F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

Status Anak Zina

Status Anak Zina www.novieffendi.com

Tidak dapat dipungkiri lagi, musibah perzinaan sudah mulai merebak di negara ini. Kebejatan dan kenistaan tindak perzinaan telah dikaburkan dengan istilah yang berkonotasi lain. WIL (Wanita Idaman Lain), PIL (Pria Idaman Lain), PSK (Penjaja Seks Komersial), Gadis Pendamping dan yang sejenisnya mengesankan permasalahan ini dianggap ringan oleh sebagian kalangan.
Ditambah lagi, syari’at Islam secara umum dan hukuman bagi para pezina khususnya tidak dilaksanakan. Kondisi-kondisi ini mendukung tersebarnya wabah buruk ini di tengah kaum muslimin.
Perzinaan yang mewabah ini menimbulkan berbagai problematika social yang menyakitkan. Tidak hanya pada kedua pelakunya saja, namun juga pada anak yang lahir melalui hubungan haram tersebut. Predikat “anak zina” sudah cukup menyebabkan si bocah menderita kesedihan mendalam. Apalagi bila menengok masalah-masalah lain yang mesti ia hadapi di kemudian hari. Seperti penasaban, warisan, perwalian dan masalah-masalah sosial lainnya yang tidak mungkin ia hindari.

Nasab anak zina

 Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana nasib anak mulâ’anah[1] yang dinasabkan kepada ibunya, bukan ke bapaknya. Sebab, nasab kedua anak ini terputus dari sisi bapak. [2] Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam menyatakan tentang anak zina:

 ِلأَهْلِ أُمِّهِ مَنْ كَانُوا 

(Anak itu) untuk keluarga ibunya yang masih ada… [3]

Beliau Shallallahu’alaihi wa Sallam juga menasabkan anak mulâ’anah kepada ibunya. Ibnu Umar Radhiyallahu anhu pernah menuturkan:

 أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَعَنَ بَيْنَ رَجُلٍ وَامْرَأَتِهِ ، فَانْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا ، فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا ، وَاَلْحَقَ الْوَلَدَ باِلْمَرْأَةِ 

Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam mengadakan mulâ’anah antara seorang lelaki dengan istrinya. Lalu lelaki itu mengingkari anaknya tersebut dan Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam memisahkan keduanya dan menasabkan anak tersebut kepada ibunya. [4]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan konsekuensi hukum dari sebuah mula’aanah antara seorang suami dengan istrinya menyatakan: "Hukum keenam adalah terputusnya nasab anak dari sisi sang bapak. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam menetapkan untuk tidak dipanggil anak tersebut dengan nasab bapak. Inilah yang benar dan merupakan pendapat mayoritas Ulama". [5]

Syaikh Mushthafâ al’Adawi hafizhahullah mengatakan : "Inilah pendapat mayoritas ulama, nasab anak tersebut terputus dari sisi bapaknya. Sebab, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam menetapkan agar tidak dinasabkan kepada bapaknya. Inilah pendapat yang benar" [6]

Senada dengan pendapat di atas, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah mengatakan: "Anak zina diciptakan dari sperma tanpa pernikahan. Maka dia tidak dinasabkan kepada seorang pun, baik kepada lelaki yang menzinainya atau suami wanita tersebut apabila ia bersuami. Alasannya, ia tidak memiliki bapak yang syar’i (melalui pernikahan yang sah, red)". [7]

Nasab anak hasil selingkuh atau perzinaan, apabila ditinjau dari status ibunya, dapat dikategorikan menjadi dua:

1. Bila Si ibu berstatus sebagai istri orang. 

Seorang wanita bersuami yang terbukti selingkuh (baca : berbuat zina) kemudian melahirkan anak dari hubungan haram tersebut, maka tidak lepas dari dua keadaan:
  • Sang suami tidak mengingkari anak tersebut atau mengakui sebagai anaknya.
Yakni, apabila seorang wanita yang bersuami melahirkan seorang anak dan sang suami tidak mengingkari anak tersebut, maka anak tersebut adalah anaknya, walaupun ada orang yang mengklaim itu adalah hasil selingkuhan dengannya, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadits dari Aa’isyah Radhiyallahu anhuma :

 الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ 

Anak yang lahir adalah milik pemilik ranjang (suami) dan pezinanya mendapatkan kerugian [8].

