F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Sebelas Karakter Ibadurrahman dalam Surat Al Furqon Ayat 63-77

SEBELAS KARAKTER IBADURRAHMAN



“Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka, dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman.”
Allah menceritakan sosok hamba-hamba teladan kepada kita untuk kita tiru kebaikan mereka. Mereka itulah yang dikenal dengan Ibadur-Rahman. Allah menyebutkan sebelas ciri mereka dengan rinci di dalam Al-Qur’an. Berikut ini keterangan yang kami sarikan dari Taisir Al-Karim Ar-Rahman [cetakan Mu’assasah ar-Risalah, hal. 586-588] karya Syaikh As-Sa’di rahimahullah [Tafsir surat Al-Furqan ayat 63-77] dengan beberapa tambahan keterangan dari sumber yang lain, semoga bermanfaat.

Ciri Pertama: Rendah hati dan menyikapi kebodohan orang dengan cara yang baik

Allah berfirman (yang artinya),
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al-Furqan : 63)
Ibadur-Rahman adalah orang-orang yang meniti kehidupan ini dengan sikap tawadhu’/ rendah hati terhadap Allah dan kepada sesama makhluk. Mereka bersikap tenang dan berwibawa. Senantiasa rendah hati kepada Allah dan bersikap santun kepada hamba-hamba-Nya. Apabila orang-orang pandir melontarkan kejahilan kepada mereka, hal itu tidak lantas membuat mereka membalas kebodohan dengan kebodohan serupa ataupun perbuatan dosa. Sikap inilah yang membuat mereka semakin terpuji, yaitu lemah lembut dan santun. Mereka mampu membalas kejelekan dengan berbuat ihsan dan kebaikan. Bahkan, mereka mau memaafkan orang yang pandir karena kejahilannya itu. Ini menunjukkan ketabahan hati mereka yang begitu mengagumkan sehingga dapat mengangkat mereka mencapai kemuliaan akhlak seperti ini.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsirnya tentang ‘Orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati’, “Artinya dengan sikap tenang dan berwibawa, tanpa rasa angkuh dan sombong” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, VI/27).

Ciri Kedua: Mengerjakan shalat malam dengan ikhlas

Allah berfirman (yang artinya),
“…Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (maksudnya orang-orang yang sembahyang tahajjud di malam hari semata-mata Karena Allah).” (QS. Al-Furqan : 64)
Ibadur-Rahman adalah orang-orang yang banyak mengerjakan shalat malam dan ikhlas dalam mengerjakannya demi Tuhan mereka serta senantiasa tunduk merendahkan diri kepada-Nya. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala di dalam ayat yang lain (yang artinya),
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (maksudnya mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalat malam) dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa-apa rezki yang Kami berikan. Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah : 16).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsirnya tentang ‘orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka’ “artinya (mereka mengisi waktunya) dalam rangka ketaatan dan beribadah kepada-Nya” (Tafsir Al-Qur’an Al- ‘Azhim, VI/28)

Ciri Ketiga: Berdo’a kepada Allah untuk dijauhkan dari neraka

Allah berfirman (yang artinya),
“…Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal”. Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.” (QS. Al-Furqan : 65-66)
Ibadur-Rahman adalah orang-orang yang berdo’a kepada Allah supaya dijauhkan dari sebab-sebab yang dapat menjerumuskan ke dalam neraka. Mereka juga senantiasa memohon ampun atas dosa yang pernah mereka lakukan, karena dosa-dosa itu jika tidak ditaubati maka akan menjebloskan diri mereka ke dalam kungkungan azab. Padahal, azab neraka sangatlah menakutkan, terus menerus menyiksa sebagaimana halnya lilitan hutang yang menyiksa hati orang yang berhutang namun tidak sanggup melunasinya.
“Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman”.
Ini menunjukkan ketundukan dan perendahan hati mereka di hadapan Allah Ta’ala, dan betapa butuhnya mereka kepada pertolongan Allah. Mereka sadar, bahwa mereka tidak akan sanggup menahan pedihnya azab. Hal ini juga mengingatkan mereka akan karunia Allah atas mereka, yaitu ketika kesulitan yang sangat berat dan menggoncangkan jiwa tersebut sirna, maka hati mereka pun semakin bergembira dan berbunga-bunga apabila telah berhasil selamat dari kungkungan azab.

