh Bin Baz, dan beliau berkata :”Ini adalah pendapat jumhur, dan ini yang benar”. Namun pendapat ini terbantahkan dengan adanya atsar dari Ali radliyallahu 'anhu sebagaimana akan datang penjelasannya.

Disana ada syarat-syarat yang lain yang disebutkan oleh para ulama namun tidak ada dalilnya atau sudah masuk dalam syarat-syarat di atas.

Pembatal-pembatal mengusap khuf
1. Jika muncul hal-hal yang mewajibkan mandi

Seperti janabah, maka batallah pengusapan dan kedua kaki wajib untuk dicuci
2. Jika melepas kedua khuf

atau yang semakna dengan hal ini, setelah mengusap kedua khuf maka batallah wudlu menurut pendapat yang rojih sebagaimana telah lalu.
3. Jika telah selesai waktunya menurut syar’i

Syaikh Bin Baz merojihkan bahwasanya selesainya waktu membatalkan pengusapan dengan mafhum (mukholafah) dari hadits-hadits yang menerangkan tentang waktu-waktu pengusapan (Sebagaimana hadits Sofwan radliyallahu 'anhu dan Ali radliyallahu 'anhu -pent). Jika telah selesai waktunya maka hendaklah dia melepaskan kedua khufnya dan dia mencuci kedua kakinya dan dia hendaknya dia melepaskan sorbannya dan mengusap kepalanya.

Perhatian : Untuk pembatal kedua dan ketiga maka menurut Syaikh Al-Albani tidak ada dalilnya sama sekali. Dan ini juga merupakan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana perkataannya (dalam Al-Ikhtiaroot hal 9) :”Tidaklah batal wudlunya orang yang mengusap khuf dan ‘imamah dengan membuka keduanya, dan tidak juga (batal wudlu) dengan habisnya waktu. Dan tidak wajib baginya untuk mengusap kepalanya (setelah melepaskan ‘imamahnya -pent) dan tidak juga mencuci kedua kakinya (setelah melepaskan kedua khufnya –pent). Dan ini adalah pendapatnya Al-Hasan Al-Bashri, sebagaimana (tidak batal wudlu dengan) menghilangkan (memotong) rambut yang diusap menurut pendapat yang benar dari madzhab Ahmad dan pendapat jumhur.”

Al-Hasan berkata : “Jika dia mengambil (memotong) rambutnya dan kuku-kukunya atau dia melepaskan kedua khufnya, maka tidak ada wudlu atasnya.” [26]Dan ini juga merupakan pendapat Ali bin Abi Tholib radliyallahu 'anhu . Imam Baihaqi (1/288) dan Imam At-Thohawi (syarhul ma’ani 1/58) telah mengeluarkan atsar dari Abu Dzobyan bahwasanya dia telah melihat Ali radliyallahu 'anhu kencing dalam keadaan berdiri kemudian dia meminta air lalu berwudlu dan mengusap kedua sendalnya. Kemudian dia masuk mesjid dan melepaskan kedua sendalnya, lalu sholat. Imam Baihaqi mendambahkan :”Lalu dia mengimami manusia”. Sanad atsar ini shohih menurut syarat Bukhori dan Muslim[27].

Dan ini juga merupakan pendapat Syaikh Utsaimin, namun menurut beliau yang batal adalah mengusapnya. Artinya jika dia melepas kedua khufnya maka wudlunya tidak batal, tetapi jika dia memakai lagi khufnya dan ketika dia batal maka dia tidak boleh mengusap khufnya walaupun belum habis waktu mengusap, tetapi dia harus membuka khufnya dan mencuci kedua kakinya. [28].