Yang dimaksud dengan kata al-firâsy di sini adalah lelaki yang memiliki istri atau budak wanita yang sudah pernah digaulinya. Dalilnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam pernah bersabda :

 الْوَلَدُ لِصَاحِبِ الْفِرَاشِ 

Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) [8]

Syaikh 'Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah menyatakan: "Ketika seorang wanita telah menjadi firâsy, baik sebagai istri atau budak wanita, kemudian dia melahirkan seorang anak, maka anak itu menjadi milik pemilik firâsy. [10] Beliau rahimahullah menambahkan: "Dengan adanya kepemilikan firâsy ini, maka keserupaan fisik atau pengakuan seseorang dan lainnya sudah tidak dianggap". [11]
  • Bila Sang suami mengingkarinya
Apabila suami mengingkari anak tersebut, maka si wanita (sang istri) tidak lepas dari dua keadaan :
1 Ia mengakui kalau itu memang hasil perselingkuhan atau terbukti dengan persaksian yang sesuai syari’at. Jika seperti ini keadaannya, maka si wanita dijatuhi hukum rajam dan status anaknya adalah anak zina serta nasabnya dinasabkan ke ibunya.
2 Wanita itu mengingkari kalau anak yang lahir sebagi hasil perselingkuhan. Maka, solusi dari syariat, pasangan suami istri itu saling melaknat (melakukan proses mulâ’anah). Lalu mereka berdua dipisahkan dan ikatan pernikahan kedua insan ini terputus untuk selama-lamanya. Anak yang diperselisihkan ini menjadi anak mulâ’anah bukan anak zina. Meski bukan anak zina, namun tetap dinasabkan kepada ibunya.

2. Bukan berstatus sebagai istri orang 

Apabila wanita tersebut tidak memiliki suami, baik janda atau belum pernah menikah secara sah sama sekali, kemudian melahirkan anak, maka anak tersebut berada dalam dua kondisi :  

a. Bila tidak ada seorang lelaki pun yang pernah menzinainya meminta anak tersebut dinasabkan kepada dirinya, maka si anak tidak dinasabkan kepada lelaki manapun. Nasab anak itu dihubungkan ke ibunya.

b. Ada lelaki yang mengaku telah menzinai wanita tersebut dan mengklaim anak tersebut anaknya. Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat :

Pendapat pertama, menyatakan anak tersebut tidak dinasabkan kepada lelaki yang mengaku itu.
 Ini merupakan pendapat madzhab al-`aimah al-arba’ah (Imam madzhab yang empat yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad rahimahumullah) [12] dan pendapat Ibnu Hazm rahimahullah [13] . Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dalam al-Mughni. Dasar pendapat ini adalah:

1. Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam:

 الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ

Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya mendapatkan kerugian [14]

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam tidak menasabkan sang anak kepada selain suami ibunya. Ini berarti menasabkan anak zina tersebut kepada lelaki pezina menyelisihi kandungan hadits ini.

2. Hadits Abdullah bin ‘Amru yang berbunyi:

 قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فُلاَنًا ابْنِيْ عَاهَرْتُ بِأُمِّهِ فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ دِعْوَةَ فِي اْلإِسْلاَمِ ذَهَبَ أَمْرُ الْجَاهِلِيَّةِ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ.

Seorang berdiri seraya berkata: “Wahai Rasulullah! Sungguh si Fulan ini adalah anak saya, saya telah menzinahi ibunya dizaman Jahiliyah.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam menjawab: “Tidak ada pengakuan anak dalam islam. Masa jahiliyah sudah hilang. Anak adalah milik suami wanita (al-Firâsy) dan pezina mendapatkan kerugian. [15]

3. Sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam :

 لاَ مُسَاعَاةَ فِى الإِسْلاَمِ مَنْ سَاعَى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقَدْ لَحِقَ بِعَصَبَتِهِ وَمَنِ ادَّعَى وَلَدًا مِنْ غَيْرِ رِشْدَةٍ فَلاَ يَرِثُ وَلاَ يُورَثُ 

Tidak ada perzinahan dalam islam, siapa yang berzina di zaman jahiliyah maka dinasabkan kepada kerabat ahli warisnya (Ashabah) dan siapa yang mengklaim anak tanpa bukti, maka tidak mewarisi dan tidak mewariskan. [16]

4. Hadits Abdullah bin ‘Amru Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَضَى أَنَّ كُلَّ مُسْتَلْحَقٍ اسْتُلْحِقَ بَعْدَ أَبِيهِ الَّذِى يُدْعَى لَهُ ادَّعَاهُ وَرَثَتُهُ فَقَضَى أَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ يَمْلِكُهَا يَوْمَ أَصَابَهَا فَقَدْ لَحِقَ بِمَنِ اسْتَلْحَقَهُ وَلَيْسَ لَهُ مِمَّا قُسِمَ قَبْلَهُ مِنَ الْمِيرَاثِ شَىْءٌ وَمَا أَدْرَكَ مِنْ مِيرَاثٍ لَمْ يُقْسَمْ فَلَهُ نَصِيبُهُ وَلاَ يُلْحَقُ إِذَا كَانَ أَبُوهُ الَّذِى يُدْعَى لَهُ أَنْكَرَهُ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لاَ يُلْحَقُ بِهِ وَلاَ يَرِثُ وَإِنْ كَانَ الَّذِى يُدْعَى لَهُ هُوَ ادَّعَاهُ فَهُوَ وَلَدُ زِنْيَةٍ مِنْ حُرَّةٍ كَانَ أَوْ أَمَةٍ.