Ciri Keempat: Tidak berlebih-lebihan dan tidak kikir dalam membelanjakan harta

Allah berfirman (yang artinya),
“…Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan : 67)
Ibadur-Rahman adalah orang yang berinfak di jalan Allah, baik infak yang [hukumnya] wajib atau sunnah. Infak yang wajib seperti : zakat, membayar kafarah, dan memberi nafkah untuk anak dan isteri. Mereka tidak melanggar batas dalam berinfak. Tidak boros, sehingga tidak melalaikan kewajiban infak yang lain. Tapi mereka juga tidak lantas menjadi bakhil atau kikir. Demikianlah infak mereka, berada di antara boros dan kikir. Mereka membelanjakan harta dalam perkara-perkara yang semestinya dengan cara yang layak, tidak mengundang bahaya untuk diri pribadi maupun orang lain, ini menunjukkan sikap adil dan seimbang yang mereka miliki.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsirnya tentang ‘Orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan, tidak pula kikir’ “artinya mereka tidaklah termasuk orang-orang yang suka menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang sia-sia. Mereka curahkan harta mereka menurut kebutuhan. Namun, mereka tidak lantas menjadi kikir terhadap keluarganya sampai-sampai harus mengurangi hak-hak mereka dan tidak memenuhinya. Akan tetapi mereka senantiasa berlaku adil dan memilih sikap yang terbaik, sedangkan sebaik-baik urusan ialah yang pertengahan. Tidak condong ke sana maupun ke sini” (Tafsir Al- Qur’an Al-‘Azhim, VI/29)

Beliau juga menukil perkataan Iyas bin Mu’awiyah yang mengatakan,
“Segala sesuatu yang melampaui batas ketentuan Allah adalah pemborosan”. Ulama yang lain mengatakan, “Yang dimaksud dengan pemborosan yaitu membelanjakan harta dalam rangka bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla” Sedangkan Hasan Al-Bashri mengatakan, “Tidak ada pemborosan dalam hal membelanjakan harta di jalan Allah” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, VI/29)

Ciri Kelima: Tidak berbuat kesyirikan

Allah berfirman (yang artinya),
“…Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah…” (QS. Al-Furqan : 68).
Ibadur-Rahman adalah orang-orang yang menyembah kepada Allah saja [bertauhid], mengikhlaskan agama dan ketaatan untuk-Nya. Mereka tinggalkan segala bentuk kesyirikan dan cenderung kepada tauhid. Menghadapkan segenap jiwa dan raga mereka hanya kepada Allah serta memalingkan ketergantungan hati dari segala sesuatu selain kepada-Nya.

Imam Ahmad mengatakan, Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami, Al-A’masy menceritakan kepada kami dari Syaqiq dari Abdullah yaitu Ibnu Mas’ud. Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang dosa apakah yang paling besar ? Beliau menjawab, “Engkau menjadikan sekutu untuk Allah padahal Dia lah yang menciptakanmu”. Orang itu bertanya lagi, ‘Lalu apa lagi ?’ Beliau menjawab, “Engkau membunuh anakmu karena khawatir dia ikut makan bersamamu” Orang itu bertanya lagi, ‘Lalu apa lagi ?’ Beliau menjawab, “Engkau berzina dengan istri tetanggamu”. Abdullah mengatakan, ‘Allah pun menurunkan pembenar sabda beliau itu, “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan lain beserta Allah” (HR. Bukhari di dalam Kitab Tafsir/4477/Al -Fath, Muslim di dalam Kitabul Iman/86/Abdul Baqi, dinukil dari Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim VI/29)

