F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Hukum Asal Adat dan Ibadah

Hukum Asal Adat dan Ibadah

Antara Adat dan Ibadah


Sebagian orang kurang memahami perbedaan antara ibadah dan adat sehingga rancu dalam memahami kaidah para ulama. Kaidah yang dimaksud adalah,

hukum asal adat atau muamalah itu boleh sampai ada dalil yang melarang, sedangkan untuk perkara ibadah, hukum asalnya haram sampai ada dalil yang mendukungnya

Karena kurang paham akan hal ini, jadi ada yang seenaknya memasukkan suatu amalan yang sebenarnya berisi ibadah pada masalah adat, sampai ia mengatakan, “Kenapa dilarang? Kan asalnya boleh?

Tabel Perbedaan antara Adat dan Ibadah

NO IBADAH ADAT
1 Ibadah kembali pada penjagaan agama dan ingin meraih pahala di sisi Allah seperti iman dan shalat Adat kembali pada penjagaan diri, harta atau kehormatan seperti jual beli dan makanan
2 Ibadah adalah hak Allah yang harus ditunaikan oleh hamba seperti disebutkan dalam hadits Mu’adz, “Hak Allah yang harus ditunaikan oleh hamba adalah hendaklah mereka menyembah Allah dan tidak berbuat syirik pada-Nya dengan sesuatu pun” (Muttafaqun ‘alaih) Adapun adat adalah hak hamba yang mengandung maslahat bagi mereka
3 Ibadah dibangun di atas tawqif (dalil) dan dicukupkan apa yang ada dalam dalil Adat terdapat kebebasan untuk melakukannya selama tidak ada dalil yang melarang
4 Ibadah tidak mungkin bagi akal memikirkan maksudnya, seperti kita tidak perlu bertanya mengapa shalat Zhuhur empat raka’at Adat ditunjukkan oleh akal manakah yang maslahat[1]

Kaidah Penting

Setelah kita memahami perbedaan antara adat dan ibadah, maka ada Kaidah yang perlu diperhatikan yang disebutkan oleh para ulama. Mereka berkata,

كل تقرب إلى الله بفعل شيء من العادات أو المعاملات من وجه لم يعتبره الشارع فهو بدعة

“Setiap pendekatan diri pada Allah dengan melakukan perkara adat atau muamalah dengan cara yang tidak dianggap oleh syari’at, maka ia termasuk bid’ah”.

Kaidah ini di antaranya disebutkan oleh Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom.

Contoh penerapan kaidah di atas:
  1. Menjadikan memakai pakaian shuf (wol) sebagai bentuk pendekatan diri pada Allah seperti yang dilakukan kalangan sufiyah.
  2. Menjadikan diam (tidak berbicara) selamanya, enggan makan daging (vegetarian) atau enggan minum air, begitu pula berdiri di terik matahari tanpa mau mengambil tempat untuk berteduh, semua ini dilakukan dalam rangka ibadah (pendekatan diri pada Allah).
Kaidah di atas berlaku untuk perkara adat dan muamalat saja yang digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah.

Disebut bid’ah karena asalnya tidak ada tuntunan, dan tata caranya tidak diajarkan dalam Islam. Ada juga perkara adat atau muamalat yang secara hakiki termasuk bid’ah karena tidak ada dalilnya secara umum, maupun secara terperinci.

Lihat bahasan di atas dalam Qowa’id Ma’rifatil Bida’ karya Muhammad bin Husain Al Jizaniy, hal. 106-107.

Adat atau Muamalah Diniatkan Ibadah

Ada yang sering bertanya, “Berarti Facebook untuk dakwah itu bid’ah, begitu pula mencari nafkah juga bid’ah jika diniatkan untuk ibadah karena tidak ada dalilnya?” Nah, point berikut ini yang harus dipahami.

Perlu diketahui bahwa adat atau muamalah bisa termasuk ibadah dan bukan bid’ah ketika memenuhi salah satu dari dua syarat:

1. Dilakukan dengan niat yang benar.

وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ ، إِلاَّ أُجِرْتَ ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ

Sesungguhnya engkau tidaklah menafkahkan suatu nafkah dalam rangka mengharap wajah Allah melainkan akan diganjar dengan usaha itu sampai pun sesuap makanan yang engkau masukkan dalam mulut istrimu.” (HR. Bukhari no. 6373 dan Muslim no. 1628).