Sungguhnya Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam ingin memutuskan permasalahan setiap anak yang dinasabkan kepada seseorang setelah (meninggal) bapak yang dinasabkan kepadanya tersebut diakui oleh ahli warisnya. Lalu beliau memutuskan bahwa semua anak yang lahir dari budak yang berstatus miliknya (sang majikan) pada waktu digauli (hubungan suami istri), maka si anak dinasabkan kepada yang meminta penasabannya dan anak tersebut tidak memiliki hak sedikitpun dari warisan dibagikan sebelum (dinasabkan) padanya dan warisan yang belum dibagikan maka ia mendapatkan bagiannya. Tidak dinasabkan (kepada sang bapak) apabila bapak yang dinasabkan tersebut mengingkarinya. Apabila dari budak yang tidak dimilikinya atau dari wanita merdeka yang dizinahinyanya, maka anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya dan tidak mewarisi walaupun orang yang dinasabkan tersebut yang mengklaimnya, karena ia anak zina baik dari wanita merdeka atau budak sahaya.[17]

 Ibnu al-Qayyim menyatakan: Hadits ini membantah pendapat Ishaaq dan yang sepakat dengannya.[18]

5. Sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam :

 أَيُّمَا رَجُلٍ عَاهَرَ بِحُرَّةٍ أَوْ أَمَةٍ فَالْوَلَدُ وَلَدُ زِنَا ، لاَ يَرِثُ وَلاَ يُوْرِثُ 

Siapa saja yang menzinahi wanita merdeka atau budak sahaya maka anaknya adalah anak zina, tidak mewarisi dan mewariskan. [19]

6. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyampaikan alasannya bahwa anak zina tidak dinasabkan kepada bapaknya apabila tidak diminta penasabannya. Ini menunjukkan bahwa anak itu tidak dianggap anak secara syar’i sehingga tidak dapat dinasabkan kepadanya sama sekali. [20]

Pendapat kedua menyatakan anak tersebut dinasabkan kepada pezina apabila ia meminta penasabannya.

Inilah pendapat Ishâq bin Rahuyah rahimahullah, ‘Urwah bin az-Zubeir rahimahullah, Sulaiman bin Yasâr rahimahullah dan Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan : Ada dua pendapat ulama dalam masalah pezina yang meminta anak zinanya dinasabkan kepadanya apabila wanita yang dizinahinya tidak bersuami.

Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda:

 الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ 

Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.

Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam menjadikan anak tersebut milik suami (al-Firaasy) bukan pezina. Apabila wanita itu tidak bersuami (al-Firâsy) maka tidak masuk dalam hadits ini. [21]

Ibnu Taimiyah rahimahullah berargumen dengan perbuatan Khalifah Umar bin Al-Khaththâb sebagaimana diriwayatkan imam Mâlik dalam al-Muwaththa’ dengan lafadz:

 أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - كَانَ يُلِيْطُ أَوْلاَدَ الْجَاهِلِيَّةِ بِمَنِ ادَّعَاهُمْ فِي الإِسْلاَمِ . 

Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu dahulu menasabkan anak-anak jahiliyah kepada yang mengakuinya (sebagai anak) dalam Islam.[22]

Demikian juga ia berargumen dengan qiyas (analogi), karena bapak adalah salah satu pasangan berzina tersebut. Apabila dinasabkan kepada ibunya dan mewarisinya serta adanya nasab antara anak tersebut dengan kerabat ibunya padahal ia berzina dengan lelaki (bapaknya) tersebut. Anak itu ada dari air kedua pasangan tersebut dan berserikat padanya dan keduanya sepakat itu adalah anaknya, lalu apa yang mencegah dinasabkan anak tersebut kepada bapaknya, apabila selainnya tidak mengakuinya? Ini adalah qiyas murni. [23]

Yang râjih Wallahu A’lam adalah pendapat jumhûr dengan keshahihan dalil kedua dan keempat yang menguatkan pendapat jumhûr.

Setelah membahas perbedaan pendapat dalam masalah ini dan menyampaikan hadits keempat dari pendapat pertama, Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan : Apabila hadits ini shahîh maka wajib berpendapat dengan kandungan hadits ini dan mengambilnya. Apabila hadits ini tidak shahih maka pendapat (yang rajih-pent) adalah pendapat Ishâq rahimahullah dan orang-orang yang bersamanya.[24]

Anak Zina dan warisan. 

Hukum warisan anak zina dalam semua keadaannya sama dengan hukum waris anak mulâ’anah karena nasab mereka sama-sama terputus dari sang bapak.[25] Masalah waris mewaris bagi anak zina adalah bagian dari konsekwensi nasabnya.

1. Anak zina dengan lelaki yang menzinahi ibunya.
 Hubungan waris mewaris antara seorang anak dengan bapaknya ada dengan keberadaan salah satu diantara sebab-sebab pewarisan (Asbâb al-Irts) yaitu Nasab. Ketika anak zina tidak dinasabkan secara syar’i kepada lelaki yang telah menzinahi ibunya maka konsekuensinya adalah tidak ada waris-mewarisi diantara keduannya. Dengan demikian, anak zina tersebut tidak bisa mendapatkan harta warisan dari orang tersebut dan kerabatnya. Begitu juga lelaki tersebut, tidak bisa mendapatkan harta waris dari anak hasil perbuatan zinanya.