Ciri Keenam: Tidak melakukan pembunuhan tanpa alasan yang benar

Allah berfirman (yang artinya),
“…dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar,” (QS. Al-Furqan : 68).
Jiwa yang haram dibunuh adalah jiwa seorang muslim dan jiwa orang kafir mu’ahad, dzimmi dan musta’man. Kafir mu’ahad adalah orang kafir yang sedang memiliki ikatan perjanjian keamanan dengan kaum muslimin, baik jaminan itu berasal dari pemerintah maupun dari seorang muslim. Sedangkan kafir dzimmi adalah orang kafir yang menjadi warga negara sebuah pemerintahan Islam dan tunduk kepada aturannya serta mau membayar jizyah. Adapun kafir musta’man ialah orang-orang kafir yang mendapatkan jaminan keamanan atau suaka politik dari suatu negeri muslim.

Orang-orang kafir semacam itu sama sekali tidak boleh diperangi, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barangsiapa yang membunuh seorang kafir mu’ahad maka dia tidak akan bisa mencium baunya surga dan sesungguhnya baunya itu bisa tercium dari jarak perjalanan 40 tahun” (hadits riwayat Bukhari, Kitab Al Jizyah wal muwaada’ah, bab man qatala mu’aahadan bighairi jurmin, hadits no. 3166 dari Abdullah bin Amr) Dalam lafazh yang lain beliau bersabda, “Barangsiapa membunuh jiwa seorang mu’ahad dia tidak akan mencium bau surga, dan sesungguhnya baunya itu bisa tercium dari jarak perjalanan 40 tahun” (hadits riwayat Bukhari, Kitab Ad Diyaat, bab itsmu man qatala dzimmiyan bighairi jurmin, hadits no. 3166 dari Abdullah bin Amr) Adapun tindakan membunuh yang diperbolehkan menurut syari’at adalah membunuh pelaku pembunuhan (hukum qishash), membunuh pezina yang sudah memiliki suami/isteri (dengan dirajam), membunuh orang murtad serta membunuh orang kafir yang halal diperangi seperti ketika mereka menyerbu negeri muslim (kafir harbi) (lihat Syarah Arba’in Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal. 63)

Ciri Ketujuh: Tidak melakukan perzinaan

Allah berfirman (yang artinya),
“…dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina,…” (QS. Al-Furqan : 68-69).
Ibadur-Rahman adalah orang-orang yang senantiasa menjaga kemaluan mereka kecuali kepada isteri-isteri atau budak-budak mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada sahabat-sahabatnya, “Apa pendapat kalian tentang zina ?” Mereka menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya mengharamkannya maka ia tetap haram hingga hari kiamat’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada sahabat-sahabatnya, “Sungguh, apabila ada seorang lelaki berzina dengan 10 perempuan itu lebih mudah baginya daripada menzinahi istri tetangganya”. Lalu beliau bertanya lagi, “Lalu apa pendapat kalian tentang mencuri ?” Mereka menjawab ‘Allah dan Rasul-Nya mengharamkannya maka ia tetap haram’ Maka beliau bersabda, “Sungguh, apabila ada seseorang mencuri 10 rumah orang itu lebih mudah baginya daripada mencuri harta tetangganya” (Hadits shahih, dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahihul Jaami’ (50430 dinukil dari Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim VI/30)

Ciri Kedelapan: Bertaubat, beriman dan beramal shalih

Allah berfirman (yang artinya),
“…Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, Maka Sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan Taubat yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Furqan : 70-71).
Yaitu orang-orang yang bertaubat dari kemaksiatan dan dosa-dosa yang lainnya dengan memenuhi syarat-syarat yang terkandung dalam ayat di atas : [1] dia segera meninggalkan perbuatan itu, [2] menyesali dosa yang pernah dilakukannya itu, [3] bertekad kuat untuk tidak mengulanginya, [4] beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar, yaitu keimanan yang menuntut dirinya untuk meninggalkan berbagai macam kemaksiatan dan menuntutnya untuk melaksanakan berbagai macam ketaatan, [5] beramal shalih; melakukan amal yang diperintahkan syari’at dan mengikhlaskan niatnya dalam beramal hanya untuk mengharap keridhaan dan pahala melihat Wajah-Nya.

Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Para ulama mengatakan : Taubat itu wajib dilakukan untuk setiap dosa yang diperbuat” (Syarah Riyadhu Shalihin, I/56). Beliau juga berkata : “(Taubat) itu memiliki tiga rukun : meninggalkannya, menyesal atas perbuatan maksiatnya itu, dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya selama-lamanya. Apabila maksiat itu berkaitan dengan hak manusia, maka ada rukun keempat yaitu membebaskan diri dari tanggungannya kepada orang yang dilanggar haknya. Pokok dari taubat adalah penyesalan, dan (penyesalan) itulah rukunnya yang terbesar” (Syarah Muslim, IX/12).

Beliau rahimahullah juga mengatakan : “…Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa taubat dari segala maksiat (hukumnya) wajib, dan (mereka juga sepakat) taubat itu wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda-tunda, sama saja apakah maksiat itu termasuk dosa kecil atau dosa besar. Taubat merupakan salah satu prinsip agung di dalam agama Islam dan kaidah yang sangat ditekankan di dalamnya, ..” (Syarah Shahih Muslim, IX/12).

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Az-Zumar : 53)

Ciri Kesembilan: Tidak ikut menyaksikan kebatilan dan meninggalkan kesia-siaan

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“…Dan orang-orang yang tidak mempersaksikan Az-Zuur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan : 72)
Makna Az-Zuur adalah perkataan dan perbuatan yang diharamkan. Istilah ini mencakup banyak hal seperti; syirik dan penyembahan berhala, dusta, kefasikan, kekafiran, kesia-siaan, kebatilan, nyanyian, hari raya orang musyrik, kumpulan peminum khamr, persaksian palsu dan lain-lain (lihat Tafsir Ibnu Katsir VI/33).

Ibadur-Rahman menjauhi semua pertemuan yang di dalamnya terdapat perkataan atau perbuatan yang diharamkan, seperti perbincangan dalam memperolok ayat-ayat Allah, perdebatan yang batil, menggunjing, mengadu domba, mencela, menuduh zina tanpa bukti, mengejek syari’at Allah, nyanyian yang haram, meminum khamr, menggunakan sutera, memajang gambar-gambar bernyawa, dan lain sebagainya. Apabila mereka tidak menghadiri az-Zuur, apalagi untuk mengatakan atau melakukannya tentu mereka lebih tidak mau. Persaksian palsu termasuk perbuatan yang pertama kali dikategorikan dalam cakupan az-Zuur.

”Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah/al laghwu”. Al-Laghwu adalah adalah perkataan yang tidak mengandung kebaikan, baik manfaat diniyah maupun manfaat duniawiyah. Seperti perkataan orang-orang pandir dan semacamnya.
“mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya”.
Ibadur-Rahman membersihkan jiwa dan menjaga kemuliakan diri mereka dengan tidak ikut campur dalam pembicaraan itu. Mereka meyakini bahwa berbicara tentang perkara yang tidak mengandung kebaikan semacam itu meskipun tidak mendatangkan dosa, tetapi itu termasuk sikap bodoh menurut pandangan nilai-nilai kemanusiaan dan kehormatan. Sehingga mereka lebih memilih untuk menjaga diri dari hal itu.

Di dalam firman Allah (yang artinya), “Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah”, terdapat isyarat bahwa mereka itu sebenarnya tidak memiliki niat untuk menghadiri dan mendengaran perkataan itu, akan tetapi peristiwa itu terjadi secara kebetulan lalu mereka pun menjaga kemuliaan diri mereka dengan tidak ikut bergabung di dalamnya.

