F0GAxlSUN0OEmaFkMbnca2nyh81gHBssC6AV9hGe
Bookmark

soal jawab perdukunan, perbintangan, thiyarah

181. Apa hukum praktek perdukunan (kuhaan) ?

Jawab :

Dukun termasuk bagian dari thaghut, yaitu mereka adalah para pemimpin dari kalangan syaithan yang mewahyukan kepada para dukun, sebagaimana firman Allah ta’ala :

وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ

“Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya”.[1]

Mereka turun kepada para dukun tersebut dan menyampaikan kalimat-kalimat yang didengar (dari langit) dengan menambah kedustaan bersamanya seratus kedustaan, sebagaimana firman Allah ta’ala :


هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ * تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ *يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ

“Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada setan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta”.[2]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam hadits wahyu :

فيسمعها مسترق السمع ومسترق هكذا بعضه فوق بعض فيلقيها إلى من تحته ثم يلقيها الآخر إلى من تحته حتى يلقيها على لسان الساحر أو الكاهن فربما أدركه الشهاب قبل أن يلقيها وربما ألقاها قبل أن يدركه فيكذب معها مائة كذبة

“Maka syaithan-syaithan pencuri berita itu mendengarnya. Keadaan para syaithan pencuri berita seperti ini : sebagian mereka di atas sebagian yang lain. Maka ketika para syaithan berita (yang di atas) mendengar kalimat (firman) itu, disampaikanlah kepada yang di bawahnya, kemudian disampaikan lagi kepada yang di bawahnya. Demikian seterusnya hingga sampai ke mulut tukang sihir atau dukun. Akan tetapi syaithan pencuri berita itu terkena syihab (meteor) sebelum sempat menyampaikan kalimat (firman) tersebut, dan kadangkala sudah sempat menyampaikannya sebelum terkena syihab; lalu dengan satu kalimat yang didengarnya itulah mereka membumbui dengan seratus kedustaan”.[3]

182. Apa hukum membenarkan perkataan dukun ?

Jawab :

Allah ta’ala telah berfirman :

قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ

Katakanlah: "Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah".[4]

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri”.[5]

أَمْ عِنْدَهُمُ الْغَيْبُ فَهُمْ يَكْتُبُونَ

“Apakah ada pada sisi mereka pengetahuan tentang yang gaib lalu mereka menuliskannya?”.[6]

أَعِنْدَهُ عِلْمُ الْغَيْبِ فَهُوَ يَرَى

“Apakah dia mempunyai pengetahuan tentang yang gaib sehingga dia mengetahui (apa yang dikatakan)?”.[7]

وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.[8]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

من أتى عرافًا أو كاهنًا فصدقه بما يقول فقد كفر بما أنزل على محمد صلى الله عليه وسلم

“Barangsiapa yang mendatangi ‘arraaf (tukang ramal) atau dukun, lalu membenarkan apa yang dikatakannya; sungguh ia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.[9]

من أتى عرافًا فسأله عن شيء فصدقه لم تقبل له صلاة أربعين يومًا

“Barangsiapa yang mendatangi ‘arraf (tukang ramal) untuk menanyakan sesuatu hal, lalu ia membenarkan (apa yang dikatakan)-nya; maka tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari”.[10]

183. Apa hukum tanjiim (ramalan bintang) ?

Jawab :

Allah ta’ala telah berfirman :

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ

“Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut”.[11]

وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ

“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan”.[12]

وَالنُّجُومُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ

“Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya”.[13]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

من اقتبس شعبة من النجوم فقد اقتبس شعبة من السحر زاد ما زاد

“Barangsiapa mengambil salah satu cabang dari ilmu nujum (perbintangan), sungguh ia telah mengambil salah satu cabang dari ilmu sihir. Semakin bertambah ilmu nujum itu, maka semakin bertambah pula sihir yang ia pelajari”.[14]

إنما أخاف على أمتي التصديق بالنجوم والتكذيب بالقدر وحيف الأئمة

“Sesungguhnya yang aku takutkan dari umatku hanyalah membenarkan ramalan bintang, mendustakan takdir, dan kesewenang-wenangan para penguasa/pemimpin”.[15]

Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma berkata mengenai satu kaum yang sedang menulis riwayat Abu Jaad sambil melihat/memperhatikan bintang :

ما أرى من فعل ذلك له عند الله من خلاق

“Aku tidak pernah melihat orang yang berbuat tersebut di sisi Allah selama ini”.

Qatadah rahimahullahu ta’ala berkata :

خلق الله هذه النجوم لثلاث : زِنة للسماء، ورجومًا للشياطين، وعلامات يُهتدى بها، فمن تأول فيها غير ذلك فقد أخطأ حظه وأضاع نفسه وتكلف ما لا علم له به.

“Allah telah menciptakan bintang untuk tiga hal : perhiasan langit, pelempar syaithan-syaithan, dan sebagai tanda bagi orang (tersesat) yang ditunjuki dengannya. Barangsiapa yang menta’wilkan selain dari ketiga hal tersebut, maka ia telah keliru, merusak diri, dan memperberat-berat terhadap apa yang ia tidak mempuyai pengetahuan tentangnya”.