2. Anak Zina dengan ibunya
Sedangkan antara anak hasil perbuatan zina dengan ibunya maka tetap ada saling mewarisi. Anak hasil zina ini sama seperti anak-anak yang lain dari ibunya tersebut. Karena ia adalah anaknya, maka ia masuk dalam keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

 يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا 

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [QS. an-Nisâ`: 11]

Dia berhak mendapatkan warisan dari sang ibu karena ia dinasabkan kepada ibunya dan nasab merupakan salah satu sebab diantara sebab-sebab pewarisan. Dalam hal ini status anak zina sama dengan anak mulâ’anah yang dijelaskan dalam hadits Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi Radhiyallahu anhu yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam memutuskan perkara mulâ’anah. Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu mengatakan :

 فَكَانَتْ سُنَّةً أَنْ يُفَرَّقَ بَيْنَ الْمُتَلاَعِنَيْنِ وَكَانَتْ حَامِلاً ، فَأَنْكَرَ حَمْلَهَا وَكَانَ ابْنُهَا يُدْعَى إِلَيْهَا ، ثُمَّ جَرَتِ السُّنَّةُ فِى الْمِيرَاثِ أَنْ يَرِثَهَا ، وَتَرِثَ مِنْهُ مَا فَرَضَ اللَّهُ لَهَا . 

Maka menjadi sunnah memisahkan dua orang yang melakukan mulâ’anah padahal sang wanita tersebut dalam keadaan hamil. Sang suaminya mengingkari kehamilannya dan anaknya dinasabkan kepada wanita tersebut. Kemudian berlakulah sunnah dalam warisan bahwa anak tersebut mewarisi harta wanita tersebut dan wanita tersebut mewaris harta anaknya tersebut sesuai dengan ketetapan Allah. [26]

Ibnu Quddâmah rahimahullah berkata : “Seorang lelaki apabila melakukan mulâ’anah terhadap istrinya dan menolak anaknya serta hakim telah memisahkan antara keduanya, maka anak tersebut lepas darinya dan terputuslah hak waris mewaris dari sisi lelaki yang melakukan mulâ’anah ini. Ia tidak mewarisinya dan juga tidak seorangpun ahli waris (‘Ashabah)nya. Dia hanya diwarisi oleh ibunya dan dzawu al-Furudh (ahli waris yang mendapatkan bagian-bagian tertentu-red) dari arah ibu. Juga waris mewaris antara pasangan suami istri tersebut putus dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini. [27]

Mahramkah anak zina dengan keluarga lelaki yang menzinai ibunya?

Telah lalu dijelaskan menurut pendapat yang rajih (lebih kuat) bahwa anak zina terputus nasab dan hak warisnya dari lelaki yang menzinahi ibunya. Dengan dasar ini maka anak zina tersebut bukanlah mahram bagi keluarga lelaki tersebut, sebab status mahram didapatkan dengan tiga sebab yaitu nasab, persusuan dan perkawinan. Ketiga sebab ini tidak ada pada anak zina. Oleh karena itu ia bukanlah mahram bagi lelaki tersebut, saudara dan anak-anak lelaki tersebut yang dilahirkan dari pernikahan yang sah. Konsekwensinya seluruh hukum-hukum yang berhubungan dengan kebolehan melihat, khalwat dan safar dilarang diantara mereka.

Lantas Bolehkan lelaki tersebut menikahi anak hasil perbuatan zinanya?

Permasalahan ini pernah ditanyakan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan beliau menjawab :

Menurut mayoritas ulama besar kaum muslimin, ia tidak boleh menikahinya sampai-sampai imam Ahmad rahimahullah mengingkari adanya perbedaan pendapat dalam hal ini dikalangan salaf. Beliau rahimahullah mengatakan : “Siapa yang berbuat demikian (menikahi anak hasil perbuatan zinanya-red) maka dihukum bunuh. Disampaikan kepada beliau rahimahullah sebuah pendapat dari imam Mâlik bahwa beliau membolehkannya, maka imam Ahmad rahimahullah mendustakan penukilan dari imam Mâlik rahimahullah tersebut. Pengharaman hal ini adalah pendapat Abu Hanifah rahimahullah dan pengikutnya, Ahmad rahimahullah dan pengikutnya, Mâlik dan mayoritas pengikutnya dan juga merupakan pendapat banyak pengikut madzhab Syafi’i. Beliau rahimahullah juga mengingkari berita bahwa imam Syafi’i berpendapat yang berbeda dengan ini. Para ulama mengatakan : “Imam Syafi’i hanya mengatakan anak perempuan dari susuan bukan anak hasil perbuatan zina. [Majmû’ fatâwâ 32/143]

Ibnu Taimiyah rahimahullah juga ditanya tentang seorang yang menzinahi seorang wanita, lalu lelaki tersebut meninggal dunia. Apakah anak dari lelaki yang berzina tersebut diperbolehkan menikahi wanita yang dizinai ayahnya? Beliau menjawab : Ini dilarang dalam madzhab Abu Hanîfah, Ahmad dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Mâlik dan dalam pendapat kedua beliau membolehkan. Dan ini juga madzhab Syâfi’i. [Majmû’ Fatâwâ 32/143]

Dengan demikian jelaslah status anak zina dalam nasab, warisan dan mahram. Mudah-mudahan penjelasan ringkas ini bermanfaat bagi kita semua.  