Ciri Kesepuluh: Mau mendengar peringatan-peringatan dari Allah, tidak bersikap cuek

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“… Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat- ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang- orang yang tuli dan buta.” (QS. Al-Furqan : 73)
Ibadur-Rahman adalah orang-orang yang tidak berpaling dari peringatan itu. Tidak menutup telinga supaya tidak mendengarnya. Tidak menutup mata dan hatinya dari memahami peringatan itu, sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang tidak mengimani peringatan itu dan tidak membenarkannya. Apabila mendengar peringatan itu, mereka bersikap sebagaimana yang difirmankan Allah (yang artinya), “Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada ayat ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat ayat itu mereka segera bersujud [maksudnya mereka sujud kepada Allah serta khusyuk] seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong”. (QS. As-Sajdah : 15).

Ibadur-Rahman menerima peringatan-peringatan itu dengan sepenuhnya dengan disertai perasaan sangat membutuhkannya, tunduk serta pasrah terhadapnya. Anda jumpai, mereka memiliki telinga yang sangat terbuka, hati-hati yang sangat sadar; yang dengan sebab itu maka iman mereka semakin bertambah serta keyakinan mereka semakin sempurna. Dengan sebab peringatan itu tumbuhlah semangat mereka, mereka senang dan bergembira menyambutnya. Inilah sifat orang yang beriman, sebagaimana diterangkan Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal” (QS. Al-Anfaal : 2)

Adapun orang-orang kafir, mereka sama sekali tidak terpengaruh apabila mendengar firman Allah. Bahkan mereka tetap berkeras dengan kekafiran dan kesesatannya. Hal ini sebagaimana diterangkan Alllah dalam ayat-Nya (yang artinya), “Dan apabila diturunkan suatu surat, Maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?” adapun orang-orang yang beriman, Maka surat Ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit [kekafiran, kemunafikan, keragu-raguan dan sebagainya], Maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir” (QS. At-Taubah : 124-125)

Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya peringatan itu akan bermanfaat bagi kaum yang beriman” (QS. Adz-Dzariyaat : 55). Di dalam ayat ini Allah menginformasikan kepada kita bahwa peringatan akan membuahkan manfaat bagi kaum mukminin. Hal itu disebabkan di dalam jiwa mereka terdapat keimanan, rasa takut kepada Allah (khasy-yah), ingin kembali menaati Allah (inabah) dan juga ketundukan dalam menuruti keridhaan Allah. Itulah yang mendorong mereka sehingga mau memetik faedah dari peringatan tersebut dan bisa menempatkan nasehat yang sampai kepada mereka pada tempat yang semestinya (yaitu dilaksanakan sebaik-baiknya). Hal ini senada dengan ayat yang difirmankan Allah Ta’ala (yang artinya), “Maka berikanlah peringatan jika peringatan itu membuahkan manfaat. Orang yang takut niscaya akan mengambil pelajaran (darinya). Sedangkan orang yang binasa niscaya justru akan menjauhinya.” (QS. Al-A’la : 9-11).

Adapun keadaan orang-orang yang di dalam jiwanya tidak terdapat keimanan dan juga tidak memiliki bekal kesiapan menerima peringatan (baca : masa bodoh), maka peringatan yang ditujukan kepada tipe orang semacam ini tidak akan banyak mendatangkan faedah (bagi dirinya sendiri). Sebagaimana tanah yang lembab serta asin tidak akan bisa menjadi subur barang sedikitpun walaupun diguyur hujan. Tipe-tipe orang seperti mereka ini, seandainya semua ayat datang kepada mereka, niscaya mereka tidak akan mau beriman sampai mereka benar-benar menyaksikan adzab yang amat menyakitkan, wal ‘iyaadzu billah (kita berlindung kepada Allah dari yang demikian itu).