184. Apa hukum menisbatkan turunnya hujan kepada bintang-bintang ?

Jawab :

Allah ta’ala telah berfirman :

وَتَجْعَلُونَ رِزْقَكُمْ أَنَّكُمْ تُكَذِّبُونَ

“Kamu (mengganti) rezeki (yang Allah berikan) dengan mendustakan (Allah)”.[16]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أربع في أمتي أمر الجاهلية لا يتركوهن : الفخر بالأحساب والطعن في الأنساب والاستسقاء بالأنواء والنياحة

“Empat perkara yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan Jahiliyyah, yang tidak ditinggalkan oleh mereka : membanggakan kebesaran leluhur, mencela keturunan, menisbbatkan turunnya hujan kepada bintang-bintang, dan niyahah (meratap mayit)”.[17]

قال الله تعالى : أصبح من عبادي مؤمن بي وكافر فأما من قال مطرنا بفضل الله ورحمته فذلك مؤمن بي وكافر بالكواكب، وأما من قال : مطرنا بنواء كذا وكذا فذلك كافر بي مؤمن بالكواكب.

“Allah ta’ala telah berfirman : ‘Pagi hari ini di antara hamba-hamba-Ku ada yang beriman dan ada pula yang kafir. Adapun orang yang mengatakan : ‘Telah turun hujan kepada kita berkat karunia dan rahmat Allah’, maka dia adalah orang yang beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang. Adapun orang yang mengatakan : ‘Telah turun hujan kepada kami karena bintang ini dan itu’, maka dia adalah orang yang kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang”.[18]

185. Apa hukum thiyarah (merasa sial) dan apa-apa yang terkait dengannya ?

Jawab :

Allah ta’ala telah berfirman :

أَلا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ

“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah”.[19]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولا صفر

“Tidak ada ‘adwaa (penularan penyakit), thiyarah, haammah, dan shafar”.[20]

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

الطيرة شرك الطيرة شرك

“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik”.

Dari Ibnu Mas’ud secara marfu’ :

الطيرة شرك - ثلاثًا - وما منا إلا ولكن الله يذهبه بالتوكل

“Thiyarah itu syirik – beliau mengatakan tiga kali – tidak ada seorang pun dari kita kecuali (telah terjadi dalam dirinya sesuatu dari hal itu), namun Allah menghilangkannya dengan tawakkal”.[21]

إنما الطيرة ما أمضاك أو ردك

“Sesungguhnya thiyarah itu hanyalah yang menjadikan engkau terus melangkah atau mengurungkan niatmu”.[22]

Dan diriwayatkan oleh Ahmad dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr :

من ردته الطير عن حاجته فقد أشرك. قالوا : فما كفاره ذلك ؟ قال : أن تقول : اللهم لا خير إلا خيرك ولا طير إلا طيرك ولا إله غيرك

“Barangsiapa yang mengurungkan hajatnya karena tathayyur, maka ia telah berbuat syirik”. Para shahabat bertanya : “Lantas, apa kafarah (penghapus)-nya ?”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “(Hendaknya engkau mengucapkan) : Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan yang datang dari-Mu, tidak ada kesialan kecuali kesialan yang datang dari-Mu, dan tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau”.[23]

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أصدقها الفأل ولا ترد مسلمًا فإذا رأى أحدكم ما يكره فليقل : اللهم لا يأتي بالحسنات إلا أنت ولا يدفع السيئات إلا أنت ولا حول ولا قوة إلا بك

“Yang paling benar adalah fa’l, dan tathayyur (anggapan sial) itu tidak boleh menghalangi seorang muslim (untuk melakukan sesuatu). Apabila salah seorang di antara kalian melihat sesuatu hal yang tidak disukai, hendaklah ia mengatakan : ‘Ya Allah, tidak ada yang mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, tidak ada yang dapat menolak keburukan kecuali Engkau, serta tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Engkau”.[24]

[Diambil oleh Abu Al-Jauzaa’ Al-Wonogiriy dari kitab yang berjudul : 200 Suaal wa Jawaab fil-‘Aqiidah oleh Asy-Syaikh Haafidh bin Ahmad Al-Hakamiy, hal. 180 – 184, takhrij : Hilmiy bin Isma’il Ar-Rasyiidiy; Daarul-‘Aqiidah, Cet. 1/1419 H – dengan sedikit perubahan dan tambahan].

[1] QS. Al-An’aam : 121.

[2] QS. Asy-Syu’araa’ : 221-223.

[3] Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq (no. 20347), Ahmad (6/87), Al-Bukhariy (no. 3210, 5762, 6213, 7561), Muslim (no. 2228), Ibnu Hibbaan (no. 3136), Al-Baihaqiy (8/138), dan Al-Baghawiy (no. 3258), dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa.

[4] QS. An-Naml : 65.

[5] QS. Al-An’aam : 59.

[6] QS. Ath-Thuur : 41.

[7] QS. An-Najm : 35.

[8] QS. Al-Baqarah : 216, 232.