Di sini disebutkan dengan niat ikhlas mengharap pahala di sisi Allah, barulah perbuatan yang asalnya bukan ibadah berbuah pahala.

2. Sebagai wasilah (perantara) dan men-support amalan shalih.

Firman Allah Ta’ala,

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ

Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh.” (QS. At Taubah: 120).

Ayat ini menunjukkan bahwa wasilah (perantara) dan mendukung terwujudnya ketaatan dianggap sebagai ketaataan pula dan bernilai pahala. [Lihat bahasan di atas dalam Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 107]

Sebagai Wasilah (Perantara), Bukan Tujuan

Namun ingat di sini, itu jika perkara non-ibadah dijadikan sebagai sarana dan bukan tujuan. Sehingga tidak tepat berdalil dengan point ini untuk mendukung acara mauludan (peringatan Maulid Nabi) dan acara bid’ah lainnya. Karena mauludansendiri yang dimaksud adalah tujuan, bukan sarana karena yang melakukan mauludan memaksudkan amalan tersebut untuk meraih pahala dengan dibacakan shalawat, dll. Sedangkan jika seseorang menggunakan Facebook atau Handphone untuk berdakwah, itu sebagai wasilah (sarana) dan bukan maksud atau tujuan. Jadi sungguh keliru yang serampangan dalam menggunakan Kaidah ini karena tidak paham.

Dua syarat yang telah disebutkan sebelumnya dianggap oleh syari’at. Sehingga tepatlah dalam Kaidah yang kami sebutkan di atas ditambahkan embel-embel, “Setiap pendekatan diri pada Allah dengan melakukan perkara adat atau muamalah dengan cara yang tidak dianggap oleh syari’at, maka ia termasuk bid’ah.” Di antara cara yang tidak dianggap oleh syari’at adalah menjadikan perkara non-ibadah (adat atau muamalat) secara dzatnya sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Inilah yang terjadi di tengah masyarakat kita pada acara yasinan atau tahlilan. Acara ini termasuk adat, namun secara dzat dimaksudkan untuk ibadah. Dan di dalamnya dikhususkan ibadah pula yang tidak dituntunkan. Karena mengkhususkan selamatan kematian dengan surat Yasin atau bacaan tahlil tidak ada dalil pendukungnya.

Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam berkata,

فمن تقرَّب إلى الله بعمل ، لم يجعله الله ورسولُه قربة إلى الله ، فعمله باطلٌ مردودٌ عليه

Barangsiapa mendekatkan diri pada Allah dengan amalan yang Allah dan Rasul-Nya tidak nilai sebagai ibadah (pendekatan diri pada-Nya), maka amalannya batil dan tertolak.

Coba renungkan berbagai amalan yang tersebar di tengah masyarakat, apakah termasuk ibadah atau non-ibadah? Contohnya peringatan Maulid, apakah itu non-ibadah? Bukankah -asalnya- acara maulid diadakan untuk cari pahala, bukan untuk cari keuntungan seperti dalam jual beli? Kalau jelas ibadah, lantas mengapa masih membuat rancu dengan mengatakan maulid Nabi itu perkara muamalat (sehingga sah-sah saja diperingati) dan bukan ibadah padahal di dalamnya terdapat shalawatan, yang tentu itu dimaksud untuk mendapatkan pahala di sisi Allah?

Salah Kaprah Antara Adat Dan Ibadah

Ini adalah sub kajian yang sangat penting yang membantah anggapan orang yang dangkal akal dan ilmunya, jika bid’ah atau ibadah yang mereka buat diingkari dan dikritik, sedang mereka mengira melakukan kebaikan, maka mereka menjawab : “Demikian ini bid’ah ! Kalau begitu, mobil bid’ah, listrik bid’ah, dan jam bid’ah!

Sebagian orang yang memperoleh sedikit dari ilmu fiqih terkadang merasa lebih pandai daripada ulama Ahli Sunnah dan orang-orang yang mengikuti As-Sunnah dengan mengatakan kepada mereka sebagai pengingkaran atas teguran mereka yang mengatakan bahwa amal yang baru yang dia lakukan itu bid’ah seraya dia menyatakan bahwa “asal segala sesuatu adalah diperbolehkan”.