Cara mengusap khuf, kaus kaki dan sorban
Yang diusap adalah bagian atas (yaitu yang menutupi punggung kaki –pent) kedua khuf atau kedua kaus kaki sesuai dengan hadits Ali radliyallahu 'anhu beliau berkata :

لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ. وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ

Kalau agama itu dengan akal maka bagian bawah khuf lebih layak untuk diusap daripada bagian atasnya (karena bagian yang kotor adalah bagian bawah khuf –pent). Sungguh aku telah melihat Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengusap bagian atas khuf. [29]

Dan juga berdasarkan hadits Mugiroh bin Syu’bah radliyallahu 'anhu :

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم كَانَ يَمْسَحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ وَ قَالَ : "عَلَى ظَهْرِ الْخُفَّيْنِ

Bahwasanya Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengusap kedua khuf dan beliau berkata :” bagian atas kedua khuf” [30]

Berkata Ibnu Qudamah dalam Al-Mugni (1/377) : Al-Kholal telah meriwayatkan dengan sanadnya dari Mugiroh bin Syu’bah radliyallahu 'anhu lalu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan sifat wudlu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata :

ثُمَّ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ, فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى خُفِّهِ الأَيْمَنِ, وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى خُفِّهِ الأَيْسَرِ, ثُمَّ مَسَحَ أَعْلاَهُمَا مَسْحَةً وَاحِدَةً حَتَّى كَأَنِّي أَنْظُرُ اِلَى أَثَرِ أَصَابِعِهِ عَلَى الْخُفَّيْنِ

Kemudian beliau berwudlu dan mengusap kedua khuf, maka beliau meletakkan tangan kanannya di atas khufnya yang kanan dan meletakkan tangan kirinya di atas khufnya yang kiri, kemudian beliau mengusap bagian atas kedua khuf tersebut dengan sekali usapan sehingga seakan-akan aku melihat bekas jari-jari beliau di kedua khuf.

Berkata Ibnu ‘Aqil : “Sunnahnya mengusap (khuf) adalah demikian : Hendaklah dia mengusap kedua khufnya dengan kedua tangannya, tangan kanan untuk (mengusap) khuf yang kanan dan tangan kiri untuk (mengusap) khuf yang kiri”, dan berkata Ahmad :”Bagaimanapun engkau melakukannya maka boleh, (apakah) dengan satu tangan atau dengan kedua tangan”[31].

Namun yang lebih baik dia mengusap kedua khufnya sekaligus dengan kedua tangannya, sebagaimana ini merupakan dzohir dari hadits Mughiroh radliyallahu 'anhu فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا (lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengusap atas kedua khufnya) dan Mughiroh t tidak berkata “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mulai dari yang kanan”.[32]

Dan mengusap kedua kaus kaki sama persis dengan cara mengusap kedua khuf, sesuai dengan hadits Mugiroh bin Syu’bah radliyallahu 'anhu beliau berkata :

تَوَضَّأَ رَسُوْلُ اللهِ وَمَسَحَ عَلَى الْجَوْرَبَيْنِ وَ النَّعْلَيْنِ

Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berwudlu dan beliau mengusap kedua kaus kaki dan kedua sendal[33].

Ibnu Qudamah menyebutkan bahwasanya jika seseorang mengusap kedua kaus kaki dan kedua sendal secara bersamaan maka setelah mengusap janganlah dia melepaskan kedua sendalnya (untuk sholat)[34]. Namun pendapat ini telah dibantah oleh Syaikh Al-Albani sebagaimana telah lalu pada hal 5


Mengusap ‘imamah dan khimar

Adapun cara yang benar untuk mengusap ‘imamah (sorban) dan khimar (kerudung/penutup kepala wanita) ada dua cara :

1. Mengusap ‘imamah atau khimar saja tanpa mengusap ubun-ubun.

2. Mengusap ubun-ubun kemudian dilanjutkan mengusap ‘imamah atau khimar

Dan menurut pendapat yang benar, disyaratkan untuk ‘imamah dan khimar apa-apa yang disyaratkan untuk mengusap khuf (sebagaimana telah lalu). Dan ini adalah pendapat yang dirojihkan oleh Syaikh Bin Baz.