Wabillahi Taufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XII/Dzulhijjah 1429/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

_______
Footnote
[1]. Mulâ'anah, lihat rubrik fiqih halaman 41-45
[2]. Lihat al-Mughnî 9/123
[3]. Hadits hasan, riwayat Abu Dawud, kitâbuth Thalâq, Bab Fi Iddi’â` Walad az-zinâ no. 2268. (Shahîh Sunan Abi Dawud no. 1983)
[4]. HR al-Bukhâri, Kitâbuth-Thalâq, Bab Yalhaqu al-Walad Bi al-Mar`ah. Lihat Fathul Baari (9/460).
[5]. Zâdul Ma’âd 5/357
[6]. Jâmi’ Ahkâmin Nisâ` (4/232)
[7]. Syarhul Mumti’ (4/255)
[8]. HR al-Bukhâri kitab al-Farâ’id, Bab Manidda’a Akhan atau Ibna akhi, lihat Fathul Bâri, 12/52
[9]. HR al-Bukhâri dalam Kitabul Farâid, Bab al-Walad Lil Firâsy Hurratan kânat au Amatan, lihat Fathul Bâri,12/32
[10]. al-Fatâwâ as-Sa’diyah hal. 552.
[11]. Ibid hal. 553.
[12]. Lihat Ikhtiyârât Ibnu Taimiyah, Ahmad al-Mûfi 2/828.
[13]. Lihat al-Muhallâ 10/323.
[14]. HR al-Bukhâri kitab al-Farâ’id, Bab Manidda’a Akhan atau Ibna akhi. Lihat Fathul Bâri 12/52
[15]. HR Abu Daud, Kitabutth-Thalâq Babul-Walad Lil Firâsy no. 2274 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Daud dan Shahîhul-Jâmi’ no. 2493.
[16]. HR Abu Daud no. 2264 namun hadits ini didhaifkan oleh syaikh al-Albâni t dalam Dha’îful -Jâmi no. 6310dan Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqiq Zâd al-Ma’âd 5/382
[17]. HR Abu Daud no. 2265 dan 2266 dan dihasankan al-Albâni dalam shahih Sunan Abi Daud dan Syu’aib al-Arna`uth dalam Tahqîq Zâd al-Ma’âd 5/383
[18]. Zâd al-Ma’âd 5/384
[19]. HR At-Tirmidzi, kitab a-Farâ`idh 4/428 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi dan Shahîh al-Jâmi’ no. 2723.
[20]. Al-Mughnî, 7/129-130 dinukil dari Ikhtiyârât Ibni Taimiyah 2/828.
[21]. Majmu’ Fatâwâ 32/112-113.
[22]. Al-Muwaththa’ 2/740
[23]. Zâd al-Ma’âd 5/ 381.
[24]. Ibid.
[25]. Lihat al-Mughni 9/122.
[26]. HR al-Bukhâri, Kitab at-Tafsîr no. 4746. Lihat Fathu al-Bâri 8/448 dan Muslim dalam kitab al-Li’ân 10/123 (Syarh an-Nawâwi)
[27]. Al-Mughnî 9/114.

Oleh: Ustadz Kholid Samhudi Hafizhohullahu
Sumber: http://almanhaj.or.id/content/3354/slash/0/status-anak-zina/

Taubat dari Perbuatan Zina

Cara Taubatnya

Keduanya bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha yaitu dengan memenuhi tiga syarat taubat yang disebutkan oleh para ulama. Tiga syarat ini disimpulkan oleh para ulama dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
  1. Keduanya harus menyesali perbuatan tersebut. Rasulullah shallallahu ;alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya penyesalan itu adalah taubat.”[HR. Ahmad, Ibnu Majah, Al-Hakim dan yang lainnya dari Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah (4252)] Karena itu hendaklah keduanya menyesali apa yang telah mereka lakukan. 
  2. Melepaskan diri dan menjauh-kan diri sejauh-jauhnya dari perbuatan yang seperti itu. Tidak lagi mengulangi maupun mendekati apa-apa yang akan menyeret dan mengantar kepada perzinaan, seperti pergaulan bebas dengan wanita (pacaran), berbincang-bincang secara bebas dengan wanita yang bukan mahram, bercengkerama, ikhtilath/ bercampur-baur. Semuanya adalah perkara yang diharamkan syariat untuk menutupi pintu perzinaan. Hendaknya keduanya menjauh-kan diri dari itu semua.
  3. Kemudian keduanya ber-’azam/ bertekad kuat untuk tidak mengulangi kembali perbuatannya tersebut. Juga beristighfar kepada Allah, memohon ampunan-Nya. Dalam hal ini ada hadits Abu Bakr Ash-Shiddiq tentang disyariatkannya seseorang yang telah melakukan perbuatan maksiat untuk shalat dua rakaat lalu memohon ampunan kepada Allah.[HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud (1021)]

 Haruskah Keduanya Menikah?