Ungkapan seperti itu tidak keluar dari mereka melainkan karena kebodohannya tentang kaidah pembedaan antara adat dan ibadah. Sesungguhnya kaidah tersebut berkisar pada dua hadits.

Pertama : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa melakukan hal yang baru dalam urusan (agama) kami ini yang tidak ada di dalamnya, maka amal itu tertolak”.

Hadits ini telah disebutkan takhrij dan syarahnya secara panjang lebar.

Kedua : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peristiwa penyilangan serbuk sari kurma yang sangat masyhur.

“Artinya : Kamu lebih mengetahui tentang berbagai urusan duniamu

Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim (1366) dimasukkan ke dalam bab dengan judul : “Bab Wajib Mengikuti Perkataan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dalam Masalah Syari’at Dan Yang Disebutkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Tentang Kehidupan Dunia Berdasarkan Pendapat”, dan ini merupakan penyusunan bab yang sangat cermat

Atas dasar ini maka sesungguhnya penghalalan dan pengharaman, penentuan syari’at, bentuk-bentuk ibadah dan penjelasan jumlah, cara dan waktu-waktunya, serta meletakkan kaidah-kaidah umum dalam muamalah adalah hanya hak Allah dan Rasul-Nya dan tidak ada hak bagi ulil amri[2] di dalamnya. Sedangkan kita dan mereka dalam hal tersebut adalah sama. Maka kita tidak boleh merujuk kepada mereka jika terjadi perselisihan. Tetapi kita harus mengembalikan semua itu kepada Allah dan Rasul-Nya.

Adapun tentang bentuk-bentuk urusan dunia maka mereka lebih mengetahui daripada kita. Seperti para ahli pertanian lebih mengetahui tentang apa yang lebih maslahat dalam mengembangkan pertanian. Maka jika mereka mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan pertanian, umat wajib mentaatinya dalam hal tersebut. Para ahli perdagangan ditaati dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan perdagangan.

Sesungguhnya mengembalikan sesuatu kepada orang-orang yang berwenang dalam kemaslahatan umum adalah seperti merujuk kepada dokter dalam mengetahui makanan yang berbahaya untuk dihindari dan yang bermanfaat darinya untuk dijadikan santapan. Ini tidak berarti bahwa dokter adalah yang menghalalkan makanan yang manfaat atau mengharamkan makanan yang mudharat. Tetapi sesungguhnya dokter hanya sebatas sebagai pembimbing sedang yang menghalalkan dan mengharamkan adalah yang menentukan syari’at (Allah dan Rsul-Nya), firmanNya.

“Artinya : Dan menghalalkan bagi mereka segala hal yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala hal yang buruk” [Al-Araf : 157][3].

Dengan demikian anda mengetahui bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan tertolak. Adapun bid’ah dalam masalah dunia maka tiada larangan di dalamnya selama tidak bertentangan dengan landasan yang telah ditetapkan dalam agama[4]. Jadi, Allah membolehkan anda membuat apa yang anda mau dalam urusan dunia dan cara berproduksi yang anda mau. Tetapi anda harus memperhatikan kaidah keadilan dan menangkal bentuk-bentuk mafsadah serta mendatangkan bentuk-bentuk maslahat.”[5]

Adapun kaidah dalam hal ini menurut ulama sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah [6] adalah : “Sesungguhnya amal-amal manusia terbagi kepada : Pertama, ibadah yang mereka jadikan sebagai agama, yang bermanfaat bagi mereka di akhirat atau bermanfaat di dunia dan akhirat. Kedua, adat yang bermanfaat dalam kehidupan mereka. Adapun kaidah dalam hukum adalah asal dalam bentuk-bentuk ibadah tidak disyari’atkan kecuali apa yang telah disyariatkan Allah. Sedangkan hukum asal dalam adat[7] adalah tidak dilarang kecuali apa yang dilarang Allah”.

Dari keterangan diatas tampak dengan jelas bahwa tidak ada bid’ah dalam masalah adat, produksi dan segala sarana kehidupan umum”.

Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Mahmud Syaltut dalam kitabnya yang sangat bagus, Al-Bid’ah Asabbuha wa Madharruha (hal. 12 –dengan tahqiq saya), dan saya telah mengomentarinya sebagai berikut, “Hal-hal tersebut tiada kaitannya dengan hakikat ibadah. Tetapi hal tersebut harus diperhatikan dari sisi dasarnya, apakah dia bertentangan dengan hukum-hukum syari’at ataukah masuk di dalamnya”.