Perbedaan antara mengusap ‘imamah dan khimar dengan mengusap khuf :

1. Mengusap ‘imamah tidak memiliki waktu karena tidak ada dalil dari Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

2. Tidak disyaratkan ketika memakai ‘imamah harus dalam keadaan suci sebagaimana disyaratkan ketika memakai khuf. Namun untuk lebih hati-hati hendaknya dia memakai ‘imamah dalam keadaan suci.[35]

Perhatian :

1. Adapun tentang khimar (penutup kepala wanita), telah terjadi khilaf tentang kebolehannya. Pendapat pertama mengharamkannya, sebab Allah ta'ala memerintahkan untuk mengusap kepala. Kalau seorang wanita mengusap khimarnya berarti dia tidak mengusap kepalanya. Pendapat kedua membolehkan mengusap khimar, yaitu dengan mengqiaskan khimar dengan ‘imamah. Khimar pada wanita kedudukannya sama dengan ‘imamah pada pria.Namun bagaimanapun jika timbul kesulitan apakah karena dinginnya udara atau karena sulit untuk dilepas (atau tempat wudlunya terbuka seperti kebanyakan yang terdapat di Indonesia, sehingga bisa dilihat oleh pria ajnabi-pent), maka toleransi (boleh untuk diusap) dalam keadaan seperti ini. Namun jika keadaannya tidak demikian maka yang lebih baik tidak diusap, dan tidak ada nas-nas yang shohih tentang bolehnya mengusap khimar[36].

2. Adapun topi, songko, dan penutup kepala yang merupakan perpanjangan baju (seperti yang terdapat di jaket-jaket) tidak boleh diusap karena tidak sama dengan ‘imamah. Adapun penutup kepala yang digunakan di daerah dingin yang menutup telinga dan memiliki ikatan di leher maka boleh diusap sebab jika harus dibuka penutup kepala tersebut maka akan menimbulkan kesulitan.[37]

Peringatan : Ada orang-orang umum dan para penuntut ilmu yang ta’assub mereka menganggap bahwa menghidupkan sunnah ini (yaitu memakai khuf atau sendal ketika sholat) termasuk dosa besar yang tidak boleh didiamkan. Jika kita tunjukan kepada mereka dalil-dalil akan sunnahnya hal ini mereka akan menjawab :”Itu untuk zaman dahulu bukan untuk sekarang”, seakan-akan telah adatang seseorang yang telah mengahapus syari’at Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan menggantinya.

Yang benar yaitu barang siapa yang ingin menjalankan sunnah ini ataupun yang lainnya yang seandainya ditinggalkan tidak menyentuh inti dari Islam maka hendaknya dia melihat-lihat terlebih dahulu. Apabila melaksanakannya atau meninggalkannya menyebabkan fitnah atau kejelekan yang lebih besarr daripada maslahatnya maka hendaknya dia memilih maslahat. Karena syari’at ada ketika didapatkan maslahah yang murni atau maslahat yang lebih kuat daripada mafsadah.[38]

Mengusap perban (penutup luka)

Sekelompok ulama (diantaranya adalah Ibnu Hazm) menyebutkan bahwasanya hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah perban adalah dho’if, oleh karena itu Ibnu Hazm tidak membolehkan mengusap perban. Beliau memandang hadits-hadits dho’if tersebut tidak bisa saling menguatkan[39]. Selain itu dia tidak membenarkan adanya qiyas (yaitu diqiyaskannya perban dengan ‘imamah). Namun terjadi khilaf diantara mereka (ulama yang tidak membolehkan mengusap perban) :

Sebagian mereka berpendapat bahwa diganti kewajiban mencuci dengan tayammum. Caranya yaitu dicuci anggota-anggota yang bersih sedangkan anggota-anggota wudlu yang ada perbannya cukup ditayammumi.