Keduanya tidak harus menikah. Namun tidak mengapa keduanya menikah dengan syarat: apabila wanita yang telah dizinai tersebut hamil karena perzinaan itu, maka tidak boleh menikahinya pada masa wanita itu masih hamil. Mereka harus menunggu sampai si wanita melahirkan bayinya, baru boleh menikahinya. Inilah pendapat yang benar yang disebutkan oleh ulama, yaitu bahwa wanita yang hamil karena perzinaan tidak boleh dinikahi sampai melahirkan. Karena di sana ada dalil yang menuntut adanya istibra` ar-rahim (pembebasan rahim) dari bibit seseorang. Karena itu rahim harus dibebaskan terlebih dahulu dengan cara menunggu sampai lahir, sehingga rahimnya bebas tidak ada lagi bibit di dalamnya. Setelah itu baru bisa menikahinya. Itu pun apabila keduanya bertaubat dari perzinaan.

Apabila wanita yang dizinainya tidak sampai hamil, maka pembebasan rahimnya dengan cara menunggu haid berikutnya. Setelah melakukan perzinaan kemudian dia haid. Dalam kasus yang seperti ini, boleh menikahinya setelah melewati satu kali masa haid, yang menunjukkan bahwa memang tidak ada bibit yang tersimpan dalam rahimnya. Dan tentunya ini apabila keduanya bertaubat dari perzinaan.

Adapun jika salah satu dari keduanya belum bertaubat dari perzinaan tersebut, sehingga salah satu dari keduanya masih berlaku padanya nama zaani (pezina) maka keduanya tidak boleh menikah. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa ta'ala:

الزَّانِي لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ  

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin.” (An-Nur: 3)

Maksudnya, seorang pezina diharamkan menikah dan sebaliknya wanita pezina juga haram dinikahi. Jadi bolehnya menikah adalah apabila keduanya memang sudah bertaubat dari perzinaan tersebut, sehingga tidak lagi dinamakan lelaki pezina atau wanita pezina.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Majalah AsySyariah Edisi 026 jawaban dari pertanyaan yang di ajukan kepada Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari di http://asysyariah.com/taubat-dari-perbuatan-zina.html

Apa dalil wajibnya istibra` ar-rahim dari bibit seseorang atas seorang wanita yang berzina jika hendak dinikahi?

Istibra' yaitu pembebasan rahim wanita dari bibit lelaki yang telah berzina dengannya. Karena dikhawatirkan lelaki tersebut telah menanam bibitnya dalam rahim wanita itu. Artinya, wanita itu hamil akibat perzinaan itu. Maka wanita itu harus melakukan istibra` untuk memastikan bahwa rahimnya kosong (tidak hamil), yaitu menunggu sampai dia mengalami haid satu kali karena dengan demikian berarti dia tidak hamil. Apabila diketahui bahwa dia hamil maka istibra`-nya dengan cara menunggu sampai dia melahirkan anaknya. Kita tidak mempersyaratkan wanita itu melakukan ‘iddah [‘Iddah adalah masa penantian yang diatur oleh syariat bagi seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya, yaitu selama tiga kali masa haid.]

Adapun jika diceraikan dalam keadaan hamil maka ‘iddah-nya sampai melahirkan] karena sebagaimana kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/215, cet. Darul Atsar): “’Iddah adalah hak seorang suami yang menceraikan istrinya. Sedangkan lelaki yang berzina dengannya statusnya bukan suami melainkan fajir/pezina.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam Majmu’ Fatawa (32/112): “Al-Istibra` bukan karena hak kehormatan mani lelaki pertama (yang menzinainya). Akan tetapi untuk hak kehormatan mani lelaki yang kedua (yang hendak menikahinya), karena tidak dibenarkan baginya untuk mengakui seseorang sebagai anaknya dan dinasabkan kepadanya padahal bukan anaknya.”

Demikian pula jika ditinjau dari sisi qiyas, Syaikhul Islam berkata (32/111): “Seorang wanita yang khulu’ [Khulu’ adalah perpisahan suami-istri karena permintaan istri yang disertai dengan pembayaran ganti (harta) dari pihak istri.] -karena dia bukan wanita yang dicerai-, dia tidak ber-’iddah dengan ‘iddah wanita yang dicerai. Bahkan dia harus melakukan istibra` (membebaskan rahimnya) dan istibra` juga disebut iddah. Maka, wanita yang digauli dengan nikah syubhat dan wanita yang berzina lebih utama untuk melakukan istibra`.”