Ciri Kesebelas: Berdo’a kepada Allah agar mendapatkan isteri dan keturunan yang salih-salihah, dan agar menjadikan diri mereka sebagai teladan bagi kaum yang bertakwa

Allah berfirman (yang artinya),
“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. Mereka Itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) Karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): “Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadatmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadat kepada-Nya), padahal kamu sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu” (QS. Al-Furqan : 74-77).
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentang mereka, “Mereka adalah orang-orang yang memohon kepada Allah supaya mengeluarkan dari tulang sulbi dan anak keturunan mereka orang-orang yang taat dan menyembah-Nya saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, VI/34)

Apabila kita mencermati keadaan dan sifat Ibadur-Rahman ini maka kita dapat mengetahui ketinggian cita-cita dan kedudukan mereka. Mereka tidak bisa merasa tentram kecuali apabila anak-anak mereka mau taat dan patuh kepada Rabb mereka; berilmu dan mengamalkan ilmunya. Meskipun do’a ini ditujukannya untuk kebaikan isteri dan anak keturunannya, tetapi sesungguhnya itu adalah do’a untuk [kebaikan] dirinya sendiri. Karena manfaat do’a itu akhirnya juga akan kembali kepadanya. Oleh karenanya, di dalam do’a itu mereka menyebutnya sebagai ‘anugerah’ bagi mereka. Bahkan, manfaat do’a mereka juga kembali kepada keseluruhan kaum muslimin. Karena kebaikan isteri dan anak-anak akan menimbulkan kebaikan orang-orang yang berinteraksi dan menimba faidah dari mereka.

Sosok Ibadur-Rahman juga berdo’a kepada Allah, “Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. Ibnu Abbas, Al-Hasan, As-Suddi, Qatadah dan Rabi’ bin Anas mengatakan tentang maknanya, yaitu “Menjadi pemimpin-pemimpin diantara kami yang patut menjadi teladan dalam kebaikan” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, VI/35).

Artinya, Ibadur-Rahman senantiasa memohon supaya bisa meraih derajat yang tinggi ini. Yaitu derajatnya kaum shiddiqiin dan derajat kesempurnaan yang dimiliki oleh hamba-hamba yang saleh; itulah derajat kepemimpinan dalam agama. Mereka memohon supaya dapat menjadi teladan bagi orang-orang yang bertakwa, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Sehingga perbuatan mereka layak untuk ditiru dan perkataan mereka membuahkan kedamaian. Dengan demikian para pelaku kebaikan akan berjalan mengikuti mereka. Mereka mendapatkan hidayah, dan juga menyebarkannya.

Do’a untuk mendapatkan sesuatu berarti juga mencakup permintaan segala sesuatu yang menjadi syarat terpenuhinya. Sedangkan derajat kepemimpinan di dalam agama tidak bisa tercapai kecuali dengan bekal kesabaran dan keyakinan. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar, dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami” (QS. As-Sajdah : 24)

Semoga kita termasuk di antara mereka…
Demi Allah, betapa luhur sifat-sifat Ibadur-Rahman. Sungguh tinggi cita-cita mereka. Alangkah mulia tuntutan-tuntutan mereka, alangkah suci jiwa-jiwa mereka, dan betapa bersihnya hati mereka. Betapa bening [hati] orang-orang pilihan itu dan betapa kuat ketakwaan mereka. Demi Allah, betapa besar keutamaan dan nikmat yang dikaruniakan Allah kepada mereka…

Demi Allah, betapa agung karunia Allah kepada hamba-hamba-Nya. Allah menjelaskan sifat-sifat Ibadur-Rahman, menyebutkan ciri-ciri mereka, dan Allah menerangkan cita-cita mereka. Allah juga menjelaskan pahala yang akan mereka terima supaya orang-orang berhasrat untuk bisa memiliki sifat-sifat tersebut, dan supaya mereka mengerahkan kesungguhannya untuk meraih sifat-sifat tersebut dan mendorong mereka agar mengerahkan segala kesungguhan mereka untuk meraihnya. Allah pun memerintahkan supaya mereka memohon karunia kepada Dzat yang bisa menganugerahkan sifat-sifat itu, Dzat yang memuliakan mereka, Dzat yang senantiasa memiliki keutamaan di setiap zaman dan di setiap tempat, dalam waktu dan situasi apapun. Mereka pun harus senantiasa memohon kepada Allah hidayah taufiq (untuk bisa beramal) sebagaimana halnya hidayah irsyad (untuk berilmu). Mereka memohon agar Allah menjaga dan membimbing mereka dengan tarbiyah khusus-Nya sebagaimana Allah telah memelihara dan membimbing mereka dengan tarbiyah umum-Nya.