Sebagian yang lain berpendapat tidak perlu tayammum, karena dia tidak mampu untuk mencuci anggota wudlu yang luka tersebut maka kewajiban mencucinya gugur sebagaimana gugurnya kewajiban-kewajiban yang lain (jika ada udzur)[40]. Sebab Allah ta'ala berfirman :

لاَ يُكَلِّفُ اللهَُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا (Allah tidak membebani seorangpun kecuali dengan apa yang dia mampui), dan juga sabda Rosulullah :إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَاسْتَطَعْتُمْ (Jika aku memerintah kalian dengan suatu perkara maka kerjakanlah semampu kalian). Selain itu mengganti mencuci anggota wudlu (yang wajib dicuci) dengan tayammum atau mengusap adalah pensyari’atan yang harus berdasarkan kepada dalil yang shohih.

Namun ini adalah pendapat yang paling lemah (menurut Syaikh Utsaimin) sebab telah menjatuhkan hukum mencuci tanpa pengganti, tidak ke tayammum dan juga tidak diusap, sebab anggota wudlu tersebut masih ada dan tidak hilang sehingga hilang pula kewajiban mencucinya. Jika dia tidak mampu untuk mencucinya maka dia membersihkan anggota yang ada lukanya tersebut dengan pengganti mencuci yaitu tayammum atau mengusap [41]

Namun Syaikh Bin Baz menyebutkan bahwasanya hadits-hadits tentang perban bersama dengan hadits-hadits tentang mengusap khuf menunjukan akan disyari’atkannya mengusap perban.

Alasan-alasan yang menunjukan disyari’atkannya mengusap perban :

1. Qiyas, sebab mengusap khuf adalah untuk taisir (kemudahan) maka mengusap perban lebih aula (layak) lagi untuk diusap.

2. Anggota tubuh yanga ada lukanya tersebut masih ada sehingga kewajiban untuk diwudlui masih ada. Kalau tidak bisa dengan wudlu maka dengan penggantinya yaitu tayammum atau diusap. Dengan tayammum sesuai dengan keumuman ayat :

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ ....فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا..

Dan jika kalian sakit atau dalam safar atau…… lalu kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah..(Al-Maidah :6)

Dan luka adalah termasuk penyakit’ jadi dengan tayammum. Namun yang lebih benar adalah dengan diusap karena usapan itu menggunakan air sehingga lebih bersih dibandingkan tayammum yang menggunakan tanah. Selain itu jika luka yang diperban tersebut di kaki maka dia tidak terkena tayammum sebab tayammum tempatnya hanya pada muka dan tangan[42].

Dan karena keadaan perban yang darurat, maka tidak disyari’atkan padanya batasan-batasan waktu pengusapan.

Perbedaan mengusap perban dengan mengusap kaus kaki dan khuf:

1. Tidak boleh mengusap mengusap perban kecuali jika dengan melepaskan perban tersebut bisa menimbulkan kemudhorotan. Dan hal ini berbeda dengan khuf (yang tidak ada mudhorot dengan melepaskannya)

2. Wajib untuk diusap seluruh perban tersebut kecuali bagian perban yang keluar dari anggota wudlu yang wajib, karena tidak ada kemudhorotan dengan mengusap seluruh perban. Hal ini berbeda dengan khuf karena sesungguhnya sulit untuk mengusap khuf seluruhnya maka cukup untuk mengusap sebagian khuf saja sebagaimana yang dijelaskan oleh sunnah.

3. Mengusap perban tidak memiliki batasan-batasan waktu karena mengusap perban disebabkan oleh dharurat, maka ditentukan dengan ukurannya.

4. Mengusap perban untuk hadats besar dan hadats kecil, berbeda dengan mengusap khuf yang hanya dikhususkan untuk hadats kecil.