Syaikhul Islam (32/110) juga berkata: “Karena wanita yang berzina bukanlah istri (yang ditalak) yang wajib untuk melakukan ‘iddah. Dan tidaklah keadaan wanita berzina melebihi keadaan budak wanita yang harus melakukan istibra` sebelum digauli oleh tuannya yang baru. Padahal seandainya dia telah dihamili oleh bekas tuannya maka anaknya dinasabkan kepada bekas tuannya itu. Maka wanita yang berzina (yang seandainya hamil maka anaknya tidak dinasabkan kepada laki-laki yang mezinainya) lebih wajib untuk melakukan istibra`.”

Adapun dalil-dalil tentang istibra` pada budak wanita adalah:

a. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang sabaya (para wanita tawanan perang) pada perang Khaibar:

 لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ –يَعْنِي إِتْيَانَ الْحُبْلَى مِنَ السَّبَايَا- وَأَنْ يُصِيبَ اْمَرْأَةً ثَيِّبًا مِنَ السَّبْيِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا 

Tidak halal bagi seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air maninya di ladang orang –yakni menggauli wanita sabaya yang hamil– dan menggauli wanita sabaya yang telah bersuami sampai wanita itu melakukan istibra`.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan dihasankan oleh Al-Bazzar serta Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` 1/201, 5/141, no. 2137. Hadits ini memiliki syawahid/penguat-penguat)

b. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang para sabaya Authas:

 لاَ تُؤْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً 

Yang hamil tidak boleh digauli sampai melahirkan, demikian pula yang tidak hamil sampai haid satu kali.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi. Namun yang benar sanadnya lemah karena Syarik bin Abdillah Al-Qadhi hafalannya jelek. Akan tetapi hadits ini memiliki syawahid/penguat-penguat sehingga dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 187 dan no. 1302)

Dengan demikian, jika seorang lelaki menghamili seorang wanita dengan perzinaan kemudian dia bermaksud menikahinya dengan alasan untuk menutup aib dan menyelamatkan nasab anak tersebut, maka hal itu haram atasnya dan pernikahannya tidak sah. Karena anak tersebut bukan anaknya menurut hukum syar’i. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama sebagaimana dalam Al-Mughni (6/184-185) dan Syarah Bulughul Maram karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu pada Bab ‘Iddah wal ihdad wal istibra`. Dan ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah dalam Fatawa mereka (20/387-389).

Berdasarkan hal ini, seluruh hukum nasab antara keduanya pun tidak berlaku. Di antaranya:
  • Keduanya tidak saling mewarisi.
  • Lelaki tersebut tidak wajib memberi nafkah kepadanya.
  • Lelaki tersebut bukan mahram bagi anak itu (jika dia wanita) kecuali apabila lelaki tersebut menikah dengan ibu anak itu dan telah melakukan hubungan (sah) suami-istri, yang tentunya hal ini setelah keduanya bertaubat dan setelah anak itu lahir, maka anak ini menjadi rabibah-nya sehingga menjadi mahram.
  • Lelaki tersebut tidak bisa menjadi wali anak itu dalam pernikahan (jika dia wanita). 

Namun bukan berarti laki-laki tersebut boleh menikahi putri zinanya. Yang benar dalam masalah ini, dia tidak boleh menikahinya, sebagaimana pendapat jumhur yang dipilih oleh Syaikhul Islam dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Karena anak itu adalah putrinya secara hukum kauni qadari berasal dari air maninya, sehingga merupakan darah dagingnya sendiri. Dalil yang paling kuat dalam hal ini adalah bahwasanya seorang laki-laki tidak boleh menikahi anak susuannya yang disusui oleh istrinya dengan air susu yang diproduksi dengan sebab digauli olehnya sehingga hamil dan melahirkan. Kalau anak susuan seseorang saja haram atasnya, tentu seorang anak zina yang berasal dari air maninya dan merupakan darah dagingnya sendiri lebih pantas untuk dinyatakan haram atasnya. (Lihat Majmu’ Fatawa, 32/134-137, 138-140, Asy-Syarhul Mumti’, 5/170)

Para ulama menyatakan bahwa seorang anak zina dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya, dan keduanya saling mewarisi. Jadi nasab anak tersebut dari jalur ayah tidak ada. Yang ada hanyalah nasab dari jalur ibunya. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwasanya suami istri yang melakukan li’an3 di hadapan hakim karena suaminya menuduh bahwa anak yang dikandung istrinya adalah hasil perzinaan sedangkan istrinya tidak mengaku lalu keduanya dipisahkan oleh hakim, maka anak yang dikandung wanita itu dinasabkan kepada ibunya dan terputus nasabnya dari jalur ayah. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi z yang muttafaq ‘alaih.

Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil, bagaimana hukumnya dan bagaimana status anak-anak mereka yang dihasilkan setelah pernikahan? Apakah mereka merupakan mahram bagi anak zina tadi dan bisa menjadi wali pernikahannya?

Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil maka pernikahan itu tidak sah berdasarkan apa yang telah dijelaskan pada jawaban pertama dan kedua. Hanya saja, kalau pernikahan itu dilangsungkan dengan anggapan bahwa hal itu boleh dan sah sebagaimana mazhab sebagian ulama yang berpendapat: “Boleh bagi seorang lelaki yang menghamili seorang wanita dengan perzinaan untuk menyelamatkan nasab anak itu dengan cara menikahinya dalam keadaan hamil, dengan syarat keduanya telah bertaubat dari perzinaan dan diketahui dengan pasti/yakin bahwa yang menghamilinya adalah laki-laki itu”, maka pernikahan itu dikategorikan sebagai nikah syubhat. Artinya, pernikahan itu berlangsung dengan anggapan bahwa hal itu boleh menurut syariat, padahal sebenarnya tidak boleh. Berarti pernikahan itu tidak mengubah status anak hasil perzinaan tersebut sebagai anak zina, dia tetap dinasabkan kepada ibunya dan tidak sah dinasabkan kepada lelaki tersebut. Adapun anak-anak yang dihasilkan setelah nikah syubhat, status mereka sah sebagai anak-anak keduanya [Pendapat bahwa anak hasil nikah syubhat sah sebagai anak adalah pendapat Al-Imam Ahmad, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan yang lainnya, dipilih oleh Syaikhul Islam, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan Al-Lajnah Ad-Da`imah. Lihat Al-Mughni (7/288), Majmu’ Fatawa (32/66-67), Asy-Syarhul Mumti’ (5/641, cet. Darul Atsar) dan Fatawa Al-Lajnah (28/387)]. Akan tetapi wajib atas keduanya untuk berpisah ketika mengetahui hakikat sebenarnya bahwa pernikahan itu tidak sah, sampai keduanya menikah kembali dengan akad nikah yang benar dan sah, tanpa harus melakukan istibra` ar-rahim. Ini adalah jawaban Syaikhuna Al-Faqih Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah wa syafahu.

Dengan demikian, diketahuilah bahwa hubungan antara anak zina tersebut dengan anak-anak yang lahir dengan nikah syubhat tersebut adalah saudara seibu tidak seayah, yang berarti mereka adalah mahramnya. Namun tidak bisa menjadi wali pernikahannya menurut pendapat jumhur, yang menyatakan bahwa wali pernikahan seorang wanita adalah setiap lelaki yang merupakan ‘ashabah [ Yaitu seluruh lelaki yang mewarisi harta wanita itu tanpa ada ketetapan bagian tertentu, melainkan mewarisi secara ta’shib. Artinya jika ahlul fardh (ahli waris yang telah ditentukan bagiannya) telah mengambil haknya maka harta warisan yang tersisa akan diwarisi oleh ‘ashabah, atau jika tidak ada ahlul fardh maka mereka yang mewarisi seluruh hartanya] wanita itu, seperti ayahnya, kakeknya dari jalur ayah, putranya, anak laki-laki putranya, saudara laki-lakinya yang sekandung atau seayah, pamannya dari jalur ayah dan ‘ashabah lainnya[Lihat mazhab jumhur tentang wali pernikahan seorang wanita dalam Mukhtasar Al-Khiraqi bersama Al-Mughni (6/319-322), Fathul Bari (9/187), Nailul Authar (6/120), Subulus Salam (3/185), Asy-Syarhul Mumti’, (5/145-154)]

Siapa saja yang bisa menjadi wali pernikahan anak zina tersebut?

Yang menjadi walinya adalah sulthan. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/154): “Yang dimaksud dengan sulthan adalah imam (amir) atau perwakilannya…. Adapun sekarang, urusan perwalian ini dilimpahkan oleh pemerintah kepada petugas khusus.”

Di negeri kita, mereka adalah para petugas (penghulu) Kantor Urusan Agama (KUA).Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

 أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ … فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ 

Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya batil…, dan jika para wali berselisih untuk menikahkannya maka sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Abu ‘Awanah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Albani dalam Al-Irwa` (no. 1840) dan guru besar kami Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (2/493))

Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata dalam Subulus Salam (3/187): “Hadits ini menunjukkan bahwa sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali dalam pernikahan, baik karena memang tidak ada walinya atau walinya ada namun tidak mau menikahkannya[Yaitu tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat]

Jika ada yang bertanya: Bukankah ibu seorang anak zina dan ‘ashabah ibunya merupakan ‘ashabah bagi anak zina itu sebagaimana pendapat sebagian ulama? Tidakkah mereka dianggap sebagai wali?

Jawabannya: Ibnu Qudamah rahimahullahu dalam Al-Mughni (6/183) menerangkan bahwa kedudukan mereka sebagai ‘ashabah anak zina itu hanya dalam hal waris semata dan tidak berlaku dalam perkara perwalian nikah. Karena hubungan nasab mereka hanya melalui jalur ibu, sehingga tidak ada hak perwalian untuk mereka.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Majalah AsySyariah Edisi 039 jawaban dari pertanyaan yg dijawab Oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari di http://asysyariah.com/status-anak-zina.html
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.