Allahumma, ya Allah! Hanya bagi-Mu seluruh pujian. Kepada-Mu tempat mengadu, Engkaulah Dzat yang layak dimintai pertolongan dan keselamatan. Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan-Mu. Kami tidak sanggup menguasai sedikitpun manfaat atau bahaya bagi diri kami sendiri. Kami tidak menguasai sekecil apapun kebaikan jika Engkau tidak berikan kemudahan kepada kami untuknya, sesungguhnya kami-kami ini lemah dan tidak mampu dari segala sisi.

Kami bersaksi, seandainya Engkau membiarkan kami bersandar kepada diri-diri kami sendiri sekejap mata saja maka itu berarti Engkau telah membiarkan kami bersandar kepada kelemahan, ketidakmampuan dan kesalahan. Kalau demikian, wahai Rabb kami! Sesungguhnya kami ini tidak mempercayakan sepenuhnya kecuali kepada rahmat-Mu; yang karena rahmat itulah Engkau menciptakan dan memberikan rizki kepada kami. Dengan rahmat itu pula, Engkau karuniakan nikmat kepada kami; nikmat lahir maupun batin. Dan karena rahmat-Mu-lah, Engkau memalingkan berbagai bencana yang seharusnya menimpa kami. Maka limpahkanlah kepada kami rahmat yang membuat kami cukup dan tidak membutuhkan lagi selain rahmat-Mu, niscaya tidak ada seorangpun yang rugi apabila meminta dan berharap kepada-Mu.

Tidak ada artinya hidup tanpa tunduk beribadah
Kemudian Allah Ta’ala memberitakan bahwa Dia tidak peduli dan tidak mengindahkan kepada selain orang-orang yang memperoleh rahmat tersebut [selain orang beriman]. Seandainya bukan karena ketundukan beribadah (do’a ibadah) dan permintaan (do’a mas’alah) yang kalian panjatkan kepada-Nya niscaya Dia tidak akan memperdulikan dan tidak mau mencintai kalian. Allah menyatakan (yang artinya), “Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): Tuhanku tidak mengindahkan Kamu, melainkan kalau ada ibadatmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadat kepada-Nya), padahal kamu sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu)” (QS. Al-Furqan : 77).

Inilah balasan bagi orang-orang yang tidak mau tunduk beribadah kepada-Nya! Adzab Allah akan terus menerus menyiksa dirinya bagaikan siksaan berkepanjangan yang dirasakan oleh orang yang terlilit hutang dan tidak sanggup melunasinya, dan kelak Allah akan memberikan keputusan atas perselisihan yang terjadi antara orang yang durhaka ini dengan hamba-hamba-Nya yang beriman.

Semoga Allah memasukkan kita dalam golongan Ibadur-Rahman; menjadi hamba yang tawadhu’, yang rajin shalat malam, yang rajin berdoa supaya selamat dari api neraka, tidak boros tapi tidak juga kikir dalam membelanjakan harta, tidak berbuat syirik, tidak menumpahkan darah tanpa hak, tidak berzina, selalu bertaubat dan beramal saleh, menjauhi majelis-majelis yang diharamkan dan kesia-siaan, mau menerima nasihat, dan selalu bercita-cita tinggi demi kebaikan diri dan anak keturunan. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

[artikel ini diperbaharui http://abumushlih.com/ setelah sekian lama dan pernah dipublikasikan melalui situs muslim.or.id]
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.