5. Tidak disyaratkan ketika memakai perban sipemakai harus dalam keadaan suci, ini menurut pendapat yang rojih. Hal ini berbeda dengan khuf [43]

6. Perban tidak dikhususkan untuk anggota tubuh tertentu, berbeda dengan khuf yang hanya dikhususkan untuk kaki[44].

(Nampaklah bahwasanya dengan keenam perbedaan ini maka tidaklah bisa diqiyaskan antara khuf dengan perban. Sehingga hal ini memperkuat pendapat Ibnu Hazm dan Syaikh Al-Albani, wallohu a’lam)


Cara mengusap perban

Jika ada luka di daerah anggota wudlu, maka ada tingkatan-tingakan :

1. Tingkatan pertama : Luka tersebut terbuka dan tidak berbahaya untuk dicuci. Maka dalam keadaan ini wajib dicuci luka tersebut.

2. Tingkatan kedua : Luka tersebut terbuka dan berbahaya untuk dicuci tetapi tidak mengapa untuk diusap, maka ketika wudlu wajib diusap luka tersebut.

3. Tingkatan ketiga : Luka tersebut terbuka dan berbahaya untuk dicuci dan diusap. Maka luka tersebut harus ditutup dengan perban dan diusap diatas perban tersebut. Jika tidak bisa ditutup (mungkin dengan ditutup malah semakin parah luka tersebut) maka cukup dengan tayamum (tidak perlu berwudlu).

4. Tingkatan keempat : Luka tersebut tertutup dengan gips atau perban atau yang semisalnya, maka dalam keadaan seperti ini cukup diusap penutup tersebut dan tidak perlu dicuci.

Namun dalam keadaan seperti tingkatan keempat ini, apakah boleh menggabungkan antara mengusap dengan tayammum ?. Sebagian ulama mewajibkan penggabungan tersebut untuk hati-hati. Namun yang benar tidak wajib digabungkan, sebab mereka yang berpendapat akan wajibnya tayammum mereka tidak mewajibkan diusap dan juga sebaliknya. Dan mewajibkan dua cara berthoharoh pada satu anggota tubuh adalah menyelisihi qoidah syar’iyah. Dan tidak ada dalam syari’at yang semisal hal ini. Dan Allah ta'ala tidaklah membebani hamba dengan dua ibadah dengan sebab yang satu [45]. Sehingga yang benar bahwasanya jika dia telah mengusap anggota wudlu maka dia tidak perlu untuk tayammum, sehingga janganlah dia menggabungkan antara mengusap dan tayammum kecuali jika di sana ada anggota wudlu lain yang tidak bisa diusap[46].

Firanda Andirja

Artikel www.firanda.com

[1] Syarhul Mumti’ 1/183 dan fathul Bari 1/306, telah dibahas di Fiqh Wudlu’

[2] Disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mugni 1/360.

[3] Disebutkan oleh Ibnu Hajar dalan al-fath 1/306 dan dikuatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan dia menyebutkannya dalam at-talkhis al-habir 1/158 dan dikuatkan juga oleh Ibnul Mundzir dalam Al-ausath 1/344 dan 1/427).

[4] (Syarhul Mumti’ 1/153)

[5] (Syarhul Mumti’ 1/182)

[6] (Zadul Ma’ad 1/99 dan Al-Mugni 1/360)

[7] Riwayat Ahmad dalam Al-Musnad 2/108 dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam al-irwa’ no 564

[8] Riwayat At-Thobroni dan Ibnu Hibban dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’ 3/11-13. Dan yang dimaksud dengan ‘azimah adalah kewajiban. Sedangkan dalam shohih Muslim 2/786 no 1115 dari hadits Jabir radliyallahu 'anhu :عَلَيْكُمْ بِرُخْسَةِ اللهِ الَّذِي رَخَصَ لَكُمْ (Atas kalian terhadap rukhsoh Allah yang telah Allah berikan, keringanan bagi kalian)