Di sini terdapat keterangan yang sangat cermat yang diisyaratkan oleh Imam Syathibi dalam kajian yang panjang dalam Al-I’tisham (II/73-98) yang pada bagian akhirnya disebutkan, “Sesungguhnya hal-hal yang berkaitan dengan adat jika dilihat dari sisi adatnya, maka tidak ada bid’ah di dalamnya. Tetapi jika adat dijadikan sebagai ibadah atau diletakkan pada tempat ibadah maka ia menjadi bid’ah”.

Dengan demikian maka “tidak setiap yang belum ada pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga belum ada pada masa Khulafa Rasyidin dinamakan bid’ah. Sebab setiap ilmu yang baru dan bermanfaat bagi manusia wajib dipelajari oleh sebagian kaum muslimin agar menjadi kekuatan mereka dan dapat meningkatkan eksistensi umat Islam.

Sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang baru dibuat oleh manusia dalam bentuk-bentuk ibadah saja. Sedangkan yang bukan dalam masalah ibadah dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syari’at maka bukan bid’ah sama sekali”[8]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah Al-Fiqhiyah (hal. 22) berkata, “ Adapun adat adalah sesuatu yang bisa dilakukan manusia dalam urusan dunia yang berkaitan dengan kebutuhan mereka, dan hukum asal pada masalah tersebut adalah tidak terlarang. Maka tidak boleh ada yang dilarang kecuali apa yang dilarang Allah. Karena sesungguhnya memerintah dan melarang adalah hak prerogratif Allah. Maka ibadah harus berdasarkan perintah. Lalu bagaimana sesuatu yang tidak diperintahkan di hukumi sebagai hal yang dilarang?

Oleh karena itu, Imam Ahmad dan ulama fiqh ahli hadits lainnya mengatakan, bahwa hukum asal dalam ibadah adalah tauqifi (berdasarkan dalil). Maka, ibadah tidak disyariatkan kecuali dengan ketentuan Allah, sedang jika tidak ada ketentuan dari-Nya maka pelakunya termasuk orang dalam firman Allah.

“Artinya : Apakah mereka mempunyai para sekutu yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak dizinkan Allah?” [Asy-Syuraa : 21]

Sedangkan hukum asal dalam masalah adat adalah dimaafkan (boleh). Maka, tidak boleh dilarang kecuali yang diharamkan Allah.

“Artinya : Katakanlah. Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. ‘Katakanlah, ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” [Yunus : 59]

Ini adalah kaidah besar yang sangat berguna.[9]

Semoga jadi renungan, hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah

Sumber:
1. Disalin dari 'Beda antara Adat dan Ibadah' oleh Ust. Muhammad Abduh Tuasikal di http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/4225-beda-antara-adat-dan-ibadah.html
2. Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar di http://almanhaj.or.id/content/2136/slash/0/antara-adat-dan-ibadah/

Footnote:
[1]. Diringkas dari penjelasan Syaikh Dr. Muhammad bin Husain Al Jizaniy dinukil dari Multaqo Ahlil Hadits di http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?p=924341
[2]. Maksudnya ulama dan umara
[3]. Ushul fil Bida’ was Sunan : 94
[4]. Ini batasan yang sangat penting, maka hendaklah selalu mengingatnya!
[5]. Ushul fil Bida’ was Sunan : 106
[6]. Al-Iqtidha II/582
[7]. Lihat Al-I’tiham I/37 oleh Asy-Syatibi.
[8]. Dari ta’liq Syaikh Ahmad Syakir tentang kitab Ar-Raudhah An-Nadiyah I/27
[9]. Sungguh Abdullah Al-Ghumari dalam kitabnya “Husnu At-Tafahhum wad Darki” hal. 151 telah mencampuradukkan kaidah ini dengan sangat buruk, karena menganggap setiap sesuatu yang tidak terdapat larangannya yang menyatakan haram atau makruh, maka hukum asal untuknya adalah dipebolehkan. Dimana dia tidak merincikan antara adat dan ibadah. Dan dengan itu, maka dia telah membantah pendapatnya sendiri yang juga disebutkan dalam kitabnya tersebut seperti telah dijelaskan sebelumnya.
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.