[9] Diriwayatkan oleh Ahmad (2/429), Abu Dawud (no. 3904), dan Al-Haakim (1/8), dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu – dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahiihul-Jami’ (no. 5939).

[10] Diriwayatkan oleh Ahmad (4/68, 5/380) dan Muslim (no. 2230), dari sebagian istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

[11] QS. Al-An’aam : 97.

[12] QS. Al-Mulk : 5.

[13] QS. An-Nahl : 12.

[14] Shahih – Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3905), Ibnu Majah (no. 3726), dan Ahmad (1/227, 311). Hadits tersebut terdapat dalam Silsilah Ash-Shahiihah (no. 793) dan Shahiihul-Jaami’ (no. 6074).

[15] Diriwayatkan oleh ‘Abdun bin Humaid (1/428) dari Rajaa’ bin Haiwah secara mursal. Diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Asaakir dari Abu Mihshan secara marfu’ :

إنما أخاف على أمتي ثلاثًا : حيف الأئمة، وإيمانًا بالنجوم، وتكذيبًا بالقدر

“Sesungguhnya yang aku takutkan dari umatku hanyalah dalam tiga perkara : Kesewenang-wenangan para penguasa/pemimpin, mempercayai ramalan bintang, dan mendustai takdir”.

Diriwayatkan juga oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Al-‘Ilm (2/39) dengan sanad dla’if (lemah), dan ia mempunyai syawaahid dari hadits Abu Dardaa’, Anas, dan Jaabir. Lihat Ash-Shahiihah (no. 1127) dan Shahiihul-Jaami’ (no. 214-215).

[16] QS. Al-Waaqi’ah : 82.

[17] Diriwayatkan oleh Ahmad (5/342-343) dan Muslim (no. 943) dari Abu Musa Al-Asy’ariy radliyallaahu ‘anhu.

[18] Diriwayatkan oleh Malik (1/192), Ahmad (4/117), Al-Bukhariy (no. 846, 1038, 4147, 7503), Muslim (no. 71), Abu ‘Awaanah (1/26), Abu Dawud (no. 3906), dan An-Nasa’iy (3/165); dari Zaid, dari Khaalid Al-Juhhaniy.

[19] QS. Al-A’raaf : 131.

[20] Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq (no. 19507), Ahmad (2/267), Al-Bukhariy (no. 5717, 5770, 5775), dan Muslim (no. 2220); dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.

Makna ‘tidak ada shafar’ adalah : kelaparan : yaitu binatang yang ada di perut, sejenis cacing. Mereka (masyarakar ‘Arab) dulu berkeyakinan bahwa di dalam perut terdapat satu hewan yang menyebabkan rasa lapar yang terkadang dapat membunuh orangnya. Masyarakat ‘Arab melihat bahwa ia lebih berbahaya/menular dibandingkan kudis. Maka keyakinan itu kemudian dibatalkan oleh Islam.

Ada pendapat lain bahwa yang dimaksud shafar adalah bukan Shafar. Masyarakat ‘Arab dulu menganggap sial bulan Shafar, dan kemudian Islam datang untuk membatalkannya.

Makna al-haammah adalah : sejenis burung dimana masyarakat ‘Arab dulu meyakini kemalangan akan menimpanya atau datangnya kematian baginya/anggota keluarganya jika ia bertengger di rumahnya atau mendengar suaranya. Islam datang untuk membatalkannya.

[21] Diriwayatkan Ahmad (1/389, 438, 440), Al-Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad (no. 909), Abu Dawud (no. 3910), At-Tirmidzi (no. 1614), Ibnu Majah (no. 3538), Ath-Thahawiy dalam Asy-Syarh (4/312) dan Al-Musykil (1/358), dan Ath-Thayalisiy (no. 356); dan ia merupakan hadits shahih.

[22] Diriwayatkan oleh Ahmad (1/213) dari Ibnu ‘Ulaatsah, dari Maslamah Al-Juhhaniy, dari Al-Fadhl bin Al-‘Abbaas. Ibnu ‘Ulaatsah adalah Muhammad bin ‘Abdillah yang statusnya diperselisihkan. Al-Haafidh berkata : “Shaduuq, kadang salah” ; yaitu ia dla’if (lemah) jika bersendirian (dalam periwayatan) – seperti dalam riwayat ini. Oleh karena itu, sanad hadits ini adalah dla’if. Wallaahu a’lam.

[23] Diriwayatkan oleh Ahmad (2/220), Ibnus-Sunniy (no. 287), Ibnu Wahb dalam Jaami’-nya (no. 656, 657, 659, 660); dari Ibnu ‘Amr. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahiihah (no. 1065).

[24] Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3919) dari Ahmad Al-Qurasyiy. Di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Dla’iif Abi Dawud (no. 843) dan Al-Misykah (no. 4591).
Post a Comment

Post a Comment

Aturan berkomentar:
- Afwan, komentar yang mengandung link hidup dan spam akan kami remove.
- Silahkan ikuti blog ini untuk update info terbaru kami, dengan cara klik Follow+
- Silakan berikan komentar. Centang kotak "Notify me" untuk mendapatkan notifikasi via email jika ada yang membalas komentar.