[9] Al-Fiqh Al-Islami 1/317

[10] Riwayat Bukhori no 206 dan Muslim 1/230 dan 1/274

[11] Al-Fiqh Al-Islami 1/325

[12] Majmu’ fatawa 4/174

[13] Hadits shohih riwayat Ahmad, Nasai, dan Tirmidzi , irwaul golil no 104

[14] Riwayat Muslim 1/232 no 276

[15] Riwayat Ibnu Khuzaimah 1/96, Ibnu Hibban dan Daruqutni, dan lihat At-Talkhis Al-Habir 1/157

[16] Syarhul Mumti’ 1/186

[17] Syarhul Mumti’ 1/187

[18] Dari hadits Abu Bakroh, diriwayatkan oleh Ibnu Majah no 556, Ibnu Abi Syaibah 1/179 dan selain mereka. Berkata Ibnu Hajar dalam talkhis Al-habir 1/157 : “Dishohihkan oleh As-Syafi’i” dan dalam At-Ta’liq Al-Mughni 1/194 “Dihasankan oleh Al-Bukhori” (Syarhul Mumti’ 1/186,203)

[19] Majmu’ fatawa 4/161,186

[20] Majmu’ fatawa 4/175,176

[21] Diriwayatkan oleh Abu Dawud no 650 dan Ahmad 3/20,92 sedangkan riwayat (بِالأَرْضِ)merupakan riwayat Ahmad. Dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam shohih Abu dawud no 605 dan dalam al-irwa’ no 284

[22] Syarhul Mumti’ 1/188



[23] Asy-Syarhul Mumti’ 1/210

[24] (Syarhul Mumti’ 1/189 dan Al-mugni 1/373 dan ini adalah fatwa Syaikh Bin Baz)

[25] Al-Fiqh Al-Islami 1/331.

[26] Riwayat ini merupakan riwayat yang mu’allaq yang dicantumkan oleh Bukhori dalam shohihnya 1/225 namun telah disambung dengan sanad yang shohih sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Al-Albani dalam tamamul minnah hal 114

[27] Tamamul minnah hal 114-115.

[28] Majmu’ Fatawa 4/179,188

[29] Riwayat Abu Dawud no 162 dan dishohihkan oleh Syaikh Bin Baz dan Syaikh Al-Albani dalam shohih Abu Dawud 1/33 dan al-irwa’ no 103

[30] Riwayat Abu Dawud no 161 dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam shohih Abu Dawud 1/33

[31] (Al-Mugni 1/378 dan lihat syarhul umdah hal 372)

[32] Majmu’ Fatawa 4/177

[33] (Riwayat Abu Dawud no 159 dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam shohih Abu Dawud 1/33)

[34] (Al-Mugni 1/375, Zadul Ma’ad 1/199, Syarhul Umdah hal 251)

[35] Majmu’ Fatawa 4/170

[36] Berkata Syaikhul Islam Ibnu taimiyah dalam majmu’ fatawa 21/218 :”Jika siwanita takut akan dingin dan yang semisalnya, maka dia mengusap khimarnya, karena sesungguhnya Ummu Salamah pernah mengusap khimarnya. Dan hendaknya dia mengusap juga sebagian rambutnya. Adapun jika tidak ada hajah maka ada khilaf diantara para ulama”. ( Syarhul Mumti’ 1/196 )

[37] Majmu’ Fatawa 4/170

[38] Ini adalah ringkasan dari perkataan Syaikh Ali Bassam (Taisirul ‘Alam 1/206)

[39] Sebagaimana telah dijelaskan panjang lebar oleh Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah hal 133-135

[40] Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah hal 135

[41] Syarhul Mumti’ 1/200

[42] Syarhul Mumti’ 1/200-201

[43] (Al-Mugni 1/356 dan majmu’ fatawa 21/176-179)

[44] (Syarhul Mumti’ 1/204)

[45] Syarhul Mumti’ 1/201

[46] Fatawa lajnah daimah 5/248, Syarhul Mumti’ 1/202
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.